Translate

Selasa, 27 September 2016

Al-Baqarah ayat 122-132

{يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (122) وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (123) }
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kuanugerahkan kepada kalian dan Aku telah melebihkan kalian atas segala umat. Dan takutlah kalian kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang yang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafaat kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.
Dalam pembahasan yang lalu —yaitu pada permulaan surat Al-Baqarah— telah disebutkan ayat yang bermakna semisal dengan ayat ini. Sengaja diulangi dalam bagian ini untuk mengukuhkan maknanya dan sebagai anjuran untuk mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang mereka jumpai sifat-sifatnya, ciri khasnya, namanya, perkaranya, dan umat-nya di dalam kitab-kitab mereka. Maka Allah memperingatkan mereka agar jangan menyembunyikan hal tersebut, jangan pula menyembunyikan anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka sebagai nikmat dari-Nya. Allah memerintahkan agar mereka selalu ingat akan nikmat duniawi dan nikmat agama yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Untuk itu, janganlah mereka merasa dengki dan iri kepada anak-anak paman mereka (yaitu bangsa Arab) atas rezeki Allah yang diberikan kepada mereka, berupa diutus-Nya seorang rasul terakhir yang dijadikan-Nya dari kalangan mereka. Janganlah kedengkian tersebut mendorong mereka menentang rasul itu, mendustakannya, dan tidak berpihak kepadanya. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepada Rasul selama-lamanya sampai hari kiamat.
{وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124) }
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kemuliaan Nabi Ibrahim a.s. dan bahwa Allah Swt. telah menjadikannya sebagai imam bagi umat manusia yang menjadi panutan mereka semua dalam ketauhidan. Yaitu di kala Nabi Ibrahim a.s. menunaikan semua tugas perintah dan larangan Allah yang diperintahkan kepadanya. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat." Dengan kata lain, hai Muhammad, ceritakanlah kepada orang-orang musyrik dan kedua ahli kitab (yaitu mereka yang meniru-niru agama Nabi Ibrahim), padahal apa yang mereka lakukan bukanlah agama Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya orang-orang yang menegakkan agama Nabi Ibrahim itu hanyalah engkau dan orang-orang mukmin yang mengikutimu. Ceritakanlah kepada mereka cobaan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, yaitu berupa perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditugaskan oleh Allah kepadanya. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. dapat menunaikannya dengan sempurna, seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَإِبْراهِيمَ الَّذِي وَفَّى
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37)
Yakni Nabi Ibrahim a.s. telah mengerjakan semua syariat yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya dengan secara sempurna. Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:
إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ. شاكِراً لِأَنْعُمِهِ اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. وَآتَيْناهُ فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ. ثُمَّ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemu-dian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 120-123)
قُلْ إِنَّنِي هَدانِي رَبِّي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. دِيناً قِيَماً مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik." (Al-An'am: 161)
مَا كانَ إِبْراهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرانِيًّا وَلكِنْ كانَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ. إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْراهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad) dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 67-68)
Firman Allah Swt., "Bikalimatin," artinya dengan syariat-syariat, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Karena sesungguhnya lafaz al-kalimat itu bila disebutkan adakalanya bermakna kekuasaan, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَصَدَّقَتْ بِكَلِماتِ رَبِّها وَكُتُبِهِ وَكانَتْ مِنَ الْقانِتِينَ
dan dia (Maryam) membenarkan kalimat (kekuasaan) Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. (At-Tahrim: 12)
Adakalanya makna yang dimaksud ialah syariat atau peraturan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلًا
Telah sempurnalah kalimat (syariat) Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Maksudnya, syariat-syariat-Nya; adakalanya merupakan berita yang benar dan adakalanya perintah berbuat adil, jika kalimatnya berupa perintah atau larangan. Termasuk ke dalam pengertian al-kalimah dalam arti syariat ialah firman-Nya:
{وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya, (Al-Baqarah: 124)
Yakni Nabi Ibrahim mengerjakannya dengan sempurna.
**********
Firman Allah Swt.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh umat manusia. (Al-Baqarah: 124)
Yaitu sebagai balasan dari apa yang telah dikerjakannya, mengingat Nabi Ibrahim telah menunaikan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Untuk itu Allah menjadikannya buat seluruh umat manusia sebagai teladan dan panutan yang patut untuk ditiru dan diikuti.
Mengenai ketentuan kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s., masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Sehubungan dengan masalah ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas beberapa riwayat; antara lain oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Allah mengujinya dengan manasik-manasik (haji)." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ishaq As-Subai'i, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124): Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah mengujinya dengan bersuci, yaitu menyucikan lima anggota pada bagian kepala dan lima anggota pada bagian tubuh. Menyucikan bagian kepala ialah dengan mencukur kumis, berkumur, istinsyaq (membersihkan lubang hidung dengan air), bersiwak, dan membersihkan belahan rambut kepala. Sedangkan menyucikan bagian tubuh ialah memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, serta membasuh bekas buang air besar dan buang air kecil dengan air.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Abu Saleh, dan Abul Jalad.
Menurut kami, ada sebuah hadis di dalam kitab Sahih Muslim yang pengertiannya mendekati riwayat di atas, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللَّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَغَسْلُ البرَاجم، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ"
Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur kumis, membiarkan janggut, siwak, menyedot air dengan hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh semua persendian tulang, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan hemat memakai air. (Perawi mengatakan) aku lupa yang kesepuluhnya, tetapi aku yakin bahwa yang kesepuluh itu adalah berkumur.
Waki' mengatakan bahwa intiqasul ma' artinya ber-istinja (cebok).
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ  وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ»
Fitrah itu ada lima perkara, yaitu khitan, istihdad (belasungkawa), mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
Sedangkan lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada dalam kitab Sahih Muslim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas. Ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Menurut Ibnu Abbas, kalimat-kalimat tersebut ada sepuluh; yang enam ada pada diri manusia, sedangkan yang empat pada masya'ir (manasik-manasik haji). Yang ada pada diri manusia ialah mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan khitan; disebutkan bahwa Ibnu Hubairah sering mengatakan bahwa ketiga hal itu adalah satu. Kemudian memotong kuku, mencukur kumis, bersiwak serta mandi pada hari Jumat. Sedangkan yang empatnya ialah yang ada pada manasik-manasik, yaitu tawaf, sa'i antara Safa dan Marwah, melempar jumrah, dan tawaf ifadah.
Daud ibnu Abu Hindun meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Tiada seorang pun yang diuji dengan peraturan agama ini, lalu ia dapat menunaikan kesemuanya, selain Nabi Ibrahim." Allah Swt. telah berfirman: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124); Aku (Ikrimah) bertanya kepadanya (Ibnu Abbas), "Apakah kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, lalu Ibrahim menunaikannya?" Ibnu Abbas menjawab, "Islam itu ada tiga puluh bagian; sepuluh bagian di antaranya terdapat di dalam surat Al-Baraah (surat At-Taubah), yaitu di dalam firman-Nya, 'Orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang beribadah' (At-Taubah: 112), hingga akhir ayat. Sepuluh lainnya berada pada permulaan surat Al-Mu’minun, dan dalam firman-Nya, 'Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa' (Al-Ma'arij: 1). Sepuluh terakhir berada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya, 'Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim' (Al-Ahzab: 35), hingga akhir ayat. Ternyata Nabi Ibrahim dapat menunaikan semuanya dengan sempurna, lalu dicatatkan baginya bara-ah. Allah Swt. berfirman, 'Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37)."
Demikian pula menurut riwayat Imam Hakim, Abu Ja'far ibnu Jarir, dan Abu Muhammad ibnu Abu Hatim berikut sanad-sanad mereka sampai kepada Daud ibnu Hindun dengan lafaz yang sama, sedangkan lafaz riwayat di atas berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa beberapa kalimat yang diujikan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, lalu Nabi Ibrahim menunaikannya dengan sempurna ialah: Berpisah dengan kaumnya karena Allah ketika Allah memerin-tahkan agar dia berpisah dari mereka; perdebatan yang dilakukannya terhadap Raja Namruz ketika ia membela agamanya yang bertentangan dengan agama Raja Namruz; kesabaran Nabi Ibrahim dan keteguhan hatinya ketika ia dilemparkan ke dalam api oleh mereka demi membela agamanya; setelah itu ia berhijrah dari tanah tumpah darah dan negeri tercintanya karena Allah, yaitu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk hijrah meninggalkan kaumnya; juga ketika dia mengerjakan perintah Allah yang menyuruhnya untuk menghormati para tamu serta bersikap sabar menghadapi mereka dengan jiwa dan harta bendanya sendiri; dan ujian lainnya, yaitu ketika dia diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya. Ketika Nabi Ibrahim mengerjakan semua ujian Allah itu dengan ikhlas, maka Allah Swt. berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam" (Al-Baqarah: 131) Yakni tunduk patuh mengerjakan perintah Allah, sekalipun berten-tangan dengan kaumnya dan rela berpisah dengan mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ulyah, dari Abu Raja, dari Al-Hasan (yakni Al-Basri) sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Allah mengujinya dengan bintang-bintang, ia bersabar; mengujinya dengan bulan, ia bersabar; mengujinya dengan matahari, ia bersabar; mengujinya dengan hijrah, ia bersabar; mengujinya dengan khitan, ia bersabar; dan mengujinya dengan anaknya (menyembelihnya), ia bersabar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Al-Hasan pernah berkata, "Ya, demi Allah, sesungguhnya Allah telah mengujinya dengan suatu perkara, maka ia bersabar dalam menunaikannya. Allah Swt. mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka ia menunaikan ujiannya itu dengan baik dan menyimpulkan dari ujian tersebut bahwa Tuhannya adalah Zat Yang Mahaabadi dan tidak akan lenyap. Dia menghadapkan wajahnya kepada Tuhan Yang Menciptakan langit dan bumi seraya mencintai agama yang hak dan menjauhi kebatilan; dia bukan termasuk orang-orang yang musyrik.
Kemudian Allah mengujinya dengan hijrah, ia keluar meninggalkan negeri tercintanya dan kaumnya hingga sampai di negeri Syam dalam keadaan berhijrah kepada Allah Swt.
Allah mengujinya pula dengan api sebelum hijrah, ternyata dia bersabar menghadapinya. Allah mengujinya dengan perintah menyembelih anaknya serta berkhitan, maka dia menunaikan semuanya itu dengan penuh kesabaran.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari orang yang pernah mendengar Al-Hasan berkata sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124) Allah mengujinya dengan perintah menyembelih anaknya, dengan api, bintang-bintang, matahari, dan bulan.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124) Bahwa Allah mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka Allah menjumpainya sebagai orang yang sabar.
Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Di antara kalimat-kalimat yang diujikan kepadanya disebutkan di dalam firman-Nya: Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.'' (Al-Baqarah: 124) Antara lain disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127) Di antaranya lagi disebutkan di dalam ayat-ayat yang menceritakan tentang maqam yang dijadikan buat Nabi Ibrahim dan rezeki yang diberikan kepada penduduk Baitullah, serta Nabi Muhammad diutus dengan membawa agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Syababah, dari Warqa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya Aku akan mengujimu dengan suatu perintah. Perintah apakah itu?" Ibrahim menjawab, "Aku memohon semoga Engkau menjadikan diriku imam bagi umat manusia." Allah Swt. berfirman, "Ya." Lalu Ibrahim berkata: (Dan aku mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah 124) Ibrahim a.s. berkata, "Semoga Engkau jadikan rumah ini (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan juga sebagai tempat yang aman." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan semoga Engkau menjadikan kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan jadikanlah pula di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim a.s. berkata, "Semoga Engkau memeri rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah." Allah menjawab, "Ya."
Ibnu Abu Nujaih berkata, ia mendengar riwayat ini dari Ikrimah, lalu menunjukkannya kepada Mujahid, ternyata Mujahid tidak memprotesnya. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir bukan hanya dari satu jalur, melalui Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya, yaitu: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 124)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat. (Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan ayat-ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124); Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125); Firman-Nya yang lain: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail. (Al-Baqarah: 125), hingga akhir ayat. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah 127), hingga akhir ayat. Semua itu merupakan kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s.
As-Saddi mengatakan, kalimat-kalimat yang diujikan kepada Nabi Ibrahim oleh Tuhannya ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguh-nya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk pa-tuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 127-129)
Al-Qurtubi meriwayatkan asar berikut —juga disebutkan di dalam kitab Muwatta' dan kitab-kitab lainnya— dari Yahya ibnu Sa'id, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Ibrahim adalah orang yang mula-mula berkhitan, yang mula-mula menghormati tamu, yang mula-mula memotong kuku, yang mula-mula mencukur kumis, dan yang mula-mula beruban. Ketika ia melihat uban (di kepalanya), berkatalah ia, 'Wahai Tuhanku, apakah ini?' Allah Swt. menjawab, 'Keagungan.' Ibrahim berkata, 'Wahai Tuhanku, tambahkanlah keagungan pada diriku'."
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula berkhotbah di atas mimbar adalah Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengadakan pos adalah Nabi Ibrahim. Dia orang yang mula-mula memukul dengan pedang, yang mula-mula bersiwak, yang mula-mula bebersih memakai air, dan yang mula-mula memakai celana.
Diriwayatkan dari Mu'az ibnu Jabal bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنْ أَتَّخِذِ الْمِنْبَرَ فَقَدِ اتَّخَذَهُ أَبِي إِبْرَاهِيمُ، وَإِنْ أَتَّخِذِ الْعَصَا فَقَدِ اتَّخَذَهَا أَبِي إِبْرَاهِيمُ»
 Jika aku membuat mimbar, maka sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah membuatnya; dan jika aku memakai tongkat, maka sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah memakainya.
Menurut kami (penulis) hadis ini tidak dapat dibuktikan sumbernya, wallahu a'lam.
Kemudian Al-Qurtubi mulai membahas hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan barang-barang tersebut.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, kesimpulannya dapat diringkas seperti berikut: Boleh juga makna yang dimaksud dari kalimat-ka-imat ini adalah semua yang telah disebutkan di atas, boleh pula sebagian darinya, tetapi tidak dapat menetapkan sesuatu pun darinya, lalu dikatakan bahwa inilah yang dimaksud secara tertentu, kecuali jika ada dalil dari hadis atau ijma'.
Selanjutnya Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, "Sehubungan dengan masalah ini tidak ada hadis sahih yang dapat dijadikan sebagai sandarannya, baik yang dinukil oleh jamaah ataupun oleh seorang perawi."
Selain Ibnu Jarir mengatakan, hanya saja memang telah diriwayatkan dari Nabi Saw. dua buah hadis yang mempunyai makna semisal dengan hadis ini. Salah satu di antaranya ialah apa yang diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib:
حَدَّثَنَا رَشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي زَبَّانُ بْنُ فَائِدٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ لِمَ سَمَّى اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَهُ {الَّذِي وَفَّى} [النَّجْمِ: 37] ؟ لِأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ كُلَّمَا أَصْبَحَ وَكُلَّمَا أَمْسَى: {فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ} [الرُّومِ: 17] حَتَّى يَخْتِمَ الْآيَةَ"
telah menceritakan kepada kami Rasyid ibnu Sa'd, telah menceritakan kepadaku Zaban ibnu Fa-id, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:  Ingatlah, akan aku ceritakan kepada kalian mengapa Allah menamakan Ibrahim kekasih-Nya dengan sebutan orang yang selalu menunaikan janji! Hal ini tiada lain karena setiap pagi dan petang ia selalu mengucapkan, "Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi; dan di waktu kalian berada pada petang hari dan di waktu kalian berada di waktu lohor." (Ar-Rum: 17-18).
Sedangkan hadis lainnya diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib:
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ، عَنْ عَطِيَّةَ، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى} أَتُدْرُونَ مَا وَفَّى؟ ". قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "وفَّى عَمَلَ يَوْمِهِ، أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فِي النَّهَارِ".
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Ja'far ibnuz Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37). Nabi Saw. bersabda, "Tahukah kalian, apa artinya orang yang selalu menyempurnakan janji?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Dia selalu menyempurnakan (mengerjakan) amal hariannya, yaitu empat rakaat di siang hari."
Adam meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya, dari Hammad ibnu Salamah dan Abdu ibnu Humaid, dari Yunus ibnu Muhammad, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ja'far ibnuz Zubair dengan lafaz yang sama.
Selanjutnya Ibnu Jarir menilai daif kedua hadis ini. Menurutnya, tidak boleh mengetengahkan kedua hadis tersebut kecuali bila disebutkan dengan jelas predikat daif-nya dari berbagai segi, karena sesungguhnya kedua sanad ini mengandung bukan hanya seorang yang daif, selain itu di dalam matan (materi) hadisnya terdapat hal-hal yang menunjukkan kelemahannya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, seandainya ada seseorang berkata bahwa sesungguhnya pendapat yang dikatakan oleh Mujahid Abu Saleh dan Ar-Rabi' ibnu Anas lebih mendekati kebenaran dibandingkan pendapat yang dikatakan oleh selain mereka, berarti pendapat tersebut merupakan mazhab tersendiri, mengingat firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) dan firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf." (Al-Baqarah: 125), hingga akhir ayat. demikian pula semua ayat yang semakna pembahasannya, berkedudukan sebagai keterangan dari makna kalimat-kalimat yang disebutkan oleh Allah Swt. sebagai mata ujian buat Nabi Ibrahim a.s.
Menurut kami, pendapat yang mula-mula dikatakan olehnya (Ibnu Jarir) —yaitu bahwa beberapa kalimat tersebut mencakup semua hal yang disebutkan— merupakan pendapat yang lebih kuat daripada pendapat ini yang dia katakan dari pendapat Mujahid dan orang-orang yang sependapat dengannya. Dikatakan demikian karena konteks dari pembahasan masalah ini mempunyai pengertian yang berbeda dengan apa yang mereka katakan.
****************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (Al-Baqarah: 124)
Ketika Allah Swt. hendak menjadikan Ibrahim sebagai imam untuk seluruh umat manusia, Ibrahim memohon kepada Allah, hendaknya para imam sesudahnya terdiri atas kalangan keturunannya. Maka Allah memperkenankan apa yang dimintanya itu dan memberitahukan kepadanya bahwa kelak di antara keturunannya terdapat orang-orang yang zalim, dan janji Allah tidak akan mengenai mereka yang zalim itu; mereka tidak akan menjadi imam dan tidak dapat dijadikan sebagai panutan yang diteladani.
Dalil yang menunjukkan bahwa permintaan Nabi Ibrahim a.s. dikabulkan ialah firman Allah Swt. di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
وَجَعَلْنا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتابَ
Dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya. (Al-'Ankabut: 27)
Maka setiap nabi yang diutus oleh Allah Swt. dan setiap kitab yang diturunkan Allah sesudah Nabi Ibrahim, semuanya itu terjadi di kalangan anak cucu keturunannya. Mengenai makna firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124)
Mereka berbeda pendapat dalam menakwilkannya.
Khasif mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Kelak di antara anak cucu keturunanmu terdapat orang-orang yang zalim.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya ini, bahwa Aku tidak akan mengangkat orang yang zalim menjadi imam-Ku. Menurut riwayat yang lain, Aku tidak akan menjadikan imam yang zalim sebagai orang yang diikuti.
Sufyan meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Maksudnya, imam yang zalim tidak akan menjadi orang yang diikuti.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. (Al-Baqarah: 124) Orang yang saleh dari kalangan mereka akan Aku jadikan sebagai imam yang diikuti; orang yang zalim dari kalangan mereka tidak Aku jadikan demikian, dan tiada nikmat baginya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim" (Al-Baqarah: 124). Makna yang dimaksud ialah orang yang musyrik bukanlah imam yang zalim, yakni tidak akan ada imam yang musyrik.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) Lalu Ibrahim berkata, "Dan aku memohon juga dari keturunanku menjadi imam." Maka Allah Swt. menolak menjadikan imam yang zalim dari keturunannya. Aku (Ibnu Juraij) bertanya kepada Ata, "Apakah yang dimaksud dengan al-'ahdu?" Ata menjawab, "Perintah Allah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Saur Al-Qaisari dalam surat yang ditujukannya kepadaku, bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Samak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim a.s. menjawab, "Dan aku mohon juga dari keturunanku." Pada mulanya Allah menolak, kemudian berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah:124)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku."'' Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 124) Ayat ini merupakan pemberitahuan kepadanya bahwa di antara keturunannya kelak akan ada orang yang zalim; dia tidak akan memperoleh janji ini, dan udaklah layak bagi Allah menguasakan sesuatu pun dari perintah-Nya kepada orang yang zalim itu, sekalipun orang yang zalim itu berasal dari keturunannya. Hanya orang baik dari kalangan keturunannyalah yang akan memperoleh doa ini dan sampai kepadanya apa yang dimaksud dari doanya itu.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Tidak ada perintah bagimu untuk menaati (mendoakan) orang yang berbuat kezaliman dalam sepak terjangnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, te-ah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah, dari Israil, dari Muslim Al-A'war, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Yaitu tidak ada janji bagi orang-orang yang zalim. Jika engkau mengadakan perjanjian dengannya, maka batallah (rusaklah) perjanjian itu.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan. As-Sauri meriwayatkan dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa bagi orang yang zalim tiadalah janji yang ditaati.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, tentang takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Janji Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim kelak di akhirat. Adapun di dunia, adakalanya orang yang zalim mendapatkannya hingga ia beroleh keamanan, dapat makan dan hidup berkat janji tersebut.
Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i, Ata, Al-Hasan, dan Ikrimah. Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, janji Allah yang ditetapkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya ialah agama-Nya. Allah Swt. berfirman bahwa orang-orang yang zalim tidak berada pada jalan agama-Nya. Hal ini ditegaskan di dalam firman-Nya:
وَبارَكْنا عَلَيْهِ وَعَلى إِسْحاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِما مُحْسِنٌ وَظالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (Ash-Shaffat: 113)
Yakni tidak semua keturunanmu, hai Ibrahim, berada pada jalan kebenaran.
Hal yang sama diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ata, Muqatil, dan Ibnu Hayyan. Juwaibir meriwayatkan dari Dahhak, bahwa tidak memperoleh ketaatan kepada-Ku orang yang menjadi musuh-Ku, yaitu orang yang durhaka kepada-Ku; dan Aku tidak akan mengenakan-nya kecuali hanya kepada seorang kekasih yang taat kepada-Ku.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Sa'id Ad-Damgani, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Sa'id ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. yang bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Bahwa makna yang dimaksud ialah: Tidak ada ketaatan kecuali dalam kemakrufan (kebajikan).
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Yang dimaksud dengan ahdi ialah kenabian-Ku.
Demikianlah pendapat Mufassirin Salaf mengenai ayat ini menurut apa yang telah dinukil oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini sekalipun makna lahiriahnya menunjukkan tidak akan memperoleh janji Allah, yakni kedudukan imam, seorang yang zalim, tetapi di dalamnya ter-kandung pemberitahuan dari Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim keka-sih-Nya; kelak akan dijumpai di kalangan keturunanmu orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan ter-dahulu dari Mujahid dan lain-lainnya.
Ibnu Khuwaiz Mindad Al-Maliki mengatakan, orang yang zalim tidak layak menjadi khalifah, hakim, mufti, saksi, tidak layak pula sebagai perawi.
{وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى (125) }
Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Yakni mereka tidak akan merasa puas dengan keperluan mereka darinya; mereka datang kepadanya, lalu kembali kepada keluarganya, kemudian kembali lagi kepadanya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna masabatal linnas, bahwa mereka berkumpul di tempat tersebut (Baitullah). Riwayat ini dan yang sebelumnya, kedua-duanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa mereka berkumpul padanya, kemudian kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair —menurut riwayat yang lain—.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata, Mujahid, Al-Hasan, Atiyyah, Ar-Rabi' ibnu Anas serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnu Abu Umair, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa Abu Amr (yakni Al-Auza'i) pernah berkata, telah menceritakan kepadanya Abdah ibnu Abu Lubabah sebuah asar mengenai takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa tiada seorang pun yang meninggalkannya —setelah menunaikan keperluannya— merasakan bahwa dirinya telah menunaikan keperluan darinya (yakni masih belum merasa puas dan ingin kembali lagi menunaikannya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa Ibnu Zaid pernah berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Mereka berkumpul di Baitullah dari berbagai negeri, semua datang kepadanya. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini, seperti yang dikemukakan oleh Imam Qurtubi, yaitu:
جُعِلَ الْبَيْتُ مَثَابًا لَهُمْ ... لَيْسَ مِنْهُ الدَّهْرُ يَقْضُونَ الْوَطَرْ
Baitullah dijadikan tempat berkumpul bagi mereka, tetapi selamanya mereka tetap merasa belum puas akan keperluannya di Baitullah itu.
Sa'id ibnu Jubair dalam riwayatnya yang lain —demikian pula Ikrimah, Qatadah, dan Ata Al-Khurrasani— mengatakan bahwa masabatal linnas artinya tempat berkumpul.
Sedangkan makna lafaz amnan —menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas— adalah tempat yang aman bagi manusia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempal berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125) Maksudnya, aman dari gangguan musuh dan tidak boleh membawa senjata di dalam kotanya. Sedangkan di masa Jahiliah orang-orang yang ada di sekitar Mekah saling berperang dan membegal, tetapi penduduk Mekah dalam keadaan aman tiada seorang pun yang mengganggu mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, Ata, As-Saddi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia.
Kesimpulan dari penafsiran mereka terhadap ayat ini ialah, bahwa Allah menyebutkan kemuliaan Baitullah dan segala sesuatu yang menjadi ciri khasnya yang mengandung ritual dan ketetapan hukum, yaitu Baitullah sebagai tempat berkumpulnya manusia.
Dengan kata lain, Allah menjadikannya sebagai tempat yang dirindukan dan disukai manusia; dan tiada suatu keperluan pun padanya ditunaikan oleh para pelakunya (yakni dia tidak akan merasa puas dengannya), sekalipun ia kembali lagi setiap tahunnya. Hal itu sebagai perkenan dari Allah Swt. terhadap doa Nabi Ibrahim a.s. di dalam firman-Nya:
{فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ} إِلَى أَنْ قَالَ: {رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ }
Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (Ibrahim: 37-40)
Allah menjadikannya sebagai tempat yang aman. Barang siapa yang memasukinya, niscaya dia aman. Sekalipun dia telah melakukan apa yang telah dilakukannya, lalu dia masuk ke dalamnya, niscaya dia akan aman.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, pernah ada seorang lelaki menjumpai pembunuh ayahnya atau saudara laki-lakinya di dalam Masjidil Haram, ternyata lelaki tersebut tidak berani mengganggunya. Seperti yang digambarkan di dalam surat Al-Ma-idah, yaitu melalui firman-Nya:
جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرامَ قِياماً لِلنَّاسِ
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia. (Al-Maidah: 97)
Dengan kata lain, ia merupakan tempat yang dapat melindungi mereka dari kejahatan disebabkan keagungannya.
Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya manusia tidak berhaji ke Baitullah itu, niscaya Allah akan membalikkan langit ke atas bumi." Kemuliaan ini tiada lain berkat kemuliaan orang yang mula-mula membinanya (membangunnya), yaitu kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku." (Al-Hajj: 26)
Adapun firman Allah Swt.:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَهُدىً لِلْعالَمِينَ. فِيهِ آياتٌ بَيِّناتٌ مَقامُ إِبْراهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 96-97)
Di dalam ayat ini disebutkan perihal maqam Ibrahim dan perintah mengerjakan salat padanya, yaitu melalui firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Mufassirin berbeda pendapat mengenai pengertian yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syabah An-Numairi, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yakni Abdullah ibnu Isa), telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah seluruh Masjidil Haram.
Hal yang semisal dengan riwayat ini diriwayatkan dari Mujahid dan Ata.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata tentang takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Maka Ata menjawab bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. berkata, "Maqam Ibrahim yang disebutkan dalam ayat ini ialah maqam Ibrahim yang ada di dalam Masjidil Haram."
Kemudian Ibnu Juraij mengatakan, maqam Ibrahim menurut kebanyakan dimaksudkan manasik haji seluruhnya. Kemudian Ata mengartikannya kepadaku, untuk itu dia berkata bahwa maqam Ibrahim adalah maqam Ibrahim yang terdapat di dalam Masjidil Haram, dan dua salat (Lohor dan Asar secara jamak) di Arafah, Al-Masy'ar, Mina, melempar jumrah, dan tavvaf (sa'i) antara Safa dan Marwah. Lalu aku bertanya, "Apakah Ibnu Abbas yang menafsirkan semuanya itu?" Ata menjawab, "Tidak, tetapi dia hanya mengatakan maqam Ibrahim adalah seluruh manasik haji." Aku bertanya, "Apakah engkau mendengar hal tersebut seluruhnya dari dia?" Ata menjawab, "Ya, aku mendengarnya dari dia."
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Abdullah ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim lempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang dijadikan oleh Allah sebagai rahmat. Dan tersebutlah bahwa di masa lalu Nabi Ibrahim-berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail yang mengulurkan batu-batu bangunan Ka'bah kepadanya. Seandainya bagian atas dari batu itu dibasuh —menurut mereka— niscaya kedua kakinya menjadi bersilang.
As-Saddi mengatakan bahwa maqam Ibrahim adalah batu yang diletakkan oleh istri Nabi Ismail di bawah telapak kaki Nabi Ibrahim, hingga istri Nabi Ismail mencuci bagian atasnya. Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi dan dinilainya daif, tetapi selain Al-Qurtubi menguatkannya. Diriwayatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari Ibnu Juraij, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Jabir menceritakan hadis tentang haji yang dilakukan oleh Nabi Saw.: Setelah Nabi Saw. tawaf, Umar berkata kepadanya, "Inikah maqam bapak kita? Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, bahwa sahabat Umar pernah menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam kekasih Tuhan kita!" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat? Maka turunlah ayat, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gailan ibnu Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Masruq ibnul Mirzaban, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun, dari Umar ibnul Khattab, bahwa ia pernah melewati maqam Ibrahim; lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kita sekarang berada di maqam kekasih Tuhan kita?" Nabi Saw. menjawab, "Memang benar." Umar berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat." Sebentar kemudian turunlah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Junaid, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Malik ibnu Anas, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berdiri di dekat maqam Ibrahim pada hari pembukaan kota Mekah, Umar bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, inikah maqam Ibrahim yang disebutkan oleh firman-Nya, 'Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat'?" Nabi Saw. menjawab, "Ya." Al-Walid berkata, "Aku bertanya kepada Malik, 'Apakah memang demikian dia (Ja'far ibnu Muhammad) menceritakannya kepadamu, yakni wattakhizu? Ia menjawab, "Ya."
Demikianlah yang disebutkan di dalam riwayat terakhir ini.
Sanad hadis ini berpredikat garib, tetapi Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan makna yang semisal.
Imam Bukhari mengatakan dalam bab tafsir firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Masabah artinya tempat berkumpul bagi mereka, setelah itu mereka kembali (ke negerinya masing-masing).
حَدَّثَنَا مُسدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وافقتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، أَوْ وَافَقَنِي رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اتَّخَذْتَ مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى؟ فَنَزَلَتْ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَدْخُلُ عَلَيْكَ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ، فَلَوْ أَمَرْتَ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِالْحِجَابِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ الْحِجَابِ. وَقَالَ: وَبَلَغَنِي مُعَاتبة النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ نِسَائِهِ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِنَّ فَقُلْتُ: إِنِ انْتَهَيْتُنَّ أَوْ ليبدلَن اللَّهُ رَسُولَهُ خَيْرًا مِنْكُنَّ، حَتَّى أَتَيْتُ إِحْدَى نِسَائِهِ، فَقَالَتْ: يَا عُمَرُ، أَمَا فِي رَسُولِ اللَّهِ مَا يَعِظُ نِسَاءَهُ حَتَّى تَعظهن أَنْتَ؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ} الْآيَةَ [التَّحْرِيمِ: 5] .
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku, atau Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat salat." Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, orang yang masuk menemuimu ada yang baik dan ada yang fajir (durhaka), sekiranya engkau perintahkan kepada Ummahatul Mu’minin untuk memakai hijab." Maka Allah Swt. menurunkan ayat hijab. Umar melanjutkan kisahnya, "Telah sampai kepadaku berita celaan Nabi Saw. terhadap salah seorang istrinya, maka aku masuk menemui mereka (istri-istri Nabi Saw.) dan kukatakan kepada mereka, 'Berhentilah kalian dari tuntutan kalian atau Allah benar-benar akan memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada kalian,' hingga sampailah aku pada salah seorang istrinya yang mengatakan, 'Hai Umar, adapun Rasulullah Saw., beliau belum pernah menasihati istri-istrinya hingga engkau sendirilah yang menasihati mereka.' Maka Allah menurunkan firman-Nya, “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian yang patuh' (At-Tahrim: 5), hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Maryam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Humaid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan sebuah hadis dari Umar r.a.
Demikianlah menurut konteks yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini, dan ia men-ta'liq-kan jalur yang kedua dari gurunya (yaitu Sa'id ibnul Hakam yang dikenal dengan nama Ibnu Abu Maryam Al-Masri).
Imam Bukhari menyendiri dalam periwayatan hadis ini dari gurunya di kalangan pemilik kitab-kitab Sittah. Sedangkan yang lainnya meriwayatkan hadis ini dari guru Imam Bukhari melalui perantara. Tujuan Imam Bukhari men-ta'liq hadis ini ialah untuk menjelaskan ittisal (hubungan) sanad hadis ini, dan sesungguhnya dia tidak meng-isnad-kan hadis ini mengingat Yahya ibnu Abu Ayyub Al-Gafiqi orangnya masih mengandung sesuatu cela; menurut Imam Ahmad, hafalannya lemah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hamid, dari Anas yang mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat salat" Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang masuk menemui istri-istrimu ada orang yang takwa dan ada pula orang yang fasik, maka sekiranya engkau memerintahkan mereka memakai hijab." Lalu turunlah ayat hijab. Dan semua istri Rasulullah Saw. berkumpul menemuinya dalam masalah cemburu, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian." Maka ternyata turunlah ayat yang berbunyi demikian.
Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Yahya dan Ibnu Abu Addi yang kedua-duanya menerima hadis ini dari Humaid, dari Anas, dari Umar r.a. Disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, "Aku bersesuaian dengan Rabbku dalam tiga perkara, atau Rabb-ku bersesuaian denganku dalam tiga perkara." Kemudian ia menuturkan hadis ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Umar dan Ibnu Aun; Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui Ahmad ibnu Mani', Imam Nasai meriwayatkannya melalui Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Daruqi, dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Muhammad ibnus Sabah; semuanya dari Hasyim ibnu Basyir dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula dari Abdu ibnu Humaid, dari Hajjaj ibnu Minhal, dari Hammad ibnu Salamah; dan Imam Nasai meriwayatkannya dari Hanad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah; keduanya menerimanya dari Humaid (yaitu Ibnu Tairawih At-Tawil) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Imam Ali ibnul Madini meriwayatkannya dari Yazid ibnu Zurai', dari Humaid dengan lafaz yang sama; dia mengatakan bahwa hadis ini termasuk sahih, dia (Imam Ali ibnul Madini) orang Basrah.
Imam Muslim ibnu Hajjaj meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan lafaz yang lain.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَم، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ جُوَيْرِيَةَ بْنِ أَسْمَاءَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ: فِي الْحِجَابِ، وَفِي أُسَارَى بَدْرٍ، وَفِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Juwairiyah binti Asma', dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Umar r.a., bahwa Umar pernah mengatakan: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu dalam masalah hijab, dalam masalah tawanan Perang Badar, dan dalam masalah maqam Ibrahim.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah berkata:  Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara, atau aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempal salat.? Maka turunlah fiman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan hijab buat istri-istrimu. Maka turunlah ayat hijab. Dan yang ketiga ialah ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah Saw. datang untuk menyalatkan (jenazah)nya, maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau salatkan orang kafir lagi munafik ini!" Nabi Saw. bersabda, "Diamlah kamu, hai Ibnul Khatab." Maka turunlah firman-Nya, "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya" (At-Taubah: 84).
Sanad asar ini berpredikat sahih. Tidak ada pertentangan di antara asar ini dan asar sebelumnya, bahkan semuanya sahih. Dan apabila majhum 'adad bertentangan dengan mantuq, maka majhum 'adad lebih diprioritaskan atasnya.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir:  Bahwa Rasulullah Saw. berlari kecil sebanyak tiga kali putaran dan berjalan biasa sebanyak empat kali putaran. Setelah beliau menyelesaikan (tawafnya), lalu beliau menuju ke maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya. Setelah itu beliau membacakan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَلْمَانَ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اسْتَلَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّكْنَ، فَرْمَلَ ثَلَاثًا، وَمَشَى أَرْبَعًا، ثُمَّ تَقَدَّمُ إِلَى مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ، فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى} فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir yang mengatakan: Rasulullah Saw. mengusap rukun, lalu berlari kecil sebanyak tiga kali (putaran) dan berjalan biasa sebanyak empat kali (putaran). Kemudian beliau menuju ke maqam Ibrahim dan membacakan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Maka beliau menjadikan posisi maqam berada di antara diri beliau dan Baitullah, lalu beliau salat dua rakaat.
Hadis ini merupakan cuplikan dari sebuah hadis yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Hatim ibnu Ismail.
Imam Bukhari meriwayatkan berikut sanadnya melalui Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar menceritakan, "Rasulullah Saw. tiba (di Mekah), lalu melakukan tawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dan salat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim."
Semua yang disebutkan di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang pernah dijadikan sebagai tangga tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika membangun Ka'bah. Ketika tembok Ka'bah makin tinggi, maka Ismail datang membawa batu tersebut agar Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail mengambilkan batu-batu untuk tembok Ka'bah, lalu diberikan kepadanya, dan Nabi Ibrahim memasang batu-batuan tersebut dengan tangannya untuk meninggikan bangunan Ka'bah. Manakala telah rampung dari satu sisi, maka batu itu dipindahkan oleh Nabi Ismail ke sisi berikutnya; demikianlah seterusnya hingga semua tembok Ka'bah selesai dibangun, seperti yang akan dijelaskan nanti dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, melalui riwayat Ibnu Abbas yang hadisnya berada pada Imam Bukhari.
Jejak bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim tampak jelas pada batu tersebut, hal ini masih tetap terkenal; orang-orang Arab di zaman Jahiliah mengetahuinya. Karena itulah Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu qasidah lamiyahnya, yang antara lain disebutkan:
وَمَوْطِئُ إِبْرَاهِيمَ فِي الصَّخْرِ رَطْبَةٌ ... عَلَى قَدَمَيْهِ حَافِيًا غَيْرَ نَاعِلِ
Tempat berpijak Nabi Ibrahim di batu besar itu masih basah; ia berdiri di atasnya pada kedua telapak kakinya tanpa memakai terompah.
Kaum muslim masih sempat menjumpainya pula, seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwa Anas ibnu Malik pernah menceritakan kepada mereka kisah berikut. Ia berkata, "Aku pernah melihat maqam Ibrahim, padanya masih ada jejak bekas jari-jari kaki Nabi Ibrahim a.s., juga bekas kedua telapak kakinya, hanya sudah pudar karena banyak diusap oleh orang-orang dengan tangan-tangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk melakukan salat di dekatnya, tidak diperintahkan mengusapnya. Akan tetapi, umat ini telah memaksakan diri melakukan sesuatu hal seperti yang pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya. Pernah dikisahkan kepada kami oleh orang yang melihat jejak bekas telapak kaki dan jari-jarinya masih tetap ada pada batu tersebut. Akan tetapi, umat ini masih terus mengusap-usapnya hingga jejak tersebut pudar dan terhapus.
Menurut kami, pada mulanya (yakni di masa silam) maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, tempatnya berada di sebelah pintu Ka'bah (Multazam) yang berada di dekat Hajar Aswad. Tepatnya tempat maqam Ibrahim tersebut berada di sebelah kanan pintu Ka'bah bagi orang yang hendak memasukinya, yaitu di salah satu bagian yang terpisah. Ketika Nabi Ibrahim a.s. selesai membangun Baitullah, ia meletakkan (menempelkan) batu tersebut pada dinding Ka'bah. Atau setelah menyelesaikan pembangunannya beliau tinggalkan batu tersebut di tempat beliau menyelesaikannya. Karena itu —hanya Allah Yang lebih mengetahui—, diperintahkan melakukan salat di tempat itu bila seseorang telah selesai dari tawaf. Hal ini secara kebetulan tepat berada di dekat maqam Ibrahim, ketika beliau selesai dari membangun Ka'bah.
Sesungguhnya orang yang menjauhkannya dari Ka'bah adalah Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., salah seorang imam yang mendapat petunjuk dan salah seorang Khulafaur Rasyidin yang kita semua diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Umar r.a. adalah salah seorang di antara dua orang lelaki yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya, yaitu:
«اقْتَدَوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ»
Ikutilah oleh kalian dua orang yang sesudahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Dia adalah orang yang Al-Qur'an diturunkan bersesuaian dengan idenya menganjurkan melakukan salat di dekat maqam Ibrahim. Karena itu, tiada seorang pun di antara para sahabat yang memprotes perbuatannya (menjauhkan maqam Ibrahim dari dinding Ka'bah).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman kami bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim adalah Umar ibnul Khattab r.a.
Abdur Razzaq meriwayatkan pula dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim hingga ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab r.a.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnul Husain Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Husain ibnul Fadl Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abu Sabit, telah menceritakan kepada kami Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa maqam (Ibrahim) dahulu di masa Rasulullah Saw. dan masa Abu Bakar r.a. menempel pada (dinding) Ka'bah, kemudian dijauhkan oleh Umar ibnul Khattab r.a.
Sanad hadis ini berpredikat sahih bersama riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Amr Al-Adani yang mengatakan bahwa Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah, imam ulama Mekah di masanya) pernah mengatakan bahwa dahulu di masa Nabi Saw. maqam Ibrahim merupakan bagian dari dinding Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Umar ke tempatnya yang sekarang setelah Nabi Saw. wafat dan setelah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Uyaynah mengatakan bahwa banjir telah mengalihkannya setelah dipindahkan oleh Umar dari tempatnya sekarang, kemudian Umar r.a. mengembalikannya ke tempatnya.
Sufyan mengatakan, "Aku tidak mengetahui berapa jarak antara maqam dan Ka'bah sebelum dipindahkan oleh Umar. Aku pun tidak mengetahui apakah maqam tadinya menempel atau tidak."
Semua asar yang kami kemukakan ini memperkuat apa yang kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Umar alias Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Abu Tamam, telah menceritakan kepada kami Adam alias Ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnul Muhajir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sekiranya kita salat di belakang maqam Ibrahim." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Pada awalnya maqam Ibrahim berada di dekat Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Rasulullah Saw. ke tempatnya yang sekarang. Mujahid mengatakan, tersebutlah bahwa Umar r.a. mempunyai suatu ide. Maka turunlah ayat Al-Qur'an yang sependapat dengannya.
Asar ini berpredikat mursal dari Mujahid, tetapi asar ini berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang menyebutkan bahwa orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul Khattab r.a. Akan tetapi, riwayat ini lebih sahih daripada jalur Ibnu Murdawaih, bila riwayat terakhir ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat sebelumnya.
{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِين وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (125) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (126) وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127) رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (128) }
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud" Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian:" Allah berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan lempal-lempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail. (Al-Baqarah: 125) Allah memerintahkan kepada keduanya untuk menyucikan Baitullah dari kotoran dan najis, dan agar Baitullah jangan terkena sesuatu pun dari hal tersebut.
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Ata, "Apakah yang dimaksud dengan lafaz al-'ahdu dalam ayat ini?" Ata menjawab, "Yang dimaksud adalah perintah Allah."
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim" (Al-Baqarah: 125). Makna yang dimaksud ialah, "Telah Kami perintahkan kepadanya." Demikian menurut Abdur Rahman.          
Makna lahiriah lafaz ini di-muta'addi-kan kepada huruf ila, mengingat makna yang dimaksud ialah telah Kami dahulukan dan telah Kami wahyukan.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud dengan dibersihkan ialah dibersihkan dari berhala-berhala.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:  Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya perintah membersihkan Baitullah ini ialah membersihkannya dari berhala-berhala, perbuatan cabul (tawaf dengan telanjang), perkataan dusta, dan kotoran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, dan Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Bersihkanlah rumah-Ku oleh kamu berdua" (Al-Baqarah: 125), yakni dari kemusyrikan, dengan kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Lafaz taifin artinya orang-orang yang tawaf. Tawaf di Baitullah merupakan hal yang sudah dikenal.
Dari Sa'id ibnu Jubair, disebutkan bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Lit taifin." Yang dimaksud ialah orang yang datang kepada Baitullah dari negeri lain, sedangkan yang dimaksud dengan al-'akifin ialah orang-orang yang mukim (penduduk asli). Hal yang sama dikatakan pula dari Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan lafaz al-'akifin dengan makna penduduk asli yang mukim padanya; begitu pula apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Yahya Al-Qattan meriwayatkan dari Abdul Malik (yakni Ibnu Abu Sulaiman), dari Ata sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Al-'akifin" bahwa al-'akifin ialah orang yang datang dari pelbagai kota, lalu bermukim di Baitullah. Ata mengatakan kepada kami, sedangkan kami tinggal bersebelahan dengan Baitullah, "Kalian adalah orang-orang yang i'tikaf."
Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila seseorang duduk padanya, maka dia termasuk orang-orang yang i'tikaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Sabit yang mengatakan bahwa kami pernah berkata kepada Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, "Aku harus berbicara kepada Amir agar dia mengizinkan aku melarang orang-orang yang tidur di dalam Masjidil Haram, karena sesungguhnya mereka mempunyai jinabah dan berhadas." Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair menjawab, "Jangan kamu lakukan itu, karena sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya mengenai mereka (yang tidur di dalam Masjidil Haram). Ia menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang sedang ber-i'tikaf." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Ibnu Umar sering tidur di dalam Masjid Rasul (di Madinah) ketika ia masih jejaka.
**************
Mengenai firman-Nya:
{وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Orang-orang yang rukuk dan orang-orang yang sujud. (Al-Baqarah: 125)
Maka Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sedang salat, maka dia termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata dan Qatadah.
Kemudian ibnu Jarir menilai lemah kedua hadis tersebut karena masing-masing dari kedua hadis tersebut mengandung orang-orang yang daif; dan kenyataannya memang seperti apa yang dikatakan oleh ibnu Jarir, yaitu kedua hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini ialah "Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf'. Perintah menyucikan Baitullah yang ditujukan kepada keduanya ialah agar menyucikannya dari berhala-berhala dan dari penyembahan kepada berhala-berhala di dalamnya, juga menyucikannya dari segala kemusyrikan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan hipotesisnya. Untuk itu dia mengatakan, jika timbul pertanyaan "Apakah sebelum Nabi Ibrahim membangun Ka'bah, di dalam Ka'bah terdapat sesuatu dari hal tersebut yang Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memberantasnya?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan dua alasan berikut.
Pertama, Allah memerintahkan keduanya (Ibrahim dan Ismail) untuk menyucikan Baitullah dari penyembahan segala macam berhala dan patung-patung, yang hal ini dilakukan di masa silam di zaman Nabi Nuh a.s. agar hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang sesudah zaman keduanya; mengingat Allah Swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai seorang imam yang diikuti. Seperti apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku olehmu berdua. (Al-Baqarah: 125) Yakni dari segala macam berhala yang disembah dan diagungkan oleh orang-orang musyrik di masa lalu.
Menurut kami, jawaban ini menyimpulkan bahwa dahulu di masa sebelum Nabi Ibrahim a.s. dilakukan penyembahan terhadap berhala di tempat tersebut. Tetapi hal ini memerlukan bukti berupa dalil dari orang yang ma'sum, yaitu dari Nabi Saw.
Kedua, Allah memerintahkan keduanya ikhlas dalam membangunnya karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Maka keduanya membangunnya seraya menyucikannya dari kemusyrikan dan keraguan, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ عَلى تَقْوى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيانَهُ عَلى شَفا جُرُفٍ هارٍ
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh. (At-Taubah: 109)
Demikian pula dalam firman-Nya:
{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ}
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku." (Al-Baqarah: 125)
Artinya, bangunlah rumah-Ku oleh kamu berdua dalam keadaan bersih dan suci dari kemusyrikan dan keraguan. Seperti apa yang dikatakan oleh As-Saddi, makna an-tahhira baitiya ialah bangunlah oleh kamu berdua rumah-Ku ini buat orang-orang yang tawaf.
Kesimpulan dari jawaban di atas ialah bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. membangun Ka'bah atas nama-Nya semata —tiada sekutu bagi-Nya— buat orang-orang yang tawaf dan i'tikaf serta orang-orang yang mengerjakan salat di dalamnya dari kalangan orang-orang yang rukuk dan sujud, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang rukuk dan sujud." (Al-Hajj: 26) serta beberapa ayat berikutnya.
Fuqaha (para ahli fiqih) berbeda pendapat mengenai masalah manakah yang lebih afdal antara salat di Baitullah dan tawaf. Imam Malik rahimahullah mengatakan, tawaf di Baitullah bagi penduduk kota-kota besar adalah lebih utama. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa salat lebih afdal secara mutlak. Alasan masing-masing dari kedua pendapat ini disebutkan secara rinci di dalam pembahasan hukum-hukum.
Maksud dan tujuan perintah tersebut adalah untuk membalas perbuatan orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah di rumah-Nya yang dibangun atas dasar menyembah-Nya semata dan tiada sekutu bagi-Nya. Kemudian selain itu mereka menghalang-halangi kaum mukmin yang memilikinya, tidak boleh memasukinya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرامِ الَّذِي جَعَلْناهُ لِلنَّاسِ سَواءً الْعاكِفُ فِيهِ وَالْبادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan, sesungguhnya Baitullah itu hanya dibangun bagi orang yang menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, baik dengan cara tawaf ataupun salat. Selanjutnya di dalam surat Al-Hajj disebutkan ketiga bagian dari salat, yaitu berdirinya, rukuknya, dan sujudnya, tetapi tidak disebutkan al-'akifin karena telah disebutkan dalam ayat sebelumnya, yaitu: baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25)
Sedangkan di dalam ayat ini (Al-Hajj: 25) tidak disebutkan rukuk, sujud, dan qiyam, tetapi hanya disebutkan taifin dan 'akifin, karena sesungguhnya telah diketahui bahwa tiada rukuk dan tiada sujud melainkan sesudah qiyam (berdiri). Di dalam ayat ini terkandung pula bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau berhaji kepadanya dari kalangan ahli kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sesungguhnya mereka mengakui keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka pun mengetahui bahwa rumah itu (Baitullah) dibangun untuk tawaf dalam ibadah haji dan umrah serta ibadah lainnya; juga untuk i’tikaf serta melakukan salat padanya, sedangkan mereka tidak mengerjakan sesuatu pun dari hal tersebut. Maria mungkin mereka dinamakan sebagai orang-orang yang menganut agama Nabi Ibrahim, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakan apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim?
Sesungguhnya Nabi Musa ibnu Imran serta nabi-nabi lainnya telah melakukan haji ke Baitullah, seperti yang telah diberitakan oleh orang yang di-ma'sum yang tidak sekali-kali berbicara dari dirinya sendiri melainkan hanya semata-mata wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dengan demikian, berarti makna ayat adalah seperti berikut Wa'ahidna ila Ibrahima, Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail melalui wahyu kami, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Dengan kata lain, bersihkanlah rumah-Ku dari kemusyrikan dan keraguan, dan bangunlah rumah-Ku dengan ikhlas karena Allah, yang kelak akan menjadi tempat bagi orang-orang yang i'tikaf, yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud.
Pengertian menyucikan masjid diambil dari ayat ini dan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيها بِالْغُدُوِّ وَالْآصالِ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang. (An-Nur: 36)
Sedangkan dalil dari sunnah banyak hadis yang memerintahkan membersihkan masjid-masjid dan memberinya wewangian serta lain-lainnya, seperti membersihkannya dari kotoran dan najis-najis serta hal-hal yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi Saw. pernah bersabda:
«إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ»
Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun hanya untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya kami menghimpun pembahasan ini dalam sebuah kitab tersendiri secara rinci.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mula-mula membangun Ka'bah. Menurut suatu pendapat, yang mula-mula membangun Ka'bah adalah para malaikat Hal ini diriwayatkan melalui Abu Ja'far Al-Baqir, yaitu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain; Imam Qurtubi menyebutkannya dan mengetengahkan riwayat tersebut, tetapi di dalamnya terkandung garabah (keanehan).
Menurut pendapat yang lain, orang yang mula-mula membangun Ka'bah adalah Nabi Adam a.s. Demikianlah menurut riwayat Abdur Razzaq, dari Ibnu Juraij, dari Ata dan Sa'id ibnul Musayyab sena lain-lainnya. Disebutkan bahwa Nabi Adamlah yang mula-mula membangunnya dari lima buah gunung, yaitu dari Gunung Hira, Gunung Tursina, Gunung Tur Zaitan, Gunung Libanon, dan Gunung Al-Judi. Akan tetapi, riwayat ini garib sekali.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka'b Al-Ahbar dan Qatadah, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa orang yang mula-mula membangunnya ialah Nabi Syis a.s.
Kebanyakan orang-orang yang mengetengahkan riwayat masalah ini mengambil sumber dari kitab-kitab kaum ahli kitab. Hal tersebut merupakan suatu topik yang tidak boleh dibenarkan, tidak boleh didustakan, tidak boleh pula dijadikan sebagai pegangan hanya berlandaskan ia semata. Jika ada hadis sahih yang menceritakan hal tersebut, maka dengan senang hati harus diterima.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian." (Al-Baqarah: 126)
قَالَ الْإِمَامُ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم بَيْتَ اللَّهِ وأمَّنَه وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا فَلَا يُصَادُ صَيْدُهَا وَلَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا"
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan dan mengamankan Baitullah, dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya. Karena itu, tidak boleh diburu binatang buruannya dan tidak boleh ditebang pepohonannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar dengan lafaz yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Amr ibnu Naqid, yang kedua-duanya menerimanya dari Abu Ahmad Az-Zubairi, dari Sufyan AS-Sauri.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ -أَيْضًا-: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب وَأَبُو السَّائِبِ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ الرَّازِيُّ، قَالَا جَمِيعًا: سَمِعْنَا أَشْعَثَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ عَبْدَ اللَّهِ وَخَلِيلَهُ وَإِنِّي عبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَإِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا، عضاهَها وصيدَها، لَا يُحْمَلُ فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا يُقْطَعُ مِنْهَا شَجَرَةً إِلَّا لِعَلَفِ بَعِيرٍ"
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Abus Sa-ib yang kedua-duanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim Ar-Razi, keduanya mengatakan bahwa kami pernah mendengar Asy'as, dari Nafi’ dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim adalah hamba dan kekasih Allah, dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Mekah kota suci, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah kota yang suci di antara kedua batasnya, yakni semua pepohonannya dan semua binatang buruannya. Tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk tujuan perang, dan tidak boleh menebang sebuah pohon pun darinya kecuali untuk makanan unta.
Akan tetapi, jalur periwayatan ini garibah karena tidak dijumpai dalam salah satu kitab pun dari Kutubus Sittah. Asal hadis berada pada kitab Sahih Muslim, dari jalur yang lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan hadis berikut:
انَ النَّاسُ إذا رأوا أول الثمر، جاؤوا بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا أَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ إِنَّ إبراهيمَ عبدُك وَخَلِيلُكَ وَنَبِيُّكَ، وَإِنِّي عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَإِنِّي أَدْعُوكَ لِلْمَدِينَةِ بِمِثْلِ مَا دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَمِثْلِهِ مَعَهُ" ثُمَّ يَدْعُو أصْغَرَ وَلِيدٍ لَهُ، فَيُعْطِيهِ ذَلِكَ الثَّمَرَ. وَفِي لَفْظٍ: "بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ" ثُمَّ يُعْطِيهِ أَصْغَرَ مَنْ يَحْضُرُهُ مِنَ الْوِلْدَانِ.
Orang-orang (penduduk Madinah) apabila musim buah kurma tiba, mereka mendatangkan yang mula-mula mereka petik kepada Rasulullah Saw. Dan apabila Rasulullah Saw. menerimanya, maka beliau berdoa, "Ya Allah, berkatilah bagi kami dalam buah kurma kami, berkatilah bagi kami dalam kota Madinah kami, berkatilah bagi kami dalam ukuran sa' kami, dan berkatilah bagi kami dalam ukuran mud kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba, kekasih, dan Nabi-Mu; dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Nabi-Mu. Dia telah berdoa untuk Mekah, dan sesungguhnya aku sekarang berdoa memohon kepada-Mu untuk kota Madinah ini dengan doa yang semisal dengan apa yang pernah didoakan olehnya (Ibrahim) buat Mekah, dan hal yang semisal semoga pula disertakan bersamanya." Kemudian Nabi Saw. memanggil anak yang paling kecil baginya, lalu memberikan buah kurma itu kepadanya. Menurut lafaz yang lain disebutkan (sebagai tambahannya): "berkah di samping berkah, " kemudian beliau memberikannya kepada anak yang paling kecil di antara anak-anak yang hadir.
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريب، حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرٍ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَديج، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ، وَإِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا".
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Mudar, dari Ibnul Had, dari Abu Bakar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Usman, dari Rafi' ibnu Khadij yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah di antara kedua batasnya sebagai kota yang suci.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri. Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Qutaibah, dari Bakr ibnu Mudar dengan lafaz yang sama dengan lafaz Imam Muslim.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَلْحَةَ: "الْتَمِسْ لِي غُلَامًا مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدِمُنِي" فَخَرَجَ بِي أَبُو طَلْحَةَ يَرْدِفُنِي وَرَاءَهُ، فَكُنْتُ أَخْدِمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا نَزَلَ. وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ: ثُمَّ أقْبَلَ حَتَّى إِذَا بَدَا لَهُ أُحد قَالَ: "هَذَا جَبَلٌ يُحبُّنا وَنُحِبُّهُ". فَلَمَّا أَشْرَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ قَالَ:"اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ جَبَلَيْهَا، مِثْلَمَا حَرَّمَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مُدِّهم وَصَاعِهِمْ". وَفِي لَفْظٍ لَهُمَا: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مِكْيَالِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي مُدِّهِمْ". زَادَ الْبُخَارِيُّ: يَعْنِي: أَهْلَ الْمَدِينَةِ
bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Talhah, "Carikanlah buatku seorang pelayan laki-laki dari kalangan anak-anak kalian yang akan kujadikan sebagai pembantuku." Lalu Abu Talhah berangkat dengan memboncengku di belakang (menuju kepada Rasulullah Saw.). Maka aku melayani Rasulullah Saw. Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, manakala Rasulullah Saw. turun istirahat .... Dan Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, setelah itu beliau datang; dan manakala tampak baginya Bukit Uhud, maka beliau bersabda: Bukit ini (penghuninya) mencintaiku dan aku mencintainya. Manakala hampir tiba di Madinah, beliau berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan apa yang ada di antara kedua bukit kota Madinah ini sebagai kota yang suci, sebagaimana Ibrahim telah menjadikan suci kota Mekah. Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mud dan sa' mereka. Menurut lafaz yang lain dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut Ya Allah, berkatilah bagi mereka dalam takaran mereka, dan berkatilah mereka dalam takaran sa' mereka, dan berkati pula mereka dalam takaran mud mereka. Imam Bukhari menambahkan, "Yakni penduduk Madinah."
Disebutkan pula oleh keduanya (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim), dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِينَةِ ضِعْفَي مَا جَعَلْتَهُ بِمَكَّةَ مِنَ الْبَرَكَةِ"
Ya Allah, semoga Engkau menjadikan di Madinah ini keberkahan dua kali lipat dari apa yang telah Engkau jadikan buat Mekah.
Dari Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim r.a., dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut:
" إن إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لَهَا، وحَرَّمتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِمَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagai mana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran mud dan sa'-nya sebagaimana Ibrahim telah mendoakan untuk Mekah.
Hadis ini dan lafaznya diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya berbunyi seperti berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلَهَا. وَإِنِّي حرَّمتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَإِنِّي دَعَوْتُ لَهَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلِ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ مَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagaimana Ibrahim menjadikan suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran sa' dan mud-nya sebanyak dua kali lipat dari apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim untuk Mekah.
Dan Abu Sa'id telah menceritakan dari Nabi Saw., bahwa Rasulullah Saw. berdoa:
"اللَّهُمَّ إنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ فَجَعَلَهَا حَرَامًا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ حَرَامًا مَا بَيْنَ مَأْزِمَيْهَا، لَا يَهْرَاقُ فِيهَا دَمٌ، وَلَا يُحْمَلُ فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا يُخْبَطُ فِيهَا شَجَرَةٌ إِلَّا لِعَلَفٍ. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَعَ الْبَرَكَةِ بِرْكَتَيْنِ".
Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan kota Mekah, maka dia menjadikannya sebagai tanah suci. Dan sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya sebagai tanah suci agar tidak dialirkan darah padanya, tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk peperangan, tidak boleh memotong sebuah pohon pun darinya kecuali hanya untuk makanan ternak. Ya Allah, berkatilah bagi kami kota Madinah kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran sa' kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran mud kami. Ya Allah, jadikanlah bersama keberkatan ini dua kali lipat keberkatan.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Hadis-hadis yang menerangkan tentang keharaman (kesucian) kota Madinah cukup banyak jumlahnya. Kami mengutarakan sebagiannya saja yang ada kaitannya dengan pengharaman Nabi Ibrahim a.s. terhadap kota suci Mekah, mengingat pembahasan ini ada munasabah kaitannya dengan tafsir ayat yang sedang kita bahas.
Hadis-hadis tersebut dijadikan pegangan oleh orang yang mengatakan bahwa pengharaman kota Mekah hanya dilakukan oleh lisan Nabi Ibrahim a.s. Akan tetapi, pendapat yang lain mengatakan "sesungguhnya kota Mekah itu telah haram (suci) sejak bumi diciptakan"; pendapat yang terakhir ini lebih jelas dan lebih kuat.
Banyak hadis lainnya yang menerangkan bahwa Allah Swt telah mengharamkan kota Mekah sebelum langit dan bumi diciptakan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abdullah ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda pada hari kemenangan atas kota Mekah:
"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمه اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَإِنَّهُ لَمْ يحِل الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا ساعة من نهار، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. لَا يُعْضَد شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلَا تُلْتَقَط لُقَطَتُه إِلَّا مَنْ عرَّفها، وَلَا يُخْتَلَى خَلاهَا" فَقَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رسول الله، إلا الإذْخَر فإنه لقَينهم ولبيوتهم. فَقَالَ: "إِلَّا الْإِذْخِرَ"
Sesungguhnya negeri ini (Mekah) telah diharamkan (dijadikan suci) oleh Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya negeri ini tidak dihalalkan peperangan di dalamnya oleh seorang pun sebelumku, tidak dihalalkan olehku kecuali sesaat dari siang hari. Maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat. Pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diburu, barang temuannya tidak boleh diambil kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Maka Al-Abbas bertanya, "Wahai Rasulullah, terkecuali izkhir, karena sesungguhnya kayu izkhir dipergunakan untuk pandai besi mereka dan untuk (atap) rumah-rumah mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali izkhir."
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim. Imam Bukhari serta Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu Hurairah r.a.
Sesudah itu Imam Bukhari mengatakan bahwa Aban ibnu Saleh telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar hal yang semisal dari Nabi Saw."
Riwayat inilah yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Abdullah ibnu Majah':
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَير، عَنْ يُونُسَ بْنِ بُكَيْر، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاق، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَامَ الْفَتْحِ، فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إن الله حرم مكة يوم خلق السموات وَالْأَرْضَ، فَهِيَ حَرَام إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهَا وَلَا يُنَفَّر صيدُها، وَلَا يَأْخُذُ لُقَطَتَها إِلَّا مُنْشِد" فَقَالَ الْعَبَّاسُ: إِلَّا الْإِذْخِرَ؛ فَإِنَّهُ لِلْبُيُوتِ وَالْقُبُورِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِلَّا الإذْخَر"
dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. berkhotbah pada hari kemenangan atas kota Mekah. Beliau Saw. bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah telah mengharamkan (menyucikan) Mekah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Maka kota Mekah tetap haram hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, dan binatang buruannya tidak boleh diburu, serta barang temuannya tidak boleh dipungut kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya. Al-Abbas berkata, "Terkecuali izkhir, karena sesungguhnya izkhir buat rumah-rumah dan keperluan kuburan." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali izkhir”
Dari Abu Syuraih Al-Adawi, disebutkan bahwa ia pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id ketika Amr ibnu Sa'id sedang melantik utusan-utusannya untuk ke Mekah, "Izinkanlah bagiku, wahai Amir, untuk mengemukakan kepadamu suatu ucapan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Ketika keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah. Aku mendengarnya langsung dengan kedua telingaku ini dan menghafalnya, lalu aku melihat dengan kedua mata kepalaku ketika beliau mengatakannya. Sesungguhnya beliau pada permulaannya memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian beliau Saw. bersabda:
"إِنَّ مَكَّةَ حرمها الله ولم يحرمها الناس، فلا يحل لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْفِكَ بها دما، ولا يعضد بها شجرة، فإن أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ. وَإِنَّمَا أَذِنَ لِي فِيهَا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالْأَمْسِ، فَلْيُبَلِّغِ الشاهد الغائب". فقيل لأبي شُرَيح: ما قال لك عمرو؟ قال: أنا أعلم بذلك منك يَا أَبَا شُرَيْحٍ، إِنَّ الْحَرَمَ لَا يُعِيذُ عَاصِيًا، وَلَا فَارًّا بِدَمٍ، وَلَا فَارًّا بخَرَبَة.
'Sesungguhnya Mekah telah diharamkan oleh Allah, dan bukan diharamkan oleh manusia. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah padanya, dan menebang salah satu dari pepohonannya. Jika ada seseorang mengatakan mengapa diberikan rukhsah kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan peperangan di dalamnya. Maka katakanlah bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan kepada Rasul-Nya dan tidak memberi izin kepada kalian. Sesungguhnya yang diizinkan kepadaku untuk melakukan peperangan di dalamnya hanyalah sesaat dari siang hari. Adapun sekarang, kota Mekah telah kembali menjadi haram seperti keharamannya kemarin. Maka hendaklah orang yang menyaksikan maklumat ini menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir" Kemudian dikatakan kepada Abu Syuraih, "Apakah yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu Syuraih menjawab, "Aku lebih mengetahui hal tersebut daripada kamu, hai Abu Syuraih: 'Sesungguhnya tanah haram (suci) itu tidak memberikan perlindungan kepada orang yang durhaka, tidak pula orang yang lari karena telah membunuh, dan tidak pula yang lari sehabis menimbulkan kerusakan'."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Apa yang disebutkan di atas berdasarkan lafaz Imam Muslim.
Apabila hal ini telah diketahui, maka tidak ada pertentangan di antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengharamkan kota Mekah sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahimlah yang mengharamkannya. Karena sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang menyampaikan dari Allah hukum yang dikehendaki-Nya terhadap kota Mekah dan pengharaman Allah terhadapnya. Mekah masih tetap dalam keadaan haram (suci) menurut Allah sebelum Nabi Ibrahim mengadakan bangunan Baitullah padanya.
Perihalnya sama dengan masalah Rasulullah Saw. Sejak dahulu beliau tercatat sebagai pemungkas para nabi di sisi Allah, sedangkan Adam saat itu masih berupa tanah liat. Akan tetapi, sekalipun demikian Nabi Ibrahim a.s. berdoa:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 129)
Allah memperkenankan doanya sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh ilmu-Nya di zaman azali. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang permulaan kejadianmu." Maka Nabi Saw. menjawab:
"دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، وَرَأَتْ أُمِّي كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نور أضاء ت لَهُ قُصُورُ الشَّامِ".
(Aku adalah) doa ayahku Nabi Ibrahim a.s. dan berita gembira Isa ibnu Maryam, dan ibuku telah melihat seakan-akan keluar dari tubuhnya nur yang cahayanya menerangi gedung-gedung negeri Syam.
Pertanyaan ini menyatakan, "Ceritakanlah kepada kami tentang permulaan munculnya kejadianmu," seperti yang akan diterangkan nanti dalam waktu dekat, insya Allah.
Masalah keunggulan kota Mekah atas kota Madinah dari segi keutamaan, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama —atau kota Madinah atas kota Mekah, seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan para pengikutnya— akan diketengahkan dalam pembahasan lain berikut dalil-dalilnya, insya Allah.
**************
Firman Allah Swt. menyitir doa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil:
 {رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman. (Al-Baqarah: 126)
Yakni aman dari rasa takut, penduduknya tidak boleh ditakut-takuti. Allah Swt. telah melakukan hal tersebut, baik secara syari' ataupun secara takdir, seperti firman Allah Swt.:
Barang siapa memasukinya (Baitullah itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 97)
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنا حَرَماً آمِناً وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok. (Al-'Ankabut: 67)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan hadis-hadis yang mengharamkan melakukan peperangan di Tanah Suci. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis oleh Jabir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلَاحَ»
Tidak dihalalkan bagi seseorang membawa senjata di Mekah.
Imam Muslim mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman. (Al-Baqarah: 126) Maksudnya, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman sentosa. Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim sebelum dia membangun Ka'bah. Di dalam surat Ibrahim disebutkan:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman." (Ibrahim: 35)
Penempatan doa ini dalam surat Ibrahim sangat sesuai, —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— karena seakan-akan Ibrahim a.s. memanjatkan doanya sekali lagi sesudah membangun rumah itu (Ka'bah) dan para penduduknya telah menetap padanya.
Hal ini terjadi sesudah kelahiran Nabi Ishaq, putra bungsu Nabi Ibrahim; jarak umur Ishaq dengan Ismail adalah tiga belas tahun. Karena itulah dalam akhir doanya Nabi Ibrahim mengatakan:
{الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ}
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Ibrahim: 39)
***************
{وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali:" (Al-Baqarah: 126)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (Al-Baqarah: 126) Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa bagian ayat ini merupakan firman Allah Swt Pendapat ini juga dikatakan oleh Mujahid dan Ikri-mah, dan inilah yang dinilai benar oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan yang lainnya mengatakan, bagian ayat ini merupakan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim a.s., seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa bagian ayat ini merupakan doa Nabi Ibrahim. Ia memohon kepada Allah, 'Barang siapa yang kafir, berikanlah kepadanya kesenangan sementara saja'."
Abu Ja'far meriwayatkan dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara. (Al-Baqarah: 126) Artinya, barang siapa yang kafir, Aku beri dia rezeki pula, tetapi sedikit (yakni sementara hanya selama di dunia saja). kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, setelah Nabi Ibrahim menolak mendoakan orang yang Allah enggan menjadikannya berhak menerima pengakuan dari-Nya, demi taat dan cintanya kepada Allah, demi menjauhkan diri dari orang yang menentang perintah Allah, sekalipun orang tersebut masih dari kalangan keturunannya; yaitu di saat Ibrahim a.s. mengetahui bahwa akan ada di antara keturunannya orang yang zalim yang tidak berhak mendapat janji (perintah) Allah —hal ini diketahuinya melalui pemberitahuan dari Allah kepada dirinya— maka Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir pun. (Al-Baqarah: 126)
Dengan kata lain, sesungguhnya Aku akan memberi rezeki kepada orang yang bertakwa, juga kepada orang yang durhaka; tetapi kepada orang yang durhaka Aku hanya memberinya kesenangan sementara.
Hatim ibnu Ismail meriwayatkan dari Humaid Al-Kharrat, dari Ammar Az-Zahabi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman senlosa, dan berikanlah rezeki buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 126) Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya Nabi Ibrahim dalam doanya hanya membatasi buat orang-orang mukmin saja, bukan untuk semua orang. Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Kepada orang kafir pun Aku beri mereka rezeki sebagaimana Aku berikan rezeki kepada orang-orang mukmin. Apakah Aku ciptakan mereka, lalu Aku tidak berikan rezeki kepada mereka? Aku hanya memberikan kesenangan sementara saja kepada mereka, kemudian Aku paksa mereka menerima azab neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya yang lain, yaitu:
كُلًّا نُمِدُّ هؤُلاءِ وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطاءِ رَبِّكَ وَما كانَ عَطاءُ رَبِّكَ مَحْظُوراً
Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Isra: 20)
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula hadis ini. Hal yang semisal diriwayatkan dari Ikrimah dan Mujahid.
Makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 126) semisal dengan makna firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتاعٌ فِي الدُّنْيا ثُمَّ إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذابَ الشَّدِيدَ بِما كانُوا يَكْفُرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (Yunus: 69-70)
وَمَنْ كَفَرَ فَلا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِما عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ. نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلى عَذابٍ غَلِيظٍ
Dan barang siapa kafir, maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kamilah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Se-sungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras. (Luqman: 23-24)
وَلَوْلا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً واحِدَةً لَجَعَلْنا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفاً مِنْ فِضَّةٍ وَمَعارِجَ عَلَيْها يَظْهَرُونَ. وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْواباً وَسُرُراً عَلَيْها يَتَّكِؤُنَ. وَزُخْرُفاً وَإِنْ كُلُّ ذلِكَ لَمَّا مَتاعُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Az-Zukhruf: 33-35)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan ilulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Yakni setelah Aku berikan kepadanya kesenangan duniawi dan keluasan naungannya, maka Aku kembalikan dia kepada siksa neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali itu adalah neraka. Dengan kata lain, Allah sengaja menangguhkan mereka, setelah itu barulah Allah mengazab mereka dengan azab Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa. Ayat ini maknanya semisal dengan firman Allah Swt.:
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَها وَهِيَ ظالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُها وَإِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan berapalah banyaknya kota yang Aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah kembalinya (segala sesuatu). (Al-Hajj: 48)
Di dalam hadis Sahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan:
"لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang menyakitkan pendengarannya; sesungguhnya mereka menganggap Allah beranak, tetapi Allah tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.
Di dalam hadis sahih disebutkan pula:
"إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي (2) لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ". ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ} [هُودٍ: 102]
Sesungguhnya Allah benar-benar menangguhkan orang yang zalim, dan manakala Allah mengazabnya, niscaya Allah tidak akan membiarkannya lolos (dari azab-Nya). Kemudian Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Hud: 102)
Sebagian ulama membaca ayat ini (Al-Baqarah: 126) dengan bacaan berikut: Qala wa man kafara fa-amli'hu qalilan (Dan barang siapa yang kafir, maka berilah dia kesenangan sementara), hingga akhir ayat. Dia menganggapnya sebagai kelanjutan dari doa Nabi Ibrahim. Tetapi bacaan ini syazzah, yakni berbeda dengan qiraat sab'ah; lagi pula susunan konteks bertentangan dengan maknanya. Karena sesungguhnya damir yang terkandung di dalam lafaz qala kembali kepada Allah Swt. menurut bacaan jumhur ulama, dan konteks ayat memang menunjukkan pengertian ini. Akan tetapi, menurut qiraat yang syazzah tadi berarti damir yang terkandung di dalam lafaz qala kembali kepada Ibrahim, dan ini jelas bertentangan dengan konteks kalimat.
******************
Firman Allah Swt:
{وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ*رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkan kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 127-128)
Al-qawa'id adalah bentuk jamak dari lafaz qa'idah, artinya tiang atau fondasi. Allah berfirman, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepada kaummu kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah dan meninggikan fondasi yang dilakukan oleh keduanya, seraya keduanya berdoa, 'Ya Tuhan kami, terimalah dari kami amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'."
Al-Qurtubi dan lain-lainnya meriwayatkan melalui Ubay dan Ibnu Mas'ud bahwa keduanya membaca ayat ini: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 127) Yakni dengan menambahkan lafaz yaqulani sebelum rabbana taqabbal minna.
Menurut kami, bacaan tersebut tersimpul dari doa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sesudah itu, yakni firman-Nya: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128), hingga akhir ayat.
Keduanya sedang melakukan amal saleh seraya memohon kepada Allah, semoga Allah menerima amalan keduanya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Muhammad ibnu Ya-zid ibnu Khunais Al-Makki, dari Wahib ibnul Ward, bahwa ia membaca firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami)." (Al-Baqarah: 127)
Kemudian Wahib ibnul Ward menangis dan mengatakan, "Wahai kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, engkau sedang meninggikan dasar-dasar Baitullah, tetapi engkau merasa takut bila amalanmu tidak diterima."
Makna ayat ini semisal dengan yang disebutkan oleh Allah Swt. tentang keadaan orang-orang mukmin yang benar-benar ikhlas, melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا}
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan. (Al-Mu’minun: 60)
Maksudnya, mereka memberikan apa yang telah mereka berikan berupa sedekah-sedekah, berbagai macam nafkah, dan amal taqarrub (kurban-kurban).
{وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
sedangkan hati mereka dalam keadaan takut. (Al-Mu’minun: 60)
Yakni takut amalan mereka tidak diterima oleh Allah Swt., seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih dari Siti Aisyah r.a., dari Rasulullah Saw. yang akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa orang yang meninggikan dasar-dasar bangunan Baitullah adalah Nabi Ibrahim, sedangkan orang yang berdoanya adalah Nabi Ismail. Akan tetapi, pendapat yang benar mengatakan bahwa keduanya sama-sama membina dasar-dasar Baitullah dan berdoa, seperti yang akan dijelaskan kemudian. Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang akan kami ketengahkan kemudian, setelah itu kami ikutkan pembahasan asar-asar yang berkaitan dengannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ السخيتاني وَكَثِيرِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ أَبِي وَدَاعة -يَزِيدُ أحدُهما عَلَى الْآخَرِ -عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَير، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَوَّلُ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ المنْطَق مِنْ قبَل أُمِّ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لِيُعَفِّيَ أَثَرَهَا عَلَى سَارَّةَ. ثُمَّ جَاءَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ وَبِابْنِهَا إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَهِيَ تُرْضِعُهُ، حَتَّى وَضَعَهُمَا عِنْدَ الْبَيْتِ عِنْدَ دَوْحَةٍ فَوْقَ زَمْزم فِي أَعْلَى الْمَسْجِدِ، وَلَيْسَ بِمَكَّةَ يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ، وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ فَوَضَعَهُمَا هُنَالِكَ، وَوَضَعَ عِنْدَهُمَا جِرَابًا فِيهِ تَمْرٌ وسِقَاء فِيهِ مَاءٌ، ثُمَّ قَفَّى إِبْرَاهِيمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، مُنْطَلِقًا. فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءَ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَتْ: إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا. ثُمَّ رَجَعَتْ. فَانْطَلَقَ إِبْرَاهِيمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ الثَّنِيَّةِ حَيْثُ لَا يَرَوْنَهُ، اسْتَقْبَلَ بِوَجْهِهِ الْبَيْتَ، ثُمَّ دَعَا بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، قَالَ: {رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ} [إِبْرَاهِيمَ: 37] ، وَجَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تُرْضِعُ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَتَشْرَبُ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، حَتَّى إِذَا نَفِدَ مَاءُ السِّقَاءِ عَطِشَتْ وَعَطِشَ ابْنُهَا، وجعلت تنظر إليه يتلوى - أَوْ قَالَ: يَتَلَبَّطُ -فَانْطَلَقَتْ كَرَاهِيَةَ أَنْ تَنْظُرَ إِلَيْهِ، فَوَجَدَتِ الصَّفَا أقربَ جَبَلٍ فِي الْأَرْضِ يَلِيهَا فَقَامَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتِ الْوَادِي تَنْظُرُ هَلْ تَرَى أَحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ أَحَدًا. فَهَبَطَتْ مِنَ الصَّفَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْوَادِي رَفَعَتْ طَرْفَ دِرْعِهَا، ثُمَّ سَعَتْ سَعْيَ الْإِنْسَانِ الْمَجْهُودِ حَتَّى جَاوَزَتِ الْوَادِي. ثُمَّ أَتَتِ الْمَرْوَةَ، فَقَامَتْ عَلَيْهَا وَنَظَرَتْ هَلْ تَرَى أحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ أَحَدًا. فَفَعَلَتْ ذَلِكَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فَلِذَلِكَ سَعَى النَّاسُ بَيْنَهُمَا". فَلَمَّا أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةِ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ: صَهٍ، تُرِيدُ نَفْسَهَا، ثُمَّ تَسَمَّعت فسمعَت أَيْضًا. فَقَالَتْ: قَدْ أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ غُوَاث فَإِذَا هِيَ بالمَلَك عِنْدَ مَوْضِعِ زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ -أَوْ قَالَ: بِجَنَاحِهِ -حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءُ، فَجَعَلَتْ تُحَوِّضُهُ، وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ الْمَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَمَا تَغْرِفُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَرْحَمُ اللَّهُ أَمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ -أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ -لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعينًا". قَالَ: فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا، فَقَالَ لَهَا الْمَلَكُ: لَا تَخَافِي الضَّيْعَةَ؛ فَإِنَّ هَاهُنَا بَيْتًا لِلَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، يَبْنِيهِ هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ، وَإِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُضَيِّعُ أَهْلَهُ. وَكَانَ الْبَيْتُ مُرْتَفِعًا مِنَ الْأَرْضِ كَالرَّابِيَةِ تَأْتِيهِ السُّيُولُ فَتَأْخُذُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، فَكَانَتْ كَذَلِكَ حَتَّى مَرَّتْ بِهِمْ رُفْقَةٌ مِنْ جُرْهُم -أَوْ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ جُرْهم -مُقْبِلِينَ مِنْ طَرِيقِ كَدَاء. فَنَزَلُوا فِي أَسْفَلِ مَكَّةَ، فَرَأَوْا طَائِرًا عَائِفًا، فَقَالُوا: إِنَّ هَذَا الطَّائِرَ لَيَدُورُ عَلَى الْمَاءِ، لعَهْدُنا بِهَذَا الْوَادِي وَمَا فِيهِ مَاءٌ. فَأَرْسَلُوا جَرِيًّا أَوْ جَرِيَّين، فَإِذَا هُمْ بِالْمَاءِ. فَرَجَعُوا فَأَخْبَرُوهُمْ بِالْمَاءِ، فَأَقْبَلُوا. قَالَ: وَأُمُّ إِسْمَاعِيلَ عِنْدَ الْمَاءِ. فَقَالُوا: أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَنْزِلَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَلَكِنْ لَا حَقَّ لَكُمْ فِي الْمَاءِ. قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فَأَلْفَى ذَلِكَ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ وَهِيَ تُحِبُّ الْأُنْسَ. فَنَزَلُوا، وَأَرْسَلُوا إِلَى أَهْلِيهِمْ فَنَزَلُوا مَعَهُمْ. حَتَّى إِذَا كَانَ بِهَا أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْهُمْ وَشَبَّ الغلامُ، وَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ مِنْهُمْ، وأنْفَسَهم وَأَعْجَبَهُمْ حِينَ شَبَّ، فَلَمَّا أَدْرَكَ زَوَّجُوهُ امْرَأَةً مِنْهُمْ. وَمَاتَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، فَجَاءَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ مَا تَزَوَّجَ إسماعيلُ لِيُطَالِعَ تَرْكَتَه. فَلَمْ يَجِدْ إِسْمَاعِيلَ، فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: خَرَجَ يَبْتَغِي لَنَا. ثُمَّ سَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ، فَقَالَتْ: نَحْنُ بشَرّ، نَحْنُ فِي ضِيقٍ وَشِدَّةٍ. وَشَكَتْ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَقُولِي لَهُ: يُغَيِّرُ عَتَبَةَ بَابِهِ. فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَأَنَّهُ أَنِسَ شَيْئًا. فَقَالَ: هَلْ جَاءَكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، جَاءَنَا شَيْخٌ كَذَا وَكَذَا، فَسَأَلَ عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، وَسَأَلَنِي كَيْفَ عَيْشُنَا؟ فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا فِي جَهْد وشدَّة. قَالَ: فَهَلْ أَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَقُولُ غَيِّرْ عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي. وَقَدْ أَمَرَنِي أَنْ أُفَارِقَكِ، فَالْحَقِي بِأَهْلِكِ. فَطَلَّقَها وَتَزَوَّجَ مِنْهُمْ بِأُخْرَى، فَلَبِثَ عَنْهُمْ إِبْرَاهِيمُ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَتَاهُمْ بَعْدُ فَلَمْ يَجِدْهُ. فَدَخَلَ عَلَى امْرَأَتِهِ، فَسَأَلَهَا عَنْهُ، فَقَالَتْ: خرج يبتغي لنا. قال: كيف أنتم؟ وَسَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتهم. فَقَالَتْ: نَحْنُ بِخَيْرٍ وَسَعَةٍ. وَأَثْنَتْ عَلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَ: مَا طَعَامُكُمْ؟ قَالَتِ: اللَّحْمُ. قَالَ: فَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتِ: الْمَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالْمَاءِ". قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ يَوْمَئِذٍ حَب، وَلَوْ كَانَ لَهُمْ، لَدَعَا لَهُمْ فِيهِ. قَالَ: فَهُمَا لَا يَخْلُو عَلَيْهِمَا أَحَدٌ بِغَيْرِ مَكَّةَ إِلَّا لَمْ يُوَافِقَاهُ". قَالَ: "فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، ومُريه يُثَبِّت عَتَبَةَ بَابِهِ، فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَالَ: هَلْ أَتَاكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَتَانَا شَيْخٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ، وَأَثْنَتْ عَلَيْهِ فَسَأَلَنِي عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَسَأَلَنِي: كَيْفَ عَيْشُنَا؟ فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا بِخَيْرٍ. قَالَ: فَأَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، هُوَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَأْمُرُكَ أَنْ تُثَبِّتَ عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي، وَأَنْتِ الْعَتَبَةُ، أَمَرَنِي أَنْ أُمْسِكَكِ. ثُمَّ لَبثَ عَنْهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِسْمَاعِيلُ يَبْرِي نَبْلا لَهُ تَحْتَ دَوْحَةٍ قَرِيبًا مِنْ زَمْزَمَ، فَلَمَّا رَآهُ قَامَ إِلَيْهِ، فَصَنَعَا كَمَا يَصْنَعُ الْوَلَدُ بِالْوَالِدِ، وَالْوَالِدُ بِالْوَلَدِ. ثُمَّ قَالَ: يَا إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِأَمْرٍ. قَالَ: فَاصْنَعْ مَا أَمَرَكَ رَبُّكَ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: وَتُعِينُنِي؟ قَالَ: وَأُعِينُكَ. قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ هَاهُنَا بَيْتًا -وَأَشَارَ إِلَى أكَمَةٍ مُرْتَفِعَةٍ عَلَى مَا حَوْلَهَا -قَالَ: فَعِنْدَ ذَلِكَ رَفَعا الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ فَجَعَلَ إِسْمَاعِيلُ يَأْتِي بِالْحِجَارَةِ وَإِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، حَتَّى إِذَا ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ جَاءَ بِهَذَا الْحَجَرِ فَوَضَعَهُ لَهُ، فَقَامَ عَلَيْهِ وَهُوَ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ، وَهُمَا يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} " قَالَ: "فَجَعَلَا يَبْنِيَانِ حَتَّى يَدُورَا حَوْلَ الْبَيْتِ، وَهُمَا يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub As-Sukhtiyani dan Kasir ibnu Kasir ibnul Muttalib ibnu Abu Wida'ah —salah seorang dari keduanya memberikan tambahan atas yang lain—, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut: Wanita yang mula-mula memakai mintaq (ikat pinggang atau kemben) di zaman dahulu adalah ibu Nabi Ismail. Ia sengaja memakai kemben untuk menghapus jejak kehamilannya terhadap Siti Sarah (permaisuri Nabi Ibrahim a.s. yang belum juga punya anak). Kemudian Nabi Ibrahim membawanya pergi bersama anaknya Ismail (yang baru lahir), sedangkan ibunya menyusuinya. Lalu Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah, yaitu di bawah sebuah pohon besar di atas Zamzam, bagian dari masjid yang paling tinggi. Saat itu di Mekah masih belum ada seorang manusia pun, tiada pula setetes air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di tempat itu dan meletakkan di dekat keduanya sebuah kantong besar yang berisikan buah kurma dan sebuah wadah yang berisikan air minum. Kemudian Nabi Ibrahim pulang kembali (ke negerinya). Maka ibu Nabi Ismail mengikutinya dan bertanya, "Hai Ibrahim, ke manakah engkau akan pergi, tegakah engkau meninggalkan kami di lembah yang tandus dan tak ada seorang pun ini?" Ibu Nabi Ismail mengucapkan kata-kata ini berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak sekali pun berpaling kepadanya. Maka ibu Nabi Ismail bertanya, "Apakah Allah telah memerintahkan kamu melakukan hal ini?" Nabi Ibrahim baru menjawab, 'Ya." Ibu Nabi Ismail berkata, "Kalau demikian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami." Lalu ibu Nabi Ismail kembali (kepada anaknya), sedangkan Nabi Ibrahim berangkat meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah celah (lereng bukit) hingga mereka tidak melihatnya, maka ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, kemudian memanjatkan doanya seraya mengangkat kedua tangannya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. (Ibrahim: 37) sampai dengan firman-Nya: mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37) Ibu Ismail menyusui anaknya dan minum dari bekal air tersebut. Lama-kelamaan habislah bekal air yang ada di dalam wadahnya itu, maka ibu Ismail merasa kehausan, begitu pula dengan Ismail. Ibu Ismail memandang bayinya yang menangis sambil meronta-ronta, lalu ia berangkat karena tidak tega memandang anaknya yang sedang kehausan. Ia menjumpai Bukit Safa yang merupakan bukit terdekat yang ada di sebelahnya. Maka ia berdiri di atasnya, kemudian menghadapkan dirinya ke arah lembah seraya memandang ke sekitarnya, barangkali ia dapat menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak me-lihat seorang manusia pun di sana. Ia turun dari Bukit Safa. Ketika sampai di lembah bawah, ia mengangkat (menyingsingkan) baju kurungnya dan berlari kecil seperti berlarinya orang yang kepayahan hingga lembah itu terlewati olehnya, lalu ia sampai di Marwah. Maka ia berdiri di atas Marwah, kemudian menghadap ke arah lembah seraya memandang ke sekelilingnya, barangkali ia menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak melihat seorang manusia pun. Hal ini dilakukannya sebanyak tujuh kali. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Karena itu, maka manusia melakukan sa'i di antara keduanya (Safa dan Marwah). Ketika ibu Ismail sampai di puncak Bukit Marwah, ia mendengar suatu suara, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tenanglah!" Kemudian ia memasang pendengarannya baik-baik, dan ternyata ia mendengar adanya suara, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sesungguhnya aku telah mendengar sesuatu, niscaya di sisimu (Ismail) ada seorang penolong." Ternyata dia bersua dengan malaikat di sumur Zamzam, malaikat itu sedang menggali tanah dengan kakinya atau dengan sayapnya hingga muncul air. Maka ibu Ismail membuat kolam dan mengisyaratkan dengan tangannya, lalu ia menciduk air itu dengan kedua tangannya untuk ia masukkan ke dalam wadah air minumnya, sedang-kan sumur Zamzam terus memancar setelah ibu Ismail selesai menciduknya. Ibnu Abbas r.a. melanjutkan kisahnya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Semoga Allah merahmati ibu Ismail. Sekiranya dia membiarkan Zamzam —atau tidak menciduk sebagian dari airnya—, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail minum air Zamzam dan menyusui anaknya. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Janganlah kamu takut tersia-siakan, karena sesungguhnya di sini terdapat sebuah rumah milik Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan penduduk rumah ini." Tersebutlah bahwa rumah itu (Baitullah) masih berupa tanah yang menonjol ke atas mirip dengan gundukan tanah (bukit kecil); bila datang banjir, maka air mengalir ke sebelah kanan dan kirinya. Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian, hingga lewat kepada mereka serombongan orang dari kabilah Jurhum atau salah satu ke-luarga dari kabilah Jurhum yang datang kepadanya melalui jalur Bukit Kida. Mereka turun istirahat di bagian bawah Mekah, lalu mereka melihat ada burung-burung terbang berkeliling (di suatu tempat), maka mereka berkata, "Sesungguhnya burung-burung ini benar-benar mengitari sumber air. Menurut kebiasaan kami, di lembah ini tidak ada air." Lalu mereka mengirimkan seorang atau dua orang pelari mereka, dan ternyata mereka menemukan adanya air. Kemudian pelari itu kembali dan menceritakan kepada rombongannya bahwa di tempat tersebut memang ada air. Lalu rombongan mereka menuju ke sana. Ibnu Abbas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ketika itu ibu Ismail berada di dekat sumur Zamzam. Mereka berkata, "Apakah engkau mengizinkan kami untuk turun istirahat di tempatmu ini?" Ibu Ismail menjawab, "Ya, tetapi tidak ada hak bagi kalian terhadap air kami ini." Mereka menjawab, "Ya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. bersabda: Maka dengan kedatangan mereka ibu Ismail merasa terhibur, karena memang dia memerlukan teman. Mereka tinggal di Mekah dan mengirimkan utusannya kepada keluarga mereka (di tempat asalnya), lalu mereka datang dan tinggal bersama ibu Ismail dan rombongan pertama mereka. Ketika di Mekah telah berpenghuni beberapa ahli bait dari kalangan mereka (orang-orang Jurhum), sedangkan pemuda itu (Ismail) telah dewasa dan belajar bahasa Arab dari mereka, ternyata pribadi Ismail memikat mereka di saat dewasanya. Setelah usia Ismail cukup matang untuk kawin, lalu mereka mengawinkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Tidak lama kemudian ibu Ismail wafat. Setelah Ismail kawin, Nabi Ibrahim datang menjenguk keluarga yang ditinggalkannya, tetapi ternyata ia tidak menjumpai Ismail. Lalu ia menanyakannya kepada istrinya, maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Kemudian Nabi Ibrahim bertanya kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan buruk, hidup kami susah dan keras." Ternyata ia mengemukakan keluhannya kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menjawab, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengganti kusen pintunya." Lalu Ismail datang dengan penampiian seakan-akan sedang merindukan sesuatu. Ia berkata, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepadaku seorang tua yang ciri-cirinya anu dan anu, lalu ia menanyakan kepadaku tentang keadaanmu. maka aku ceritakan segalanya kepadanya. Ia menanyakan kepadaku tentang penghidupan kita. Maka aku katakan kepadanya bahwa kita hidup sengsara dan keras." Ismail bertanya, "Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia berpesan kepadaku untuk menyampaikan salamnya kepadamu, dan mengatakan hendaknya engkau mengganti kusen pintumu." Ismail menjawab, "Dia adalah ayahku, dan sesungguhnya dia memerintahkan kepadaku agar menceraikanmu. Karena itu, kembalilah kamu kepada keluargamu." Ismail menceraikannya dan kawin lagi dengan perempuan lain dari kalangan mereka. Setelah selang beberapa masa yang dikehendaki oleh Allah, Nabi Ibrahim tidak menjenguk mereka. Kemudian dia datang lagi kepada mereka, tetapi dia tidak menemukan Ismail, lalu ia masuk menemui istri Ismail dan menanyakan kepadanya tentang Ismail. Maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang keluar mencari nafkah buat kami." Nabi Ibrahim bertanya, "Bagaimanakah keadaan kalian?" Nabi Ibrahim menanyakan kepada istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Maka istri Ismail menjawab, "Kami dalam keadaan baik-baik saja dan dalam kemudahan hidup," hal ini dikatakannya seraya memuji kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim bertanya, "Apakah makanan pokok kalian?" Istri Ismail menjawab, "Daging." Ibrahim a.s. bertanya, "Apakah minum kalian?" Istri Ismail menjawab, "Air." Nabi Ibrahim a.s. berdoa, "Ya Allah, berkatilah daging dan air bagi mereka." Nabi Saw. bersabda: Tiadalah bagi mereka di masa itu biji-bijian. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian, niscaya Nabi Ibrahim mendoakannya buat mereka. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa tidak sekali-kali daging dan air tersebut bila dijadikan sebagai makanan pokok oleh seseorang di luar kota Mekah melainkan keduanya tidak akan cocok baginya. Nabi Ibrahim berkata, "Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengukuhkan kusen pintunya." Ketika Ismail datang dan bertanya, "Apakah telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang kepada kami seorang syekh yang penampilannya baik," istri Ismail memuji syekh tersebut Ia melanjutkan kata-katanya, "Lalu ia menanyakan kepadaku tentang engkau, maka aku ceritakan kepadanya; dan ia bertanya kepadaku tentang penghidupan kita, maka kujawab bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja." Ismail bertanya, "Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia menyampaikan salamnya kepadamu, dan memerintahkan kepadamu agar mengukuhkan kusen pintumu." Ismail berkata, "Dia adalah ayahku dan kusen pintu tersebut adalah kamu sendiri. Dia memerintahkan kepadaku agar memegang engkau menja-di istriku selamanya." Setelah selang beberapa lama yang dikehendaki oleh Allah Swt, maka datanglah Ibrahim a.s.; saat itu Nabi Ismail sedang membuat anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat sumur Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia segera bangkit menyambutnya dan keduanya melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya dan seorang anak kepada ayahnya (bila lama tak bersua, lalu berjumpa). Kemudian Nabi Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Allah telah memerintahkan sesuatu kepadaku." Ismail menjawab, "Apakah perintah Tuhanmu itu?" Nabi Ibrahim balik bertanya, "Maukah engkau membantuku?" Ismail menjawab, "Dengan senang hati aku akan membantu ayah." Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar aku membangun sebuah rumah (Baitullah) di sini," seraya mengisyaratkan kepada sebuah gundukan tanah tinggi yang lebih tinggi daripada tanah yang ada di sekitarnya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa pada saat itu juga keduanya mulai meninggikan dasar-dasar Baitullah; Nabi Ismail yang mendatangkan batu-batuan, sedangkan Nabi Ibrahim yang membangunnya. Ketika bangunan mulai tinggi, Ismail datang membawa batu ini (maqam Ibrahim), lalu meletakkannya untuk menjadikannya se-bagai tangga Nabi Ibrahim selama membangun. Maka Nabi Ibrahim berdiri di atasnya sambil membangun, sedangkan Nabi Ismail terus menyuplai batu-batunya seraya keduanya mengucapkan doa berikut, yang disitir oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terus membangun Ka'bah hingga berputar merampungkan sekelilingnya seraya mengucapkan doa: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu Ibnu Humaid, dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama lagi cukup panjang. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari Abu Abdullah, yaitu Muhammad ibnu Hammad At-Tabrani dan Ibnu Jarir, dari Ahmad ibnu Sabit Ar-Razi, keduanya meriwayatkan hadis ini dari Abdur Razzaq, tetapi dengan lafaz yang singkat.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Azraqi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, dari Abdul Malik ibnu Juraij, dari Kasir ibnu Kasir yang menceritakan bahwa pada suatu malam ia pernah bersama Us-man ibnu Abu Sulaiman dan Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain berada di antara sekumpulan orang-orang yang dihadiri oleh Sa'id ibnu Jubair di bagian masjid yang paling tinggi. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Bertanyalah kalian kepadaku sebelum kalian tidak melihatku lagi." Lalu mereka menanyakan kepadanya tentang kisah maqam Ibrahim, maka Sa'id ibnu Jubair tampil menceritakan kepada mereka sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, kemudian ia menceritakan hadis ini dengan panjang lebar.
ثُمَّ قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ. حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا كَانَ بَيْنَ إِبْرَاهِيمَ وَبَيْنَ أَهْلِهِ مَا كَانَ، خَرَجَ بِإِسْمَاعِيلَ وَأُمِّ إِسْمَاعِيلَ، وَمَعَهُمْ شَنَّة فِيهَا مَاءٌ، فَجَعَلَتْ أم إسماعيل تشرب من لشنَّة، فيَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى صَبِيِّهَا، حَتَّى قَدِمَ مَكَّةَ فَوَضَعَهَا تَحْتَ دَوْحَةٍ، ثُمَّ رَجَعَ إِبْرَاهِيمُ إِلَى أَهْلِهِ، فَاتَّبَعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، حَتَّى بَلَغُوا كَدَاء نَادَتْهُ مِنْ وَرَائِهِ: يَا إِبْرَاهِيمُ، إِلَى مَنْ تَتْرُكُنَا؟ قَالَ: إِلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَتْ: رَضِيتُ بِاللَّهِ. قَالَ: فرجَعَتْ، فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ مِنَ الشَّنَّةِ، ويَدر لَبَنُهَا عَلَى صَبيها حَتَّى لَمَّا فَنِي الْمَاءُ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فذهَبَتْ فصَعدت الصَّفَا، فَنَظَرَتْ وَنَظَرَتْ هَلْ تُحِسُّ أَحَدًا، فَلَمْ تُحِسَّ أَحَدًا. فَلَمَّا بَلَغَتِ الْوَادِي سَعَت حَتَّى أَتَتِ الْمَرْوَةَ، فَفَعَلَتْ ذَلِكَ أَشْوَاطًا ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا فَعَلَ، تَعْنِي الصَّبِيَّ، فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَإِذَا هُوَ عَلَى حَالِهِ كَأَنَّهُ يَنْشَغُ لِلْمَوْتِ، فَلَمْ تقُرَّها نَفْسُهَا، فَقَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فَذَهَبَتْ فَصَعِدَتِ الصَّفَا، فَنَظَرَتْ ونَظرت فَلَمْ تُحس أَحَدًا، حَتَّى أَتَمَّتْ سَبْعًا، ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا فَعَلَ، فَإِذَا هِيَ بِصَوْتٍ، فَقَالَتْ: أغثْ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ. فَإِذَا جِبْرِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَالَ: فَقَالَ بِعَقِبِهِ هَكَذَا، وَغَمَزَ عَقِبَه عَلَى الْأَرْضِ. قَالَ: فَانْبَثَقَ الْمَاءُ، فَدَهَشَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، فَجَعَلَتْ تَحْفِرُ. قَالَ: فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْ تركَتْه لَكَانَ الْمَاءُ ظَاهِرًا . قَالَ: فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ مِنَ الْمَاءِ ويَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى صَبِيِّها. قَالَ: فَمَرَّ نَاسٌ مَنْ جُرْهم بِبَطْنِ الْوَادِي، فَإِذَا هُمْ بِطَيْرٍ، كَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا ذَلِكَ، وَقَالُوا: مَا يَكُونُ الطَّيْرُ إِلَّا عَلَى مَاءٍ فَبَعَثُوا رَسُولَهُمْ فَنَظَرَ، فَإِذَا هُوَ بِالْمَاءِ. فَأَتَاهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ. فَأَتَوْا إِلَيْهَا فَقَالُوا: يَا أُمَّ إِسْمَاعِيلَ، أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَكُونَ مَعَكِ -وَنُسْكِنَ مَعَكِ؟ -فَبَلَغَ ابْنُهَا وَنَكَحَ فِيهِمُ امْرَأَةً. قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكَتي. قَالَ: فَجَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ قَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ يَصِيدُ. قَالَ: قُولِي لَهُ إِذَا جَاءَ: غَيِّرْ عَتَبَةَ بَيْتِكَ. فَلَمَّا جَاءَ أَخْبَرَتْهُ، قَالَ: أَنْتِ ذَاكِ، فَاذْهَبِي إِلَى أَهْلِكِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي. قَالَ: فَجَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ يَصِيدُ. فَقَالَتْ: أَلَا تَنْزِلَ فَتَطْعَم وَتَشْرَبَ؟ فَقَالَ: مَا طَعَامُكُمْ وَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتْ: طَعَامُنَا اللَّحْمُ، وَشَرَابُنَا الْمَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي طَعَامِهِمْ وَشَرَابِهِمْ. قَالَ: فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَرَكة بِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ" قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي. فَجَاءَ فَوَافَقَ إِسْمَاعِيلَ مِنْ وَرَاءِ زَمْزَمَ يُصْلِحُ نَبْلا لَهُ فَقَالَ: يَا إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ لَهُ بَيْتًا. فَقَالَ: أطعْ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ أَمَرَنِي أَنْ تُعِينَنِي عَلَيْهِ؟ فَقَالَ: إِذَنْ أفعلَ -أَوْ كَمَا قَالَ -قَالَ: فَقَامَا [قَالَ] فَجَعَلَ إِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ، وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} قَالَ: حَتَّى ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ وضَعُفَ الشَّيْخُ عَنْ نَقْلِ الْحِجَارَةِ. فَقَامَ عَلَى حَجَر الْمَقَامِ، فَجَعَلَ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Amir (yakni Abdul Malik ibnu Amr), telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Kasir ibnu Kasir, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ihnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut: Setelah terjadi perselisihan antara Nabi Ibrahim dan permaisurinya, ia berangkat membawa Ismail dan ibunya dengan bekal sekendi air minum. Maka ibu Ismail minum dari air kendi tersebut, lalu air susunya mengalir dan ia susukan kepada bayinya (Ismail), hingga sampailah Ibrahim di Mekah. Ia menempatkan keduanya di bawah sebuah pohon, kemudian Ibrahim kembali kepada keluarganya (di Syam). Tetapi ibu Ismail mengikutinya; hingga ketika keduanya sampai di Bukit Kida, ibu Ismail memanggil Ibrahim dari belakang, "Hai Ibrahim, kepada siapa engkau menyerahkan (menitipkan) kami?" Ibrahim menjawab, "Kutitipkan kalian kepada Allah." Ibu Ismail menjawab, "Aku rela dengan Allah." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail kembali dan minum air dari kendi itu, lalu air susunya ia berikan kepada si bayi. Setelah persediaan air habis, ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat-lihat keadaan, barangkali aku dapat menemukan seseorang." Maka ia pergi dan naik ke Bukit Safa, lalu melayangkan pandangannya, tetapi ia tidak melihat seorang manusia pun. Setelah sampai di lembah, maka ia berlari kecil hingga sampai ke Bukit Marwah; ia lakukan hal ini berkali-kali hingga tujuh kali. Kemudian ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sebaiknya aku pergi untuk menengok apa yang dilakukan oleh bayiku." Lalu ia pergi dan melihat bayinya, tetapi ternyata si bayi masih tetap dalam keadaan seperti semula, seakan-akan seperti orang yang sedang menghadapi kematian. Jiwanya tidak tenang, lalu ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sekiranya aku pergi lagi untuk melihat-lihat, barangkali saja aku dapat menemukan seorang manusia." Lalu ia pergi dan naik ke Bukit Safa; kemudian ia melayangkan pandangannya ke semua arah, tetapi ternyata ia tidak menemukan seorang manusia pun, hingga ia lakukan hal itu sebanyak tujuh kali. Kemudian ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat keadaan bayiku, apa yang sedang dialaminya." Tiba-tiba ia mendengar suara, lalu ia berseru, "Tolong, sekiranya engkau mempunyai kebaikan." Ternyata ia bersua dengan Malaikat Jibril a.s. yang sedang me-nancapkan tumitnya ke tanah. Maka keluarlah air, hingga ibu Ismail kagum melihatnya, lalu ia menggalinya (dengan kedua tangannya). Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Seandainya dia (ibu Ismail) membiarkannya, niscaya airnya akan keluar dengan sendirinya. Lalu ia minum air sumur itu dan menyusukan air susunya kepada anaknya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lewat serombongan orang dari kabilah Jurhum di perut lembah (Mekah). Mereka terkejut melihat rombongan burung-burung yang terbang berkeliling pada sesuatu, seakan-akan mereka tidak mempercayainya. Mereka berkata, 'Tiada lain burung-burung ini terbang melainkan di atas air." Lalu mereka mengirimkan utusannya untuk melihat keadaan, dan ternyata utusan itu benar-benar melihat adanya air. Lalu utusan itu kembali kepada rombongannya dan menceritakan apa yang telah mereka saksikan. Mereka datang kepada ibu Ismail dan berkata, "Wahai ibu Ismail, sudikah engkau mengizinkan kami untuk tinggal bersama engkau?" Setelah putranya dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari kalangan mereka, timbul di dalam hati Nabi Ibrahim suatu niat. Maka ia berkata kepada permaisurinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku (di Mekah)." Ibrahim a.s. tiba dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Ibrahim a.s. berkata, "Katakanlah kepadanya agar dia mengubah tangga pintu rumahnya." Ketika istri Ismail menceritakan hal tersebut kepada Ismail, maka Ismail berkata, "Engkaulah yang dimaksud dengan tangga pintu rumah, maka kembalilah kamu kepada keluargamu." Kemudian timbul niat lagi pada diri Nabi Ibrahim, lalu ia berkata (kepada permaisurinya), "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Ia datang, lalu bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi berburu." Istri Ismail berkata pula, "Sudikah engkau istirahat untuk makan dan minum?" Ibrahim bertanya, "Apakah makanan dan minuman kalian?" Ia menjawab, "Makanan kami adalah daging, dan minuman kami adalah air." Ibrahim a.s. ber-doa, "Ya Allah, berkatilah mereka dalam makanan dan minuman mereka." Maka Abul Qasim (yakni Nabi Saw.) bersabda, "Itu suatu berkah berkat doa Ibrahim." Kemudian timbul lagi niat pada diri Nabi Ibrahim, maka ia berkata kepada permaisurinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Lalu ia datang dan menjumpai Ismail berada di dekat sumur Zamzam sedang memperbaiki anak panahnya. Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan aku agar membangun rumah-Nya di tempat ini." Ismail menjawab, "Taatilah Tuhanmu." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Dia telah memerintahkan kepadaku agar engkau membantuku dalam pelaksanaannya." Ismail menjawab, "Kalau demikian, aku akan melakukannya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Ibrahim bangkit, lalu mulai membangun, sedangkan Ismail menyediakan batu-batunya. Sambil bekerja, keduanya mengatakan: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127) Ketika bangunan makin tinggi dan Nabi Ibrahim yang sudah berusia lanjut itu merasa lemah untuk mengangkat batu-batuan, maka ia berdiri di atas batu maqam, sedangkan Ismail memberikan batu-batu itu kepadanya. Keduanya bekerja seraya mengucapkan doa berikut: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Demikianlah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui dua jalur di dalam Kitabul Anbiya.
Akan tetapi, yang mengherankan ialah Al-Hafiz Abu Abdullah Al-Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya dari Abul Abbas Al-Asam, dari Muhammad ibnu Sinan Al-Qazzaz, dari Abu Ali alias Ubaidillah ibnu Abdul Majid Al-Hanafi, dari Ibrahim ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama.  Ia mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut Imam Hakim. Padahal Imam Bukhari mengetengahkannya seperti yang Anda lihat sendiri melalui hadis Ibrahim ibnu Nafi', tetapi di dalam hadis ini seakan-akan terjadi peringkasan, mengingat di dalamnya tidak disebutkan perihal penyembelihan.
Disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa kedua tanduk domba yang disembelihnya itu digantungkan di Ka'bah. Disebutkan pula bahwa Nabi Ibrahim berkunjung kepada keluarganya di Mekah dengan memakai kendaraan buraq yang kecepatannya seperti kilatan sinar. Setelah usai dari kunjungannya, ia kembali lagi ke Baitul Maqdis. Di dalam riwayat hadis ini disebutkan nama-nama tempat yang sudah tiada, diketengahkan oleh Ibnu Abbas, dari Nabi Saw.
Sehubungan dengan hadis ini telah disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib hal-hal yang sebagiannya berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar dan Muhammad ibnul Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan kisah berikut: Ketika Ibrahim diperintahkan membangun Baitullah, ia berangkat bersama Ismail dan Hajar. Sesampainya di Mekah, ia melihat gumpalan awan berupa seperti kepala manusia di angkasa yang letaknya tepat di atas tempat Baitullah (Ka'bah), lalu awan itu berkata, "Hai Ibrahim, bangunlah di bawah naunganku ini," atau awan tersebut mengatakan, "Sebesar diriku, jangan lebih, jangan pula kurang." Setelah selesai membangun, Ibrahim berangkat dan meninggalkan Ismail serta Hajar. Maka Hajar berkata kepada Ibrahim, "Kepada siapakah engkau menyerahkan kami (menitipkan kami)?" Ibrahim menjawab, "Kepada Allah." Hajar menjawab, "Berangkatlah, sesungguhnya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami." Ismail pun merasa sangat haus, lalu Hajar naik ke atas Bukit Safa dan memandang ke sekelilingnya, ternyata ia tidak melihat sesuatu pun (yang dapat membantunya). Ia terus berjalan hingga sampai di Bukit Marwah, tetapi ia tidak juga melihat sesuatu pun. Lalu ia kembali lagi ke Bukit Safa dan melihat-lihat lagi, tetapi ia tidak melihat sesuatu pun. Ia lakukan demikian sebanyak tujuh kali. Akhirnya ia berkata, "Aduhai Ismail anakku, kiranya aku bakal tidak akan melihatmu lagi karena engkau akan mati." Ia datang kepada Ismail yang saat itu sedang mengamuk seraya menangis karena kehausan. Maka Hajar diseru oleh Malaikat Jibril, "Siapakah kamu?" Hajar menjawab, "Aku Hajar, ibu dari anak Ibrahim ini." Jibril bertanya, "Kepada siapakah kamu berdua diserahkan?" Hajar menjawab, "Dia menyerahkan kami kepada Allah." Jibril berkata, "Dia menyerahkan kalian kepada Tuhan Yang Maha Mencukupi." Kemudian Jibril mengorek tanah dengan jarinya, maka keluarlah air darinya dengan berlimpah. Lalu Hajar membendung air itu, dan Jibril berkata, "Biarkanlah air ini, karena sesungguhnya air ini berlimpah!" Di dalam riwayat ini disimpulkan bahwa Ibrahim membangun Baitullah sebelum meninggalkan keduanya (Hajar dan anaknya). Tetapi dapat diinterpretasikan bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim hanyalah semata-mata untuk memelihara batasan-batasannya. Dengan kata lain, pada awalnya Ibrahim hanya membuat patok-patoknya saja, bukan membangunnya sampai tinggi; menunggu Ismail besar, lalu keduanya akan membangunnya bersama-sama, seperti apa yang disebutkan di dalam firman-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa Hannad ibnus Sirri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, pernah ada seorang lelaki menghadap kepada Ali r.a., lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku kisah Baitullah, apakah Baitullah merupakan rumah (rumah ibadah) yang pertama kali dibangun di muka bumi ini?" Ali r.a. menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah adalah rumah yang mula-mula dibangun dalam keberkatan, padanya terdapat maqam Ibrahim; dan barang siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. Jika kamu suka, maka akan kuceritakan kepadamu bagaimana asal mula pembangunannya." Sahabat Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Ibrahim, "Bangunkanlah sebuah rumah di bumi untuk-Ku!" Tetapi Ibrahim mendapat kesulitan besar untuk merealisasikannya. Lalu Allah mengirimkan sakinah, yaitu angin yang berputar. Angin ini mempunyai dua kepala (putaran); yang satu mengikuti yang lainnya, hingga sampailah keduanya di Mekah. Ketika sampai di Mekah, angin tersebut membentuk lingkaran di tempat Baitullah seperti lingkaran sebuah perisai. Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk membangun Baitullah di tempat angin sakinah itu berhenti. Ibrahim membangun Baitullah hingga yang tertinggal hanyalah sebuah batu, lalu si pemuda (Ismail) pergi mencari sesuatu dan Ibrahim berkata kepada anaknya itu, "Carikanlah sebuah batu seperti apa yang aku perintahkan." Ismail berangkat untuk mencarikan sebuah batu bagi Ibrahim, lalu ia datang membawa batu tersebut, tetapi ia menjumpai Hajar Aswad telah terpasang di tempat tersebut. Maka ia bertanya, "Hai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Batu ini didatangkan kepadaku oleh seseorang yang tidak mengandalkan peran sertamu." Malaikat Jibril a.s. mendatangkan batu itu dari langit, lalu Ibrahim menyempurnakan bangunannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Bisyr ibnu Asim, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan kisah berikut: Pada mulanya Baitullah itu terapung di atas air sebelum Allah menciptakan bumi dalam jarak empat puluh tahun. Dari Baitullahlah bumi dihamparkan.
Sa'id mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Talib, bahwa Ibrahim tiba dari negeri Armenia ditemani oleh sakinah yang menunjukkan kepadanya tempat Baitullah, sebagaimana seekor laba-laba membangun rumahnya. Maka sakinah menjumpai batu-batuan yang salah satu darinya tidak dapat diangkat kecuali oleh tiga puluh orang. Lalu aku (perawi) bertanya, "Hai Abu Muhammad, sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: 'Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismai’l’ (Al-Baqarah: 127)." Maka Abu Muhammad menjawab, "Hal tersebut terjadi sesudahnya."
As-Saddi mengatakan, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Ibrahim unruk membangun Baitullah bersama Ismail, dan Allah berfirman, "Bangunkanlah olehmu berdua rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Maka Ibrahim berangkat hingga tiba di Mekah, lalu dia dan Ismail mengambil cangkul, sedangkan keduanya masih belum mengetahui letak Baitullah yang akan dibangunnya. Maka Allah mengirimkan angin yang dikenal dengan sebutan angin khajuj (puting beliung). Angin tersebut mempunyai dua sayap dan kepala seakan-akan bentuknya seperti ular. Kemudian angin tersebut menguakkan bagi keduanya (Ibrahim dan Ismail) semua yang ada di sekitar Ka'bah hingga tampaklah fondasi Baitullah yang pertama. Lalu keduanya mengikutinya dengan cangkul mereka, keduanya terus menggali hingga fondasi diletakkan. Yang demikian itu adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127); Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah. (Al-Hajj: 26) Ketika keduanya hampir selesai dari pembangunannya, dan tahapan pembangunannya sampai pada rukun, lalu Ibrahim berkata kepada Ismail, "Hai anakku, carikanlah sebuah batu yang baik untukku, nanti akan aku letakkan di tempat (rukun) ini." Ismail menjawab, "Wahai ayahku, sesungguhnya aku sedang malas dan lelah." Ibrahim berkata, "Sekalipun demikian, kamu harus mencarinya." Maka berangkatlah Ismail mencari batu tersebut untuk ayahnya. Ketika itu juga Malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa Hajar Aswad dari India. Pada mulanya Hajar Aswad berwarna putih. Ia adalah batu yaqut berwana putih seperti bunga sagamah (putih bersih). Pada mulanya batu itu dibawa oleh Adam dari surga ketika diturunkan ke bumi, lalu batu itu menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Ismail datang membawa batu yang diminta, tetapi ternyata ia menjumpai bahwa rukun tersebut telah diisi dengan Hajar Aswad. Maka ia bertanya, "Wahai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Ia didatangkan oleh orang yang lebih bersemangat daripada kamu." Lalu keduanya terus membangun seraya berdoa mengucapkan kalimat-kalimat yang pernah diujikan oleh Allah kepada Ibrahim. Lalu Ibrahim berkata: Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Di dalam riwayat ini terdapat pengertian yang menunjukkan bahwa dasar-dasar (fondasi) Baitullah telah ada sebelum Nabi Ibrahim, dan sesungguhnya Nabi Ibrahim hanya ditunjukkan ke tempat Baitullah berada dan tinggal meneruskannya. Hadis ini dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian.
Imam Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127) Bahwa dasar-dasar Baitullah tersebut adalah dasar-dasar yang telah ada sebelumnya.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Siwar menantu Ata, dari Ata ibnu Abu Rabah yang menceritakan, "Ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, kedua kaki Adam berada di bumi, sedangkan kepalanya berada di langit (karena sangat tingginya) seraya mendengarkan percakapan penduduk langit (para malaikat) dan doa mereka hingga hatinya merasa terhibur karena mereka. Maka para malaikat merasa takut, hingga mereka mengadu kepada Allah Swt. dalam doa dan salatnya. Lalu Allah mengurangi tinggi Adam hingga lebih dekat ke bumi (tidak terlalu tinggi). Ketika Adam tidak dapat mendengar lagi percakapan yang ia dengar dari penduduk langit, ia merasa kesepian. Lalu ia mengadu kepada Allah Swt. dalam doa dan salatnya, akhirnya Allah mengarahkannya ke Mekah. Maka tersebutlah bahwa bekas pijakan kaki Adam kelak akan menjadi kota, sedangkan langkah-langkahnya akan menjadi tanah lapang (sahara). Kemudian sampailah Adam ke Mekah." Allah menurunkan batu yaqut dari surga, batu yaqut tersebut diletakkan di Baitullah. Baitullah masih dipakai untuk tawaf hingga Allah menurunkan banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s., lalu batu yaqut itu diangkat kembali ke langit, dan diturunkan kembali ke bumi di saat Ibrahim a.s. membangun Baitullah. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah. (Al-Hajj: 26)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata yang menceritakan bahwa Adam mengadu, "Sesungguhnya aku tidak lagi mendengar suara malaikat." Allah berfirman, "Itu karena kesalahanmu, tetapi turunlah ke bumi dan bangunlah sebuah rumah buat-Ku. Setelah itu kelilingilah olehmu sebagaimana kami melihat para malaikat mengelilingi Bait-Ku di langit." Dan orang-orang menduga bahwa Adam membangunnya dari lima buah bukit, yaitu dari Bukit Hira, Bukit Zaita, Bukit Sinai, dan Bukit Judi; dan tersebutlah bahwa batu fondasinya dari Bukit Hira. Demikianlah pembangunan yang dilakukan oleh Adam, kembali dibangun dengan fondasi yang sama oleh Ibrahim a.s. jauh sesudahnya.
Sanad hadis ini memang sahih sampai kepada Ata, tetapi pada sebagiannya terdapat hal-hal yang tidak dapat diterima.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa Allah menurunkan Baitullah bersama-sama Adam. Adam diturunkan oleh Allah ke bumi, dan tempat turunnya ialah di India. Ketika itu kepala Adam berada di langit, sedangkan kedua kakinya di bumi. Maka para malaikat merasa takut kepadanya, lalu Allah mengurangi tingginya menjadi enam puluh hasta. Maka Adam merasa sedih karena ia tidak dapat lagi mendengar suara para malaikat dan suara tasbih mereka. Adam mengadukan hal tersebut kepada Allah, maka Allah Swt. ber-firman, "Hai Adam, sesungguhnya Aku telah menurunkan buatmu sebuah rumah untuk tawafmu, sebagaimana di sekitar 'Arasy-Ku para malaikat bertawaf, dan kamu salat padanya sebagaimana mereka melakukan salat di dekat 'Arasy-Ku." Maka Adam berangkat menuju Baitullah seraya memanjangkan langkah-langkahnya, di antara setiap dua langkah akan terjadi padang Sahara, dan sahara-sahara tersebut masih tetap ada sesudahnya. Setelah sampai di Baitullah, Adam melakukan tawaf padanya, demikian pula para nabi lainnya sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-'Ama, dari Hafs ibnu Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Allah meletakkan Baitullah di atas pilar-pilar air yang semuanya ada empat pilar, sebelum dunia diciptakan Allah dalam jarak dua ribu tahun, kemudian bumi dihamparkan dari bawah Baitullah."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dan lain-lainnya dari kalangan ahlul ilmi, sesungguhnya Allah ketika hendak memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah, Ibrahim berangkat menuju Baitullah dari negeri Syam seraya membawa Ismail dan ibunya, yaitu Hajar. Ketika itu Ismail masih bayi dan masih menyusu. Mereka menunggang kendaraan —menurut yang mereka kisahkan kepadaku yaitu kendaraan buraq— dengan ditemani oleh Malaikat Jibril yang menjadi penunjuk jalan ke tempat Baitullah dan tanda-tanda Tanah Suci. Malaikat Jibril berangkat bersama mereka, dan tersebutlah bahwa tidak sekali-kali Jibril melalui sebuah kampung melainkan Adam berkata, "Apakah tempat ini yang diperintahkan kepadamu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Teruskanlah perjalananmu," hingga sampailah Jibril dan Adam di Mekah. Saat itu hanya ada tumbuh-tumbuhan rumput berduri, pohon salam serta pohon samar, dan di luar Mekah serta sekelilingnya terdapat bangsa Amaliqah yang menghuni kawasan tersebut. Sedangkan Baitullah ketika itu merupakan sebuah bukit kecil yang batu kerikilnya berwama merah. Lalu Ibrahim berkata kepada Jibril, "Di sinikah engkau diperintahkan agar aku menempatkan keduanya (Hajar dan Ismail, putranya)?" Jibril menjawab, "Ya." Kemudian Ibrahim menuju ke tempat Hijir (Ismail), lalu menurunkan keduanya di tempat itu, dan ia memerintahkan kepada Hajar —ibu Ismail— untuk membuat sebuah tanda di tempat itu, lalu Ibrahim berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati —sampai dengan— mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Humaid, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan tempat rumah ini (Baitullah) sebelum Dia menciptakan sesuatu pun dalam jarak dua ribu tahun. Pilar-pilarnya berada di bumi lapis yang ketujuh. Hal yang sama dikatakan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, bahwa dasar-dasar Baitullah sampai ke bumi lapis yang ketujuh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Rati', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Mu'awiyah, dari Abdul Mu’min ibnu Khalid, dari Alya ibnu Ahmar, ketika Zul Qarnain tiba di Mekah, ia menjumpai Ibrahim dan Ismail sedang membina dasar-dasar Baitullah dari lima buah bukit. Zul Qarnain bertanya, "Apakah yang sedang kalian berdua lakukan terhadap tanah kekuasaan kami?" Ibrahim menjawab, "Kami adalah dua hamba Allah yang diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Zul Qarnain bertanya, "Kalau demikian, kemukakanlah bukti yang memperkuat pengakuan kalian itu." Maka bangkitlah lima ekor domba, lalu kelima-limanya mengatakan, "Kami bersaksi bahwa Ibrahim dan Ismail adalah dua orang hamba Allah, yang kedua-duanya diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Akhirnya Zul Qarnain berkata, "Aku rela dan menyerah," kemudian ia melangsungkan perjalanan pengembaraannya.
Al-Azraqi meriwayatkan di dalam kitab Tarikh Mekah-nya bahwa Zul Qarnain ikut tawaf bersama Nabi Ibrahim a.s. di Baitullah. Riwayat ini menunjukkan bahwa Zul Qarnain hidup di masa silam sebelum Nabi Ibrahim.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127), hingga akhir ayat. Al-qawa'id artinya fondasi atau dasar, bentuk tunggalnya adalah qa'idah; al-qawa'id minan nisa (wanita-wanita yang telah berhenti haidnya dan tidak mengandung lagi), bentuk tunggalnya qa'idah pula.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخْبَرَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَر، عَنْ عائشة زوج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ حِينَ بَنَوُا الْبَيْتَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ " فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَرُدَّها عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: "لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: لَئِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ سَمعت هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَرَى رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ اسْتِلَامَ الرُّكنين اللذَين يَلِيان الحِجْر إِلَّا أَنَّ الْبَيْتَ لَمْ يُتَمَّم عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ
Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar telah menceritakan kepada Abdullah ibnu Umar, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:  "Tahukah kamu bahwa kaummu ketika membangun Baitullah, mereka membangunnya kurang dari fondasi-fondasi yang telah diletakkan oleh Ibrahim? Aku (Siti Aisyah r.a.) berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengembalikannya seperti keadaan semula sampai pada fondasi Nabi Ibrahim?" Nabi Saw. menjawab, "Seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kekufuran, (tentu aku mau melakukannya)." Sahabat Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata, "Seandainya Siti Aisyah benar-benar mendengar ini langsung dari Rasulullah Saw., maka apa yang aku lihat Rasulullah Saw. tidak pernah mengusap kedua rukun (sudut) yang berada di kedua sisi Hijir Ismail, tiada lain hal tersebut karena belum disempurnakan menurut fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahim a.s."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Bab "Haji", dari Al-Qa'nabi, sedangkan di dalam Bab "Ahadisul Anbiya (Kisah-kisah para Nabi)" ia meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Yusuf dan Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, juga dari hadis Ibnu Wahb, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Qasim, semuanya meriwayatkannya dari Malik dengan lafaz yang disebutkan di atas.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Nafi' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Abu Quhafah menceritakan hadis berikut kepada Abdullah ibnu Umar, dari Siti Aisyah r.a. dan Nabi Saw. Disebutkan di dalam riwayat ini bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لولا أن قَوْمَكِ حَدِيثُو عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ -أَوْ قَالَ: بِكُفْرٍ -لَأَنْفَقْتُ كَنْزَ الْكَعْبَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَجَعَلْتُ بَابَهَا بِالْأَرْضِ، وَلَأَدْخَلْتُ فِيهَا الْحِجْرَ"
Seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan masa Jahiliahnya —atau baru meninggalkan kekufurannya— niscaya aku akan menafkahkan harta simpanan Ka'bah di jalan Allah (yakni untuk merenovasi Ka'bah), dan sungguh aku akan menjadikan pintunya dekat ke tanah dan sungguh aku akan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عُبَيد اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، قَالَ: قَالَ لِيَ ابنُ الزُّبَيْرِ: كَانَتْ عَائِشَةُ تُسر إِلَيْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا، فَمَا حَدَّثَتْكَ فِي الْكَعْبَةِ؟ قَالَ قُلْتُ: قَالَتْ لِي: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عائشة، لولا قومك حديث عَهْدُهُمْ -فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: بِكُفْرٍ -لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابًا يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ". فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Aswad yang mengatakan bahwa Ibnuz Zubair pernah bertanya kepadanya, "Dahulu Siti Aisyah sering menceritakan kepadamu banyak hadis dengan sembunyi-sembunyi, ceritakanlah kepadaku apa yang telah dikisahkannya mengenai masalah Ka'bah!" Al-Aswad berkata, Siti Aisyah mengatakan kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kebiasaan mereka —menurut Ibnuz Zubair diartikan kekufuran— niscaya aku akan membongkar Ka'bah, kemudian aku buatkan baginya dua buah pintu; satu pintu untuk orang-orang masuk, sedangkan yang lainnya untuk mereka keluar darinya. Kemudian hal itu dilakukan oleh Ibnuz Zubair.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri. Dia meriwayatkannya dengan lafaz demikian di dalam Kitabul 'Ilmi, bagian dari kitab sahihnya.
قَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عائشة قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا حَدَاثة عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ، فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتِ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا خَلْفًا".
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya: Seandainya kaummu bukan baru meninggalkan kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan membongkar Ka'bah dan aku jadikan berada di atas fondasi Ibrahim. Karena sesungguhnya kaum Quraisy ketika membangun Baitullah, mereka menguranginya (dari fondasi Ibrahim), dan sesungguhnya aku akan menjadikan baginya pintu keluar.
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Abu Kuraib; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyam dengan sanad ini. Sanad ini diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri.
وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ حَيَّان، عَنْ سَعِيدٍ -يَعْنِي ابْنَ مِينَاءَ -قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: حَدَّثَتْنِي خَالَتِي -يَعْنِي عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"يَا عائشة، لولا قومك حديث عَهْد (2) بِشِرْكٍ، لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ، فَأَلَزَقْتُهَا بِالْأَرْضِ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابًا شَرْقِيًّا، وَبَابًا غَرْبِيًّا، وزدتُ فِيهَا سِتَّةَ أَذْرُعٍ مِنَ الحِجْر؛ فَإِنَّ قُرَيْشًا اقْتَصَرَتْهَا حَيْثُ بَنَتِ الْكَعْبَةَ"
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sulaim ibnu Hayyan, dari Sa'id (yakni Ibnu Mina) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair mengatakan bahwa bibinya (yakni Siti Aisyah r.a.) pernah bercerita kepadanya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan baru meninggalkan kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tempelkan ke tanah; dan sesungguhnya aku akan membuat pintu timur dan pintu barat baginya, serta aku akan menambahkan padanya sepanjang enam hasta dari Hijir (Ismail). Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menguranginya ketika merenovasi Ka'bah.
Riwayat ini pun diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri.
Kisah Pembangunan Ka'bah oleh Quraisy Sesudah Nabi Ibrahim A.S. dan Lima Tahun Sebelum Rasulullah Diangkat Menjadi Utusan
Rasulullah Saw. ikut memindahkan batu-batuan bersama mereka (orang-orang Quraisy), ketika itu usia beliau baru tiga puluh lima tahun. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya selama-lamanya sampai hari pembalasan.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan di dalam Bab "Sirah", ketika usia Rasulullah Saw. mencapai tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy mengadakan kumpulan rapat untuk merenovasi Ka'bah; dan mereka merasa khawatir Ka'bah yang sudah berusia tua itu akan ambruk, karena saat itu Ka'bah hanya berupa tembok yang tingginya hanya lebih sedikit dari orang yang sedang berdiri (tanpa atap). Maka mereka berniat untuk mengatapinya.
Hal tersebut dilakukan mereka karena ada segolongan orang yang telah mencuri perbendaharaan Ka'bah. Saat itu perbendaharaan Ka'bah hanya disimpan di dalam sebuah sumur (lubang) yang terletak di dalam Ka'bah. Tersebutlah bahwa orang yang ditemukan padanya harta perbendaharaan Ka'bah adalah Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Bani Khuza'ah, lalu tangannya dipotong. Orang-orang menduga bahwa sebenarnya yang mencurinya adalah segolongan orang yang tidak dikenal, lalu mereka meletakkannya di rumah Duwaik.
Tersebut pula bahwa laut telah mendamparkan sebuah perahu besar di Jeddah milik salah seorang pedagang Romawi, lalu perahu itu pecah. Mereka mengambil kayu-kayunya, lalu mereka persiapkan buat mengatapi Ka'bah. Di Mekah pada zaman itu terdapat seorang lelaki Qibti (Mesir sekarang) tukang kayu, lalu ia membuatkan bagi mereka segala sesuatu yang diperlukan untuk merenovasi Ka'bah.
Tersebut pula bahwa ada seekor ular besar keluar dari dalam sumur Ka'bah tempat dilemparkan ke dalamnya segala hadiah yang diberikan kepada Ka'bah setiap harinya. Lalu ular itu menaiki tembok Ka'bah. Ular itu merupakan hewan yang mereka takuti, karena tidak sekali-kali ada seseorang berani mendekati Ka'bah melainkan ular tersebut menegakkan tubuhnya dan siap untuk menerkam seraya membuka rahangnya lebar-lebar, maka mereka sangat takut kepadanya.
Pada suatu hari seperti biasanya ular itu menaiki tembok Ka'bah, tiba-tiba Allah mengirimkan seekor burung pemangsa, lalu burung tersebut menyambar ular itu dan membawanya terbang. Maka orang-orang Quraisy berkata, "Sesungguhnya kita berharap semoga peristiwa ini merupakan pertanda bahwa Allah rida dengan niat kita. Di antara kita ada seorang pekerja (tukang kayu) yang baik, dan kita sekarang mempunyai kayu yang cukup. Sesungguhnya Allah telah membebaskan kita dari ular tersebut."
Ketika tekad mereka telah bulat untuk membongkar Ka'bah dan membangunnya kembali dengan bangunan yang baru, maka berdirilah Ibnu Wahb ibnu Amr ibnu Aiz ibnu Abdu ibnu Imran ibnu Makhzum, lalu ia mengambil sebuah batu dari Ka'bah, tetapi batu itu terlepas dari tangannya dan kembali lagi ke tempatnya semula. Maka ia berkata:
Hai orang-orang Quraisy, janganlah kalian memasukkan ke dalam pembangunannya dari penghasilan kalian kecuali penghasil-an yang halal; tidak boleh dimasukkan ke dalamnya maskawin pelacur, tidak boleh dari hasil jual beli secara riba, dan tidak boleh pula dari hasil perbuatan aniaya terhadap orang lain.
Ibnu Ishaq mengatakan, orang-orang menisbatkan pidato ini kepada Al-Walid ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum.
Setelah itu orang-orang Quraisy membagi-bagi pekerjaan pembaruan Ka'bah ini ke beberapa bagian; bagian yang ada pintunya diserahkan kepada Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah, sedangkan bagian yang terletak di antara rukun dan Hajar Aswad serta rukun yamani diserahkan kepada Bani Makhzum dan beberapa suku Quraisy yang bergabung dengan mereka. Bagian atas Ka'bah diserahkan kepada Bani Jumah dan Bani Sahm. Bagian yang ada Hajar Aswad diserahkan kepada Bani Abdud Dar ibnu Qusai, Bani Asad ibnu Abdul Uzza ibnu Qusai serta Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay; bagian ini dikenal dengan nama Hatim.
Kemudian orang-orang merasa takut untuk meruntuhkannya; dan mereka bercerai-berai, tidak mau melakukannya. Maka Al-Walid ibnul Mugirah berkata, "Akulah yang akan memulai meruntuhkannya." Lalu ia mengambil linggis dan berdiri di atas Ka'bah seraya berkata, "Ya Allah, jangan khawatir. Ya Allah, sesungguhnya kami tidak menghendaki apa-apa kecuali kebaikan belaka." Kemudian ia mulai meruntuhkannya dari bagian dua rukun, sedangkan orang-orang bersikap menunggu malam itu, dan mereka mengatakan, "Kita lihat saja nanti. Jika dia tertimpa sesuatu, maka kita tidak akan meruntuhkannya barang sedikit pun, dan kita biarkan keadaannya seperti semula. Tetapi jika ternyata dia tidak dikenai apa-apa, berarti Allah rida kepada apa yang kita lakukan."
Maka pada pagi harinya malam itu Al-Walid berangkat menuju tempat kerjanya, lalu ia membongkar Ka'bah. Maka orang-orang pun mengikuti jejaknya, hingga sampailah pembongkaran mereka pada bagian fondasi, yaitu fondasi Nabi Ibrahim a.s. Kemudian mereka mencoba mengangkat batu-batu hijau yang bentuknya seperti tombak-tombak yang satu sama lainnya saling mengait.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku seseorang yang meriwayatkan kisah ini, bahwa seorang lelaki Quraisy dari kalangan orang-orang yang bekerja membongkar Ka'bah memasukkan linggisnya di antara kedua batu di antara batu-batu tersebut untuk membongkar salah satu di antaranya dengan linggisnya itu. Ketika batu tersebut bergerak, maka seluruh kota Mekah mengalami gempa, akhirnya mereka tidak berani lagi mengganggu fondasi tersebut.
Ibnu Ishaq mengatakan, setelah itu semua kabilah Quraisy mengumpulkan batu-batuan untuk membangunnya kembali. Masing-masing kabilah mengumpulkan batu-batunya sendiri, hingga sampailah pembangunan mereka pada tempat rukun, yakni tempat Hajar Aswad. Mereka bersengketa mengenainya, masing-masing kabilah ingin meletakkan sendiri Hajar Aswad itu ke tempatnya tanpa kabilah yang lain. Akhirnya mereka berembuk, tetapi hasilnya justru saling bertentangan, dan tiada jalan penyelesaian, bahkan masing-masing pihak bersiap-siap untuk menghadapi perang. Bani Abdud Dir menyuguh-kan sepanci darah, kemudian mereka bersama-sama Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay mengadakan sumpah setia untuk mati dan mereka memasukkan tangannya masing-masing ke dalam panci yang berisikan darah itu. Lalu mereka menamakannya dengan peristiwa "La'qatud Dam". Orang-orang Quraisy bersikap diam melihat gelagat tersebut selama empat atau lima malam, lalu mereka mengadakan musyawarah dan rapat untuk mencari jalan keluarnya.
Salah seorang ahli riwayat (sejarah) menduga bahwa Abu Umayyah ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum —yang saat itu merupakan orang Quraisy yang tertua di antara se-muanya— mengatakan, "Hai orang-orang Quraisy, marilah kita adakan suatu sayembara untuk menyelesaikan masalah yang kalian sengketakan ini; barang siapa yang paling dahulu masuk ke dalam masjid di antara kalian, maka dialah yang akan memutuskan perkara kalian ini." Akhirnya mereka setuju dengan pendapat ini.
Ternyata orang yang paling dahulu masuk ke dalam masjid adalah Rasulullah Saw. Ketika mereka melihat kenyataan tersebut, maka mereka berkata, "Orang ini dapat dipercaya (Al-Amin), kami rela dengan keputusannya. Dialah Muhammad." Setelah semuanya masuk ke dalam masjid dan diberitakan bahwa pemenangnya adalah Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda, "Berikanlah sebuah kain kepadaku!" Kain itu diberikan kepadanya, lalu ia mengambil rukun —yakni Hajar Aswad— dan meletakkannya di kain itu oleh tangannya sendiri. Kemudian ia bersabda, "Hendaklah masing-masing suku memegang salah satu dari tepi kain ini, kemudian angkatlah Hajar Aswad ini oleh kalian semua." Maka mereka melakukannya. Dan ketika mereka sampai di tempat Hajar Aswad, maka tangan Nabi sendirilah yang meletakkan Hajar Aswad itu ke tempatnya, kemudian beliau sendiri pulalah yang menyelesaikannya.
Sebelum beliau diangkat menjadi utusan, orang-orang Quraisy menjuluki Nabi Saw. dengan nama "Al-Amin". Setelah mereka selesai dari pembangunan Ka'bah yang telah mereka renovasi menurut yang mereka kehendaki, maka Az-Zubair ibnul Abdul Muttalib mengisahkan kembali kejadian ular yang ditakuti oleh orang-orang Quraisy sewaktu hendak merenovasi Ka'bah. Hal ini diungkapkannya melalui bait-bait syairnya, yaitu:
عَجِبْتُ لَمَّا تَصَوَّبَتِ الْعُقَابُ ... إِلَى الثُّعْبَانِ وَهِيَ لَهَا اضْطِرَابُ
وَقَدْ كَانَتْ يَكُونُ لَهَا كَشِيشٌ ... وَأَحْيَانًا يَكُونُ لَهَا وُثَابُ
إِذَا قُمْنَا إِلَى التَّأْسِيسِ شَدَّتْ ... تُهَيِّبُنُا الْبِنَاءَ وَقَدْ تُهَابُ
فَلَمَّا إن خشينا الرجز  جَاءَتْ ... عُقَابٌ تَتْلَئِبُّ   لَهَا انْصِبَابُ
فَضَمَّتْهَا إِلَيْهَا ثُمَّ خَلَّتْ ... لَنَا الْبُنْيَانَ لَيْسَ لَهُ حِجَابُ
فقمنا حاشدين إلى باء ... لَنَا مِنْهُ الْقَوَاعِدُ وَالتُّرَابُ
غَدَاةَ نُرَفِّعُ التَّأْسِيسَ منه ... وليس على مساوينا   ثِيَابٌ
أَعَزَّ بِهِ الْمَلِيكُ بَنِي لُؤَيٍّ ... فَلَيْسَ لِأَصْلِهِ مِنْهُمْ ذَهَابُ
وَقَدْ حَشَدَتْ هُنَاكَ بَنُو عَدِيٍّ ... وَمُرَّةُ قَدْ تَقَدَّمَهَا كِلَابُ
فَبَوَّأَنَا الْمَلِيكُ بِذَاكَ عِزًّا ... وَعِنْدَ اللَّهِ يُلْتَمَسُ الثَّوَابُ
Aku takjub ketika burung gagak itu menukik ke arah ular besar yang bergerak-gerak itu.
Ular itu mendesis dan adakalanya meloncat-loncat bila kami bangkit hendak merenovasinya, membuat kami semua merasa takut kepadanya.
Ketika kami merasa takut berbuat dosa, tiba-tiba datanglah burung gagak yang menukik dengan buasnya ke arah ular itu.
Ular itu dicengkeramnya, lalu dibawa pergi, hingga tiada hambatan dan halangan lagi bagi kami untuk mengadakan pembangunan.
Lalu kami bangkit menghimpun semua kekuatan kami untuk membongkar tembok dan plesteran bangunan kami.
Di hari kami meninggikan bangunannya, kami semua tak berbaju. Alangkah mulianya Malik ibnu Lu-ay, maka kejayaan kakek moyang mereka masih tetap berlangsung.
Terhimpun di sana Bani Addi dan Bani Murrah yang didahului oleh Bani Kilab.
Maka kami menempalkan Yang Maharaja dengan pembangunan ini di tempal kedudukan Yang Agung, dan hanya kepada Allah-lah pahala diminta.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ka'bah di masa Nabi Saw. mempunyai panjang (dan lebar) delapan belas hasta dan diberi kelambu dengan kain qubali (katun), setelah itu diberi kelambu dengan kain burdah. Orang yang mula-mula memakaikan kain sutera kepada Ka'bah ialah Al-Hajjaj ibnu Yusuf.
Menurut kami, bangunan Ka'bah masih tetap atas dasar bangunan Quraisy hingga ia mengalami kebakaran di masa permulaan pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair, yaitu sesudah tahun 60 Hijriah di akhir masa kekuasaan Yazid ibnu Mu'awiyah ketika mereka mengepung Ibnuz Zubair.
Dalam masa pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair, Ka'bah dibongkarnya, kemudian dibangun kembali sesuai dengan fondasi Nabi Ibrahim; dan memasukkan Hijir Ismail ke dalamnya, serta membuat dua buah pintu yang dekat dengan tanah, yaitu pintu sebelah timur dan sebelah barat karena menuruti apa yang didengar oleh Siti Aisyah r.a. dari Rasulullah Saw. Siti Aisyah r.a. Ummul Mu’minin adalah bibi Abdullah ibnuz Zubair. Ia menyampaikan hadis tersebut kepada kemenakannya, lalu kemenakannya (Abdullah ibnuz Zubair) melakukannya.
Keadaan Ka'bah tetap seperti apa yang dibangun oleh Abdullah ibnuz Zubair, hingga Abdullah ibnuz Zubair tewas di tangan Al-Hajjaj, lalu Al-Hajjaj mengembalikan bangunan Ka'bah seperti semula atas perintah dari Abdul Malik ibnu Marwan yang menginstruksikannya untuk melakukan hal tersebut.
Kisah ini disebutkan oleh Imam Muslim ibnul Hajjaj di dalam kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا هَنَّاد بْنُ السَّري، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: لَمَّا احْتَرَقَ الْبَيْتُ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ حِينَ غَزَاهَا أَهْلُ الشَّامِ، وَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، تَرَكَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ حَتَّى قَدِمَ النَّاسُ الموسمَ يُرِيدُ أَنْ يُجَرِّئَهم -أَوْ يُحزبهم -عَلَى أَهْلِ الشَّامِ، فَلَمَّا صَدَرَ النَّاسُ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَشِيرُوا عليَّ فِي الْكَعْبَةِ، أَنْقُضُهَا ثُمَّ أَبْنِي بِنَاءَهَا أَوْ أُصْلِحُ مَا وَهَى مِنْهَا؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَإِنِّي  قَدْ فَرِقَ لِي رَأْيٌ فِيهَا، أَرَى أَنْ تُصْلِحَ مَا وَهى مِنْهَا، وَتَدَعَ بَيْتًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَأَحْجَارًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهَا، وَبُعِثَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: لَوْ كَانَ أَحَدُهُمُ احْتَرَقَ بَيْتُهُ مَا رَضِيَ حَتَّى يُجَدِّدَهُ، فَكَيْفَ بَيْتُ رَبِّكُمْ، عَزَّ وَجَلَّ؛ إِنِّي مُسْتَخِيرٌ رَبِّي ثَلَاثًا ثُمَّ عَازِمٌ عَلَى أَمْرِي. فَلَمَّا مضَت ثَلَاثٌ أَجْمَعَ رَأْيَهُ عَلَى أَنْ يَنْقُضَهَا. فَتَحَامَاهَا الناسُ أَنْ يَنْزِلَ بِأَوَّلِ النَّاسِ يَصْعَدُ فِيهِ أمْر مِنَ السَّمَاءِ، حَتَّى صَعِدَهُ رَجُلٌ، فَأَلْقَى مِنْهُ حِجَارَةً، فَلَمَّا لَمْ يَره النَّاسُ أَصَابَهُ شَيْءٌ تَتَابَعُوا، فَنَقَضُوهُ حَتَّى بَلَغُوا بِهِ الْأَرْضَ. فَجَعَلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ أَعْمِدَةً يَسْتُرُ عَلَيْهَا السُّتُورَ، حَتَّى ارْتَفَعَ بِنَاؤُهُ. وَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: إِنِّي سَمِعْتُ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "لَوْلَا أَنَّ النَّاسَ حَدِيثٌ عهدُهم بِكُفْرٍ، وَلَيْسَ عِنْدِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يُقَوِّيني عَلَى بِنَائِهِ، لَكُنْتُ أَدْخَلْتُ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ، وَلَجَعَلْتُ لَهُ بَابًا يَدْخُلُ النَّاسُ مِنْهُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ مِنْهُ. قَالَ: فَأَنَا أَجِدُ مَا أُنْفِقُ، وَلَسْتُ أَخَافُ النَّاسَ. قَالَ: فَزَادَ فِيهِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ مِنَ الْحِجْرِ، حَتَّى أَبْدَى لَهُ أُسًّا نَظَر النَّاسُ إِلَيْهِ فَبَنَى عَلَيْهِ الْبِنَاءَ. وَكَانَ طُولُ الْكَعْبَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا زَادَ فِيهِ اسْتَقْصَرَهُ فَزَادَ فِي طُولِهِ عَشَرَةَ أَذْرُعٍ، وَجَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا يُدْخَلُ مِنْهُ، وَالْآخَرُ يُخْرَجُ مِنْهُ. فَلَمَّا قُتِل ابنُ الزُّبَيْرِ كَتَبَ الحجَّاج إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ، وَيُخْبِرُهُ أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ قَدْ وَضَعَ الْبِنَاءَ عَلَى أُسٍّ نَظَرَ إِلَيْهِ الْعُدُولُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ: إِنَّا لَسْنَا مِنْ تَلْطِيخِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي شَيْءٍ، أَمَّا مَا زَادَهُ فِي طُولِهِ فَأَقِرَّهُ. وَأَمَّا مَا زَادَ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ فَرُدَّهُ إِلَى بِنَائِهِ، وَسُدَّ الْبَابَ الذِي فَتَحَهُ. فَنَقَضَهُ وَأَعَادَهُ إِلَى بِنَائِهِ
telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang menceritakan kisah berikut: Ketika Baitullah mengalami kebakaran di masa pemerintahan Yazid ibnu Mu'awiyah, yaitu di saat penduduk Syam memerangi Mekah, maka keadaan Baitullah saat itu dibiarkan saja oleh Abdullah ibnuz Zubair (setelah kebakaran), hingga datanglah orang-orang di musim haji dengan maksud melindungi penduduk Mekah dari serangan penduduk negeri Syam. Ketika orang-orang berkumpul, Abdullah ibnuz Zubair berkata, "Hai manusia, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku mengenai Ka'bah ini, apakah aku harus meruntuhkannya, kemudian membangun kembali; ataukah aku harus memperbaiki ba-gian dari Baitullah yang sudah seharusnya diperbaiki?" Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai pendapat yang berbeda mengenainya. Aku berpendapat sebaiknya engkau memperbaiki bagiannya yang harus diperbaiki, kemudian biarkanlah olehmu Baitullah dalam keadaan seperti semula ketika orang-orang mulai masuk Islam dan ketika orang-orang mengangkut batu-batu untuk membangunnya serta ketika Nabi Saw. diutus." Ibnuz Zubair berkata, "Seandainya salah seorang dari mereka mengalami kebakaran rumahnya, pasti dia tidak akan puas sebelum memperbaharuinya. Maka terlebih lagi dengan Baitu Tuhan kalian? Sesungguhnya aku akan beristikharah kepada Tuhanku selama tiga malam, kemudian aku bertekad untuk melakukan urusanku." Setelah berlalu tiga malam, maka bulatlah tekad Ibnuz Zubair untuk membongkarnya (guna perbaikan), tetapi orang-orang tidak berani melakukannya karena takut bila nanti ada azab yang turun dari langit yang akan menimpa orang yang mula-mula melakukannya. Lalu ada seorang lelaki naik ke atas Ka'bah dan melemparkan batu-batunya (Ka'bah). Ketika orang-orang melihatnya tidak apa-apa, maka mereka mengikuti jejaknya, lalu mereka membongkar Ka'bah hingga rata dengan tanah. Lalu Ibnuz Zubair membuat tiang-tiang, kemudian ditutup dengan kain hingga bangunan Ka'bah tinggi.  Ibnuz Zubair berkata, ia pernah mendengar Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Seandainya orang-orang bukan masih baru meninggalkan kekufuran, dan aku mempunyai biaya untuk memperbaikinya, niscaya aku akan memasukkan Hijir Ismail ke dalamnya sepanjang lima hasta, dan sungguh aku akan membuat satu pintu baginya untuk orang-orang yang masuk ke dalamnya dan satu pintu lagi untuk orang-orang yang keluar. Ibnu Zubair mengatakan, "Sekarang aku mempunyai biaya dan aku tidak takut kepada manusia." Maka Abdullah ibnuz Zubair melakukan perluasan sepanjang lima hasta dengan memasukkan sebagian dari Hijir Ismail ke dalamnya. Ketika fondasi mulai tampak baginya, orang-orang menyangkalnya, tetapi ia terus meninggikan bangunan di atas fondasi itu. Panjang Ka'bah seluruhnya adalah delapan belas hasta. Ketika Abdullah ibnuz Zubair melakukan pelebaran, biayanya kurang cukup, maka ia hanya menambahkan panjangnya sebanyak sepuluh hasta; dan ia membuat dua buah pintu, salah satunya untuk pintu masuk, sedangkan pintu lainnya untuk jalan keluar. Ketika Ibnuz Zubair tewas, Al-Hajjaj mengirimkan surat kepada Abdul Malik untuk meminta izin kepadanya menyangkut kelangsungan pembangunan Ka'bah, dan ia memberitahukan bahwa Ibnuz Zubair telah membuat tembok di atas fondasi yang mendapat sanggahan dari orang-orang arif Mekah. Maka Abdul Malik membalas suratnya seraya mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak ikut campur dengan perombakan yang dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Mengenai tambahan panjangnya, aku menyetujuinya; tetapi apa yang ia tambabkan padanya dari sebagian Hijir Ismail, maka kembalikanlah kepada bangunan yang semula, kemudian tutuplah pintu yang dibukanya." Maka Al-Hajjaj merombak Ka'bah dan mengembalikannya kepada bangunan semula.
Hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya melalui Hannad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata, dari Ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah dengan sanad yang marfu' sampai kepadanya (Ibnuz Zubair), tetapi Imam Nasai tidak menyebutkan kisahnya.
Pada prinsipnya ketentuan sunnah menyetujui apa yang dilakukan oleh Abdullah Ibnuz Zubair r.a. karena hal itulah yang ingin dilakukan oleh Rasulullah Saw. seandainya saja beliau tidak khawatir akan menimbulkan rasa antipati di dalam hati sebagian orang-orang Mekah, mengingat mereka baru saja masuk Islam dan baru meninggalkan kekufuran.
Akan tetapi, sunnah ini masih belum diketahui oleh Abdul Malik ibnu Marwan. Karena itu, ketika ia mengetahui bahwa Siti Aisyah r.a. memang benar telah meriwayatkannya dari Rasulullah Saw., maka ia berkata, "Alangkah senangnya kami seandainya kami biarkan apa yang telah dilakukannya (Ibnuz Zubair)."
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيج، سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُبَيد بْنِ عُمَيْرٍ وَالْوَلِيدَ بْنَ عَطَاءٍ، يُحَدِّثَانِ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدٍ: وَفَدَ الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ فِي خِلَافَتِهِ، فَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: مَا أَظُنُّ أَبَا خُبَيبٍ -يَعْنِي ابْنَ الزُّبَيْرِ -سَمِعَ مِنْ عَائِشَةَ مَا كَانَ يَزْعُمُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْهَا. قَالَ الْحَارِثُ: بَلَى، أَنَا سَمِعْتُهُ مِنْهَا. قَالَ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ مَاذَا؟ قَالَ: قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ قَوْمَكِ اسْتَقْصَرُوا مِنْ بُنْيَانِ الْبَيْتِ، وَلَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِهِمْ بِالشِّرْكِ أَعَدْتُ مَا تَرَكُوا مِنْهُ، فَإِنْ بَدَا لِقَوْمِكِ مِنْ بَعْدِي أَنْ يَبْنُوهُ فَهَلُمِّي لِأُرِيَكِ مَا تَرَكُوا مِنْهُ". فَأَرَاهَا قَرِيبًا مِنْ سَبْعَةِ  أَذْرُعٍ
Imam Muslim meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, bahwa ia pernah mendengar dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Al-Walid ibnu Ata; keduanya menceritakan hadis dari Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, bahwa Abdullah ibnu Ubaid pernah menceritakan kisah berikut: Al-Haris ibnu Ubaidillah mengirimkan dutanya kepada Abdul Malik ibnu Marwan dalam masa pemerintahannya. Maka Abdul Malik berkata, "Aku tidak menduga Abu Habib —yakni Ibnuz Zubair— pernah mendengar dari Siti Aisyah hadis yang ia yakini menerimanya langsung dari Siti Aisyah." Al-Haris berkata, "Memang benar, aku pun pernah mendengarnya dari Siti Aisyah." Abdul Malik bertanya, "Apakah engkau pun pernah mendengar darinya? Coba ceritakan apa yang telah dia katakan!" Al-Haris berkata, Siti Aisyah r.a. pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kaummu mengurangi sebagian dari bangunan Baitullah. Seandainya bukan karena mereka baru meninggalkan kemusyrikan, niscaya aku akan mengembalikannya kepada bentuk semula yang mereka tinggalkan. Dan jika kaummu kelak sesudahku berniat akan membangunnya kembali, maka kemarilah, akan aku tunjukkan kepadamu batas yang mereka tinggalkan darinya." Lalu Nabi Saw. memperlihatkan kepadanya kekurangan tersebut, yaitu kurang lebih tujuh hasta.
هَذَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبيد [بْنِ عُمَيْرٍ]. وَزَادَ عَلَيْهِ الْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ مَوْضُوعَيْنِ فِي الْأَرْضِ شَرْقِيًّا وَغَرْبِيًّا، وَهَلْ تَدْرِينَ لِمَ كَانَ قَوْمُكِ رَفَعُوا بَابَهَا؟ " قَالَتْ: قُلْتُ: لَا. قَالَ: "تَعَزُّزًا أَلَّا يَدْخُلَهَا إِلَّا مَنْ أَرَادُوا. فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا هُوَ أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَهَا، يَدَعونه حَتَّى (7) يَرْتَقِيَ، حَتَّى إِذَا كَادَ أَنْ يَدْخُلَ دَفَعُوهُ فَسَقَطَ" قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: فَقُلْتُ لِلْحَارِثِ: أَنْتَ سَمِعْتَهَا تَقُولُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَنَكَتَ سَاعَةً بِعَصَاهُ، ثُمَّ قَالَ: وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُ وَمَا تَحَمَّل.
Ini adalah hadis yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dan Al-Walid ibnu Ata menambahkan bahwa Nabi Saw. bersabda: Dan sungguh aku akan membuat dua buah pintu padanya yang menempel di tanah, yaitu di sebelah timur dan sebelah barat. Tahukah kamu mengapa kaummu meninggikan pintunya? Siti Aisyah r.a. menjawab, "Tidak." Nabi Saw. bersabda, "Untuk mempersulit agar tiada yang memasukinya kecuali orang yang benar-benar menghendakinya. Apabila ada seorang lelaki yang hendak memasukinya, mereka membiarkannya sampai naik ke atas; dan apabila lelaki itu sudah masuk, maka mereka mendorongnya hingga ia terjatuh." Abdul Malik berkata, "Aku bertanya kepada Al-Haris, 'Apakah engkau pernah mendengar Siti Aisyah mengatakan hal ini'?" Al-Haris menjawab, "Ya." Maka Abdul Malik mengetuk-ngetukkan tongkatnya, sesaat kemudian ia berkata, "Seandainya saja aku membiarkannya dan menuruti apa yang kamu hafalkan itu."
Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, dan telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq; kedua-duanya menceritakan hadis ini dari Ibnu Juraij dengan sanad ini semisal dengan hadis Abu Bakar.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ، حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ أَبِي صَغيرة، عَنْ أَبِي قَزَعَة أنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ بَيْنَمَا هُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ إِذْ قَالَ: قَاتَلَ اللَّهُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَيْثُ يَكْذِبُ عَلَى أمِّ الْمُؤْمِنِينَ، يَقُولُ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَائِشَةُ، لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ حَتَّى أَزِيدَ فِيهَا مِنَ الْحِجْرِ، فإنَّ قَوْمَكِ قَصَّرُوا فِي الْبِنَاءِ". فَقَالَ الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ: لَا تَقُلْ هَذَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَنَا سَمِعْتُ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُحَدِّثُ هَذَا. قَالَ: لَوْ كنتُ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ أهدمَه لتركته على ما بنى ابن الزبير
Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bakar As-Sahmi, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Abu Sagirah, dari Abu Quza'ah: Ketika Abdul Malik ibnu Marwan sedang tawaf di Baitullah, tiba-tiba ia berkata, "Semoga Allah melaknat Ibnuz Zubair. Dia berdusta terhadap Ummul Mu’minin (maksudnya Siti Aisyah) karena dia mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Siti Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kekufurannya, sungguh aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tambahkan kepadanya sebagian dari Hijir (Ismail). Karena sesungguhnya kaummu mengurangi bangunannya.’ Maka Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah berkata, "Jangan kamu katakan itu, hai Amirul Mu’minin, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Siti Aisyah berkata demikian." Abdul Malik ibnu Marwan berkata, "Seandainya aku mendengarnya sebelum aku membongkar Ka'bah, niscaya aku akan membiarkannya seperti apa yang telah dibangun oleh Ibnuz Zubair."
Hadis ini sudah dapat dipastikan benar-benar dari Siti Aisyah r.a. karena hadis ini diriwayatkan darinya melalui berbagai jalur periwayatan yang berpredikat sahih, yaitu dari Al-Aswad ibnu Yazid, Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, Abdullah ibnuz Zubair, Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar, dan dari Urwah ibnuz Zubair. Maka hal ini menunjukkan bahwa apa yang diperbuat oleh Ibnuz Zubair adalah benar; seandainya dibiarkan, maka hal tersebut memang baik.
Tetapi setelah melihat perkembangannya sampai pada keadaan seperti itu, maka sebagian ulama memakruhkan mengubah Ka'bah dari keadaannya semula, seperti yang disebutkan di dalam riwayat dari Amirul Mu’minin Harun Ar-Rasyid atau ayahnya (yaitu Al-Mahdi). Disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Imam Malik tentang merenovasi Ka'bah dengan tujuan mengembalikannya seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Maka Imam Malik berkata kepadanya, "Mengapa engkau ini, wahai Amirul Mu’minin. Janganlah engkau jadikan Ka'bah Allah seperti mainan para raja; bila seseorang dari mereka tidak menyukai bentuknya, lalu dengan seenaknya dia merenovasinya." Maka Ar-Rasyid membiarkannya dan tidak berani melakukannya. Riwayat ini dinukil oleh Iyad dan Imam Nawawi.
Ka'bah akan tetap dalam keadaan seperti sekarang hingga akhir zaman nanti sampai datang suatu masa Ka'bah akan dirusak oleh orang-orang Habsyah yang berkaki pengkor, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيقتين مِنَ الْحَبَشَةِ".
Kelak Ka'bah akan dirusak oleh Zus Suwaiqalaini (orang-orang yang berkaki pengkor) dari kalangan orang-orang Habsyah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini.
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"كَأَنِّي بِهِ أسودَ أفحَجَ، يَقْلَعُهَا حَجَرًا حَجَرًا".
Seakan-akan aku melihatnya berkulit hitam dan berkaki pengkor (berbentuk huruf o), ia membongkar Ka'bah batu demi batu.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Bukhari.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab musnad-nya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الحَرَّاني، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، عن بن أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا  قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "يُخَرِّب الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ الْحَبَشَةِ، وَيَسْلُبُهَا حلْيتها وَيُجَرِّدُهَا مِنْ كُسْوَتِهَا. وَلَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ أُصَيْلِعَ أفَيْدعَ يَضْرِبُ عَلَيْهَا بِمِسْحَاته ومِعْوله"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Kelak Ka'bah akan dirusak oleh orang yang berkaki pengkor dari Habsyah; dia merampok perhiasannya dan melucuti kiswah (kain kelambu)nya. Sekarang aku seakan-akan melihat dia berkepala botak dan betisnya melengkung, ia sedang memukuli Ka'bah dengan belincong dan linggis.
Al-fada' artinya lengkungan antara telapak kaki dan tulang betis. Hal ini —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— terjadi setelah Ya-juj dan Ma-juj muncul, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"ليُحَجَّنَّ البيتُ وليُعْتَمَرَنَّ بَعْدَ خُرُوجِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ"
Sesungguhnya Baitullah masih tetap didatangi oleh jamaah yang melakukan haji dan umrah sesudah munculnya Ya-juj dan Ma-juj.
****************
Firman Allah Swt. yang menceritakan doa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail:
{رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Jarir, keduanya bermaksud, "Jadikanlah kami orang yang tunduk kepada perintah-Mu dan patuh dalam ketaatan kepada-Mu. Dalam taat kami kepada-Mu, kami tidak akan mempersekutukan Engkau dengan seorang pun selain Engkau sendiri, dan tidak pula daam beribadah kepada-Mu mempersekutukan-Mu dengan seorang pun selain Engkau sendiri."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Raja' ibnu Hibban Al-Husaini Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ma'qal ibnu Abdullah, dari Abdul Karim sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Yakni jadikanlah kami orang yang ikhlas kepada Engkau, dan jadikanlah pula di antara anak cucu kami umat yang ikhlas kepada Engkau.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Salam ibnu Abu Muti' sehubungan dengan takwil ayat ini: Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Dikatakan bahwa keduanya memang orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah, tetapi keduanya memohon hal tersebut kepada Allah hanyalah semata-mata untuk memperteguh dan menguatkan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Lalu Allah Swt. menjawabnya, "Aku kabulkan." Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Maka Allah Swt. menjawabnya, "Aku perkenankan permintaanmu."
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Bahwa yang dimaksud oleh keduanya adalah orang-orang Arab.
Tetapi menurut Ibnu Jarir, pendapat yang benar doa tersebut ditujukan kepada umum, mencakup orang-orang Arab dan bangsa lain, karena sesungguhnya di antara anak cucu Nabi Ibrahim adalah Bani Israil. Allah Swt. telah berfirman:
{وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ}
Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak, dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan. (Al-A'raf: 159)
Menurut kami apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tidaklah bertentangan dengan yang dikatakan oleh As-Saddi, mengingat apa yang dikatakan oleh As-Saddi merupakan takhsis dari apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir, dan bukan berarti meniadakan selain mereka. Konteks ayat hanyalah berkaitan dengan bangsa Arab. Untuk itu disebutkan sesudahnya:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah serta menyucikan mereka. (Al-Baqarah: 129), hingga akhir ayat.
Yang dimaksud dengan rasul dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Saw., dan Allah Swt. mengutusnya buat mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Sekalipun demikian, bukan berarti risalah yang diemban olehnya hanya untuk orang-orang Arab saja, tetapi juga untuk kulit merah dan kulit hitam. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا}
Katakanlah, "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua." (Al-A'raf: 158)
Masih banyak ayat lainnya yang bermakna sama sebagai dalil pasti untuk pengertian ini.
Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., dipanjatkan pula oleh hamba-hamba Allah yang mukmin lagi bertakwa, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqah: 74)
Memanjatkan doa seperti ini dianjurkan oleh syariat, karena sesungguhnya termasuk kesempurnaan cinta ibadah kepada Allah Swt. ialah memohon dikaruniai keturunan yang hanya menyembah Allah Swt. semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Karena itu, ketika Allah Swt. berfirman kepada Ibrahim a.s.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124)
Maka Nabi Ibrahim a.s. mengajukan permohonannya, yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut
{وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
"Dan (saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam firman lain-nya, yaitu:
{وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ}
Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.. (Ibrahim: 35)
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يدعو له"
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا}
Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Juraij, dari Ata, makna ayat ini ialah: "Tunjukkanlah kepada kami hal tersebut agar kami mengetahuinya."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan manasikana ialah tempat-tempat penyembelihan kurban kami. Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata dan Qatadah.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Basyir, dari Khasif dan Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang disitir oleh firman-Nya: Tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128) Bahwa Malaikat Jibril datang dan membawanya ke Baitullah, lalu Jibril berkata, "Tinggikanlah fondasi-fondasi ini." Maka Nabi Ibrahim meninggikan bangunan Ka'bah dan merampungkan pembangunannya, lalu Jibril menuntunnya dan membawanya ke Safa. Jibril berkata, "Ini termasuk syiar-syiar Allah." Kemudian Jibril membawanya pergi ke Marwah dan berkata pula, "Ini termasuk syiar-syiar Allah." Lalu Jibril membawanya pergi ke Mina. Ketika sampai di Aqabah, tiba-tiba iblis berdiri di bawah sebuah pohon, maka Jibril berkata, "Bertakbirlah dan lemparlah dia!" Maka Ibrahim bertakbir dan melemparnya. Iblis pergi, lalu berdiri di bawah Jumrah Wusta. Ketika Jibril dan Ibrahim melewatinya, maka Jibril berkata, "Bertakbirlah dan lemparlah dia!" Lalu Ibrahim bertakbir dan melemparnya. Maka iblis yang jahat itu pun pergi; pada mulanya iblis yang jahat itu hendak memasukkan sesuatu ke dalam ibadah haji, tetapi dia tidak mampu. Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu Jibril berkata, "Ini adalah Masy'aril Haram." Kemudian Jibril membawanya lagi hingga sampai di Arafah. Jibril berkata, "Sekarang kamu telah mengenal semua apa yang kuperlihatkan (kuperkenalkan) kepadamu," Kalimat ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Ibrahim menjawab, "Ya."
Telah diriwayatkan dari Abul Mijlaz dan Qatadah hal yang semisal dengan riwayat di atas.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asim Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu ketika diperlihatkan kepadanya tanda-tanda dan tempat-tempat ibadah haji, setan menampakkan dirinya di tempat sa'i, tetapi kedahuluan oleh Nabi Ibrahim. Kemudian Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Mina, lalu Jibril berkata, "Ini adalah tempat menginap orang-orang." Ketika Jibril dan Ibrahim sampai di Jumrah Aqabah, maka setan menampakkan diri kepada Ibrahim, lalu Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan pergi. Lalu Jibril membawanya ke Jumrah Wusta, dan setan kembali menampakkan dirinya kepada Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga pergi. Kemudian Jibril membawa Ibrahim ke Jumrah Quswa, dan setan kembali menampakkan dirinya kepada Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga lenyap. Kemudian Jibril membawanya ke Jam'an, lalu berkata kepadanya, "Ini adalah Masy'ar." Setelah itu Jibril membawanya ke Arafah, lalu berkata kepadanya, "Apakah engkau telah mengenalnya?"

{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (129) }
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah Swt. memberitakan tentang kesempurnaan doa Nabi Ibrahim buat penduduk Tanah Suci, yaitu dia memohon kepada Allah semoga Allah mengutus untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dengan kata lain, dari keturunan Ibrahim sendiri. Ternyata doa yang mustajabah ini bertepatan dengan takdir Allah yang terdahulu yang telah menentukan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang rasul untuk bangsa yang ummi dari kalangan mereka sendiri, juga untuk semua bangsa Ajam lainnya dari kalangan manusia dan jin.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سُوَيد الْكَلْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى بْنِ هِلَالٍ السُّلَمِيِّ، عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إني عند الله لخاتم النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِينَتِهِ، وَسَأُنْبِئُكُمْ بِأَوَّلِ ذَلِكَ، دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبِشَارَةُ عِيسَى بِي، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ، وَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُ النَّبِيِّينَ يَرَيْنَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Sa'id ibnu Suwaid Al-Kalbi, dari Abdul A’la ibnu Hilal As-Sulami, dari Al-Irbad ibnu Sariyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku di sisi Allah benar-benar tercatat sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam benar-benar masih berupa tanah liat.  Dan aku akan menceritakan kepada kalian awal mula dari hal tersebut, yaitu doa ayahku Ibrahim, berita gembira Isa mengenaiku, dan impian diriku yang pernah dilihat oleh ibuku, demikian pula ibu-ibu para nabi semua melihatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb dan Lais serta dicatat oleh Abdullah ibnu Saleh, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, kemudian diikuti oleh Abu Bakar ibnu Abu Maryam, dari Sa'id ibnu Suwaid dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْفَرَجُ، حَدَّثَنَا لُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَ أَوَّلُ بَدْء أَمْرِكَ؟ قَالَ: "دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى بِي، وَرَأَتْ أُمِّي أَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Faraj, telah menceritakan kepada kami Luqman ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah menceritakan hadis berikut:  Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah permulaan dari kejadianmu? Nabi Saw. menjawab, "Doa ayahku Ibrahim, berita gembira Isa mengenaiku, dan ibuku melihat dalam mimpinya telah keluar dari tubuhnya suatu nur yang cahayanya dapat menerangi gedung-gedung negeri Syam"
Makna yang dimaksud ialah, orang yang mula-mula sengaja menyebutnya dan memperkenalkannya kepada umat manusia adalah Ibrahim a.s. Nama beliau Saw. terus-menerus menjadi buah bibir manusia hingga namanya disebutkan dengan jelas oleh penutup nabi-nabi kalangan Bani Israil, yaitu Nabi Isa ibnu Maryam a.s. Ia berkhotbah di kalangan umat Bani Israil. Ucapannya ini disitir oleh firman-Nya:
{إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ}
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku —yaitu Taurat— dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). (Ash-Shaff: 6)
Karena itulah Nabi Saw. bersabda di dalam hadis ini bahwa dia adalah doa Nabi Ibrahim dan berita gembira yang disampaikan oleh Isa ibnu Maryam.
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Dan ibuku telah melihat ada sebuah nur (cahaya) keluar dari tubuhnya yang cahayanya menyinari gedung-gedung negeri Syam." Menurut suatu pendapat, hal itu terjadi di dalam mimpinya ketika ibu Nabi Saw. sedang mengandungnya, lalu beliau menceritakannya kepada kaumnya, maka hal itu tersiar dan terkenal di kalangan mereka. Hal tersebut merupakan pendahuluan dan pengkhususan bagi negeri Syam, bahwa nur Nabi Saw. akan menyinarinya. Hal ini merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa agama dan kenabian beliau Saw. kelak akan menetap di negeri Syam. Karena itu, maka negeri Syam di akhir zaman kelak akan menjadi benteng bagi Islam dan para pemeluknya. Di negeri Syam-lah kelak Nabi Isa ibnu Maryam diturunkan, yaitu di kota Damaskus, tepatnya di menara putih sebelah timur. Di dalam sebuah hadis Sahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan:
«لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ»
Segolongan dari umatku masih terus-menerus berjuang membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghina mereka dan tidak pula orang yang menentang mereka hingga datang perintah Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian (membela kebenaran).
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan:
«وَهُمْ بِالشَّامِ» .
sedangkan mereka tinggal di negeri Syam.
Abu Ja'far Ar-Razi menceritakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 129) Yang dimaksud dengan mereka adalah umat Nabi Muhammad Saw. Lalu dikatakan kepada Ibrahim bahwa permintaannya telah dikabulkan. Apa yang dimintanya itu terbukti di akhir zaman (yakni zaman Nabi Muhammad Saw.). Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi dan Qatadah.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ} يَعْنِي: الْقُرْآنَ {وَالْحِكْمَةَ}
Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. (Al-Baqarah: 129)
Yang dimaksud adalah kitab Al-Qur'an. Sedangkan yang dimaksud dengan al-hikmah ialah sunnah.
Demikianlah menurut Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Abu-Malik serta lain-lainnya. Menurut pendapat lain, yang dimaksudkan ialah pengertian dalam agama. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut tidaklah bertentangan.
Wayuzakkihim, menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah taat kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah. (Al-Baqarah: 129) Bahwa yang dimaksud ialah mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an dan kebaikan agar mereka mengerjakannya, juga keburukan agar mereka menjauhinya, serta menyampaikan kepada mereka bahwa Allah akan rida kepada mereka jika taat kepada-Nya. Demikian itu agar mereka banyak melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua hal yang membuat-Nya murka, juga menjauhi perbuatan durhaka terhadap-Nya.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 129)
Yakni Yang Mahaperkasa, tiada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya; dan Dia adalah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, lagi Mahabijaksana dalam semua firman dan perbuatan-Nya. Dia selalu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya karena pengetahuan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.

{وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130) إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (131) وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132) }
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam." Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub (Ibrahim berkata), "Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ayat-ayat ini merupakan sanggahan dari Allah Swt. terhadap orang-orang kafir atas apa yang telah mereka buat-buat dan hal-hal baru yang mereka adakan berupa kemusyrikan terhadap Allah Swt. dan bertentangan dengan agama Nabi Ibrahim, imam para Hunafa. Karena sesungguhnya dia hanya mengesakan Tuhannya dan tidak menyeru kepada siapa pun selain kepada Tuhannya. Dia tidak mempersekutu-kan-Nya barang sekejap pun dan membebaskan diri dari semua sesembahan selain-Nya. Untuk membela agamanya ini Nabi Ibrahim menentang semua yang disembah oleh kaumnya hingga dia membebaskan dirinya dari ayahnya yang berpihak kepada kaumnya. Nabi Ibrahim mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ* إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Dia berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Al-An'am: 78-79)
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ* إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ}
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku." (Az-Zukhruf: 26-27)
{وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إيَّاهُ فَلَمَا تَبَيَّنَ لَهُ أنَّه عَدُوٌ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إنَّ إبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}
Dan permintaan ampun Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari-nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)
{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ* شَاكِرًا لأنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ* وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (An-Nahl: 120-122)
Mengingat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas serta lain-lain-nya yang semakna, maka dikatakan di dalam firman-Nya: Dan tiada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. (Al-Baqarah: 130)
Dengan kata lain, dia berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dengan memperbodohinya, dan buruk dalam berpikir karena meninggalkan perkara yang hak menuju kepada perkara yang batil; mengingat dia menyimpang dari jalan orang yang terpilih di dunia untuk memberi-kan hidayah dan bimbingan sejak dia kecil sampai Allah mengangkatnya menjadi kekasih-Nya, sedangkan dia di akhirat kelak menjadi salah seorang yang saleh lagi berbahagia. Barang siapa yang menyimpang dari jalan dan agama serta tuntunannya, lalu ia mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kezaliman, maka perbuatan bodoh apakah yang lebih parah daripada hal ini? Dan perbuatan aniaya manakah yang lebih besar daripada hal ini? Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar perbuatan aniaya yang besar. (Luqman: 13)
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, karena mereka membuat-buat ja-lan yang bukan dari sisi Allah, dan mereka bertentangan dengan aga-ma Nabi Ibrahim dalam hal-hal yang mereka buat-buat itu. Kebenaran dari takwil ini terbukti melalui firman-Nya:
{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ* إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ}
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman. (Ali-Imran: 67-68)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ}
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam." (Al-Baqarah: 131)
Yakni Allah memerintahkannya untuk berikhlas kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya; dan ternyata Ibrahim a.s. menunaikan perintah Allah ini seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya.
*************
Firman Allah Swt:
{وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ}
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Al-Baqarah: 132)
Yaitu Ibrahim mewasiatkan agama yang mengajarkan tunduk patuh kepada Allah ini kepada anak-anaknya; atau damir yang terkandung di dalam lafaz biha kembali kepada ucapan Nabi Ibrahim yang disebutkan oleh firman selanjutnya, yaitu: Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 131)
Demikian itu karena keteguhan mereka dan kecintaan mereka kepada agama ini. Mereka tetap berpegang teguh kepadanya hingga mening-gal dunia, dan bahkan sebelum itu mereka mewasiatkan kepada anak-anaknya agar berpegang teguh kepada agama ini sesudah mereka. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ}
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid ini kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az-Zukhruf: 28)
Sebagian ulama Salaf membaca lafaz Ya'qub dengan bacaan nasab —yakni Ya'quba— karena di-'ataf-kan kepada lafaz banihi, seakan-akan Ibrahim mewasiatkannya kepada anak-anaknya, juga kepada cucunya (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq) yang pada saat itu memang Ya'qub menghadirinya.
Imam Qusyairi —menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Qurtubi darinya— menduga bahwa Ya'qub hanya dilahirkan sesudah Nabi Ibrahim wafat. Akan tetapi, pendapat ini memerlukan dalil yang sahih. Menurut pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— Ishaq mempunyai anak Ya'qub sewaktu Nabi Ibrahim dan Sarah masih hidup, karena berita gembira yang disebutkan pada ayat berikut ditujukan kepada keduanya (Nabi Ibrahim dan Siti Sarah), yaitu firman-Nya:
{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}
Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)
Ya'qub dapat pula dibaca nasab, yakni Ya'quba, atas dasar mencabut huruf khafad. Sekiranya Ya'qub masih belum lahir di masa keduanya masih hidup, niscaya penyebutan Ya'qub di antara anak-anak Ishaq tidak mempunyai faedah yang berarti. Lagi pula karena Allah Swt. telah berfirman di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya. (Al-'Ankabut: 27) hingga akhir ayat.
Allah Swt telah berfirman di dalam ayat yang lain, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً}
Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya'qub sebagai suatu anugerah (dari Kami). (Al-Anbiya: 72)
Hal ini semua menunjukkan bahwa Nabi Ya'qub memang telah ada semasa Nabi Ibrahim a.s. masih hidup. Dan sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang mula-mula membangun Baitul Maqdis, seperti yang disebutkan oleh kitab-kitab terdahulu. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Zar r.a. yang menceritakannya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ أَوَّلُ؟ قَالَ: "الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ"، قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "بَيْتُ الْمَقْدِسِ". قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "أَرْبَعُونَ سَنَةً"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun di muka bumi? Nabi Saw. menjawab, "Masjidil Haram" Aku bertanya, "Kemudian masjid mana lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Baitul Maqdis." Aku bertanya, "Berapa lamakah jarak di antara keduanya? Nabi Saw. menjawab, "Empat puluh tahun," hingga akhir hadis.
Ibnu Hibban menduga bahwa jarak masa antara Nabi Sulaiman —yang menurutnya dialah yang membangun Baitul Maqdis, padahal kenyataannya dia hanya merenovasi dan memperbaharuinya sesudah mengalami banyak kerusakan, lalu dia menghiasinya dengan berbagai macam hiasan— dengan Nabi Ibrahim adalah empat puluh tahun. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Ibnu Hibban yang menjadi bumerang baginya, karena sesungguhnya jarak di antara Nabi Ibrahim dan Nabi Sulaiman lebih dari ribuan tahun.
Lagi pula sesungguhnya wasiat Ya'qub kepada anak-anaknya akan disebutkan dalam ayat berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ya'qub adalah termasuk orang yang berwasiat (bukan orang yang menerima wasiat. Dengan kata lain, bacaan rafa'-lah yang lebih kuat, yaitu Ya'qubu).
******************
Firman Allah Swt.:
{يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam. (Al-Baqarah: 132)
Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar kalian diberi rezeki wafat dengan berpegang teguh padanya; karena sesungguhnya manusia itu biasanya meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak dibangkitkan berdasarkan agama yang ia bawa mati. Sesungguhnya Allah telah memberlakukan kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan menuntunnya ke arah kebalkan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan. Barang siapa yang berniat melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya dalam kesalehan itu. Hal ini tidaklah bertentangan dengan sebuah hadis sahih yang mengatakan:
"إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلَهَا . وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلَهَا"؛
Sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dia dan surga hanya tinggal satu depa lagi atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang lain, akhirnya dia melakukan amal perbuatan ahli neraka dan masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak amara dia dan neraka hanya tinggal satu depa atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang lain, maka akhirnya dia mengamalkan amalan ahli surga dan masuklah ia ke dalam surga.
Dikatakan tidak bertentangan karena di dalam riwayat yang lain dari hadis ini dijelaskan bahwa amal perbuatan ahli surga itu menurut apa yang tampak di mata manusia, dan amal ahli neraka tersebut menurut apa yang tampak di mata manusia. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman dalam ayat lainnya, yaitu:
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (Al-Lail: 5-10)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar