Translate

Selasa, 27 September 2016

Al-Baqarah, ayat 91-103

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنزلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (91) وَلَقَدْ جَاءَكُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (92) }
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah," mereka berkata, "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Dan mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedangkan Al-Qur'an itu adalah (kitab) yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah, "Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?" Sesungguhnya Musa telah datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kalian jadikan anak sapi (sebagai sesembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya kalian adalah orang-orang yang zalim.
Allah Swt. berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka," yakni kepada orang-orang Yahudi dan yang semisal dengan mereka dari ka.-langan ahli kitab.”Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan Allah," kepada Nabi Muhammad Saw., percayalah kepadanya, dan ikutilah dia. Mereka berkata, "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Maksudnya, cukup bagi kami beriman kepada kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada kami, dan kami tidak mengakui selain itu. Mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan sesudahnya, yakni sesudah kitab-kitab tersebut.
Padahal Al-Qur'an itu adalah kitab yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka; yakni mereka mengetahui bahwa kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah perkara yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Lafaz musaddiqan dibaca nasab karena berkedudukan menjadi hal (keterangan keadaan), yakni keadaan Al-Qur'an itu membenarkan apa yang ada pada mereka, yakni kitab Taurat dan Injil yang dipegang mereka. Dengan demikian, di dalam kalimat ini terkandung hujah yang membantah pengakuan mereka; seperti yang dijelaskan oleh firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ}
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman, "Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah, jika benar kalian orang-orang yang beriman?" Yakni jika kalian benar dalam pengakuan kalian yang menyatakan bahwa kalian beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kalian, mengapa kalian membunuh para nabi yang datang kepada kalian dengan membawa apa yang membenarkan yang ada di tangan kalian? Kalian diperintahkan agar memutuskan hukum berdasarkan kitab Taurat itu dan tidak boleh mengubahnya, padahal kalian mengetahui bahwa para nabi tersebut benar. Tetapi ternyata kalian membunuh mereka karena rasa dengki, ingkar, dan takabur kalian terhadap utusan-utusan Allah. Kalian sama sekali tidak mengikuti kecuali hanya hawa nafsu kalian sendiri, pendapat kalian, dan selera kalian sendiri. Makna ayat ini sama dengan firman-Nya:
{أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ}
Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa suatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian menyombong; maka beberapa orang (di antara rasul-rasul itu) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain dari mereka) kalian bunuh. (Al-Baqarah: 87)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, bahwa Allah mencela perbuatan mereka melalui firman-Nya: Katakanlah, "Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman.?” (Al-Baqarah: 91) Menurut Abu Ja'far ibnu Jarir, makna ayat ini adalah seperti berikut: Katakanlah —hai Muhammad— kepada orang-orang Yahudi Bani Israil bila telah kamu katakan kepada mereka, "Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah." Lalu mereka menjawab, "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Katakanlah, "Mengapa kalian membunuh para nabi, hai orang-orang Yahudi, jika kalian adalah orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah? Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian membunuh mereka melalui Al-Kitab (Taurat) yang diturunkan kepada kalian. Bahkan kitab kalian memerintahkan kepada kalian untuk mengikuti para nabi, taat, dan percaya kepada mereka." Kalimat ayat ini mengandung makna pendustaan dari Allah terhadap perkataan mereka (orang-orang Yahudi) yang menyatakan bahwa mereka hanya beriman kepada kitab yang diturunkan kepada mereka; sekaligus sebagai celaan terhadap sikap mereka yang demikian itu.
"Sesungguhnya Musa telah datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat)," yakni tanda-tanda yang jelas dan bukti-bukti yang tak bisa dipungkiri lagi. Semuanya menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. adalah utusan Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah. Tanda-tanda yang jelas itu berupa banjir, belalang, kutu busuk, katak, darah, tongkat, tangan Nabi Musa a.s., terbelahnya laut, awan menaungi mereka, manna dan salwa, batu, dan lain sebagainya di antara mukjizat-mukjizat yang mereka saksikan sendiri dengan mata kepala mereka.
"Kemudian kalian jadikan anak sapi (sebagai sembahan)," yakni kalian menjadikannya sebagai sembahan selain dari Allah di hari-hari Nabi Musa a.s. mengalami kesibukan.
Firman Allah Swt., "Sesudah (kepergian)nya," yakni sesudah Nabi Musa a.s. pergi meninggalkan kalian menuju Bukit Tur untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kelakuan mereka saat itu diterangkan oleh firman-Nya:
{وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ}
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke Gunung Tur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. (Al-A'raf: 148)
"Dan sebenarnya kalian adalah orang-orang yang zalim," yakni kalian adalah orang-orang yang zalim karena perbuatan kalian yang menyembah anak lembu itu, sedangkan kalian mengetahui bahwa tiada yang wajib disembah kecuali hanya Allah Swt., seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
{وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan meng-tahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata, "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 149)

{وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (93) }
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat Bukit (Tursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman), "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan dengarkanlah. Mereka menjawab, "Kami mendengar, tetapi tidak menaati." Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang diperintahkan iman kalian kepada diri kalian jika betul kalian beriman (kepada Taurat)."
Allah Swt. menghitung-hitung kembali terhadap kekeliruan mereka, pelanggaran mereka terhadap janji dan sifat takabur mereka, serta berpalingnya mereka dari Allah Swt. hingga di suatu saat diangkat Bukit Tursina di atas mereka, akhirnya mereka mau menerima janji itu. Tetapi sesudah itu mereka melanggarnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}
Mereka menjawab, "Kami mendengarkan, tetapi tidak menaati" (Al-Baqarah: 93)
Tafsir ayat ini dikemukakan jauh sebelum ini.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. (Al-Baqarah: 93) Qatadah mengatakan bahwa menyembah anak sapi telah meresap ke dalam hati mereka sehingga kecintaan mereka mendalam terhadap penyembahan tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ الْغَسَّانِيُّ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ بِلَالِ بْنِ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "حُبُّك الشَّيْءَ يُعْمِي ويُصم".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Maryam Al-Gassani, dari Khalid ibnu Muhammad As-Saqafi, dari Bilal ibnu Abu Darda, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kecintaanmu kepada sesuatu membuatmu buta dan tuli.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Haiwah ibnu Syuraih, dari Baqiyyah, dari Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Maiyam dengan lafaz yang sama.
As-Saddi meriwayatkan bahwa Musa a.s. segera menyembelih anak lembu itu dengan pisau besar kemudian mencampakkannya ke laut. Setelah itu, maka tiada suatu laut pun yang mengalir di masa itu kecuali terjadi sesuatu padanya. Kemudian Musa a.s. berkata kepada mereka, "Minumlah kalian dari airnya!" Maka mereka pun minum. Barang siapa yang cinta kepada anak lembu itu, maka keluarlah emas dari kedua sisi kumisnya. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi. (Al-Baqarah: 93)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku), telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abi Ishaq, dari Imarah ibnu Umair dan Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Musa a.s. menuju ke arah patung anak lembu itu, lalu meletakkan kendi air di atasnya, kemudian ia mendinginkan anak lembu itu dengan air kendi tersebut, sedangkan ia berada di pinggir sungai. Tiada seorang pun yang minum air tersebut dari kalangan orang-orang yang pernah menyembah anak lembu, melainkan wajahnya menjadi kuning seperti emas.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi. (Al-Baqarah: 93)
Ketika anak lembu itu dibakar, sesudah itu didinginkan dan ditaburkan abunya (ke sungai), maka mereka meminum airnya hingga wajah mereka tampak kuning seperti wama minyak za'faran.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari kitab Al-Qusyairi, bahwa tiada seorang pun yang minum air sungai itu dari kalangan orang-orang yang menyembah anak lembu kecuali ia gila. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, bukan pendapat ini yang dimaksud oleh ayat ini, karena makna yang dimaksud oleh konteks ayat ini ialah bahwa warna kuning tampak pada bibir dan wajah mereka. Sedangkan hal yang termaktub menceritakan bahwa telah diresapkan ke dalam hati mereka kecintaan menyembah anak lembu, yakni di saat mereka menyembahnya. Kemudian Al-Qurtubi —sehubungan dengan pengertian ini— mengetengahkan syair An-Nabigah ketika meratapi kepulangan istrinya yang bernama Asmah:
تَغَلْغَلَ حُبُّ عَثْمَةَ فِي فُؤَادِي ... فَبَادِيهِ مَعَ الْخَافِي يَسِيرُ ...
تَغَلْغَلَ حَيْثُ لَمْ يَبْلُغْ شَرَابٌ ... وَلَا حَزَنٌ وَلَمْ يَبْلُغْ سُرُورُ ...
أَكَادُ إِذَا ذَكَرْتُ الْعَهْدَ مِنْهَا ... أَطِيرُ لَوَ انَّ إِنْسَانًا يَطِيرُ ...
Cinta kepada Asmah telah meresap ke dalam relung hatiku hingga lahir dan batinku hanya tertuju kepadanya. Begitu mendalamnya cintaku kepadanya hingga tiada suatu kesedihan dan tiada suatu kegembiraan pun yang lebih membekas dalam hatiku selain darinya. Serasa daku ingin terbang bila mengingat nostalgia dengannya, andaikata manusia dapat terbang.
****************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang diperintahkan iman kalian kepada diri kalian jika betul kalian beriman (kepada Taurat)." (Al-Baqarah: 93)
Artinya, alangkah jahat perbuatan yang sengaja kalian lakukan di masa lalu dan masa sekarang, yaitu kalian ingkar kepada tanda-tanda kebesaran Allah, menentang para nabi, dan dengan sengaja kalian ingkar kepada Nabi Muhammad Saw. Hal terakhir ini merupakan dosa kalian yang paling besar dan paling parah kalian lakukan, mengingat kalian kafir kepada pemungkas para rasul, sedangkan dia adalah penghulu para nabi dan para rasul yang diutus kepada seluruh umat manusia. Bagaimana kalian dapat mendakwakan bahwa diri kalian beriman, sedangkan kalian telah melakukan semua perbuatan yang buruk itu; antara lain kalian sering melanggar janji terhadap Allah, ingkar kepada ayat-ayat Allah, dan kalian berani menyembah anak sapi selain Allah Swt.?
{قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (94) وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (95) وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (96) }
Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka, setamak-tamak manusia kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih tamak lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.:  Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar” (Al-Baqarah: 94) Yakni berdoalah kalian untuk minta segera dimatikan. Khitab ini ditujukan kepada kedua belah pihak, yakni orang-orang Yahudi dan kaum muslim. Dengan kata lain, manakah di antara kedua golongan itu yang berdusta. Ternyata mereka menolak hal tersebut di hadapan Rasulullah Saw. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (Al-Baqarah: 95) Maksudnya, Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal pengetahuan mereka mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri, bahkan mereka mengetahui kekufuran diri mereka terhadap agamanya sendiri. Disebutkan, seandainya mereka benar-benar menginginkan kematian di saat Allah berfirman demikian terhadap mereka, niscaya tiada seorang pun dari kalangan Yahudi di muka bumi ini melainkan pasti binasa saat itu juga.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Fatamannawul mauta," artinya minta matilah kalian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Ikrimah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. (Al-Baqarah: 94) Sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, niscaya mereka akan mati semuanya."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Assam yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Al-A'masy, yang ia yakini bahwa Al-A'masy mendengamya dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Seandainya mereka benar-benar mengingini kematian, niscaya seseorang dari mereka menelan kembali air ludahnya (dahaknya)." Sanad dari semua riwayat tersebut memang sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah sampai sebuah riwayat kepada kami bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوُا الْمَوْتَ لَمَاتُوا. وَلَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ النَّارِ. وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُباهلون رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ  أَهْلًا وَلَا مَالًا".
Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, niscaya mereka semua mati dan niscaya mereka akan melihat tempat kediaman mereka di neraka. Dan seandainya orang-orang yang diajak bermubahalah oleh Rasulullah Saw. keluar, niscaya mereka akan kembali tanpa menemukan keluarga dan harta bendanya lagi.
Hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. Imam Ahmad dari Ismail ibnu Yazid Ar-Raqi telah meriwayatkannya pula bahwa telah menceritakan kepada kami Furat, dari Abdul Karim dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt., "Mereka (orang-orang Yahudi) sama sekali tidak akan mengingini kematian itu karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri." Aku (Abbad ibnu Mansur) bertanya, "Bagaimanakah menurutmu, seandainya mereka mengingini kematian itu, ketika dikatakan kepada mereka, 'Inginilah kematian kalian!' Apakah mereka akan mati ketika itu juga?" Al-Hasan menjawab, "Tidak, demi Allah, mereka sama sekali tidak akan mati ketika itu juga, sekalipun mereka mengingini kematian itu. Mereka sekali-kali tidak akan mengingini kematian itu, karena sesungguhnya seperti apa yang telah kamu dengar, Allah Swt. telah berfirman: 'Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya" (Al-Baqarah: 95)."
Sanad riwayat ini yang bersumber dari Al-Hasan berpredikat garib, mengingat penafsiran yang diketengahkan oleh Ibnu Abbas r.a. mengenai makna ayat ini bersifat telah dipastikan, yakni menyerukan kepada kedua belah pihak, siapakah di antara keduanya yang berdusta; apakah mereka (orang-orang Yahudi) atau kaum muslim melalui cara mubahalah (sumpah-menyumpah). Demikianlah menurut keterangan yang dinukil oleh Ibnu Jarir, dari Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas rahimahullah.
Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Swt. dalam surat Al-Jumu'ah, yaitu:
{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ* وَلا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ* قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar." Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.'" (Al-Jumu'ah: 6-8)
Ketika mereka —semoga laknat Allah menimpa mereka— menduga bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya, serta mereka berani mengatakan, "Tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang beragama Yahudi atau Nasrani," lalu mereka diajak untuk ber-mubahalah dan mendoakan kebinasaan terhadap siapa yang berdusta di antara kedua belah pihak; yakni dari kalangan mereka atau dari kalangan kaum muslim. Ketika mereka menolak untuk melakukan hal tersebut, maka masing-masing orang dari kalangan mereka mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim. Seandainya mereka merasa yakin dengan apa yang mereka jalani, niscaya mereka berani maju melakukan mubahalah tersebut. Tetapi setelah mereka mundur, maka diketahuilah bahwa mereka berdusta.
Hal yang sama pernah diserukan pula oleh Rasulullah Saw. terhadap delegasi dari orang-orang Nasrani Najran sesudah hujah mereka dipatahkan dalam suatu perdebatan, dan mereka masih tetap ingkar serta membangkang. Rasulullah Saw. mengajak mereka untuk ber-mubahalah. Hal ini disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali Imran: 61)
Ketika mereka dihadapkan kepada suatu kenyataan, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Demi Allah, jika kalian mau ber-mubahalah dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari kalian yang matanya masih berkedip (mati semua)." Maka sejak saat itu akhirnya mereka lebih cenderung untuk perdamaian, dan mereka bersedia membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan hina. Maka Nabi Saw. menetapkan jizyah atas mereka dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai amin (sekretarisnya).
Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya adalah firman Allah Swt. kepada Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik, yaitu:
{قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا}
Katakanlah, "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya." (Maryam: 75)
Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan dari kalangan kami dan kalian, semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang sudah ada baginya dan memperpanjang serta menangguhkannya, seperti yang akan diterangkan pada tempatnya nanti, insya Allah.
Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya, "Jika kalian memang benar," yakni dalam pengakuan kalian itu, maka inginilah kematian itu. Mereka yang menafsirkan demikian tidak menyinggung masalah mubahalah, seperti yang telah ditetapkan oleh segolongan ulama ahli kalam (ahli tauhid) dan lain-lainnya.
Ibnu Jarir cenderung kepada pendapat ini sesudah mendekati pendapat yang pertama (yakni yang menyinggung masalah mubahalah). Karena sesungguhnya ia telah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut: Katakanlah, "Jika kalian (beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain ..." (Al-Baqarah: 94) Bahwa ayat ini termasuk salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya sebagai hujah terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat tempat hijrah beliau Saw., sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para pendeta mereka.
Demikian itu karena Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus yang terjadi antara beliau dan mereka, yakni kasus perselisihan. Seba-gaimana Allah memerintahkan kepada beliau agar mengajak golongan yang lain (yakni kaum Nasrani) —di saat mereka bertentangan dengannya dalam masalah Isa ibnu Maryam a.s. dan mereka berdebat dengan beliau mengenainya— untuk melerai hal ini melalui mubahalah antara beliau dan mereka.
Untuk itu dikatakan kepada golongan orang-orang Yahudi, "Jika kalian memang benar (dalam pengakuan kalian), maka inginilah kematian kalian. Karena sesungguhnya kematian itu tidak merugikan kalian jika kalian memang benar dalam pengakuan kalian yang menyatakan bahwa kalian beriman dan kedudukan kalian dekat dengan Allah Swt. Karena dengan kematian itu niscaya Allah akan segera memberikan apa yang kalian cita-citakan dan yang selama ini kalian dambakan itu. Karena sesungguhnya setelah kalian mati, kalian terbebas dari kepayahan hidup di dunia ini yang penuh dengan kekeruhan dan kelelahan di dalamnya; kemudian kalian beruntung memperoleh kedudukan di sisi Allah —yaitu di surga-Nya— jika perkaranya seperti apa yang kalian duga, bahwa kampung akhirat (surga) hanya khusus buat kalian, bukan kami. Tetapi jika kalian tidak mau melakukannya, maka orang-orang lain akan mengetahui bahwa kalianlah yang batal dan kamilah yang benar dalam pengakuan kami, serta ter-bukalah bagi mereka perkara kami dan kalian."
Maka orang-orang Yahudi itu menolak melakukan hal tersebut karena mereka mengetahui jika mereka mengingini kematian, niscaya mereka benar-benar binasa. Akibatnya akan lenyaplah dunia mereka, dan tempat mereka kembali kepada kehinaan selama-lamanya di ne-geri akhirat.
Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nasrani, mereka menolak diajak untuk ber-mubahalah oleh Nabi Saw. ketika mereka bertentangan dengan Nabi Saw. sehubungan dengan masalah Isa ibnu Maryam a.s.
Pendapat ini permulaannya memang baik, tetapi bagian terakhirnya masih perlu dipertimbangkan. Demikian itu karena yang tersimpul darinya tidak mengandung hujah terhadap mereka. Mengingat dapat saja dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kaitan antara keadaan mereka yang mengakui benar dalam dakwaannya dengan konsekuensinya yang menyatakan bahwa mereka harus mengingini kematian. Dengan kata lain, hubungan antara keberadaan kemaslahatan dan mengharapkan kematian bukan merupakan suatu kaitan yang lazim. Dikatakan demikian karena pada kenyataannya banyak orang saleh yang tidak mengharapkan kematian dirinya, dan bahkan ia menginginkan untuk diperpanjang usianya agar kebaikannya bertambah dan derajatnya di surga makin tinggi, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis:
"خَيْرُكُمْ مَنْ طَالَ عَمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ"
Sebaik-baik kalian ialah orang yang panjang usianya dan baik amalnya.
Alasan seperti ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk membalikkannya kepada kita, lalu mereka dapat saja mengatakan, "Sekarang kalian —kaum rnuslim— berkeyakinan bahwa kalian adalah ahli surga, sedangkan kalian sendiri tidak mengingini kematian dalam keadaan sehat. Mengapa kalian menetapkan kepada kami hal yang kalian sendiri tidak melakukannya?"
Semua itu hanyalah bersumber dari penafsiran ayat atas dasar pengertian ini. Adapun mengenai tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, sama sekali tidak memberikan pengertian seperti itu; bahkan perkataan yang ditujukan kepada mereka merupakan perkataan yang seadanya, yaitu: "Jika kalian berkeyakinan bahwa kalian adalah kekasih-kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain; dan bahwa kalian adalah anak-anak Allah serta kekasih-kekasih-Nya, serta kalian adalah ahli surga, sedangkan selain kalian adalah ahli neraka, maka ber-mubahalah-lah kalian untuk membuktikan hal tersebut. Berdoalah untuk kebinasaan orang-orang yang dusta dari kalangan kalian atau dari kalangan selain kalian. Ketahuilah bahwa mubahalah itu pasti akan membinasakan orang yang dusta!"
Setelah mereka merasa yakin akan hal tersebut dan mengetahui kebenaran Nabi Saw., maka mereka menolak ber-mubahalah, mengingat mereka merasa bahwa diri mereka dusta dan hanya bohong belaka. Mereka dengan sengaja menyembunyikan sifat dan ciri khas Rasulullah Saw., dan mereka mengetahui Rasulullah Saw. sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka sendiri secara pasti. Maka masing-masing mereka mengetahui kebatilan, kehinaan, kesesatan, dan keingkaran diri mereka; semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat.
Mubahalah ini diungkapkan oleh ayat ini dengan istilah tamanni, mengingat setiap orang yang merasa benar niscaya berharap semoga lawannya yang batil dibinasakan oleh Allah. Terlebih lagi jika hal tersebut mengandung hujah yang menampakkan dan membuktikan kebenaran pihaknya.
Mubahalah yang diajukan ialah mubahalah bersedia untuk mati, karena hidup bagi mereka sangat berharga dan diagungkan, mengingat mereka menyadari keburukan tempat kembali mereka sesudah mereka mati. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman: Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan (mereka) sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka manusia yang paling tamak kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 95-96)
Artinya, mereka adalah orang-orang yang paling menginginkan usia panjang, karena mereka mengetahui bahwa tempat kembali mereka sangat buruk dan akibat dari amal perbuatan mereka di hadapan Allah sangat merugi. Dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin, dan bagaikan surga bagi orang kafir. Mereka sangat menginginkan seandainya ditangguhkan dari kepastian hari akhirat, untuk itu mereka berupaya ke arah itu dengan semua kemampuan yang mereka kuasai. Akan tetapi, apa yang mereka takutkan dan mereka hindari itu pasti akan menimpa diri mereka; hingga mereka lebih tamak kepada kehidupan di dunia ketimbang orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki suatu kitab pun. Pengertian dan takwil ini termasuk ke dalam Bab "Mengaitkan hal yang Khusus kepada Hal yang Umum".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: bahkan (lebih loba lagi) daripada orang-orang musyrik. (Al-Baqarah: 96) Yang dimaksud dengan orang-orang musyrik adalah orang-orang Ajam, yakni selain orang Arab.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis As-Sauri. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Imam Hakim mengatakan bahwa keduanya telah sepakat (ittifaq) dalam sanad tafsir yang dikemukakan oleh sahabat.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, setamak-tamak manusia kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 96) Orang munafik adalah orang yang paling tamak kepada kehidupan dunia dan lebih tamak lagi daripada orang musyrik.
Masing-masing dari mereka ingin, yakni masing-masing dari orang-orang Yahudi menginginkan. Demikianlah maknanya menurut konteks ayat. Sedangkan menurut Abul Aliyah, makna 'masing-masing dari mereka ingin' adalah orang-orang Majusi. Pendapat ini sama dengan pendapat pertama tadi, yaitu agar diberi umur seribu tahun.
Al-A'masy meriwayatkan dari Muslim Al-Batui, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya:  Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Hal ini sama dengan perkataan seorang Persia, "Dah hazarsal," yang artinya sepuluh ribu tahun. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair sendiri.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq. Ia pernah mendengar ayahnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Maknanya sama dengan ucapan seorang Ajam (Persia), "Hazarsal nuruz wamahrajan," semoga usia sepuluh ribu tahun penuh dengan kegembiraan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) "Aku berharap semoga sepanjang usia mereka dipenuhi dengan dosa-dosa."
Mujahid ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96) Yakni hal tersebut tidak dapat menyelamatkannya dari siksa. Demikian itu karena orang musyrik tidak mengharapkan akan dibangkitkan kembali sesudah matinya, dia selalu mencintai hidup di dunia dalam usia yang panjang. Sedangkan seorang Yahudi telah mengetahui kehinaan apa yang bakal diterimanya kelak di akhirat, karena ia telah menyia-nyiakan ilmu yang ada pada dirinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96) Mereka yang berharap demikian adalah orang-orang (Yahudi) yang memusuhi Malaikat Jibril.
Abul Aliyah dan Ibnu Umar mengatakan sehubungan dengan tafsir firman ini, bahwa hal tersebut (usia panjang) tidak dapat menolongnya dari azab, tidak pula dapat menyelamatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan tafsir firman ini mengatakan bahwa orang Yahudi itu adalah setamak-tamak manusia kepada kehidupan di dunia daripada selain mereka. Orang-orang Yahudi ingin seandainya masing-masing dari mereka diberi umur seribu tahun, padahal usia panjang itu sama sekali tidak dapat menyelamatkan dirinya dari azab Allah. Seandainya dia diberi usia sebagaimana iblis, niscaya hal tersebut tiada manfaatnya bagi dirinya, mengingat dia adalah orang kafir.
{وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ}
Allah  Maha   Mengetahui  apa  yang  mereka  kerjakan.   (Al-Baqarah: 96)
Allah Mahawaspada lagi Maha Melihat semua yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, baik amal baik atau pun amal buruk; dan kelak setiap orang yang beramal akan menerima balasan yang setimpal karena perbuatannya.
{قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (97) مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ (98) }
Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir At-Tabari rahimahullah mengatakan bahwa semua ahlul 'ilmi telah sepakat dengan takwil berikut, bahwa ayat ini diturunkan sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi dari kalangan Bani Israil. Karena mereka mengatakan bahwa Malaikat Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Malaikat Mikail adalah teman mereka. Kemudian ahlul 'ilmi berselisih pendapat mengenai penyebab yang membuat mereka (orang-orang Yahudi) mengatakan kata-kata seperti itu. Menurut sebagian mereka, sesungguhnya penyebab yang membuat mereka mengatakan kata-kata seperti itu hanyalah sewaktu terjadi dialog antara mereka dengan Rasulullah Saw. mengenai perkara kenabian beliau Saw.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ بَهرام، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: حَضَرَتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْيَهُودِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، حَدِّثْنَا عَنْ خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ، لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَلُوا عَمَّا شِئْتُمْ، وَلَكِنِ اجعلوا لي ذِمَّةً وَمَا أَخَذَ يَعْقُوبُ عَلَى بَنِيهِ، لَئِنْ أَنَا حَدَّثْتُكُمْ شَيْئًا فَعَرَفْتُمُوهُ لتتابِعُنِّي عَلَى الْإِسْلَامِ". فَقَالُوا: ذَلِكَ لَكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ". فَقَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ أَرْبَعِ خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ: أَخْبَرْنَا أَيُّ الطَّعَامِ حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ؟ وَأَخْبِرْنَا كَيْفَ مَاءُ الْمَرْأَةِ وَمَاءُ الرَّجُلِ؟ وَكَيْفَ يَكُونُ الذَّكَرُ مِنْهُ وَالْأُنْثَى؟ وَأَخْبِرْنَا بِهَذَا النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ فِي النَّوْمِ وَوَلِيِّهِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ عَهْدَ اللَّهِ لَئِنْ أَنَا أَنْبَأْتُكُمْ لتتابعنِّي؟ " فَأَعْطَوْهُ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ عَهْدٍ وَمِيثَاقٍ. فَقَالَ: "نَشَدْتُكُمْ  بِالذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبَ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَطَالَ سَقَمُهُ مِنْهُ، فَنَذَرَ لِلَّهِ نَذْرًا لَئِنْ عَافَاهُ اللَّهُ مِنْ سَقَمِهِ لَيُحَرِّمَنَّ أَحَبَّ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ إِلَيْهِ، وَكَانَ أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَيْهِ لُحُومَ الْإِبِلِ وَأَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَيْهِ أَلْبَانَهَا؟ ". فَقَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ عَلَيْهِمْ. وَأَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هو، الذي أنزل التوراة على موسى، هل تَعْلَمُونَ أَنَّ مَاءَ الرَّجُلِ أَبْيَضُ غَلِيظٌ، وَأَنَّ مَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ رَقِيقٌ، فَأَيُّهُمَا عَلَا كَانَ لَهُ الْوَلَدُ وَالشَّبَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللَّهِ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ كَانَ الْوَلَدُ أُنْثَى بِإِذْنِ اللَّهِ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ". قَالَ: "وَأَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ هَذَا النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ تَنَامُ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ". قَالُوا: أَنْتَ الْآنَ، فَحَدِّثْنَا مَنْ وَلِيُّكَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَعِنْدَهَا نُجَامِعُكَ أَوْ نُفَارِقُكَ. قَالَ: "فَإِنَّ وَلِيِّي جِبْرِيلُ، وَلَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا وَهُوَ وليُّه". قَالُوا: فَعِنْدَهَا نُفَارِقُكَ، لَوْ كَانَ وَلِيُّكَ سِوَاهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ تَابَعْنَاكَ وَصَدَّقْنَاكَ. قَالَ: "فَمَا مَنَعكم أَنْ تُصَدِّقُوهُ؟ " قَالُوا: إِنَّهُ عَدُوُّنَا. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 103] فَعِنْدَهَا بَاؤُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Abul Qasim, ceritakanlah kepada kami beberapa perkara yang akan kami tanyakan kepadamu. Perkara-perkara tersebut tiada yang mengetahuinya kecuali seorang nabi." Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bertanyalah tentang semua yang kalian sukai, tetapi berjanjilah kalian kepadaku sebagaimana apa yang diambil oleh Ya'qub dari anak-anaknya, sebagai jaminan untukku. Jika aku benar-benar menceritakan kepada kalian tentang sesuatu hal, lalu kalian mengetahuinya, maka kalian benar-benar mau mengikutiku dan masuk Islam?" Mereka menjawab, "Baiklah, kami ikuti kemauanmu." Rasul Saw. bersabda, "Bertanyalah kalian tentang apa yang kalian sukai." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang empat perkara yang akan kami ajukan sebagai pertanyaan kepadamu. Ceritakanlah kepada kami, rnakanan apakah yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya'qub) terhadap dirinya sebelum kitab Taurat diturunkan? Sebutkanlah kepada kami bagaimanakah rupa air mani laki-laki dan air mani perempuan, dan bagaimana bisa terjadi darinya anak laki-laki dan anak perempuan. Dan ceritakanlah kepada kami tentang nabi yang ummi dalam kitab Taurat, serta siapakah yang menjadi kekasihnya dari kalangan para malaikat?" Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian atas nama Allah, jika aku dapat menceritakannya kepada kalian, maka kalian benar-benar akan mengikutiku." Maka mereka memberikan kepada Nabi Saw. ikrar dan janjinya. Lalu Nabi Saw. bersabda: "Aku bertanya kepada kalian atas nama Tuhan Yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah kalian mengetahui bahwa Israil—yakni Ya'qub—pernah mengalami sakit keras yang memakan waktu cukup lama. Lalu ia bernazar kepada Allah, seandainya Allah menyembuhkannya dari penyakit yang dideritanya itu, maka ia akan mengharamkan bagi dirinya makanan dan minuman yang paling ia sukai. Makanan yang paling ia sukai ialah daging unta, dan minuman yang paling disukainya ialah air susu unta" Mereka menjawab, "Ya Allah, benar" Rasulullah Saw. bersabda, "Ya Allah, persaksikanlah atas diri mereka. Aku mau bertanya kepada kalian dengan nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian mengetahui bahwa air mani laki-laki itu rupanya kental lagi putih, sedangkan air mani perempuan encer berwarna kuning. Maka mana saja di antara keduanya yang dapat mengalahkan yang lain, maka kelak anaknya akan seperti dia dan mirip kepadanya dengan seizin Allah Swt. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani perempuan, maka anaknya adalah laki-laki dengan seizin Allah. Dan apabila air mani perempuan dapat mengalahkan air mani laki-laki, maka kelak anaknya bakal perempuan dengan seizin Allah." Mereka menjawab, "Ya Allah, memang benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Ya Allah, persaksikanlah atas mereka. Dan aku bertanya kepada kalian, demi Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian mengetahui bahwa nabi yang ummi ini kedua matanya tidur, tetapi hatinya tidak tidur? Mereka menjawab, "Ya Allah, benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Ya Allah, persaksikanlah atas mereka." Mereka berkata, "Sekarang engkau harus menceritakan kepada kami siapakah kekasihmu dari kalangan para malaikat. Jawaban inilah yang menentukan apakah kami akan bergabung denganmu ataukah berpisah denganmu." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya kekasihku adalah Jibril, tidak sekali-kali Allah mengutus seorang nabi melainkan dia selalu bersamanya." Mereka berkata, "Inilah yang menyebabkan kami berpisah denganmu. Seandainya kekasihmu itu selainnya dari kalangan para malaikat, maka kami akan mengikuti dan percaya kepadamu." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah gerangan yang mencegah kalian untuk percaya kepadanya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya —sampai dengan firman-Nya— kalau mereka mengetahui (Al-Baqarah: 97-102)." Maka saat itu mereka kembali dengan mendapat murka di atas kemurkaan yang telah ada pada pundak mereka.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad melalui Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, dan Abdur Rahman ibnu Humaid di dalam kitab tafsir melalui Ahmad ibnu Yunus. Keduanya telah meriwayatkan hadis ini dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula melalui Al-Husain ibnu Muhammad Al-Mawarzi, dari Abdul Hamid, dengan lafaz yang sama.
وَقَدْ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، فَذَكَرَهُ مُرْسَلًا وَزَادَ فِيهِ: قَالُوا: فَأَخْبِرْنَا عن الروح قال: "أنشدكم بالله وبآياته عِنْدَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ جِبْرِيلُ، وَهُوَ الذِي يَأْتِينِي؟ " قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ لَنَا عَدُوٌّ، وَهُوَ مَلَكٌ إِنَّمَا يَأْتِي بِالشِّدَّةِ وَسَفْكِ الدِّمَاءِ، فَلَوْلَا ذَلِكَ اتَّبَعْنَاكَ  . فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 101] .
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar meriwayatkannya pula seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain, dari Syahr ibnu Hausyab, lalu ia mengetengahkannya secara mursal. Akan tetapi, di dalam riwayatnya ini ditambahkan bahwa mereka (orang-orang Yahudi itu) bertanya, "Maka ceritakanlah kepada kami tentang Ar-Ruh." Lalu Rasulullah Saw. menjawab: "Aku bertanya kepada kalian demi nama Allah dan hari-hari-Nya bersama Bani Israil. Tahukah kalian bahwa Ar-Ruh itu adalah Jibril, dialah yang selalu datang kepadaku" Mereka menjawab, "Ya Allah, benar, tetapi dia adalah musuh kami. Sesungguhnya dia adalah malaikat yang hanya mendatangkan kekerasan dan mengalirkan darah. Seandainya bukan dia, niscaya kami akan mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, Barang siapa yang menjadi musuh Jibril —sampai dengan firman-Nya— kalau mereka mengetahui" (Al-Baqarah: 97-102)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْعِجْلِيُّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَقْبَلَتْ يَهُودُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، إِنَّا نَسْأَلُكَ عَنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ، فَإِنْ أَنْبَأْتَنَا بِهِنَّ عَرَفْنَا أَنَّكَ نَبِيٌّ وَاتَّبَعْنَاكَ. فَأَخَذَ عَلَيْهِمْ مَا أَخَذَ إِسْرَائِيلُ عَلَى بَنِيهِ إِذْ قَالَ: {اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ} [يُوسُفَ:66] قَالَ: "هَاتُوا". قَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ عَلَامَةِ النَّبِيِّ. قَالَ: "تَنَامُ عَيْنَاهُ ولا ينام قلبه". قالوا: أخبرنا كيف تؤنث الْمَرْأَةُ وَكَيْفَ يُذْكَّرُ الرَّجُلُ؟ قَالَ: "يَلْتَقِي الْمَاءَانِ فَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ أَذْكَرَتْ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ أَنَّثَتْ"، قَالُوا: أَخْبِرْنَا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ. قَالَ: "كَانَ يَشْتَكِي عِرْق النَّساء، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يُلَائِمُهُ إِلَّا أَلْبَانَ كَذَا وَكَذَا" -قَالَ أَحْمَدُ: قَالَ بَعْضُهُمْ: يَعْنِي الْإِبِلَ، فَحَرَّمَ لُحُومَهَا -قَالُوا: صَدَقْتَ. قَالُوا: أَخْبِرْنَا مَا هَذَا الرَّعْدُ؟ قَالَ "مَلَكٌ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ بِيَدَيْهِ-أَوْ فِي يَدِهِ-مِخْراق مِنْ نَارٍ يَزْجُرُ بِهِ السَّحَابَ، يَسُوقُهُ حَيْثُ أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ". قَالُوا: فَمَا هَذَا الصَّوْتُ الذِي نَسْمَعُهُ؟ قَالَ: "صَوْتُهُ". قَالُوا: صَدَقْتَ. إنما بقيت واحدة وهي التي نتابعك إن أَخْبَرْتَنَا  إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَلَهُ مَلَك يَأْتِيهِ بِالْخَبَرِ، فَأَخْبِرْنَا مَنْ صَاحِبُكَ؟ قَالَ: "جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ"، قَالُوا: جِبْرِيلُ ذَاكَ الذِي يَنْزِلُ بِالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ وَالْعَذَابِ عَدُوُّنَا، لَوْ قُلْتَ: ميكائيل الذي ينزل بالرحمة والنبات والقطر لكان فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Al-Ajali, dari Bukair ibnu Syihab, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang Yahudi menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Abul Qasim, ceritakanlah kepada kami tentang lima perkara; karena sesungguhnya jika engkau menceritakannya kepada kami, maka kami mengetahui bahwa engkau adalah seorang nabi dan kami akan mengikutimu." Maka Nabi Saw. mengambil janji terhadap mereka sebagaimana apa yang pernah diambil oleh Israil (Ya'qub) terhadap anak-anaknya, yaitu ketika dia mengatakan, "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)." Rasul Saw. bersabda, "Kemukakanlah oleh kalian." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang pertanda nabi." Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua matanya tertidur, tetapi hatinya tidak tidur." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami, bagaimanakah anak itu lahir perempuan dan bagaimanakah pula lahir laki-laki?" Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua air mani bertemu; apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anaknya akan lahir laki-laki. Dan apabila air mani perempuan mengalahkan air mani laki-laki, maka anaknya akan perempuan." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami apa yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub) terhadap dirinya sendiri?" Rasulullah Saw. menjawab, "Pada mulanya dia menderita suatu penyakit yang parah (irqun nisa), maka dia tidak menemukan sesuatu yang lebih layak baginya (sebagai nazarnya jika ia sembuh) kecuali air susu ternak anu —Imam Ahmad mengatakan bahwa sebagian dari mereka mengatakan, yang dimaksud adalah ternak unta— maka dia mengharamkan dagingnya (untuk dirinya sendiri)." Mereka berkata, "Engkau benar." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami apakah guruh itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Salah satu malaikat Allah Swt. yang ditugaskan untuk mengatur awan dengan kedua tangannya, atau di tangannya ia memegang sebuah cemeti api yang ia gunakan untuk menggiring awan menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt." Mereka bertanya, "Lalu apakah suara yang biasa kita dengar dari guruh itu? Rasulullah Saw. menjawab, "Suara malaikat itu." Mereka menjawab, "Engkau benar." Mereka berkata, "Sesungguhnya kini tinggal satu pertanyaan lagi yang menentukan apakah kami akan mengikutimu jika kamu dapat menceritakannya. Sesungguhnya tiada seorang nabi pun melainkan berteman dengan malaikat yang selalu datang kepadanya membawa kebaikan (wahyu). Maka ceritakanlah kepada kami, siapa teman malaikatmu itu? Rasul Saw. menjawab, "Jibril a.s." Mereka berkata, "Jibril, dia adalah malaikat yang selalu turun dengan membawa peperangan, pembunuhan, dan azab; dia adalah musuh kami, Seandainya engkau katakan Mikail yang biasa menurunkan rahmat, hujan, dan tetumbuhan, niscaya kami akan mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah'..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Abdullah ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan garib.
وَقَالَ سُنَيْد فِي تَفْسِيرِهِ، عَنْ حَجَّاجِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج: أخبرني القاسم بن أبي بَزَّة أَنَّ يَهُودَ سَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَاحِبِهِ الذِي يَنْزِلُ عَلَيْهِ بِالْوَحْيِ. قَالَ: "جِبْرِيلُ". قَالُوا: فَإِنَّهُ لَنَا عَدُوٌّ، وَلَا يَأْتِي إِلَّا بِالشِّدَّةِ وَالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ. فَنَزَلَ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ} الْآيَةَ.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Hajjah ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Buzzah: Bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw. tentang temannya yang biasa menurunkan wahyu kepadanya. Maka beliau Saw. menjawab, "Jibrail" Mereka berkata, "Sesungguhnya dia adalah musuh kami. Tiada yang ia datangkan kecuali hanya perang, kekerasan, dan pembunuhan." Lalu turunlah ayat berikut: "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril ..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Ibnu Jarir mengatakan, Mujahid telah menceritakan hadis berikut: Orang-orang Yahudi berkata, "Hai Muhammad, tiada yang dibawa oleh Jibril melainkan hanya kekerasan, perang, dan pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka turunlah ayat ini, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril ..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Imam Bukhari meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril. (Al-Baqarah: 97) Menurut Ikrimah, lafaz jabra, mik, dan israf artinya menurut bahasa Arab adalah abdun (hamba), sedangkan lil artinya Allah.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنير سَمِع عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بَكْرٍ حدثنا حُمَيد، عن أنس بن مالك، قَالَ: سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ بِمَقْدَمِ رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو فِي أَرْضٍ يَخْتَرِفُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ ثَلَاثٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ: مَا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ؟ وَمَا أَوَّلُ طَعَامِ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ وَمَا يَنْزِعُ الْوَلَدُ إِلَى أَبِيهِ أَوْ إِلَى أُمِّهِ؟ قَالَ: "أَخْبَرَنِي بِهن جِبْرِيلُ آنِفًا". قَالَ: جِبْرِيلُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: ذَاكَ عَدُوُّ الْيَهُودِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ} "أَمَّا أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ، وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبِدِ الْحُوتِ، وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ نَزَعَ الْوَلَدُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الْمَرْأَةِ [مَاءَ الرَّجُلِ نَزَعَتْ". قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ. يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُت، وَإِنَّهُمْ إِنْ يَعْلَمُوا بِإِسْلَامِي قَبْلَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ يَبْهَتُونِي. فَجَاءَتِ الْيَهُودُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ رَجُلٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ فِيكُمْ؟ " قَالُوا: خَيْرُنَا وَابْنُ خَيْرِنَا، وَسَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا. قَالَ: "أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَسْلَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ". فَقَالُوا: أَعَاذَهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ. فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالُوا: شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا. فَانْتَقَصُوهُ. قَالَ هَذَا الذِي كُنْتُ أَخَافُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Munir yang pernah mendengar Abdullah ibnu Bakr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan hadis berikut: Abdullah ibnu Salam mendengar kedatangan Nabi Saw. (di Madinah). Ketika itu ia sedang membajak lahannya, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, "Sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu tentang tiga perkara, tiada yang mengetahuinya kecuali seorang nabi. Apakah tanda-tanda hari kiamat itu, apakah makanan yang mula-mula dimakan oleh ahli surga, dan apakah yang menyebabkan seorang anak mirip kepada ayahnya atau ibunya?'' Nabi Saw. menjawab, "Tadi Jibril baru saja menceritakannya kepadaku." Abdullah ibnu Salam berkata, "Jibril?" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Salam berkata, "Dia adalah musuh orang-orang Yahudi dari kalangan para malaikat." Maka Nabi Saw. membacakan ayat ini, yaitu: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu" (Al-Baqarah: 97). Adapun pertanda hari kiamat ialah munculnya api yang menggiring manusia dari arah timur menuju ke arah barat. Adapun makanan yang mula-mula dimakan oleh ahli surga, maka ia adalah lebihan dari hati ikan paus. Dan apabila air mani laki-laki mendahului air mani perempuan, maka si anak kelak akan menyerupainya. Dan apabila air mani perempuan mendahului air mani laki-laki, maka kelak anaknya akan mirip dengannya." Abdullah ibnu Salam berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu adalah kaum yang suka mendustakan, dan sesungguhnya jika mereka mengetahui aku masuk Islam sebelum engkau bertanya kepada mereka, nanti mereka akan mendustakan diriku." Maka datanglah orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka, "Apakah kedudukan Abdullah ibnu Salam di antara kalian!" Mereka menjawab, "Dia orang terbaik dari kalangan kami dan anak orang terbaik kami. Dia adalah penghulu kami dan anak penghulu kami." Nabi Saw. bertanya, "Bagaimanakah menurut kalian jika dia masuk Islam!" Mereka menjawab, "Semoga Allah menghindarkannya dari itu." Kemudian keluarlah Abdullah dan berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah." Maka mereka berkata, "Dia paling buruk di antara kami, anak orang yang paling buruk dari kami" dan mereka terus mencelanya. Maka berkatalah Abdullah ibnu Salam, "Inilah yang aku khawatirkan, wahai Rasulullah"
Imam Bukhari menyendiri dengan sanad ini, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) mengetengahkannya dari jalur yang lain melalui sahabat Anas dengan lafaz yang semisal. Di dalam kitab Sahih Muslim terdapat hadis yang maknanya mendekati makna hadis ini, diriwayatkan melalui Sauban maula Rasulullah Saw., seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya.
Riwayat Imam Bukhari —seperti yang disebutkan di atas melalui Ikrimah—merupakan riwayat yang masyhur, yaitu yang mengatakan bahwa lil artinya Allah. Hal ini diriwayatkan pula oleh Sufyan As-Sauri, dari Khasif, dari Ikrimah. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Ibrahim ibnul Hakam, dari ayah-nya, dari Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Yazid At-Tah-han, dari Ishaq ibnu Mansur, dari Qais ibnu Asim, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Jibril menurut bahasa Arab artinya Abdullah (hamba Allah) dan Mikail sama artinya dengan Abdullah (hamba Allah), karena lafaz lil menurut bahasa Arab artinya Allah. Hal semisal diriwayatkan oleh Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh sejumlah ulama salaf, seperti yang akan diterangkan berikut ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lil artinya abdun (hamba), sedangkan kalimat yang lainnya artinya nama Allah, mengingat nama lil tidak berubah pada kesemua itu, maka wazan-nya sama dengan nama-nama seperti Abdullah, Abdur Rahman, Abdul Malik, Abdul Quddus, Abdus Salam, Abdul Kafi, dan Abdul Jalil. Lafaz abdun ada dalam semua nama tersebut, sedangkan nama yang di-mudaf-kan kepadanya berbeda-beda. Hal yang sama terjadi pula pada lafaz Jabrail, Mikail, Azrail, Israfil, dan lain-lainnya yang sejenis. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam bahasa Arab terdapat perbedaan, selalu mendahulukan mudaf ilaih daripada mudaf-nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya berpendapat bahwa penyebab yang membuat mereka (orang-orang Yahudi) mengatakan hal tersebut (seperti yang disebut di dalam surat Al-Baqarah ayat 97) ialah ketika terjadi dialog antara mereka dengan sahabat Umar ibnul Khattab tentang perihal Nabi Saw.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمَثْنَى، حَدَّثَنِي رِبْعِيُّ بْنُ عُلَيّة، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: نَزَلَ عُمَرُ الرَّوْحَاءَ، فَرَأَى رِجَالًا يَبْتَدِرُونَ أَحْجَارًا يُصَلُّونَ إِلَيْهَا، فَقَالَ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قَالُوا: يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم صَلَّى هَاهُنَا. قَالَ: فَكَفَرَ ذَلِكَ. وَقَالَ: إِنَّمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ بِوَادٍ صَلَّاهَا ثُمَّ ارْتَحَلَ، فَتَرَكَهُ. ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُمْ، فَقَالَ: كُنْتُ أَشْهَدُ الْيَهُودَ يَوْمَ مِدْرَاسهم فَأَعْجَبُ مِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ وَمِنَ الْفُرْقَانِ كَيْفَ يُصَدِّقُ التَّوْرَاةَ؟ فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ، قَالُوا: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، مَا مِنْ أَصْحَابِكَ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْكَ. قُلْتُ: وَلِمَ ذَلِكَ؟ قَالُوا: إِنَّكَ تَغْشَانَا وَتَأْتِينَا. فَقُلْتُ: إِنِّي آتِيكُمْ فَأَعْجَبُ مِنَ الْفُرْقَانِ  كَيْفَ يُصَدِّقُ التَّوْرَاةَ، وَمِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ. قَالَ: وَمَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، ذَاكَ صَاحِبُكُمْ فَالْحَقْ بِهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ: نَشَدْتُكُمْ بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، وَمَا اسْتَرْعَاكُمْ مِنْ حَقِّهِ وَاسْتَوْدَعَكُمْ مِنْ كِتَابِهِ: أَتَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: فَسَكَتُوا. فَقَالَ لَهُمْ عَالِمُهُمْ وَكَبِيرُهُمْ: إِنَّهُ قَدْ غَلَّظ عَلَيْكُمْ فَأَجِيبُوهُ. فَقَالُوا: فَأَنْتَ عَالِمُنَا وَكَبِيرُنَا فَأَجِبْهُ أَنْتَ. قَالَ: أَمَا إِذْ نَشَدْتَنَا بِمَا نَشَدْتَنَا بِهِ فَإِنَّا نَعْلَمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: قُلْتُ: وَيَحْكُمُ فأنَّي هَلَكْتُمْ؟! قَالُوا إِنَّا لَمْ نَهْلَكْ [قَالَ]: قُلْتُ: كَيْفَ ذَلِكَ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ [ثُمَّ] وَلَا تَتْبَعُونَهُ وَلَا تُصَدِّقُونَهُ؟ قَالُوا: إِنَّ لَنَا عَدُوًّا مِنَ الْمَلَائِكَةِ وسِلْمًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَإِنَّهُ قُرِنَ بِنُبُوَّتِهِ عَدُوُّنَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ. قَالَ: قُلْتُ: وَمَنْ عَدُوُّكُمْ وَمَنْ سِلْمُكُمْ؟ قَالُوا: عَدُوُّنَا جِبْرِيلُ، وَسِلْمُنَا مِيكَائِيلُ. قَالَ: قُلْتُ: وَفِيمَ عَادَيْتُمْ جِبْرِيلَ، وَفِيمَ سَالَمْتُمْ مِيكَائِيلَ؟ قَالُوا: إِنَّ جِبْرِيلَ مَلَك الْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ وَالْإِعْسَارِ وَالتَّشْدِيدِ وَالْعَذَابِ وَنَحْوِ هَذَا، وَإِنَّ مِيكَائِيلَ مَلَكُ الرَّأْفَةِ والرحمة والتخفيف ونحو هذا. قَالَ: قُلْتُ: وَمَا مَنْزِلَتُهُمَا مِنْ رَبِّهِمَا عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالُوا: أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخُرُ عَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: قُلْتُ: فَوَ [اللَّهِ] الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، إِنَّهُمَا وَالذِي بَيْنَهُمَا لَعَدُوٌّ لِمَنْ عَادَاهُمَا وَسِلْمٌ لِمَنْ سَالَمَهُمَا وَمَا يَنْبَغِي لِجِبْرِيلَ أَنْ يُسَالِمَ عَدُوَّ مِيكَائِيلَ وَمَا يَنْبَغِي لِمِيكَائِيلَ أَنْ يُسَالِمَ عَدُوَّ جِبْرِيلَ. ثُمَّ قُمْتُ فَاتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَحِقْتُهُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْ خَوْخة لِبَنِي فُلَانٍ، فَقَالَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أَلَا أُقْرِئَكَ آيَاتٍ نَزَلْنَ قَبْلُ؟ " فَقَرَأَ عَلِيَّ: {مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ} حَتَّى قَرَأَ هَذِهِ الْآيَاتِ. قَالَ: قُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَالذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ جِئْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخْبِرَكَ، فَأَسْمَعُ اللَّطِيفَ الْخَبِيرَ قَدْ سَبَقَنِي إِلَيْكَ بِالْخَبَرِ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Rab'i ibnu Ulayyah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang menceritakan hadis berikut: Umar turun istirahat di Rauha, ia melihat banyak kaum lelaki berebutan menuju bebatuan yang akan mereka pakai untuk tempat salat. Ia berkata, "Apakah gerangan yang mereka lakukan itu?" Mereka berkata, "Mereka menduga bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan salat di tempat tersebut." Maka Umar ibnul Khattab mengingkari (memprotes)nya dan mengatakan, "Kapan saja Rasulullah Saw. menjumpai waktu salat di lembah mana pun, beliau salat di tempat itu, kemudian berangkat meninggalkannya." Kemudian Umar menceritakan sebuah hadis kepada mereka (kaum muslim), "Dahulu aku sering menyaksikan orang-orang Yahudi di hari kebaktian mereka, aku merasa kagum terhadap kitab Taurat karena ia membenarkan Al-Qur'an. Aku kagum pula terhadap Al-Qur'an yang juga membenarkan Taurat. Ketika di suatu hari aku berada di antara mereka, mereka berkata, 'Hai Ibnul Khattab, tiada seorang. pun di antara teman-temanmu yang paling aku senangi selain engkau sendiri.' Aku bertanya, 'Mengapa demikian?' Mereka menjawab, 'Karena engkau sering berkumpul dengan kami dan selalu datang kepada kami.' Aku menjawab, 'Aku selalu datang kepada kalian karena aku merasa kagum kepada Al-Qur'an, bagaimana ia membenarkan kitab Taurat; kagum pula kepada Taurat, bagaimana ia membenarkan Al-Qur'an.' Mereka berkata, (yang saat itu Rasulullah Saw. sedang lewat), 'Hai Ibnul Khattab, itulah sahabatmu, maka bergabunglah dengannya'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Maka aku berkata kepada mereka saat itu juga, 'Aku meminta kepada kalian demi nama Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, dan demi apa yang kalian pelihara dari hak-nya serta demi apa yang dititipkan kepada kalian dari kitabnya, apakah kalian mengetahui bahwa dia adalah utusan Allah?'." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mereka diam, tidak menjawab. Lalu salah seorang yang paling alim dari kalangan mereka —yang juga sebagai pembesar mereka— mengatakan, "Sesungguhnya hal itu terasa berat bagi kalian, tetapi kalian harus menjawabnya." Ternyata mereka balik bertanya, "Engkau adalah orang yang paling alim dan paling terhormat di kalangan kami, jawablah olehmu sendiri." Ia berkata, "Apabila kalian meminta kepadaku seperti apa yang kalian minta, maka sesungguhnya aku mengetahui bahwa beliau adalah utusan Allah." Aku (Umar) berkata, "Celakalah kalian, kalau demikian kalian binasa." Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami masih belum binasa." Aku (Umar) berkata, "Mengapa bisa terjadi, kalian mengetahui bahwa dia adalah utusan Allah, sedangkan kalian tidak mau mengikutinya, tidak pula percaya kepadanya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mempunyai musuh dari kalangan para malaikat, juga mempunyai teman dari kalangan mereka. Sesungguhnya dia ditemani dalam kenabiannya oleh musuh kami dari kalangan para malaikat." Aku bertanya, "Siapakah musuh dan teman kalian itu?" Mereka menjawab, "Musuh kami adalah Jibril, dan teman kami adalah Mikail." Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Jibril adalah malaikat yang bengis, kasar, sulit, keras, dan tukang menyiksa atau hal yang semisal dengan itu. Sesungguhnya Mikail adalah malaikat rahmat, lembut lagi ringan atau hal yang semacam itu." Aku bertanya, "Apakah kedudukan keduanya di sisi Rabbnya?" Mereka menjawab, "Salah seorang darinya berada di sebelah kanan-Nya dan yang lainnya berada di sebelah kiri-Nya." Maka aku berkata, "Demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya keduanya dan Tuhan yang mereka berdua berada di kedua sisi-Nya benar-benar memusuhi orang-orang yang memusuhi keduanya dan berdamai dengan orang-orang yang damai dengan keduanya. Tidak layak bagi Malaikat Jibril berdamai dengan musuh Malaikat Mikail, dan tidak layak pula bagi Mikail berdamai dengan musuh Malaikat Jibril." Kemudian aku bangkit dan mengikuti Nabi Saw. hingga aku dapat menyusulnya. Pada saat itu beliau baru keluar dari rumah kecil Bani Fulan, lalu beliau Saw. bersabda, "Hai Ibnul Khattab, maukah aku bacakan kepadamu beberapa ayat yang baru saja diturunkan kepadaku?" Kemudian beliau membacakan ayat-ayat berikut kepadaku, yaitu: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hati kalian dengan seizin Allah. (Al-Baqarah: 97) Beliau Saw. membaca pula beberapa ayat sesudahnya. Aku berkata, "Ayah dan ibuku kujadikan sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya aku sendiri datang untuk menceritakan hal itu kepadamu, tetapi aku mendengar bahwa Tuhan Yang Mahalembut lagi Mahaperiksa telah mendahuluiku kepadamu dengan membawa kebaikan."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir yang menceritakan bahwa sahabat Umar berangkat menuju kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Aku meminta kepada kalian dengan nama Tuhan Yang menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian menemukan Muhammad di dalam kitab-kitab kalian?" Mereka menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi kalian untuk mengikutnya?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengutus seorang rasul melainkan menjadikan baginya teman dari kalangan para malaikat. Sesungguhnya Jibril adalah teman Muhammad, dialah yang selalu datang kepadanya. Tetapi dia adalah malaikat yang menjadi musuh kami, sedangkan Malaikat Mikail adalah teman kami. Seandainya Mikail yang selalu datang kepadanya, niscaya kami masuk Islam." Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya aku bertanya kepada kalian dengan nama Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, apakah kedudukan keduanya di sisi Allah Swt.?" Mereka menjawab, "Jibril berada di sebelah kanan-Nya dan Mikail berada di sebelah kiri-Nya." Umar berkata, "Sesungguhnya aku bersaksi bahwa keduanya tidak akan turun (ke bumi) kecuali dengan seizin Allah, dan Mikail tidak akan berdamai dengan musuh Jibril, Jibril tidak akan berdamai dengan musuh Mikail." Ketika Umar berada bersama mereka (orang-orang Yahudi), tiba-tiba lewatlah Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Inilah temanmu, hai Ibnul Khattab." Maka Umar bangkit menuju ke arahnya dan datang menghadap kepadanya, sedangkan saat itu Allah Swt. telah menurunkan firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Kedua sanad riwayat ini menunjukkan bahwa Asy-Sya'bi menceritakannya dari Umar r.a., tetapi di dalamnya terdapat inqita' (rentetan sanad yang terputus) antara Asy-Sya'bi dan Umar r.a. karena Asy-Sya'bi tidak menjumpai zaman sahabat Umar r.a.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah yang menceritakan, telah diceritakan kepada kami bahwa di suatu hari Umar ibnul Khattab pernah berangkat menuju tempat orang-orang Yahudi. Ketika ia sampai di kalangan mereka, mereka menyambutnya dengan sambutan yang hangat. Maka Umar r.a. berkata kepada mereka, "Ingatlah, demi Allah, tidak sekali-kali aku datang kepada kalian karena terdorong suka kepada kalian, tidak pula karena berharap kepada kalian, tetapi aku datang kepada kalian untuk mendengar langsung dari kalian." Lalu Umar bertanya kepada mereka, dan mereka bertanya kepadanya, "Siapakah teman kalian (dari kalangan malaikat)?" Umar menjawab, "Jibril." Mereka berkata, "Dia adalah musuh kami dari kalangan penduduk langit, dialah yang memperlihatkan kepada Muhammad rahasia kami. Apabila ia datang, maka yang didatangkannya adalah peperangan dan kelaparan. Tetapi teman kami adalah Mikail; apabila dia datang, yang didatangkannya adalah kesuburan dan kedamaian." Umar berkata kepada mereka, "Mengapa kalian mengakui Jibril, tetapi mengingkari Muhammad Saw.?" Sejak saat itu Umar pergi meninggalkan mereka dan menuju ke arah Nabi Saw. untuk menceritakan kepada beliau apa yang telah diceritakan oleh mereka. Tetapi ternyata ia menjumpai beliau dalam keadaan telah menerima wahyu ayat-ayat berikut: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah. (Al-Baqarah: 97), hingga beberapa ayat sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadanya Al-Musan-na, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah sampai kepada kami bahwa di suatu hari sahabat Umar datang me-nemui orang-orang Yahudi. Kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis yang semisal dengan hadis di atas hingga selesai.
Di dalam riwayat ini terdapat nama Adam, dia berpredikat munqati pula. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Asbat, dari As-Saddi, dari Umar dengan mak-na yang sama atau yang semisal dengannya, tetapi riwayat ini pun berpredikat munqati.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ad-Dustuli), telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, bahwa seorang Yahudi menemui sahabat Umar ibnul Khattab, lalu orang Yahudi itu berkata, "Sesungguhnya Jibril yang disebut oleh teman kalian (Nabi Muhammad Saw.) adalah musuh kami." Maka sahabat Umar r.a. membacakan firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Dengan kata lain, ayat ini diturunkan bertepatan dengan perkataan yang dikatakan oleh lisan sahabat Umar r.a. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku Hasyim, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Abdur Rahman, dari Ibnu Abu Laila sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril..., hingga akhir, ayat (Al-Baqarah: 97). Dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada kaum muslim, "Seandainya malaikat yang turun kepada kalian adalah Mikail, niscaya kami akan mengikuti kalian. Karena sesungguhnya Malaikat Mikail itu selalu turun membawa rahmat dan hujan, dan sesungguhnya Jibril selalu turun membawa azab dan pembalasan. Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Ibnu Jarir mengatakan lalu turunlah ayat ini.
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, dari Ata hal yang semisal.
Abdur Razzaq menceritakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 97). Bahwa orang-orang Yahudi pernah mengatakan, "Sesungguhnya Jabrail adalah musuh kami, karena sesungguhnya dia turun hanya dengan membawa kekerasan dan kelaparan. Dan sesungguhnya Mikail selalu turun membawa kemakmuran, kesehatan, dan kesuburan. Jabrail adalah musuh kami." Lalu Allah Swt. berfirman menurunkan ayat ini.
*************
Mengenai tafsir firman-Nya:
{قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hati kalian dengan seizin Allah. (Al-Baqarah: 97)
Artinya, barang siapa yang memusuhi Malaikat Jabrail, ketahuilah bahwa dia adalah Ruh (malaikat) Al-Amin (yang dipercaya oleh Allah Swt.). Dialah yang membawa turun Al-Qur'an yang bijaksana ke dalam hatimu dari Allah dengan seizin-Nya. Dia adalah utusan Allah dari kalangan para malaikat; dan barang siapa yang memusuhi utusan, berarti dia memusuhi semua utusan. Sama halnya orang yang beriman kepada seorang rasul, sesungguhnya ia pasti beriman kepada semua rasul, sebagaimana orang yang kafir kepada seorang rasul, berarti dia kafir kepada semua rasul. Sama halnya dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)." (An-Nisa: 150), hingga kedua ayat berikutnya.
Di dalamnya diputuskan terhadap mereka sebagai orang-orang kafir yang sesungguhnya, jika mereka beriman kepada sebagian para rasul dan kafir kepada sebagian yang lainnya. Demikian pula perihal orang yang memusuhi Malaikat Jibril, sesungguhnya orang tersebut adalah musuh Allah. Dikatakan demikian karena sesungguhnya tidak sekali-kali Malaikat Jibril turun dengan membawa perintah dari dirinya sen-diri, melainkan dia turun dengan membawa perintah Tuhannya, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
{وَمَا نَتَنزلُ إِلا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا}
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhan-mu. (Maryam: 64)
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ* نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ}
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dan dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (Asy-Syu'ara: 192-194)
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti dia menantangku terang-terangan untuk berperang.
Karena itu, Allah murka terhadap setiap orang yang memusuhi Malaikat Jibril.
****************
Allah Swt. berfirman:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 97)
Ma baina yadaihi, yakni kitab-kitab sebelumnya.
Hudan, petunjuk bagi hati mereka.
Busyra, berita gembira bagi mereka bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Dan Al-Qur'an itu tiada lain hanyalah bagi orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan oleh firman lainnya, yaitu:
{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ}
Katakanlah, "Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman"..., hingga akhir ayat, (Fushshilat: 44).
{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا}
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-Isra: 82)
**************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Melalui ayat ini Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang memusuhi-Ku, para malaikat-Ku, dan rasul-rasul-Ku," yang termasuk ke dalam pengertiannya semua utusan —baik dari kalangan malaikat ataupun manusia— seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلائِكَةِ رُسُلا وَمِنَ النَّاسِ}
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. (Al-Hajj: 75)
Barang siapa yang memusuhi Jibril dan Mikail", kalimat ini termasuk ke dalam Bab "Ataf Khusus kepada Umum", karena sesungguhnya keduanya adalah malaikat yang termasuk ke dalam pengertian umum semua rasul (utusan). Kemudian keduanya disebutkan lagi secara khusus karena konteks pembicaraan berkaitan dengan membela Jibril yang merupakan duta di antara Allah dan nabi-nabi-Nya. Penyebutan Jibril dibarengi dengan penyebutan Mikail, karena orang-orang Yahudi menduga bahwa Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Mikail kekasih mereka; maka Allah mempermaklumatkan kepada mereka bahwa barang siapa yang menjadi musuh salah satu dari kedua malaikat tersebut, berarti menjadi musuh pula bagi yang lain, juga menjadi musuh Allah. Karena sesungguhnya Malaikat Mikail pun adakalanya turun kepada nabi-nabi Allah di suatu waktu, sebagaimana dia pun pernah menemani Rasulullah Saw. pada permulaannya, tetapi Jibril lebih banyak menemaninya karena hal ini merupakan tugasnya. Malaikat Mikail tugas utamanya ialah mengatur tetumbuhan dan hujan, Malaikat Jibril menurunkan wahyu, sedangkan malaikat Mikail menurunkan rezeki, sebagaimana Israfil ditugaskan untuk meniup sangkakala pada hari berbangkit kelak di hari kiamat.
Karena itu, di dalam hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila salat di malam hari acapkali membaca doa berikut:
"اللَّهُمَّ رب جبريل وإسرافيل وميكائيل ، فاطر السموات وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اختُلِف فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, dan Malaikat Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Mu dalam semua perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Berilah daku petunjuk kepada perkara yang hak, guna menyelesaikan hal yang diperselisihkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
Dalam riwayat pertama di atas telah disebutkan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Ikrimah dan lain-Lainnya, bahwa jabra, mik, dan isra artinya sama dengan abdun (hamba), sedangkan lil artinya Allah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Abu Raja', dari Umair maula (bekas budak) Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya kata Jabrail itu dalam bahasa Arabnya sama dengan kata Abdullah (hamba Allah) dan Abdur Rahman (hamba Tuhan Yang Maha Pemurah). Menurut pendapat lain, jabra artinya hamba, sedangkan il artinya Allah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Ali ibnul Husain yang pernah mengatakan, "Tahukah kalian apakah persamaan nama Jabrail pada nama kalian?" Kami menjawab, "Tidak tahu." Ali ibnul Husain menjawab, "Ialah Abdullah (hamba Allah), setiap nama yang diakhiri dengan kata il terjemahannya berarti Allah Swt." Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari Ikrimah, Mujahid, Ad-Dahhak, dan Yahya ibnu Ya'mur. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abul Hawari, telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz ibnu Umair yang mengatakan bahwa nama Jabrail di kalangan para malaikat artinya pelayan Allah. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan hadis ini kepada Abu Sulaiman Ad-Darani, maka Abu Sulaiman mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengatakan, "Sesungguhnya hadis ini lebih aku sukai daripada segala sesuatu," yang hal itu ia catat pada buku yang ada di tangannya.
Sehubungan dengan lafaz Jabrail dan Mikail ini terdapat beberapa dialek mengenainya yang hanya disebut di dalam kitab bahasa dan qiraat, dan kami membahasnya hanya sebatas apa yang dapat menunaikan makna yang dimaksud, atau yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Hanya kepada Allah-lah kami percaya, dan Dia adalah Yang dimintai pertolongan-Nya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung meletakkan isim lahir di tempat isim damir, mengingat tidak dikatakan fainnahu 'aduwwul lil kafirin, melainkan dikatakan fainnallaha 'aduwwul lil kafirin. Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair:
لَا أَرَى الموتَ يَسْبِقُ الموتَ شَيْءٌ ... نَغَّص   الموتُ ذَا الْغِنَى وَالْفَقِيرَا ...
Aku yakin bahwa tiada sesuatu pun yang dapat mendahului mati (ajal), maut selalu mendahului orang yang kaya, juga orang yang miskin (tanpa pandang bulu).
Penyair lainnya mengatakan:
ليتَ الغرابَ غَدَاةَ ينعَبُ  دَائِبًا ... كَانَ الغرابُ مقطَّع الْأَوْدَاجِ
Aduhai, seandainya burung gagak seperti biasanya di pagi hari selalu bergoak, tetapi seakan-akan kini burung-burung gagak itu sudah putus urat lehemya.
Sesungguhnya lafaz Allah di-izhar-kan (ditampakkan) dalam kedudukan ini tiada lain untuk menyatakan dan menonjolkan makna tersebut, sebagai pemberitahuan terhadap mereka bahwa barang siapa yang memusuhi kekasih Allah, berarti dia memusuhi Allah. Barang siapa yang memusuhi Allah, berarti Allah adalah musuhnya; dan barang siapa yang menjadi musuh Allah, berarti merugilah dia di dunia dan akhiratnya, seperti yang disebutkan oleh hadis yang lalu, yaitu:
"مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti aku telah mempermaklumatkan perang terhadapnya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"إِنِّي لِأَثْأَرُ لِأَوْلِيَائِي كَمَا يَثْأَرُ اللَّيْثُ الْحَرِبُ"
Sesungguhnya aku benar-benar akan mengadakan pembalasan demi membela kekasih-kekasihku, sebagaimana singa (seorang pemberani) menuntut balas dalam peperangan.
Di dalam hadis sahih dinyatakan:
"وَمَن كنتُ خَصْمَه خَصَمْتُه".
 Barang siapa menjadi musuhku, niscaya aku akan memusuhinya.

{وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلا الْفَاسِقُونَ (99) أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102) وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (103) }
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakangnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir" Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat-yang jelas..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu —Muhammad— alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu. Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an) menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa melalui proses belajar yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)
Allah Swt. berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang di antara keduanya, sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta huruf), tetapi engkau memberitahukan kepada mereka semua hal yang ada di kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah Swt. berfirman kepada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi sekaligus menjadi hujah terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menyebabkan kami mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 99)
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna ialah 'mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabaza fariqum minhum" bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabaz ialah membuang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air.
Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya:
نَظَرْتُ إِلَى عُنْوَانِهِ فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya. Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
 (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka..., hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga Allah memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah r.a. Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta mengingkarinya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.:  Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101), hingga akhir ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang melalaikan berzikir kepada Allah Swt.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam, dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu Al-Haris) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a., tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya, "Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaimanakah beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke arah mereka (untuk memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian. Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah, sesungguhnya aku akan menceritakan kepada kalian tentang jawaban yang sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu seseorang dari mereka datang membawa kalimat hak yang telah didengarnya; tetapi bila hendak ia sampaikan, maka ia mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak) kedustaan."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada kalian simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan catatan-catatan tersebut dari generasi ke generasi yang lain, hingga sisanya adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit, lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka dapat mencuri pendengaran. Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para malaikat tentang apa yang bakal terjadi di bumi menyangkut perkara kematian, atau hal yang gaib atau suatu kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada tukang-tukang tenung, lalu tukang-tukang tenung (juru ramal) menceritakan kepada manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang dikatakan oleh para tukang tenung itu.
Setelah para juru ramal percaya kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat omongan itu ke dalam buku-buku hingga tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib.
Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani mendekat ke kursi tersebut melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata, "Tidak sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang lehemya (sebagai hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui perihal Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka datanglah setan dalam bentuk seorang manusia. Setan itu mendatangi segolongan kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah kursi singgasananya."
Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka, sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak, aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak menemukannya, kalian boleh membunuhku."
Mereka menggali tempat tersebut dan akhirnya mereka menjumpai kitab-kitab itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata kepada mereka.”Sesungguhnya Sulaiman dapat menguasai dan mengatur manusia, setan-setan, dan burung-burung hanyalah melalui ilmu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi. Maka mulai tersiarlah di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kami."
Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang ilmu sihir serta mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka mencatat ke dalamnya tentang sihir dan tenung serta hal-hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal yang gaib.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan, "Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk melampiaskan dengkinya terhadap manusia."
Maka Nabi Saw. menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak berdaya karena hujah mereka dipatahkan oleh wahyu Allah Swt.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102); Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang semisal dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir yang ada di tangan setan, kemudian ia kubur ilmu tersebut di bawah kursi singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat mencapainya.
Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin serta lain-lainnya?" Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu mengamalkannya.
Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa setelah setan-setan mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di dalamnya dicatatkan bahwa barang siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah ia melakukan ini dan itu. Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku, lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang dicatat oleh Asif ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung perbendaharaan berbagai ilmu yang langka". Kemudian mereka mengubur buku tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman.
Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah menemukannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak melalui ilmu ini." Lalu mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia, mempelajarinya, juga mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu dimiliki oleh seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya. Semoga laknat Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara wahyu yang diturunkan kepadanya dari Allah Swt. mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya sebagai salah seorang dari kalangan rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi yang ada di Madinah mengatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad ini. Dia menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi. Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), (Al-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari tangannya, maka selama Nabi Sulaiman absen setan-setan mencatat ilmu sihir. Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung perbendaharaan-perbendaharaan rahasia ilmu yang terpendam".
Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia menguburnya di bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri, lalu berkhotbah dengan mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu bukanlah seorang nabi, melainkan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya itu di antara barang-barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis menunjukkan' kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.
Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir ini kita dikalahkan." Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia adalah seorang nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia menyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji. Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi Sulaiman memintanya, maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu Daud." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka menga-jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. (Al-Baqarah: 102) Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum itu ilmu sihir memang telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman.
Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehubungan dengan makna ayat ini. Tetapi pada garis besarnya tidak samar lagi kesemuanya dapat digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
*************
Firman Allah Swt.:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)
Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.
Menurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.
Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).
Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:
وَقَتَلَ داوُدُ جالُوتَ وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Baqarah: 251)
Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ
Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir. (Asy-Syu'ara: 153)
Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang terkena sihir.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yakni huruf ma yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini."
Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, ia di-'ataf-kan kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan:
{وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ} أَيِ: السِّحْرُ {عَلَى الْمَلَكَيْنِ}
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Karena dahulu orang-orang Yahudi menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya:
{هَارُوتَ وَمَارُوتَ}
yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Kedudukan kedua lafaz ini menjadi badal dari lafaz syayatin. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, mengingat adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang menunjukkan pengertian dua, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنْ كانَ لَهُ إِخْوَةٌ
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara. (An-Nisa: 11)
Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sihir.
Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah Swt. menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut."
Dengan demikian, berarti lafaz bibabila haruta wa maruta termasuk lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut." Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail, karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di kalangan mereka menduga bahwa Allah Swt. telah menurunkan ilmu sihir melalui lisan Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah mendustakan tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan perbuatan setan-setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki, salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.
Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.
Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar. Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang.
Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat garib.
Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ
Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. (Az-Zumar: 6)
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat. (Al-Hadid: 25)
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً
Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu’min: 13)
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً»
Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya.
Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan keburukan."
Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan, yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah nafiyah.
Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu: Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102) Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya, keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara keduanya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami kemukakan nanti, insya Allah.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى}
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan. (Al-Baqarah: 34)
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.
Hadis yang menceritakan Harut dan Marut
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ [أَبِي] بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ -عَلَيْهِ السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا الصَّبِيَّ. فَقَالَا لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ: وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ الدُّنْيَا".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua menolak kepadaku tidak mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat siqah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza.
Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a., dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi’ yang meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab, "Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit." Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:
«إِنَّ الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ، قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.” Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari As-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:
Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang melakukannya."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-MA’la (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Salim, bahwa ia pernah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya.
Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat predikatnya bila dinisbatkan kepada ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya, Nafi'. Hadis ini merujuk dan berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia ambil dari kitab-kitab Bani Israil.
Asar yang menceritakan Harut, Marut dan Zahrah
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan asar berikut:
Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia. Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu perkara kep-da dua malaikat, yaitu Harut dan Marut. Akan tetapi, Harut dan Marut merayunya agar mau menyerahkan diri kepada keduanya. Ia menolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat terbang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia segera merapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk (oleh Allah Swt.) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).
Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat siqah, tetapi dinilai sangat garib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa keduanya adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Asar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الزُّهَرَةَ فَإِنَّهَا هِيَ التِي فَتَنَتِ الْمَلَكَيْنِ هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Hadis ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat munkar sekali.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, bahwa keduanya pernah menceritakan asar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka sering melakukan maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi mereka, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt. berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati kalian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata yang mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati." Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baizakhat. Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. Pada mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja (seraya mengucapkan): Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu..., hingga akhir ayat, (Al-Mu’min: 7).
Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam perbuatan dosa, maka mereka memohonkan arnpun buat semua orang yang berada di muka bumi (seraya mengucapkan): Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura: 5)
Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan asar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku. Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada pelayannya, "Lihatlah apakah bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan semoga Allah tidak menghidupkannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua malaikat."
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal yang diharamkan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mereka. Barangkali jika Aku timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."
Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan perjanjian dengan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan tidak boleh khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa seorang wanita yang paling cantik.
Zahrah menampilkan diri kepada keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku adalah.pemeluk suatu agama yang melarang seseorang mendatangiku kecuali jika orang itu seagama denganku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak suka bila suamiku nanti mengetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi kemauanmu."
Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seperti apa yang dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya membawa Zahrah naik ke langit. Tetapi setelah mereka sampai di langit, wanita itu diculik dari tangan keduanya, dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam keadaan takut, menyesal, dan menangisi perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di antara dua Jumat; apabila datang hari Jumat berikutnya, maka doanya diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita." Keduanya datang kepada nabi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?" Keduanya berkata, "Sesungguhnya kami telah tertimpa cobaan." Nabi berkata, "Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat berikutnya.
Nabi itu berkata, "Kamu berdua harus memilih, karena sesungguhnya kamu disuruh memilih salah satu di antara dua alternatif. Kamu boleh memilih selamat di dunia dan azab di akhirat. Atau jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia, sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah."
Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia baru sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku. Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal (azab di akhirat)." Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta-kut bila Dia mengazab kita nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita."
Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lubang yang bagian atas dan bagian bawahnya dipenuhi dengan api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar bersumber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari ayahnya.
Bagian hadis yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah d-turunkan dalam rupa seorang wanita yang cantik —demikianlah menurut riwayat dari Ali— di dalamnya terkandung hal yang sangat aneh.
Asar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang telah Engkau ciptakan hanya untuk beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta haram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa mereka dalam keadaan tidak sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.
Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang paling utama di antara kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan kepadanya." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi, dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam (manusia). Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan minum khamr.
Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia secara hak selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.
Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di antara wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Keduanya menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua malaikat menjawab, "Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah.
Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut, sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan diri si wanita itu.
Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah berhala— maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga perkara ini, yaitu apakah kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua membunuh jiwa ini, atau kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan, "Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah meminum khamr." Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka berdua menggauli wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan diceritakan kepada orang lain, maka keduanya membunuh orang tersebut.
Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya menyadari perbuatan dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi tidak bisa, seakan-akan keduanya dihalangi hingga tidak dapat terbang. Tersingkaplah penutup antara keduanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka para malaikat melihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua merasa sangat heran. Akhirnya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun buat penduduk bumi.
Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (Asy-Syura: 5)
Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya." Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.
Asar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang yang siqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Asar ini merupakan riwayat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang menceritakan asar berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman, "Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat," maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada manusia. Mereka diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa, jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari ketiga malaikat itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua malaikat saja yang diturunkan ke bumi.
Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di masanya, namanya Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya keduanya menginginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."
Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr. Akhirnya keduanya melakukan pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua penduduk langit (para malaikat) melihat perbuatan keduanya itu.
Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya menceritakan mantera-mantera tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus). Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat Ternyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara langit dan bumi.
Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pernah menceritakan bahwa Qatadah dan Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubaidillah bin Abdullah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu karena pada mulanya para malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya. Setelah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di dunia.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat kekufuran'."
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata, "Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"
Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila pagi hari, keduanya turun untuk melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam keadaan demikian selama beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang wanita yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut bahasa Persia disebut Anahid.
Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata, "Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana dengan azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita berharap akan rahmat (ampunan) Allah."
Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan perkara untuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu menjanjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak berpenghuni.
Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera tersebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi bintang.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan Marut."
Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak mampu melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh Harut dan Marut pada mulanya ialah karena para malaikat merasa heran dengan perbuatan zalim yang dilakukan oleh Bani Adam, padahal rasul-rasul dan kitab-kitab serta keterangan-keterangan (mukjizat-mukjizat) telah didatangkan kepada mereka. Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua malaikat, Aku akan menurunkan keduanya guna memutuskan peradilan di muka bumi." Lalu mereka mengadakan pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut tidak menolak.
Ketika menurunkan keduanya ke bumi, Allah berfirman kepada keduanya, "Kalian berdua merasa heran terhadap Bani Adam atas kezaliman dan kedurhakaan mereka, padahal mereka telah didatangi oleh para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa ke masa yang lain. Sesungguhnya kini antara Aku dan kamu berdua tidak ada seorang rasul pun. Maka lakukanlah demikian dan demikian, dan serukanlah demikian dan demikian." Allah memberikan kepadanya beberapa perintah dan beberapa larangan, dan keduanya turun dengan membawa misi tersebut.
Tiada seorang pun yang lebih taat kepada Allah daripada keduanya, keduanya memutuskan hukum (di antara manusia) dengan keputusan yang adil. Keduanya melakukan tugas peradilannya di siang hari di antara Bani Adam; dan apabila petang hari, "keduanya naik ke Langit dan bergabung bersama malaikat lainnya. Keduanya turun kembali ke bumi pada pagi harinya, lalu memutuskan peradilan dengan cara yang adil.
Hal tersebut berlangsung pada keduanya hingga diturunkan kepada keduanya Zahrah dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Ia datang mengadukan perkara suaminya, lalu keduanya memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si wanita tersebut. Ketika wanita itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari kedua malaikat tersebut merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita itu. Maka salah seorang berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?" Temannya menjawab, "Ya." Maka keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita untuk menyampaikan pesan keduanya, bahwa hendaknya si wanita tersebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan peradilan untuk kemenangannya.
Ketika wanita itu kembali kepada keduanya, mereka mengutarakan hasratnya kepada wanita itu dan memutuskan peradilan untuk kemenangan si wanita. Maka keduanya mendatanginya dan membuka aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya ada pada napas keduanya, dan syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita tidak sama dengan yang ada pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap tersebut dan menghalalkan perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah wanita tersebut, maka wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya semula.
Pada sore harinya ketika keduanya hendak naik, tiba-tiba keduanya dilarang untuk naik, dan kedua sayapnya tidak mau lagi membawanya terbang. Lalu keduanya meminta tolong kepada seorang lelaki dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang kepadanya dan mengatakan, "Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi) menjawab, "Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat penduduk langit?'" Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh Tuhanmu dengan sebutan yang baik di langit."
Kemudian si lelaki itu menjanjikan kepadanya suatu janji di suatu hari yang pada hari itu dia mendoakan buat keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya dan diperkenankan baginya, maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Masing-masing memandang kepada temannya dan berkata, "Tahukah kamu bahwa gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan demikian dalam keadaan kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu hanya sembilan kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di tempat itulah keduanya diazab. Diduga bahwa keduanya digantung dengan rantai besi dalam keadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.
Sehubungan dengan kisah Harut dan Marut ini sejumlah tabi'in telah mengetengahkan riwayatnya, misalnya Mujahid, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, -Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan Mufassirin terdahulu dan yang kemudian mengetengahkannya pula, tetapi pada kesimpulannya semuanya itu merujuk kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam semua rinciannya, mengingat tiada suatu hadis yang marfu' lagi sahih mengenainya yang muttasil (berhubungan) kepada Nabi Saw. yang tidak pernah berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan pengertian lahiriah dari konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an adalah garis besar dari kisah tersebut tanpa rincian dan tanpa pembahasan panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya beriman dengan semua yang disebut oleh Al-Qur'an menurut apa yang dikehendaki oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang Maha Mengetahui hal yang sebenarnya.
Akan tetapi, sehubungan dengan kisah ini terdapat sebuah asar yang garib dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja kami mengetengahkannya dalam pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringatan. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan asar berikut:
Pernah ada seorang wanita dari Daumatul Jandal datang kepadaku ingin bersua dengan Rasulullah Saw. Hal itu terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang beberapa hal yang telah memasuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia tidak mengamalkannya. Maka Siti Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku." Kulihat wanita itu menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah wafat, yang mana keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harapan bagi kesembuhannya. Dia terus menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan kepadanya. Wanita itu berkata, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku menjadi orang yang binasa. Pada mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi meninggalkanku. Kemudian datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka aku mengadukan penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, 'Jika kamu mau melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang kepadamu.'
Ketika hari telah malam, nenek tersebut datang kepadaku membawa dua ekor anjing hitam yang besar. Dia menaiki salah satunya, sedangkan aku menaiki yang lainnya. Herannya dalam waktu yang sebentar kami telah berada di negeri Babil, dan tiba-tiba kami bersua dengan dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam keadaan tergantung ke atas. Lalu keduanya berkata, 'Apakah gerangan yang mendorongmu datang kemari?' Aku menjawab, 'Kami datang untuk belajar ilmu sihir.' Keduanya berkata, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Sebab itu, janganlah kamu kafir, maka kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, 'Tidak.' Keduanya berkata, 'Kalau demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti itu, lalu kencingilah.'
Aku berangkat (menuju ke tempat pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa takut dan tidak jadi melakukannya, lalu aku kembali kepada keduanya. Keduanya berkata, 'Apakah engkau telah melakukannya?' Aku menjawab (dengan pura-pura), 'Ya.' Keduanya bertanya, 'Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu pun." Keduanya berkata, 'Kamu masih belum melakukannya, sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'
Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Maka keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Aku pergi ke pemanggangan roti itu, tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa takut. Maka aku kembali lagi kepada keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah melakukannya. Keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu pun.' Keduanya menjawab, 'Kamu dusta, kamu masih belum melakukannya. Sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur, karena sesungguhnya kamu sedang berada di puncak urusanmu.'
Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Lalu keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka aku pergi ke tempat pemanggangan roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku melihat seekor kuda yang memakai tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan kuda itu terbang ke langit hingga tak tampak lagi olehku.
Kemudian aku datang kepada keduanya, dan kukatakan bahwa aku telah melakukan perintahnya. Maka keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku melihat seekor kuda yang kepalanya ditutupi keluar dari diriku, lalu terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya lagi.' Keduanya menjawab, 'Kamu benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar dari dirimu. Sekarang pergilah kamu.'
Lalu aku berkata kepada nenek-nenek yang menemaniku itu, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya tidak mengajarkan sesuatu pun kepadaku.' Nenek itu berkata, 'Tidak. Bahkan apa yang kamu inginkan niscaya akan terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini, lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam bibit gandum itu dan kukatakan, 'Tumbuhlah!' Maka tumbuhlah ia menjadi pohon gandum yang sudah masak. Aku berkata lagi, 'Panenlah kamu!' Maka tanaman gandum itu panen dengan sendirinya. Kemudian kukatakan, 'Pisahkanlah biji-bijianmu!' Maka biji-bijinya memisah dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya, 'Keringlah kamu!' Maka keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya, 'Jadilah kamu tepung!' Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan pula, 'Jadi rotilah kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak sekali-kali diriku menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa menyesal dan kecewa."
Wanita itu berkata, "Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin, aku belum melakukan sesuatu pun dan aku tidak akan mengerjakannya selama-lamanya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman dengan lafaz yang sama secara panjang lebar seperti asar yang baru diuraikan tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak akan mengerjakannya untuk selama-lamanya," ditambahkan hal seperti berikut:
Maka aku (Siti Aisyah) bertanya kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat itu mereka baru ditinggalkan oleh Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup banyak. Tetapi ternyata mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka katakan terhadap wanita tersebut, semuanya merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa kepadanya dengan fatwa yang belum diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau salah seorang sahabat yang ada di tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua ibu bapakmu masih hidup atau salah seorang darinya masih hidup."
Hisyam mengatakan, "Seandainya wanita itu datang kepada kami, niscaya kami akan memberikan fatwa kepadanya dengan jaminan." Ibnu Abuz Zanad mengatakan bahwa Hisyam berkata, "Sesungguhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang ahli wara' dan takut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya datang kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan menjumpai kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh lagi memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad asar ini berpredikat jayyid sampai kepada Siti Aisyah r.a.
Asar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya, karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى
Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66)
Asar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri Irak, bukan yang ada di Dainawan.
Asar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian datang kepadanya juru azan yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan tadi untuk mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah selesai dari salatnya, ia berkata:
إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا ملعونة
Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan dan melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ الْمُرَادِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ، وَهُوَ يَسِيرُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي الْمَقْبَرَةِ، وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru azan yang memberitahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ: فَلَمَّا "خَرَجَ" مَكَانَ "بَرَزَ"
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)."
Hadis ini berpredikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.
Di dalam asar ini terkandung hukum fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri kaum Samud; karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika memasukinya).
Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah bawahan negeri Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang dikenal dengan nama Auqiyanius— diperkirakan tujuh puluh derajat garis lintangnya, sedangkan garis bujurnya diperkirakan tiga puluh dua derajat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ}
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir." Demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.
Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan tempat anu. Apabila orang tersebut mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh keduanya, maka ia akan bersua dengan setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu sihir; apabila ia telah mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya, lalu ia memandang ke arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai, aku sangat menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."
Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa ia mengatakan dalam tafsir ayat ini, "Memang benar, kedua malaikat itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah mengambil janji dari keduanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir'." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. telah mengambil janji dari keduanya, bahwa keduanya tidak boleh mengajarkan kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni sedang mengalami cobaan, "Karena itu, janganlah kamu kafir."
As-Saddi mengatakan, apabila ada seorang manusia datang kepada keduanya dengan maksud belajar ilmu sihir, terlebih dahulu keduanya menasihatinya dan mengatakan kepadanya, "Janganlah kamu kafir, sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu." Apabila orang tersebut membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya, "Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila orang tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu terbang ke langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki telinganya dan semua lubang yang ada pada tubuhnya; hal tersebut merupakan murka Allah. Apabila orang tersebut menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya mengajarkan ilmu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan takwil ayat ini, "Tiada seorang pun yang berani mengerjakan sihir melainkan hanya orang kafir." Arti Fitnah ialah ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
وَقَدْ فُتِنَ النَّاسُ فِي دِينِهِمْ ... وَخَلَّى ابْنُ عَفَّانَ شَرًّا طَوِيلَا
Dan sesungguhnya manusia itu mengalami cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan keburukan yang panjang (akibatnya).
Demikian pula pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Allah berfirman:
إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)
Maksudnya, ujian dan cobaan dari Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
تُضِلُّ بِها مَنْ تَشاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشاءُ
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil ayat ini (yakni Al-Baqarah: 102), bahwa kafirlah orang yang belajar ilmu sihir. Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عن هُمَامٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, dari Abdullah yang mengatakan: Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (dukun) atau tukang sihir, lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memperkuatnya.
***********
Firman Allah Swt:
{فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Yakni orang-orang belajar sejenis ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang kegunaannya dapat menimbulkan berbagai macam perbuatan tereela; hingga sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat memisahkan sepasang suami istri, sekalipun pada awalnya keduanya sangat harmonis dan rukun. Hal seperti ini merupakan perbuatan setan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
مِنْ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ طَلْحَةَ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنِ الشَّيْطَانَ لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فِي النَّاسِ، فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا زِلْتُ بِفُلَانٍ حَتَّى تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ إِبْلِيسُ: لَا وَاللَّهِ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ قَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ، وَيَقُولُ: نِعْم أَنْتَ
melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya kepada umat manusia; maka setan yang paling besar fitnahnya terhadap umat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu dari mereka datang, lalu mengatakan, "Aku terus-menerus menggoda si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab, "Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)." Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya berkata, "Kamu benar."
Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.
Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti suami, sedangkan bentuk ta-nis-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini dapat diungkapkan dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam bentuk jamak.
**********
Firman Allah Swt:
{وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ}
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Menurut Sufyan As-Sauri, makna bi-iznillah ialah dengan keputusan Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dikehendakinya."
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengatakan, "Memang benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat dipengaruhi oleh sihir itu, niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka ilmu sihir tidak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir tidak dapat menimpakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi, menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ}
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)
Yakni memberikan mudarat pada agama mereka dan tidak memberi manfaat yang sebanding dengan mudaratnya.
{وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. (Al-Baqarah: 102)
Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari mengikuti Rasul Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui bahwa di akhirat kelak dia tidak memperoleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan As-Saddi, makna khalaq ialah bagian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt." Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.
Sa'd meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa sesungguhnya ahli kitab itu telah mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah ditetapkan atas diri mereka, bahwa seorang penyihir itu tiadalah baginya keuntungan di akhirat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102-103)
Allah Swt. berfirman bahwa seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka beli sebagai ganti dari iman dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka mempunyai ilmu dari apa yang diperingatkan kepada mereka. Seandainya mereka beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah atas hal tersebut lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi-ihkan buat diri mereka dan apa yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً وَلا يُلَقَّاها إِلَّا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (Al-Qashash: 80)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا}
Sesungguhnya   kalau   mereka   beriman   dan   bertakwa.   (Al-Baqarah: 103)
dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerjakan sihir hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal dan segolongan ulama Salaf.
Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia hanya dikenai hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan asar berikut, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah menulis surat yang di dalamnya disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan." Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pernah membunuh tiga orang wanita penyihir."
Asar ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di dalam asar yang sahih disebut pula bahwa Siti Hafsah Ummul Mu’minin pernah disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah memerintahkan agar budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam asar sahih dari ketiga orang sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan, dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ»
Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (dihukum mati).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara marfu’ kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Muslim orangnya da'if dalam periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara mauquf.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu’
Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan ilmu sihir di hadapannya. Permainan sihir yang ditampilkannya itu ialah dia menebas batang leher seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak, setelah itu ia mengembalikan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang mati!"
Kejadian tersebut dilihat oleh seorang lelaki saleh dari kalangan kaum Muhajirin. Pada keesokan harinya ia datang dengan menyandang pedangnya, sedangkan si penyihir itu seperti biasa memainkan permainannya. Lalu lelaki Muhajirin itu mencabut pedangnya dan langsung dipukulkan ke leher si penyihir tersebut, kemudian berkata, "Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan dirinya sendiri." Lalu ia membacakan firman-Nya:
أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyaksikannya? (Al-Anbiya: 3)
Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian melepaskannya.
Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari Harisah yang menceritakan asar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku dia adalah tukang sihir."
Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah sebagai perbuatan musyrik.
Fasal
Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan apa yang dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang meyakini keberadaan sihir itu."
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara, atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia. Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan hal-hal tersebut di saat seorang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi tertentu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang mempengaruhi kejadian-kejadian tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak mungkin; berbeda halnya dengan pendapat ahli filsafat dan ahli peramal serta para pemeluk agama Sabi'ah."
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang menyatakan bahwa terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah belajar sihir. Banyak lagi kisah lainnya yang ia kemukakan dalam bab ini. Setelah itu Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan hal berikut:
Ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk, bukan pula hal yang dilarang. Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal tersebut, mengingat ilmu itu ditinjau dari eksistensinya merupakan hal yang mulia, juga karena pengertian umum yang terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin dapat dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me-untun untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul bahwa mengetahui ilmu sihir hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.
Pendapat ini masih perlu dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain ia mengatakan bahwa mengetahui ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk. Jikalau yang dimaksud dengan kalimat ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka orang-orang yang menentang pendapat ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah pasti sangat tidak setuju dengan pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak buruk menurut penilaian syara' (agama), berarti di dalam ayat ini terkandung pengertian yang mempropagandakan belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab sahih disebutkan oleh salah satu hadisnya:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang tenung, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Muhammad.
Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
«مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً وَنَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ»
Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.
Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyatakan, "Tiada larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan 'mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, padahal ayat dan hadis yang telah kita kemukakan mengecamnya?'. Kesepakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa orang ulama atau dari kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?
Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan ilmu sihir ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan: Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (Az-Zumar: 9)
Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim dalam ilmu syariat Lalu mengapa dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari, dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan mengetahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan batil. Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sahabat, para tabi'in, dan para imam kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka tidak pernah mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan macam:
  1. Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan mematahkan hujah mereka. Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu penelitian yang membuahkan karya tulis —seperti kitab Sirrul Maktum fi Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Menurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan keutamaannya, bukan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang disangkakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang tersebut; disebutkan pula cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka terhadap bintang-bintang tersebut.
  2. Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan ia tidak dapat berjalan di atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan memandang kepada sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang berpenyakit ayan dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang berputar. Hal tersebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada ilusi-ilusinya. Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Penyakit 'ain itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain dapat mendahuluinya. (Shahih: Muslim 2188) Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan itu ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu lemah, maka untuk merealisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut." Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih tinggi daripada tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alarn samawi; hingga jadilah ia seakan-akan roh samawi, dan ia mempunyai kekuatan yang menakjubkan untuk mempengaruhi semua unsur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang lemah dan cenderung bergantung kepada tubuh kasamya, maka saat itu ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar-nya saja. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit 'ain ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri dari riya (pamer). Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini termasuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau lasarruf bil hal. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Indera jenis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'. Adakalanya keadaan yang dialami oleh pemiliknya batil serta pemiliknya tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan ia tidak menggunakan bakatnya itu untuk keperluan tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka, yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mereka. Perihalnya sama dengan apa yang dimiliki oleh Dajjal; dia mempunyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah tetap atas dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menyerupai Dajjal dari kalangan mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan keterangan yang panjang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.
  3. Termasuk ke dalam kategori sihir ialah meminta bantuan kepada arwah yang ada di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda dengan pendapat para ahli filsafat dan golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat bahwa jin itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir (yakni setan). Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, menghubungi arwah jenis ini lebih mudah ketimbang menghubungi arwah samawi, mengingat adanya kesamaan dan hubungan yang berdekatan di antara keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan banyak melakukan percobaan telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan arwah ardiyyah dapat dilakukan hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mudah lagi tidak banyak, seperti membaca mantera, dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan 'azaim atau menundukkan makhluk jin.
  4. Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, membalikkan pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu sehingga melupakan yang lainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa seorang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita sedang melakukan sesuatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya mereka merasa takjub sekali dengan perbuatan si pesulap itu. Sekiranya si pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para penontonnya kepada lawan dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa dan ilusi para penontonnya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya, niscaya penonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendukung pengurangan pandangan mata secara baik, maka hasil sulap makin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata penonton kurang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian. Menurut kami, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesungguhnya sihir yang dilakukan di hadapan Raja Fir'aun tiada lain termasuk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya: Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116) Dan firman Allah Swt.: terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka se-akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66) Sebagian kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut pada hakikatnya tidak merayap.
  5. Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handasah, misalnya berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, sedangkan tangannya memegang sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke dalam kategori jenis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mampu membuatnya dalam rupa sedang tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia mengatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun termasuk ke dalam kategori jenis ini. Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir sehubungan dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mempersiapkan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya dilepaskan, maka benda-benda itu meliuk-liuk bergerak karena pengaruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut berjalan cepat dengan sendirinya. Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini ialah bangunan jam pasir (tabling kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ringan. Menurut kami, pada hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategorikan sebagai sihir, mengingat kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya. Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya jelas) ialah tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nasrani terhadap kalangan awam mereka, melalui cahaya api yang diper-lihatkan kepada kalangan awam, seperti kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya kalangan orang-orang awam mereka. Adapun bagi kalangan khusus mereka, hal tersebut sudah diketahuinya, tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka, maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diperbolehkan. Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tolol lagi bodoh dari kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam masalah targib dan tarhib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: Barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat du-duknya di neraka. Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang mengatakan: Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta terhadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku pasti masuk neraka. Kemudian dalam bab ini ia menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah gerakannya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih tersebut agar dimakannya. Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menjadikan boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang sedang menderita itu. Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka. Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya. Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa buah zaitun yang banyak jumlahnya. Orang-orang Nasrani tidak melihat hal yang lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka ketahui sebab-musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di dalam gereja itu. Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.
  6. Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu diketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan untuk mengingkari bahan-bahan yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang dapat disak-sikan. Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-bahan khusus ini, lalu mengaku bahwa hal ini terjadi karena akibat pengaruh dari seringnya dia bergaul dengan api dan memegang ular beracun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian ini.
  7. Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya ia menduga bahwa si penyihir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah di dalam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu. Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya, maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan dapat melakukan apa yang dikehendakinya. Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis). Sesungguhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang menuntun untuk mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau taat.
  8. Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namunah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak. Menurut kami, namunah itu terbagi menjadi dua bagian; adakalanya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan memecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram menurut kesepakatan semuanya. Jika namunah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masalah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukunkan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut: Bukanlah pendusta orang yang melakukan namunah untuk kebaikan. Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang dianjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut: Perang itu tipu muslihat. Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golongan lainnya tentang diri mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, lalu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka saling mencurigai dan pecahlah persatuan mereka. Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang tajam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.
Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta tingkatannya secara global.
Menurut kami, sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam kategori sihir banyak hal yang telah disebut di atas, tiada lain karena hal-hal tersebut sulit untuk diketahui penyebabnya dan sangat halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah bahasa artinya sesuatu yang lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam sebuah hadis di sebutkan:
«إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.
Dinamakan sahur karena dilakukan pada penghujung malam hari di saat cuaca masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti ri-ah (paru-paru) yang merupakan pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena tempatnya tersembunyi dan jaringannya lembut menyebar ke seluruh bagian tubuh dan semua syaraf. Seperti yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari Perang Badar, "Intafakha saharuhu,'"' yakni paru-parunya mengembang karena dicekam oleh rasa takut yang sangat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سحري ونحري
Rasulullah Saw. wafat di antara dada (sebelah kanan)ku dan pangkal tenggorokanku.
Allah Swt. berfirman:
{سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ}
Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116)
Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari mata orang-orang banyak.
Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan untuknya apa yang dikehendaki oleh si penyihir (sebagai istidraj, pent.).
Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari kalangan mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam kategori sihir ialah sesuatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti permainan sulap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh penduduk pedalaman (orang kampung).
Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda Rasul Saw. yang mengatakan: Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir. Kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai pujian, menurut apa yang dikatakan oleh segolongan ulama. Dapat pula diinterpretasikan sebagai celaan terhadap ilmu balagah. Selanjutnya Al-Qurtubi memberikan komentarnya bahwa pendapat yang terakhir inilah yang lebih sahih, mengingat dapat saja balagah dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan hal yang batil, sehingga pendengarnya terpesona oleh kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang benar, seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي له»
Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutarakan alasannya daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk kemenangannya. Hingga akhir hadis.
Fasal
Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu Muhammad ibnu Hubairah) dalam kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Maza Hibil Asyraf mengetengahkan sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa pelakunya menjadi kafir.
Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau untuk menghindarinya, hukumnya tidak kafir. Barang siapa yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa sihir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya, maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang belajar ilmu sihir (dan telah menguasainya), maka kami akan katakan kepadanya terlebih dahulu, 'Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Jika ia memperagakan jenis sihir yang memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada/tujuh bintang, dan bahwa ketujuh bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya— maka dia kafir. Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak menyebabkan dia kafir (maka ia tidak kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya kafir."
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibunuh hanya semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan menggunakannya?"
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia, maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain dengan ilmu sihirnya) secara berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum mati sebagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang demikian, maka ia dihukum mati sebagai qisas.
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima. Akan tetapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain mengatakan dapat diterima tobatnya.
Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hanifah dihukum mati, sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan hanya dihukum penjara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama dengan hukum seorang laki-laki penyihir.
Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pernah memba-ca (belajar) dari Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati, sedangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena Rasulullah Saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, ternyata beliau tidak membunuhnya."
Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa tukang sihir dari kalangan kafir zimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh.
Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan dengan kafir zimmi bila mempraktikkan sihir. Salah satunya mengatakan bahwa ia diminta bertobat terlebih dahulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi jika tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.
Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufuran, maka ia dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena berdasarkan kepada firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada dirinya, maka tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama dengan kafir zindiq. Jika dia bertobat sebelum menampakkan kekufurannya, lalu ia datang kepada kami seraya bertobat, maka kami menerimanya. Jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."
Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, 'Aku tidak sengaja membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang keliru dan diharuskan membayar diat."
Masalah
Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan (mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. memperbolehkannya menurut apa yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa menggunakan nusyrah (pengobatan dengan memakai jampi). Akan tetapi, Al-Hasan Al-Basri memakruhkannya.
Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah r.a. disebutkan bahwa ia pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak berobat dengan cara nusyrah? Maka beliau Saw. menjawab:
«أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أَفْتَحَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا»
Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada manusia.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi padanya. Kemudian airnya diminumkan kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya dimandikan untuknya. Sesungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya."
Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwizatain.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«لَمْ يَتَعَوَّذِ المتعوذ بِمِثْلِهِمَا»
Tiada suatu ta'awwuz pun yang digunakan oleh seseorang sebanding dengan keduanya.
Demikian pula membaca ayat Kursi, karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat digunakan untuk mengusir setan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar