{وَقَالُوا
لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (111) بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ
وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (112) وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ
النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ
وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ
قَوْلِهِمْ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا
فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (113) }
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata,
"Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi
dan Nasrani" Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka.
Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang
yang benar." (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya
dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai
suatu pegangan dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak
mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan
mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang
apa-apa yang mereka berselisih padanya.Allah Swt. menjelaskan perihal orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang teperdaya oleh apa yang mereka berada di dalamnya, mengingat masing-masing pihak dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mendakwakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang memeluk agamanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah di dalam swt Al-Maidah, menyitir perkataan mereka, yaitu:
نَحْنُ
أَبْناءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. (Al-Maidah:
18)Maka Allah mendustakan mereka melalui berita yang Dia tujukan kepada mereka, bahwa Dia kelak akan mengazab mereka karena dosa-dosanya. Sekiranya keadaan seperti apa yang mereka dakwakan, niscaya mereka tidak akan diazab oleh Allah. Perihalnya sama saja dengan pengakuan mereka terdahulu, yaitu mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari yang sedikit, setelah itu mereka pindah masuk ke dalam surga. Kemudian Allah membantah pengakuan mereka itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh Allah dalam ayat ini sehubungan dengan dakwaan yang mereka lakukan tanpa dalil, tanpa hujah, dan tanpa bukti. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. (Al-Baqarah: 111)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini ialah cita-cita yang mereka angan-angankan terhadap Allah tanpa alasan yang benar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{قُلْ}
أَيْ: يَا مُحَمَّدُ، {هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ}
Katakanlah (hai Muhammad), "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian."
(Al-Baqarah: 111)Menurut Abu Aliyah, Mujahid, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, arti burhanakum ialah hujah (alasan) kalian, hingga kalian berani mengatakan demikian. Sedangkan menurut Qatadah, artinya bukti kalian atas hal tersebut.
{إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Al-Baqarah:
111)dalam pengakuan yang kalian dakwakan itu.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
{فَإِنْ
حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ} الْآيَةَ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka
katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang
yang mengikutiku." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata. Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah Saw. dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul Saw.). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya:
«مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka
amal itu ditolak.Hadis riwayat Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah r.a.
Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang semisal dengan mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, sesungguhnya amal tersebut tidak diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah Saw. yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia. Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang semisal dengan mereka, Allah Swt. berfirman:
وَقَدِمْنا
إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذا
جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila
didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
وُجُوهٌ
يَوْمَئِذٍ خاشِعَةٌ عامِلَةٌ ناصِبَةٌ تَصْلى نَارًا حامِيَةً تُسْقى مِنْ عَيْنٍ
آنِيَةٍ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber
yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 2-5)Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar r.a. bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya. Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang pamer dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى
الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا
قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bersalat, mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُراؤُنَ
وَيَمْنَعُونَ الْماعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan
barang berguna. (Al-Ma'un: 4-7)Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan:
فَمَنْ
كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ
بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)Di dalam ayat ini disebutkan:
{بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
***************
{فَلَهُ
أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ}
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 112)Melalui ayat ini Allah Swt. telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti. Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka. Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَتِ
الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ
الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ}
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai
suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak
mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.
(Al-Baqarah: 113)Melalui ayat ini Allah menjelaskan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mengingkari di antara kedua belah pihak, yaitu antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala datang kepada Rasulullah Saw. orang-orang Nasrani utusan penduduk negeri Najran, maka datanglah para rahib Yahudi (Madinah) menemui mereka, lalu mereka berdebat di hadapan Rasulullah Saw. Rafi’ ibnu Harmalah (dari kalangan Yahudi) berkata, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia ingkar kepada kenabian Isa dan kitab Injil-nya. Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Musa dan kitab Tauratnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Yakni masing-masing pihak dalam kitabnya membaca hal-hal yang membenarkan apa yang diingkarinya. Orang-orang Yahudi ingkar kepada kenabian Isa, padahal pada kitab Taurat mereka terdapat janji Allah yang diambil dari mereka melalui lisan Nabi Musa agar mereka membenarkan Nabi Isa. Di dalam kitab Injil terdapat keterangan yang dibawa oleh Isa, yang isinya membenarkan Nabi Musa dan apa yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah (yaitu kitab Taurat). Akan tetapi, masing-masing pihak mengingkari keterangan yang ada dalam kitabnya masing-masing.
Mujahid mengatakan di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, memang pada awalnya para pendahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mempunyai pegangan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah mengatakan, "Tidak demikian, bahkan pada awalnya para pendahulu orang-orang Nasrani mempunyai pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dan bercerai-berai. Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Nasrani berkata, 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah berkata, "Tidak demikian, bahkan pada mulanya para pendahulu orang-orang Yahudi mempunyai suatu pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dari diri mereka sendiri dan bercerai-berai.
Dari Qatadah disebutkan pula riwayat lain yang sama dengan riwayat Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan tafsir ayat ini: Orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan." (Al-Baqarah: 113) Mereka adalah ahli kitab yang hidup di masa Rasulullah Saw. Akan tetapi, pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa masing-masing pihak dari kedua golongan tersebut membenarkan tuduhan yang mereka lemparkan terhadap pihak lainnya. Akan tetapi, makna lahiriah konteks ayat menyimpulkan bahwa apa yang mereka katakan itu dicela, padahal pengetahuan mereka bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113) Yakni mereka mengetahui syariat kitab Taurat dan Injil; masing-masing kitab pernah disyariatkan kepada mereka di suatu masa, tetapi mereka saling mengingkari apa yang ada di antara mereka (kedua belah pihak), karena keingkaran dan kekufuran mereka dan membalas kebatilan dengan kebatilan yang lain, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah pada riwayat yang pertama sehubungan dengan tafsir ayat ini.
**********
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ
قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ}
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan
mereka itu. (Al-Baqarah: 113) Melalui ayat ini dijelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam ucapan yang mereka gunakan untuk saling menyerang pihak lainnya. Hal ini termasuk ke dalam pengertian isyarat yang menyindir kebodohan dan ketololan mereka.
Mengenai orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya, "Orang-orang yang tidak mengetahui" (Al-Baqarah: 113), masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Untuk itu, Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui" ialah mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani kepada masing-masing pihak (pengertiannya menyeluruh).
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada Ata, "Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang tidak mengetahui itu?" Ia menjawab bahwa mereka adalah umat-umat sebelum adanya agama Yahudi dan Nasrani, sebelum adanya kitab Taurat dan Injil.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak mengetahui dalam ayat ini ialah orang-orang Badui; mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai suatu pegangan.
Sedangkan Abu Ja'far ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini bersifat umum dan pengertiannya dapat mengena kepada semua orang.
Akan tetapi, memang tidak ada dalil yang akurat yang membantu salah satu dari pendapat-pendapat di atas. Sebagai kesimpulannya ialah menginterpretasikan makna ayat ini dengan semua pengertian di atas adalah hal yang lebih utama.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَاللَّهُ
يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ}
Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang
apa-apa yang mereka berselisih padanya. (Al-Baqarah: 113)Yakni di hari kemudian kelak Allah Swt. akan menghimpun mereka semua dan memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan yang adil, yang tiada kezaliman, tiada penyimpangan padanya barang sekecil apa pun. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang ada dalam surat Al-Hajj, yaitu firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ
وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ
إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi-in,
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan
memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu. (Al-Hajj: 17)Semakna pula dengan firman-Nya:
قُلْ
يَجْمَعُ بَيْنَنا رَبُّنا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ
الْعَلِيمُ
Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi
keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha
Mengetahui" (Saba': 26)
{وَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى
فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ
لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (114)
}
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang
yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan
berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya
(masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia
mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksa yang berat.Mufassirin berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan orang-orang yang menghalang-halangi manusia untuk menyebut asma Allah di dalam masjid-masjid Allah dan mereka berusaha merusaknya. Pendapat mereka tersimpul ke dalam dua pendapat berikut
Pendapat pertama, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114) Mujahid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani, mereka melemparkan kotoran ke dalam Baitul Maqdis dan menghalang-halangi manusia untuk melakukan salat. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan berusaha merobohkannya" (Al-Baqarah: 114). Mereka adalah Bukhtanasar dan para prajuritnya yang pernah merusak Baitul Maqdis dengan bantuan orang-orang Nasrani.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang Nasrani. Karena terdorong oleh kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi, maka mereka meminta bantuan kepada Raja Bukhtanasar dari Babil yang Majusi itu untuk merusak Baitul Maqdis.
As-Saddi mengatakan, mereka membantu Bukhtanasar merusak Baitul Maqdis hingga benar-benar rusak, dan Bukhtanasar memerintahkan supaya bangkai-bangkai dilemparkan ke dalamnya. Sesungguhnya orang-orang Romawi mau membantu Bukhtanasar merusak BaituI Muqaddas karena orang-orang Bani Israil telah membunuh Nabi Yahya ibnu Nabi Zakaria. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Ibnu Zaid pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya (Al-Baqarah: 114) Mereka adalah orang-orang musyrik yang berusaha menghalang-halangi Rasulullah Saw. pada hari Hudaibiyyah untuk memasuki kota Mekah, hingga Rasul Saw. terpaksa menyembelih hadyu (binatang kurban) di Zu Tuwa dan beliau mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka, dan beliau Saw. bersabda kepada mereka (kaum musyrik).
Tiada seorang pun yang dihalang-halangi untuk memasuki Baitullah; dahulu seorang lelaki berjumpa dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, tetapi dia tidak berani menghalang-halanginya (untuk memasuki Baitullah). Maka mereka menjawab, "Tidak boleh masuk ke dalam kota kami orang-orang yang telah membunuh ayah-ayah kami dalam Perang Badar, sedangkan di antara kami masih ada yang hidup"
Sehubungan dengan firman-Nya, "Dan berusaha untuk merobohkannya" (Al-Baqarah: 114), Ibnu Jarir mengatakan, "Dikatakan demikian karena mereka menyetop orang-orang yang meramaikan Baitullah dengan berzikir menyebut asma-Nya dan datang kepadanya untuk menunaikan ibadah haji dan umrah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah disebutkan dari Salamah bahwa Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut, bahwa orang-orang Quraisy melarang Nabi Saw. melakukan salat di dekat Ka'bah Masjidil Haram. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114)
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama dengan alasan bahwa orang-orang Quraisy tidak ada yang berupaya untuk merusak Ka'bah. Adapun orang-orang Romawi, memang mereka berusaha melakukan pengrusakan terhadap Baitul Maqdis.
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— adalah pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Zaid dan riwayat yang dikemukakan dari Ibnu Abbas. Dikatakan demikian karena apabila orang-orang Nasrani menghalang-halangi orang-orang Yahudi melakukan sembahyang di Baitul Maqdis, berarti agama mereka lebih lurus daripada agama orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani lebih dekat (kepada kebenaran) daripada mereka (orang-orang Yahudi). Sedangkan bila yang dimaksudkan oleh Allah adalah perbuatan orang-orang Yahudi, hal tersebut tidak dapat diterima, mengingat mereka telah dilaknat sebelum itu melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam karena perbuatan durhaka mereka, dan mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. Lagi pula setelah Allah mengarahkan celaan-Nya kepada sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, maka Allah mengarahkan celaan-Nya terhadap kaum musyrik, yaitu mereka yang mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah; mereka juga menghalang-halangi Rasul Saw. dan para sahabatnya untuk melakukan salat di Masjidil Haram.
Mengenai pegangan yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy belum pernah berusaha merusak Ka'bah, dapat dijawab kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada kerusakan yang telah mereka lakukan? Mereka mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah, juga menguasai Mekah dengan berhala-berhala mereka dan tandingan-tandingan serta sekutu-sekutu Allah yang dijadikan oleh mereka sendiri, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
وَما
لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ
وَما كانُوا أَوْلِياءَهُ إِنْ أَوْلِياؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلكِنَّ
أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalang-halangi
orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang
berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang
yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-Anfal: 34)
مَا
كانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَساجِدَ اللَّهِ شاهِدِينَ عَلى
أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولئِكَ حَبِطَتْ أَعْمالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ
خالِدُونَ. إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسى
أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah,
sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang
sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang
memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak
takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah:
17-18)
هُمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَالْهَدْيَ
مَعْكُوفاً أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلا رِجالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِساءٌ
مُؤْمِناتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَؤُهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ
بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا
لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذاباً أَلِيماً
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalang-halangi kalian dari
(masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat
(penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan
perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan
membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan
kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan
mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.
Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang
kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (Al-Fath: 25)Karena itulah Allah Swt. menyebutkan di dalam firman-Nya: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tiada takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. (At-Taubah: 18)
Apabila keadaan orang yang bersifat demikian (yakni mereka yang disebutkan dalam ayat terakhir ini) terusir dari masjid-masjid Allah dan dihalang-halangi untuk mendatanginya, maka kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada hal tersebut?
Makna yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid ialah bukan dengan menghiasinya dan menegakkan gambamya saja, melainkan dengan melakukan zikrullah di dalamnya, menegakkan syariat Allah di dalamnya, dan membersihkannya dari kotoran dan kemusyrikan.
****************
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ
مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ}
Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali
dengan rasa takut (kepada Allah). (Al-Baqarah: 114)Ungkapan ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang di-kandungnya adalah anjuran. Dengan kata lain, janganlah kamu biarkan mereka memasukinya jika kalian mampu, kecuali di bawah perjanjian gencatan senjata dan mau membayar jizyah. Karena itulah ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, pada tahun berikutnya (yakni tahun sembilan) beliau diperintahkan menyerukan maklumat berikut ini di Mina:
«أَلَّا
لَا يَحُجَّنَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ ، وَلَا يَطُوفَنَّ بِالْبَيْتِ
عُرْيَانٌ، وَمَنْ كَانَ لَهُ أَجْلٌ فَأَجَلُهُ إِلَى مُدَّتِهِ»
Ingatlah, tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik
pun; dan tidak boleh tawaf di Baitullah seorang pun yang telanjang. Dan barang
siapa yang masih mempunyai waktu (perjanjian), maka batasnya ialah sampai
berakhirnya waktu (perjanjian)nya.Hal tersebut dilakukan sesuai dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرامَ بَعْدَ عامِهِمْ هذا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
(At-Taubah: 28)Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah 'tidaklah layak bagi mereka (orang-orang musyrik) memasuki masjid-masjid Allah kecuali dalam keadaan takut terhadap kesiagaan dan kewaspadaan kaum mukmin yang selalu mengintai akan memukul mereka, terlebih lagi bila kaum musyrik tersebut menguasai masjid-masjid Allah dan melarang kaum mukmin untuk memasukinya'. Dengan kata lain, keadaan yang seharusnya tiada lain kecuali seperti itu, seandainya saja tiada kelaliman dari pihak orang-orang kafir dan selain mereka.
Menurut pendapat yang lain, makna ayat ini mengandung berita gembira dari Allah buat kaum muslim, bahwa kelak kaum muslim akan menguasai Masjidil Haram, juga masjid-masjid lain. Kelak kaum musyrik akan tunduk kepada mereka, hingga tiada seorang pun dari kalangan mereka yang masuk ke dalam Masjidil Haram kecuali dengan rasa takut. Ia akan takut ditangkap, lalu dihukum atau dibunuh jika tidak mau masuk Islam.
Sesungguhnya Allah menunaikan janji ini seperti yang disebutkan di atas, yaitu kaum musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Dan Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar tidak membiarkan ada dua agama di Jazirah Arabia; hendaklah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani diusir. Segala puji dan anugerah adalah milik Allah. Hal tersebut tiada lain karena menghormati Masjidil Haram dan membersihkan kawasan tersebut yang merupakan tempat kelahiran seorang rasul yang diutus oleh Allah buat seluruh umat manusia dengan membawa berita gembira sebagai juru ingat.
Hal tersebut merupakan kehinaan bagi kaum musyrik di dunia, karena pembalasan itu tiada lain disesuaikan dengan jenis perbuatannya. Maka sebagaimana orang-orang musyrik itu pernah melarang kaum mukmin untuk memasuki Masjidil Haram, kini mereka dilarang memasukinya. Sebagaimana mereka pernah mengusir kaum mukmin dari Mekah, maka mereka pun harus diusir.
*****************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُمْ
فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
dan di akhirat mereka mendapat siksa yang berat. (Al-Baqarah: 114)Hal itu sebagai balasan atas perbuatan mereka yang berani menodai kesucian Baitullah dan menghinanya dengan memasang banyak berhala di sekitarnya, menyeru selain Allah di dalamnya, tawaf dengan telanjang bulat, dan perbuatan-perbuatan mereka yang lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang menafsirkannya sebagai Baitul Maqdis, hal ini bersumber dari Ka'b Al-Ahbar yang pernah mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Nasrani ketika berhasil menguasai Baitul Maqdis, mereka melakukan pengrusakan. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. serta menurunkan firman-Nya kepadanya, yaitu: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut. (Al-Baqarah: 114), hingga akhir ayat. Tiada seorang Nasrani pun di muka bumi ini yang memasuki Baitul Maqdis kecuali dalam keadaan takut.
Menurut As-Saddi, sekarang tiada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang memasukinya kecuali dalam keadaan takut lehernya akan dipancung, atau ditakuti dengan keharusan membayar jizyah.
Qatadah berpendapat, orang-orang Romawi tidak berani memasuki Baitul Maqdis kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Menurut kami penafsiran terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam makna umum ayat ini; karena sesungguhnya ketika orang-orang Nasrani itu berbuat aniaya terhadap Baitul Maqdis dengan mencemarkan Sakhrah yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, dalam ibadah, maka orang-orang Nasrani tersebut memperoleh hukumannya menurut syara' dan takdir dengan mendapat kehinaan padanya, kecuali hanya dalam masa-masa tertentu mereka dapat memasuki Baitul Maqdis. Demikian pula halnya orang-orang Yahudi; ketika mereka melakukan kedurhakaan di dalamnya yang lebih besar daripada kedurhakaan orang-orang Nasrani, mereka pun mendapat hukuman yang lebih besar.
Mereka menafsirkan makna kehinaan di dunia dengan munculnya Imam Mahdi, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dan Ikrimah serta Wail ibnu Daud. Sedangkan menurut Qatadah, mereka diharuskan membayar jizyah dengan patuh pada saat mereka dalam keadaan tunduk.
Pendapat yang benar, takwil dari makna kehinaan di dunia lebih umum daripada semuanya. Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang menerangkan tentang memohon perlindungan kepada Allah dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad;
حَدَّثَنَا
الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ بْنِ مَيْسَرَةَ
بْنِ حَلبس سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنْ بُسْر بْنِ أَرْطَاةَ، قَالَ: كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو: "اللَّهُمَّ أَحْسِنْ
عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا
وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"
telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Kharijah, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ayyub ibnu Maisarah ibnu Halas, bahwa ia pernah
mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Bisyr ibnu Artah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya
Allah, jadikanlah akibat semua urusan kami kebaikan belaka, dan lindungilah kami
dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.Hadis ini berpredikat hasan, tetapi tidak terdapat di dalam kitab Sittah; dan pemilik hadis ini (yaitu Bisyr ibnu Artah yang terkadang disebut dengan nama Ibnu Abu Artah) tidak mempunyai hadis lain kecuali hadis ini dan hadis lainnya yang mengatakan:
"لَا
تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ"
Tangan-tangan tidak boleh dipotong dalam peperangan.
{وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (115) }
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka
ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.Makna ayat ini —hanya Allah yang mengetahuinya— merupakan penghibur bagi Rasulullah Saw. dan para sahabat yang telah diusir dari Mekah dan berpisah meninggalkan masjid dan tempat salat mereka. Pada mulanya Rasulullah Saw. salat di Mekah menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka'bah berada di hadapannya. Ketika beliau Saw. tiba di Madinah, beliau masih menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. memalingkannya ke arah Ka'bah. Karena itu, Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa bagian permulaan dari Al-Qur'an yang dimansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan kepada kami —hanya Allah Yang lebih mengetahui— adalah mengenai masalah kiblat. Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Maka Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salatnya dan meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan memalingkannya ke arah Baitul 'Atiq, yaitu melalui firman-Nya: Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 150)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa permulaan ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah mengenai masalah kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira melihat hal itu. Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah Saw. sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau Saw. selalu menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit —sampai dengan firman-Nya— maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144-150)
Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata, "Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada mulanya mereka telah berkiblat kepada-nya?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
*******************
{فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ}
Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.
(Al-Baqarah: 115)Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.
Sesudah mengetengahkan riwayat asar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebuah asar mengenai pe-nasakh-an kiblat ini melalui Ata, dari Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban menghadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun yang mereka sukai di antara arah timur dan barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah Swt. berada di arah tersebut, mengingat semua arah timur dan barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa tiada suatu arah pun melainkan Allah Swt. selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
وَلا
أَدْنى مِنْ ذلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا
كانُوا
Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau
lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada.
(Al-Mujadilah: 7)Mereka mengatakan bahwa setelah itu keharusan yang ditetapkan atas mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir. Mengenai penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada padanya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah Swt., berarti benar. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, karena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Mahasuci Allah dari hal tersebut, dan Maha Tinggi Dia dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dari-Nya boleh menghadap ke arah mana pun —baik ke arah timur atau-pun ke arah barat— dalam salat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat menakutkan.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah salat menghadap ke arah mana unta kendaraannya menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal itu berdasarkan takwil ayat berikut: maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai serta Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan lafaz seperti tersebut di atas. Asal hadis ini berada di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) melalui hadis Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa menyebutkan ayat.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Nafi’ dari Ibnu Umar r.a. disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat Khauf, ia menggambarkan (memperagakan)nya. Kemudian ia mengatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan, maka mereka salat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari Nabi Saw."
Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari dia, ia memperbolehkan salat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yusuf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih pendapat boleh melakukan salat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik r.a., tetapi Abu Ja'far At-Tabari memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah yang berbeda-beda. Maka Allah Swt. berfirman, "Dan kepunyaan Akulah timur dan barat itu. Maka ke arah mana pun kalian menghadapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa salat kalian harus tetap dilangsungkan."
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' As-Samman, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari ayahnya yang menceritakan:
Kami pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu malam yang gelap gulita dan kami turun istirahat di suatu tempat, lalu seseorang mulai mengambil batu-batu untuk membuat masjid (tempat sujud) untuk salat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami telah salat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tadi malam salat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Sufyan ibnu Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman. Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Gailan, dari Waki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu Daud, dari Abur Rabi' As-Samman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama aslinya ialah Asy'as ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang daif hadisnya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Al-Asy'as As-Samman, sedangkan Asy'as dinilai lemah hadisnya. Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu Asim) dinilai lemah; bahkan menurut Imam Bukhari hadisnya dinilai munkar. Ibnu Mu'in mengatakan bahwa dia orangnya daif, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadisnya berpredikat matruk.
Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Jabir. Untuk itu, Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdullah ibnul Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya ia pernah menemukan hal berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari Ata ibnu Jabir yang menceritakan hadis berikut:
Rasulullah Saw. mengutus suatu pasukan yang aku termasuk salah satu anggotanya, maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu segolongan orang dari kami berkata, "Sesungguhnya kami telah mengetahui arah kiblat mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah utara." Maka mereka melakukan salat dan membuat garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari perjalanan misi kami, maka kami tanyakan hal itu kepada Nabi Saw., tetapi beliau diam (tidak menjawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Kemudian Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari Ata, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
قَالَ
الدَّارَقُطْنِيُّ: قُرِئَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ -وَأَنَا
أَسْمَعُ-حَدَّثَكُمْ دَاوُدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ
الْوَاسِطِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ، قال: كنا
مع رسول الله
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ فَأَصَابَنَا غَيْمٌ، فَتَحَيَّرْنَا
فَاخْتَلَفْنَا فِي الْقِبْلَةِ، فَصَلَّى كُلٌّ (1) مِنَّا عَلَى حِدَةِ، وَجَعَلَ
أَحَدُنَا يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَنَعْلَمَ أَمْكِنَتَنَا، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِالْإِعَادَةِ،
وَقَالَ: "قَدْ أَجَزَّأَتْ صَلَاتُكُمْ".
Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz,
sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadis mengatakan, telah menceritakan
kepada kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid
Al-Wasiti, dari Muhammad ibnu Salim, dari Ata, dari Jabir yang menceritakan,
"Kami pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, kemudian awan
menutupi (pandangan kami) hingga kami kebingungan. Maka kami berbeda pendapat
dalam masalah kiblat, dan masing-masing orang dari kami melakukan salat dengan
menghadap ke arahnya masing-masing, dan seseorang di antara kami membuat garis
di depannya sebagai tanda untuk mengetahui tempat kami menghadap. Kemudian kami
ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., dan ternyata beliau tidak memerintahkan
kami untuk mengulangi salat kami, lalu beliau Saw. bersabda, "Salat kalian
telah lewat"Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Salim. Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari Ata, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat daif.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirim suatu pasukan sariyyah, lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui arah kiblat. Maka mereka salat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka salat menghadap ke arah selain kiblat. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-daif-an, barangkali sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain.
Mengulangi salat bagi orang yang keliru (menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama. Semua hadis yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa qada itu tidak ada.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, seperti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah. (Ali Imran: 199) Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia (Raja Najasyi) tidak salat menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Hadis ini berpredikat garib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi melalui Qatadah.
Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Saw. menyalatkannya. Maka hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengatakan disyariatkannya salat gaib. Selanjutnya Imam Quitubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah Saw. menyaksikan kematiannya. Di saat Raja Najasyi meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah Saw. hingga beliau dapat menyaksikannya.
Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada seorang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggahan tersebut, barangkali di kalangan mereka masih belum disyariatkan salat mayat. Jawaban ini cukup baik.
Ketiga, Nabi Saw. sengaja menyalatkannya dengan maksud untuk memikat hati raja-raja lainnya.
وَقَدْ
أَوْرَدَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ
مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ، عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قبْلَة
لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَهْلِ الشَّامِ وَأَهْلِ الْعِرَاقِ".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya
melalui hadis Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di
antara timur dan barat terdapat kiblat bagi penduduk Madinah, penduduk Syam, dan
penduduk Irak.Hadis ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Madani dengan lafaz yang sama, yaitu:
«مَا
بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat kiblat.Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahlul ilmi mengenai diri Abu Ma'syar dari segi hafalan hadisnya (yakni hafalannya lemah).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنِي
الْحَسَنُ بْنُ [أَبِي] بَكْرٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُعَلَى بْنُ
مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَخْنَسِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ الْمُقْبِرِيِّ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ"
telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Bakar Al-Mawarzi, telah
menceritakan kepada kami Al-Ma’la ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Usman ibnu Muhammad ibnul Mugirah
Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat kiblat.Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini berpredikat hasan sahih. Telah diriwayatkan dari Imam Bukhari bahwa dia telah mengatakan hadis ini lebih kuat dan lebih sahih daripada hadis Abu Ma'-syar.
Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan hadis berikut oleh bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu: Di antara timur dan barat terdapat kiblat. Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas radiyallahu 'anhum. Ibnu Umar r.a. pernah mengatakan:
Apabila engkau jadikan arah barat di sebelah kananmu dan arah timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat, jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu Murdawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. adalah perkataan Ibnu Umar r.a. sendiri.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) dapat diinterpretasikan seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarahkan wajah kalian dalam doa kalian kepada-Ku, maka di situlah terdapat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjatkan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu firman-Nya): Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Al-Mu’min: 60) maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-Nya: Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115) Artinya, rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan memberi mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya. Firman-Nya, "'Alimun" artinya sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka yang tidak diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya, bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).
{وَقَالُوا
اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (116) بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِذَا قَضَى
أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (117) }
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata,
"Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di
bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan
bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia
mengatakan kepadanya, "Jadilah." Lalu jadilah ia.Ayat ini dan ayat yang berikutnya mengandung bantahan terhadap orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah menimpa mereka— dan juga orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab, yaitu mereka yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah. Allah mendustakan dakwaan semuanya, demikian juga dakwaan mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah beranak. Untuk itu Dia berfirman, "Subhanahu," Mahasuci dan Mahabersih serta Maha Tinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
{بَلْ
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah.
(Al-Baqarah: 116)Yakni perkara yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang mereka buat-buat, sesungguhnya hanya milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi dan semua yang ada padanya. Dialah yang mengatur mereka, yang menciptakan mereka, yang memberi mereka rezeki, yang menguasai mereka, yang menundukkan mereka, yang menjalankan mereka, dan yang menggerakkan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya merupakan hamba-hamba-Nya dan milik-Nya, maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka? Karena sesungguhnya seorang anak itu hanya dilahirkan dari dua spesies yang sama, sedangkan Allah Swt. tiada yang menyamai-Nya dan tiada yang menyekutui-Nya dalam kebesaran dan keagungan-Nya; dan tiada istri bagi-Nya, maka mana mungkin Dia beranak? Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
بَدِيعُ
السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia
tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala
sesuatu. (Al-An'am: 101)
وَقالُوا
اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئاً إِدًّا. تَكادُ السَّماواتُ
يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبالُ هَدًّا أَنْ
دَعَوْا لِلرَّحْمنِ وَلَداً. وَما يَنْبَغِي لِلرَّحْمنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْداً
لَقَدْ أَحْصاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ
فَرْداً
Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai)
anak."'' Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat
mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah (mempunyai) anak.
Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan
jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap
mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.
(Maryam: 88-95)
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas:
1-4)Melalui ayat-ayat tersebut di atas Allah Swt. menetapkan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Mahaagung Yang tiada tandingan dan tiada persamaan bagi-Nya. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk-Nya yang menjadi hamba-hamba-Nya, maka mana mungkin Dia beranak dari mereka? Karena itu, dalam tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan:
أَخْبَرَنَا
أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي حُسَين،
حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ جُبَيْرٍ -هُوَ ابْنُ مُطْعَمٍ-عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
كَذَّبني ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إيَّاي فَيَزْعُمُ أَنِّي لَا أَقْدِرُ أَنْ
أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لِي وَلَدٌ.
فَسُبْحَانِي أَنْ
أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا
".
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami
Syu'aib, dari Abdullah ibnu Abul Husain, telah menceritakan kepada kami Nafi'
ibnu Jubair (yaitu Ibnu Mut'im), dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal
tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal
tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku
ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali
seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan
bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak."Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri dari satu jalur.
وَقَالَ
ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الفَرْوي،
حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ
يُكَذِّبَنِي، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ يَشْتُمَنِي، أَمَّا
تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي. وَلَيْسَ
أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلِيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ. وَأَمَّا شَتْمُهُ
إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. وَأَنَا اللَّهُ الْأَحَدُ
الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ"
Ibnu Murdawaih berkata, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Ath-Thurmuzi, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Muhammad Al-Qarwi, telah
menceritakan kepada kami Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak
Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku.
Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun
kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan, "Allah
tidak akan membangkitkan aku seperti Dia menciptakan aku pada awal mulanya,"
padahal permulaan penciptaan tidaklah lebih mudah daripada mengembalikannya.
Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Allah telah
mengambil anak (beranak), padahal Aku adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu; tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak
ada seorang pun yang setara dengan Dia.Di dalam kitab Sahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., bahwa beliau pernah bersabda:
"لَا
أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ
وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang telah
didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap
memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.
*****************
Firman Allah Swt.:
{كُلٌّ
لَهُ قَانِتُونَ}
Semua tunduk kepada-Nya. (Al-Baqarah: 116)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna qanitun, yakni musallun (berdoa).
Menurut Ikrimah dan Abu Malik, artinya semua mengakui bahwa Dia wajib disembah. Menurut Sa'id ibnu Jubair makna qanitun ialah ikhlas. Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, qanitun artinya berdiri di hari kiamat. Menurut As-Saddi artinya semua taat kepada-Nya di hari kiamat.
Khasif meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna qanitun, yaitu semua taat kepada-Nya. Bila dikatakan, "Jadilah kamu manusia," maka jadilah manusia. Dan bila dikatakan, "Jadilah kamu keledai," maka jadilah keledai.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid bahwa qanitun artinya mereka semuanya taat kepada Allah. Selanjutnya Mujahid mengatakan bahwa taat orang kafir ialah melalui bayangannya yang sujud kepada Allah, sedangkan diri orang kafir itu sendiri tidak suka. Pendapat dari Mujahid ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Dari semua pendapat di atas Ibnu Jarir menyimpulkan bahwa tunduk, patuh, dan taat hanya kepada Allah merupakan hal yang (diperintahkan) oleh syariat. Hal ini telah diriwayatkan dalam hadis, sebagaimana disebutkan pula di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ
يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُمْ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصالِ
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula)
bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Ar-Ra'd: 15)Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang mengandung penjelasan tentang lafaz qunut dalam Al-Qur'an, bahwa yang dimaksud adalah taat, tunduk, dan patuh; seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا
يونُس بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ
الْحَارِثِ: أَنَّ دَرَّاجًا أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ حَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ يُذْكَرُ فيه القنوت فهو
الطَّاعَةُ".
telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Abdul A’la, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Darraj
yang dijuluki Abus Samah telah menceritakan hadis berikut dari Abul Haisam, dari
Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Setiap lafaz
Al-Qur'an yang menyebutkan al-qunut artinya taat.Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Abu Luhai'ah, dari Darraj dengan sanad yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Predikat rafa' hadis ini merupakan hal yang tidak dapat diterima, mengingat adakalanya hal ini merupakan perkataan seorang sahabat atau orang yang lebih rendah daripada dia. Banyak sekali tafsir yang mengetengahkan sanad ini, padahal di dalamnya terkandung hal yang diingkari. Maka janganlah Anda teperdaya olehnya, karena sesungguhnya sanad ini predikatnya daif.
************
Firman Allah Swt.:
{بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117)Yakni Allah yang menciptakan keduanya tanpa contoh terlebih dahulu. Menurut Mujahid dan As-Saddi, lafaz badi'un dalam ayat ini sesuai dengan makna lugah (bahasa)nya. Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan terhadap sesuatu yang merupakan kreasi baru dengan sebutan bid'ah. Seperti yang terdapat di dalam hadis sahih Muslim, yaitu:
فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah.Bid'ah ada dua macam, yaitu adakalanya bid'ah menurut istilah syara' (yakni bid'ah sayyi'ah), seperti pengertian yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw.:
فَإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid 'ah, dan
setiap bid'ah itu sesat.Yang kedua ialah bid'ah menurut istilah bahasa (yakni bid'ah hasanah) seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a. ketika melihat hasil jerih payahnya yang telah berhasil menghimpun kaum muslim melakukan salat tarawih hingga mereka menjadikannya sebagai tradisi, yaitu:
نعْمَتْ
البدعةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yakni berjamaah salat tarawih). Ibnu Jarir mengatakan, makna firman-Nya: Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117) Makna yang dimaksud ialah mubdi'uhuma (Pencipta keduanya), karena sesungguhnya bentuk asalnya hanyalah mubdi'aun, kemudian di-tasrif menjadi badi'un; sebagaimana di-tasrif lafaz mu'limun menjadi 'alimun, dan lafaz musmi'un menjadi sami'un. Makna yang dimaksud ialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Menjadikan tanpa ada seorang pun yang lebih dahulu menciptakan hal yang semisal dengan ciptaan-Nya itu. Ibnu Jarir mengatakan, "Oleh sebab itu, seorang yang membuat bid'ah dalam agama dinamakan mubtadi', karena dia menciptakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain dalam agama. Hal yang sama dikatakan pula terhadap orang yang membuat ucapan atau kreasi yang baru yang belum pernah dilakukan oleh pendahulunya." Orang-orang Arab menyebut orang yang berbuat demikian dengan nama mubtadi'; antara lain ialah seperti dalam perkataan A'sya ibnu Sa'labah yang memuji Hauzah ibnu Ali Al-Hanafi, yaitu:
يُرعى
إِلَى قَوْل سَادَاتِ الرِّجَالِ إِذَا ...
أبدَوْا لَهُ الحزْمَ أَوْ مَا شَاءَهُ ابتدَعا
Ia dikenal dengan sebutan pemimpin
kaum laki-laki apabila timbul tekadnya yang bulat atau membuat kreasi yang
dikehendakinya.
Yakni bila dia hendak membuat kreasi baru dari dirinya sendiri.Makna ayat menurut Ibnu Jarir ialah seperti berikut: "Mahasuci Allah dari mempunyai anak, Dia adalah Raja semua apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya telah menyaksikan keesaan-Nya melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan semuanya mengaku taat kepada-Nya. Dialah yang menciptakan, yang mengadakan, dan yang menjadikan mereka tanpa asal-usul, juga tanpa contoh yang diikuti-Nya dalam penciptaan-Nya itu." Hal ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa di antara orang-orang yang mengakui hal tersebut adalah Al-Masih yang mereka nisbatkan sebagai anak Allah, dan merupakan pemberitahuan dari Allah kepada mereka bahwa Dia Yang menciptakan langit dan bumi tanpa asal-usul dan tanpa contoh yang mendahuluinya, Dia adalah Tuhan Yang menciptakan Is a tanpa melalui seorang ayah, tetapi hanya dengan kekuasaan-Nya. Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan pendapat yang baik dan merupakan ungkapan yang benar.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا
قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia
mengatakan kepadanya, "Jadilah" Lalu jadilah ia. (Al-Baqarah: 117)Melalui ayat ini Allah Swt. menerangkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kebesaran pengaruh-Nya. Dan bahwa apabila Dia menetapkan sesuatu, lalu Dia berkehendak akan mengadakannya, maka se-sungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah kamu!" Yakni hanya sekali ucap. Maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
إِنَّما
أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, "Jadilah" Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)
إِنَّما
قَوْلُنا لِشَيْءٍ إِذا أَرَدْناهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ
فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah" Maka jadilah ia. (An-Nahl:
40)
وَما
أَمْرُنا إِلَّا واحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kedipan mata.
(Al-Qamar: 50)Salah seorang penyair mengatakan:
إِذَا
مَا أَرَادَ اللَّهُ أَمْرًا فإنَّما ...
يَقُولُ لَهُ كُنْ قَوْلَةً فيكونُ ...
Apabila Allah menghendaki suatu
perkara, maka sesungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!" Hanya
dengan satu perkataan, maka jadilah ia.
Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa penciptaan Isa hanya dengan kalimat
Kun (Jadilah!), maka jadilah Isa sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
Allah.Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ
مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya, "Jadilah!" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran:
59)
{وَقَالَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ لَوْلا يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِينَا آيَةٌ
كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ تَشَابَهَتْ
قُلُوبُهُمْ قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (118) }
Dan orang-orang yang tidak mengetahui
berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berkata dengan kami atau datang
tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'' Demikian pula orang-orang yang sebelum
mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa.
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang
yakin.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Harimalah pernah berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, jika engkau adalah seorang rasul dari Allah, seperti apa yang kamu katakan, maka katakanlah kepada Allah agar Dia berbicara langsung kepada kami hingga kami dapat mendengar kalam-Nya." Maka sehubungan dengan hal ini Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya." (Al-Baqarah: 118)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan demikian adalah orang-orang Nasrani. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat konteks ayat sedang membicarakan perihal mereka. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Imam Qurtubi telah meriwayatkan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami." (Al-Baqarah: 118) Yakni berbicara kepada kami mengenai kenabianmu, hai Muhammad? Menurut kami (penulis), memang demikianlah makna lahiriah konteksnya.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan bahwa bagian pertama dari ayat ini merupakan perkataan orang-orang kafir Arab. Sedangkan firman-Nya: Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 118) Yang dimaksud dengan orang-orang yang sebelum mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan hal tersebut adalah kaum musyrik Arab diperkuat oleh firman-Nya:
وَإِذا
جاءَتْهُمْ آيَةٌ قالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ
اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ
أَجْرَمُوا صَغارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذابٌ شَدِيدٌ بِما كانُوا
يَمْكُرُونَ
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, "Kami tidak
akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah
diberikan kepada utusan-utusan Allah" (Al-An'am: 124), hingga akhir
ayat.
وَقالُوا
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنا مِنَ الْأَرْضِ
يَنْبُوعاً إلى
قوله: قُلْ سُبْحانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولًا
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu
memancarkan mata air dari bumi untuk kami —sampai dengan firman-Nya—
"Katakanlah, 'Mahasuci Tuhan-ku, bukankah aku ini hanya seorang
manusia yang menjadi rasul? (Al-Isra: 90-93)
وَقالَ
الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقاءَنا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلائِكَةُ أَوْ
نَرى رَبَّنا
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan
Kami, "Mengapakah tidak diturunkan pada kita malaikat atau (mengapa) kita
(tidak) melihat Tuhan kita?" (Al-Furqin: 21), hingga akhir ayat.
بَلْ
يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتى صُحُفاً مُنَشَّرَةً
Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya
lembaran-lembaran yang terbuka. (Al-Muddatstsir: 52)Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kekufuran kaum musyrik Arab, keingkaran, dan kekerasan mereka. Permintaan yang mereka ajukan tanpa ada keperluan dengan permintaan itu hanyalah karena terdorong oleh kekufuran dan keingkaran. Perihal mereka sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu dari kalangan Ahli Kitab dan lain-lainnya, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
يَسْئَلُكَ
أَهْلُ الْكِتابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتاباً مِنَ السَّماءِ فَقَدْ
سَأَلُوا مُوسى أَكْبَرَ مِنْ ذلِكَ فَقالُوا أَرِنَا اللَّهَ
جَهْرَةً
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah
kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih
besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan
nyata." (An-Nisa: 153)
وَإِذْ
قُلْتُمْ يَا مُوسى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ
جَهْرَةً
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{تَشَابَهَتْ
قُلُوبُهُمْ}
hati mereka serupa. (Al-Baqarah: 118)Maksudnya, hati orang-orang musyrik Arab serupa dengan hati para pendahulu mereka dalam hal kekufuran, keingkaran, dan melampaui batas. Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
كَذلِكَ
مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قالُوا ساحِرٌ أَوْ
مَجْنُونٌ أَتَواصَوْا بِهِ
Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum
mereka, melainkan mereka mengatakan, "Ia itu adalah seorang tukang sihir atau
orang gila." Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu?
(Adz-Dzariyat: 52-53), hingga akhir ayat.
************
{قَدْ
بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum
yang yakin. (Al-Baqarah: 118)Yakni sesungguhnya Kami telah menerangkan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran rasul-rasul itu yang dengan adanya bukti-bukti tersebut tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan dan tambahan lainnya bagi orang yang yakin, percaya, dan mau mengikuti rasul-rasul serta mengerti bahwa apa yang didatangkan oleh mereka adalah dari sisi Allah Swt. Mengenai orang yang hati serta pendengarannya telah dikunci mati, dijadikan gisyawah (penutup) pada pandangannya, maka mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ
كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu
tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan,
hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)
{إِنَّا
أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ
الْجَحِيمِ (119) }
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad)
dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan
kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni
neraka.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
الْفَزَارِيُّ عَنْ شَيْبَانَ النَّحْوِيِّ، أَخْبَرَنِي قَتَادَةُ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلِيَّ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا
وَنَذِيرًا} قَالَ: "بَشِيرًا بِالْجَنَّةِ، وَنَذِيرًا مِنَ
النَّارِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Abdullah Al-Fazzari, dari Syaiban An-Nahwi,
telah menceritakan ke-padaku Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi
Saw. yang telah bersabda: Telah diturunkan kepadaku firman-Nya, "Sesungguhnya
Kami mengutusmu dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan." Beliau Saw. bersabda, "Sebagai pembawa berita gembira dengan
surga dan pemberi peringatan terhadap neraka."
************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni
neraka. (Al-Baqarah: 119)Menurut bacaan kebanyakan ulama qiraat ialah wala tus-alu dengan ta yang di-dammah-kan sebagai kalimat berita. Menurut bacaan Ubay ibnu Ka'b dikatakan wa ma tas-alu (dan janganlah kamu bertanya), sedangkan menurut qiraat Ibnu Mas'ud dibaca wa lan tus-alu. Qiraat ini dinukil oleh Ibnu Jarir yang artinya Kami tidak akan menanyakan kepadamu tentang kekufuran orang-orang yang kafir. Perihalnya sama dengan firman-Nya:
فَإِنَّما
عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ
Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang
menghisab (amalan mereka). (Ar-Ra'd: 40)
فَذَكِّرْ
إِنَّما أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang
memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.
(Al-Ghasyiyah: 21-22)
نَحْنُ
أَعْلَمُ بِما يَقُولُونَ وَما أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ فَذَكِّرْ
بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخافُ وَعِيدِ
Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu
sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah
dengan Al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku. (Qaf: 45)Masih banyak ayat lainnya yang semakna.
Akan tetapi, ulama lainnya membacanya la tas-al dengan huruf ta yang di-fat-hah-km dengan makna nahi, yakni janganlah kamu tanyakan tentang keadaan mereka.
قَالَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ:
أَخْبَرَنَا
الثَّوْرِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ
الْقُرَظِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ، لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ،
لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {وَلا تُسْأَلُ عَنْ
أَصْحَابِ الْجَحِيمِ} فَمَا ذَكَرَهُمَا حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، عَزَّ
وَجَلَّ.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Musa
ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh
kedua orang tuaku? Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ibu bapakku.
Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ayah ibuku? Maka turunlah ayat
wala tas-al 'an as-habil jahim (Dan janganlah kamu bertanya tentang
penghuni-penghuni neraka). Maka beliau tidak lagi menyebut-nyebut kedua orang
tuanya hingga Allah Swt. mewafatkannya.Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal, dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Musa ibnu Ubaidah yang pribadinya masih dibicarakan oleh mereka, dari Muhammad ibnu Ka'b.
Al-Qurtubi meriwayatkan hadis ini melalui Ibnu Abbas dan Muhammad ibnu Ka'b. Al-Qurtubi mengatakan, perumpamaan kalimat ini sama dengan kata-kata, "Jangan kamu tanyakan tentang si Fulan." Makna yang dimaksud ialah bahwa keadaan si Fulan melampaui apa yang menjadi dugaanmu. Dalam tazkirah telah kami sebutkan bahwa Allah Swt. menghidupkan bagi Nabi Saw. kedua ibu bapaknya hingga keduanya beriman kepada beliau, dan kami telah mengemukakan sanggahan-sanggahan kami sehubungan dengan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«إِنَّ
أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ»
Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.Menurut kami (penulis), hadis yang menceritakan tentang kedua orang tua Nabi Saw. dihidupkan kembali untuk beriman kepadanya tidak terdapat di dalam kitab-kitab Sittah, juga kitab lainnya; sanad hadisnya berpredikat daif, wallaahu a'lam.
ثُمَّ
قَالَ [ابْنُ جَرِيرٍ] وَحَدَّثَنِي الْقَاسِمُ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ،
حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيج، أَخْبَرَنِي دَاوُدُ بْنُ أَبِي عَاصِمٍ:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَاتَ يَوْمٍ: "أَيْنَ
أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari
Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Daud ibnu Abu Asim: Bahwa Nabi Saw. di
suatu hari bertanya, "Di manakah kedua orang tuaku?" Maka turunlah
firman-Nya, "Sesungguhnya Kami mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran,
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; dan janganlah kamu
bertanya tentang penghuni-penghuni neraka."'Hadis ini berpredikat mursal, sama dengan hadis sebelumnya. Sesungguhnya Ibnu Jarir membantah pendapat yang diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b dan lain-lainnya dalam masalah tersebut, karena mustahil Rasulullah Saw. ragu terhadap perkara kedua orang tuanya; dan Ibnu Jarir memilih qiraat yang pertama (yakni yang membaca wa la tus alu). Tetapi sanggahan yang dikemukakannya itu dalam tafsir ayat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat boleh saja hal tersebut terjadi di saat Nabi Saw. memohon ampun buat kedua orang tuanya sebelum beliau mengetahui nasib keduanya. Ketika beliau telah mengetahui hal tersebut, maka beliau berlepas diri dari keduanya dan menceritakan keadaan yang dialami oleh kedua orang tuanya, bahwa keduanya termasuk penghuni neraka, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab sahih; dan masalah ini mempunyai banyak perumpamaannya yang semisal, untuk itu apa yang disebutkan oleh Ibnu Jarir tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Falih ibnu Sulaiman, dari Hilal ibnu Ali, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia pernah bersua dengan Abdullah ibnu Amr ibnul As, lalu ia bertanya, "Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah Saw. di dalam kitab Taurat." Maka Abdullah ibnu Amr ibnul As menjawab, "Baiklah, demi Allah, sesungguhnya sifat-sifat beliau yang disebutkan di dalam kitab Taurat sama dengan yang disebutkan di dalam Al-Qur'an," yaitu seperti berikut: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, dan sebagai benteng pelindung bagi orang-orang ummi (buta huruf). Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku; Aku namai kamu mutawakkil (orang yang bertawakal), tidak keras, tidak kasar, tidak pernah bersuara keras di pasar-pasar, dan tidak pernah menolak (membalas) kejahatan dengan kejahatan lagi, tetapi memaafkan dan mengampuni. Allah tidak akan mewafatkannya sebelum dia dapat meluruskan agama yang tadinya dibengkokkan (diselewengkan), hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah.'''' Maka dengan melaluinya Allah membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri, dia mengetengahkannya di dalam Bab "Buyu' (Jual Beli)", dari Muhammad ibnu Sinan, dari Falih dengan lafaz seperti tertera di atas, sedangkan orang yang mengikutinya mengatakan dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal. Sa'id mengatakan dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Salam. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dalam Bab "Tafsir", dari Abdullah, dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As dengan lafaz yang semisal.
Abdullah yang disebutkan dalam sanad hadis ini adalah Ibnu saleh, seperti yang dijelaskannya di dalam Kitabul Adah. Dan Ibnu Mas'ud Ad-Dimasyqi menduganya adalah Abdullah ibnu Raja'.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam tafsir surat Al-Baqarah ini dari Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnul Barra, dari Al-Mu'afi ibnu Sulaiman, dari Falih dengan lafaz yang sama, dan menambahkan bahwa Ata mengatakan, "Kemudian aku bersua dengan Ka'b Al-Ahbar, lalu aku tanyakan kepadanya tentang hadis ini, ternyata keduanya tidak berbeda dalam mengetengahkan lafaz hadis ini kecuali Ka'b yang mengatakan, 'Menurut yang sampai kepadanya disebutkan 'A'yunan 'umuma, wa azanan sumuma, wa quluban gulufa (mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup)'."
{وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ
إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ
الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
(120) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ
يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (121)
}
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan
Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu
beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Orang-orang Yahudi —juga orang-orang Nasrani itu— hai Muhammad, selamanya tidak akan senang kepadamu. Karena itu, tinggalkanlah upaya untuk membuat mereka senang dan suka kepadamu. Sekarang hadapkanlah dirimu untuk memohon rida Allah karena engkau telah mengajak mereka untuk mengikuti perkara hak yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.
************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ
إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى}
Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)." (Al-Baqarah: 120)Yakni, katakanlah hai Muhammad, "Sesungguhnya petunjuk yang diturunkan oleh Allah kepadaku adalah petunjuk yang sebenarnya." Dengan kata lain, petunjuk tersebut merupakan agama yang lurus, benar, sempurna, dan bersifat umum.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)" (Al-Baqarah: 120), bahwa kalimat ini merupakan cara membantah yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya untuk mendebat orang-orang yang sesat.
Selanjutnya Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْتَتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ، لَا
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ
اللَّهِ".
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus-menerus berperang dalam
rangka membela perkara yang hak, tiada membuat mereka mudarat orang-orang yang
menentang mereka hingga datang perintah Allah (hari kiamat)Menurut kami (penulis) hadis ini diketengahkan pula di dalam kitab sahih melalui Abdullah ibnu Amr.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ
اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan
datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu. (Al-Baqarah: 120)Di dalam ayat ini terkandung makna ancaman dan peringatan yang keras bagi umat Nabi Saw. agar mereka jangan sekali-kali mengikuti jalan-jalan kaum Yahudi dan kaum Nasrani, sesudah mereka mempunyai pengetahuan dari Al-Qur'an dan sunnah, na'uzubillah min zalik. Khitab ayat ini ditujukan kepada Rasul Saw., tetapi perintahnya ditujukan kepada umatnya.
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan dalil dari firman-Nya: hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Bahwa kekufuran itu dengan berbagai macam alirannya merupakan satu agama, karena di dalam ayat ini lafaz millah diungkapkan dalam bentuk mufrad (tunggal). Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untuk kalian agama kalian, dan untukkulah agamaku. (Al-Kafirun: 6)Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir tidak boleh ada saling mewaris, dan masing-masing dari kalangan orang-orang kafir boleh mewaris saudara sekafirnya, baik seagama ataupun tidak; karena sekalipun mereka terdiri atas berbagai aliran, semuanya dianggap sebagai satu agama, yaitu agama kafir. Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya. Sedangkan dalam riwayat yang lainnya Imam Ahmad mengatakan pendapat yang sama dengan pendapat Imam Malik, yaitu tidak boleh saling mewaris di antara berbagai macam agama, seperti yang telah dijelaskan di dalam hadis.
**************
Firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121)Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini merupakan pendapat Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa dan Abdullah ibnu Imran Al-Asbahani yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yaman, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Umar ibnul Khattab, sehubung-an dengan tafsir firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121). Yang dimaksud dengan bacaan yang sebenarnya ialah apabila si pembaca melewati penyebutan tentang surga, maka ia memohon surga kepada Allah. Apabila ia melewati penyebutan tentang neraka, maka ia meminta perlindungan dari neraka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa sahabat Ibnu Mas'ud pernah berkata, "Demi Allah Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya bacaan yang sebenarnya ialah hendaknya si pembaca menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah, membacanya persis seperti apa yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengubah kalimat-kalimat dari tem-patnya masing-masing, serta tidak menakwilkan sesuatu pun darinya dengan takwil dari dirinya sendiri."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dan Mansur ibnul Mu'tarnir, dari Ibnu Mas'ud.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas sehu-bungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya, serta tidak mengubah-ubahnya dari tempat-tempat yang sebenarnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka mengetahui ke-muhkam-an (bacaan)nya dan beriman kepada mutasyabih-nya, serta memasrahkan hal-hal yang sulit bagi mereka kepada yang mengetahuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121) Bahwa mereka mengikuti petunjuknya dengan ikut yang sesungguhnya. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya (sebagai bukti bahwa makna yailunahu adalah mengikutinya):
وَالْقَمَرِ
إِذا تَلاها
Dan bulan apabila mengikutinya. (Asy-Syams: 2)Yang dimaksud dengan talaha ialah ittaba'aha (yakni mengikutinya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Ata, Mujahid, Abu Razin, dan Ibrahim An-Nakha'i. Sufyan As-Sauri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zubaid, dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121), bahwa mereka mengikutinya dengan ikut yang sebenarnya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa Nasr ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121), bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengikutinya dengan sebenar-benarnya.
Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa di dalam sanadnya terdapat bukan hanya seorang perawi dari kalangan perawi-perawi yang tak dikenal. Demikianlah menurut Al-Khatib, tetapi makna hadis memang sahih (benar).
Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan, "Barang siapa yang mengikuti petunjuk Al-Qur'an, niscaya dia akan bertempat tinggal di taman-taman surga bersamanya."
Dari Umar ibnul Khattab, disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang apabila dalam bacaannya melewati ayat rahmat, mereka memohon rahmat kepada Allah; dan apabila melewati ayat azab, mereka memohon perlindungan dari azab itu.
Al-Qurtubi mengatakan, "Sesungguhnya makna seperti ini telah diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau apabila melewati ayat rahmat (dalam bacaan Al-Qur'an), beliau meminta rahmat; dan apabila melewati ayat azab, beliau meminta perlindungan (kepada Allah dari azab)."
*********
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ
يُؤْمِنُونَ بِهِ}
mereka itu beriman kepadanya. (Al-Baqarah: 121) Bagian ini merupakan khabar dari firman sebelumnya, yaitu:
{الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah: 121)Dengan kata lain, barang siapa dari kalangan ahli kitab yang menegakkan (mengamalkan) kitabnya yang diturunkan kepada para nabi terdahulu dengan pengamalan yang sebenarnya, niscaya dia akan beriman kepada risalah yang Kutugaskan kepadamu, hai Muhammad. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلَوْ
أَنَّهُمْ أَقامُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ
رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil
serta Al-Qur'an yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. (Al-Maidah:
66), hingga akhir ayat.
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتابِ لَسْتُمْ عَلى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْراةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Katakanlah, "Hai ahli kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun
hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang
diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian." (Al-Maidah: 68)Dengan kata lain, apabila kalian menegakkannya dengan sebenar-benarnya dan kalian beriman kepadanya dengan iman yang sebenarnya, serta kalian membenarkan berita yang terkandung di dalamnya mengenai kerasulan Nabi Muhammad Saw., sifat-sifat dan ciri-ciri khasnya, perintah mengikutinya, membantunya dan mendukungnya, niscaya hal itu akan menuntun kalian kepada kebenaran dan menggerakkan kalian untuk mengikuti kebaikan dunia dan akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً
عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.
(Al-A'raf: 157), hingga akhir ayat.Allah Swt. telah berfirman:
قُلْ
آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ
إِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقانِ سُجَّداً وَيَقُولُونَ سُبْحانَ
رَبِّنا إِنْ كانَ وَعْدُ رَبِّنا لَمَفْعُولًا
Katakanlah, "Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman (sama
saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud, dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti dipenuhi." (Al-Isra: 107-108)Artinya, apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami mengenai perkara Nabi Muhammad Saw. pasti terjadi.
Allah Swt. telah berfirman:
الَّذِينَ
آتَيْناهُمُ الْكِتابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ. وَإِذا يُتْلى
عَلَيْهِمْ قالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنا إِنَّا كُنَّا مِنْ
قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ. أُولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِما صَبَرُوا
وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ
يُنْفِقُونَ
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum
Al-Qur'an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan
(Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata, "Kami beriman kepadanya,
sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya
kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya)." Mereka itu diberi
pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan
kebaikan; dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka
nafkahkan. (Al-Qashash: 52-54)
وَقُلْ
لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا
فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ
بَصِيرٌ بِالْعِبادِ
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada
orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?' Jika mereka masuk
Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling,
maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 20)Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ
يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang
yang rugi. (Al-Baqarah: 121)Seperti makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَمَنْ
يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ
Dan barang siapa di antara mereka yang ingkar kepadanya dari kalangan
golongan-golongan yang bersekutu, maka nerakalah tempat yang diancamkan
baginya. (Hud: 17)Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ: يَهُودِيٌّ
وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ لَا يُؤْمِنُ بِي، إِلَّا دَخَلَ
النَّارَ"
Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, tiada seorang
pun yang mendengar tentangku dari kalangan umat ini, baik orang Yahudi ataupun
orang Nasrani, kemudian ia tidak beriman kepadaku, melainkan dia masuk
neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar