تَفْسِيرُ
سُورَةِ الْمَائِدَةِ
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضر، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
شَيْبان، عَنْ لَيْث، عَنْ شَهر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ
قَالَتْ: إِنِّي لَآخِذَةٌ بزِمَام العَضْباء ناقةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْمَائِدَةُ كُلُّهَا، وَكَادَتْ مِنْ
ثِقْلِهَا تَدُقّ عَضُد الناقةَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah Syaiban, dari Lais, dari Syahr ibnu
Hausyab, dari Asma binti Yazid yang menceritakan, "Sesungguhnya aku benar-benar
sedang memegang tali unta Adba’ (unta kendaraan Rasulullah Saw.) ketika
diturunkan kepadanya surat Al-Maidah seluruhnya. Hampir saja paha unta itu patah
karena beratnya wahyu (yang sedang turun kepada Nabi Saw.).
وَرَوَى
ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ صَالِحِ بنِ سُهَيْل، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ
قَالَ: حَدَّثَتْنِي أُمُّ عَمْرٍو، عَنْ عَمِّهَا؛ أَنَّهُ كَانَ فِي مَسِير مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فنزلت عَلَيْهِ سُورَةُ
الْمَائِدَةِ، فاندَقَّ عُنُق الرَّاحِلَةِ مِنْ ثِقْلِهَا
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Saleh ibnu Sahi, dari Asim Al-Ahwal
yang menceritakan, telah menceritakan kepadanya Ummu Amr, dari pamannya, bahwa
ia sedang dalam perjalanan bersama Rasulullah Saw., lalu turunlah surat
Al-Maidah kepada Rasulullah Saw. Maka leher unta kendaraannya menunduk, tak
dapat tegak, karena beratnya surat Al-Maidah yang sedang diturunkan.
وَقَالَ
أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَة، حَدَّثَنِي
حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: أُنْزِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُورَةُ الْمَائِدَةِ وَهُوَ رَاكِبٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ، فَلَمْ
تَسْتَطِعْ أَنْ تَحْمِلَهُ، فَنَزَلَ عَنْهَا.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Huyay ibnu
Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang
menceritakan bahwa diturunkan kepada Rasulullah Saw. surat Al-Maidah ketika
beliau sedang berada di atas unta kendaraannya. Maka unta kendaraannya tidak
mampu membawanya. Akhirnya Nabi Saw. turun dari unta kendaraannya. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
وَقَدْ
رَوَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ قُتَيْبَة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْب، عَنْ
حُيَيٍّ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ:
آخِرُ سُورَةٍ أُنْزِلَتْ: سُورَةُ الْمَائِدَةِ وَالْفَتْحِ، ثُمَّ قَالَ
التِّرْمِذِيُّ: هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ حَسَنٌ.
Imam Turmuzi meriwayatkan dari Qutaibah, dari Abdullah ibnu Wahb, dari Huyay,
dari Abu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa surat yang
paling akhir diturunkan adalah Al-Maidah dan Al-Fath. Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis berpredikat garib hasan.
وَقَدْ
رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: آخِرُ سُورَةٍ أُنْزِلَتْ: " إِذَا
جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ "
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa surat
yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan. (An-Nasr 1), hingga akhir surat.Yang dimaksud adalah surat Al-Fath atau surat An-Nasr.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Abdullah ibnu Wahb berikut sanadnya, semisal dengan riwayat Imam Turmuzi. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
قَالَ
الْحَاكِمُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ،
حَدَّثَنَا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: قُرئ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْب،
أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ، عَنْ جُبَيْرِ
بْنِ نُفَيْر قَالَ: حَجَجْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَتْ لِي: يَا
جُبَيْرُ، تَقْرَأُ الْمَائِدَةَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَتْ: أَمَا إِنَّهَا
آخِرُ سُورَةٍ نَزَلَتْ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهَا مِنْ حَلَالٍ فَاسْتَحِلُّوهُ،
وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهَا من حرام فحرموه.
Imam Hakim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas
Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Nasr yang
mengatakan bahwa Abdullah ibnu Wahb telah menyebutkan kepadaku, telah
menceritakan kepadanya Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abuz Zahiriyah, dari Jubair
ibnu Nafir yang menceritakan bahwa ia pernah pergi haji, lalu masuk menemui Siti
Aisyah. kemudian Siti Aisyah bertanya, "Hai Jubair, apakah kamu hafal surat
Al-Maidah?" Aku menjawab, "Ya." Siti Aisyah berkata, "Ingatlah, sesungguhnya
Al-Maidah itu merupakan surat yang paling akhir diturunkan. Maka apa saja
perkara halal yang kamu jumpai padanya, halalkanlah; dan apa saja perkara haram
yang kamu jumpai padanya, haramkanlah." Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
وَرَوَاهُ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ، عَنْ مُعَاوِيَةَ
بْنِ صَالِحٍ، وَزَادَ: وَسَأَلْتُهَا عَنْ خُلُق رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتِ: الْقُرْآنُ.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Muawiyah ibnu
Saleh; di dalamnya ditambahkan bahwa ia menanyakan kepada Siti Aisyah tentang
akhlak Rasulullah Saw. Maka Siti Aisyah menjawab bahwa akhlak beliau Saw. adalah
Al-Qur’an (yakni semua yang ada di dalam Al-Qur’an).Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Mahdi.
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ
الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ
حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا
الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ
رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
(2)
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepada kalian. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang hadya dan binatang-binatang galaid, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
karunia dan keridaan dari Tuhannya; dan apabila kalian telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan jangan sekali-kali kebencian
(kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari
Mesjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, telah menceritakan kepadaku Ma'an dan Auf atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berwasiatlah kepadaku." Maka Ibnu Mas'ud mengatakan, "Jika kamu mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Hai orang-orang yang beriman.' Maka dengarkanlah baik-baik oleh telingamu, karena sesungguhnya hal itu adakalanya kebaikan yang dianjurkan atau keburukan yang dilarang."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim Dahim, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Apabila Allah Swt. berfirman: 'Hai orang-orang yang beriman.' Maka kerjakanlah oleh kalian, dan Nabi Saw. termasuk di antara salah seorang dari mereka."
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah yang mengatakan bahwa semua ayat di dalam Al-Qur'an yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. Maka ungkapan ini di dalam kitab Taurat berbunyi seperti berikut, "Hai orang-orang miskin."
Mengenai apa yang diriwayatkan melalui Zaid ibnu Ismail As-Sa'ig Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hisyam), dari Isa ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. melainkan Ali adalah penghulunya, orang yang paling terhormat, dan pemimpinnya; karena para sahabat Nabi pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali ibnu Abu Talib. Sesungguhnya dia tidak pernah ditegur dalam suatu ayat pun dari Al-Qur'an.
Maka asar ini berpredikat garib, lafaznya tidak dapat diterima, dan di dalam sanadnya ada hal yang masih perlu dipertimbangkan.
Sehubungan dengan asar ini Imam Bukhari mengatakan bahwa Isa ibnu Rasyid yang ada dalam sanadnya adalah orang yang tidak dikenal dan hadisnya ditolak.
Menurut kami, dapat dikatakan pula bahwa Ali ibnu Bazimah sekalipun orangnya dinilai siqah, tetapi dia adalah orang syi'ah yang ekstrem, dan hadisnya dalam masalah yang semisal dengan hal ini dicurigai, karena itu tidak dapat diterima.
Lafaz asar (yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas) yang mengatakan, "Tidak ada seorang sahabat pun melainkan pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali." Sesungguhnya lafaz ini mengisyaratkan kepada pengertian suatu ayat yang memerintahkan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya banyak ulama yang bukan hanya seorang saja menyebutkan bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang tidak mengamalkannya kecuali Ali. Ayat yang dimaksud ialah firman-Nya:
{أَأَشْفَقْتُمْ
أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا
وَتَابَ اللَّهُ}
Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kalian tiada memperbuatnya,
dan Allah telah memberi tobat kepada kalian. (Al-Mujadilah: 13), hingga
akhir ayat.Penilaian makna ayat ini sebagai teguran masih perlu dipertimbangkan, mengingat ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perintah dalam ayat ini menunjukkan makna sunat, bukan wajib. Lagi pula hal tersebut telah di-mansukh sebelum mereka melakukannya, dan hal ini tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat berbeda.
Ucapan asar yang mengatakan, "Bahwasanya Ali belum pernah ditegur oleh suatu ayat pun dari Al-Qur'an," masih perlu dipertimbangkan pula. Karena sesungguhnya ayat yang ada di dalam surat Al-Anfal yang mengandung makna teguran terhadap sikap menerima tebusan (tawanan Perang Badar) mencakup semua orang yang setuju dengan penerimaan tebusan. Dalam masalah ini tidak ada seorang sahabat pun yang luput dari teguran ayat tersebut kecuali Umar ibnul Khattab r.a. Maka dari keterangan di atas dapat disimpulkan lemahnya asar tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna. telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menjeritkan kepada kami Al-Lais. telah menceritakan kepadaku Yunus yang mengatakan, "Muhammad ibnu Muslim pernah menceritakan bahwa dia pernah membaca surat Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada Amr ibnu Hazm (amil Najran). Surat tersebut disampaikan oleh Abu Bakar ibnu Hazm. Di dalamnya termaktub bahwa surat ini adalah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya: 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu' (Al-Maidah: 1). hingga beberapa ayat berikutnya sampai kepada firman-Nya: 'sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya' (Al-Maidah: 4)"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya yang mengatakan, "Inilah manuskrip surat Rasulullah Saw. yang ada pada kami. Surat ini ditujukan kepada Amr ibnu Hazm ketika ia diangkat menjadi amil ke negeri Yaman dengan tugas mengajari agama dan sunnah kepada penduduknya serta memungut zakat mereka. Nabi Saw. menulis sebuah surat kepadanya yang berisikan perintah dan janji. Di dalam surat ini tertulis bahwa dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Al-Maidah: 1). Yaitu perjanjian dari Muhammad Rasulullah Saw. kepada Amr ibnu Hazm, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman sebagai amil. Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang selalu berbuat kebaikan."
***
Firman Allah Swt:
{أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ}
penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1)Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan mengenai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uhud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al-Qur'an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut
Kemudian Allah Swt. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ
يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ
اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan
memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan. (Ar-Ra’d: 25)
sampai dengan firman-Nya: tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
(Ar-Ra'd: 25) Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara, yaitu janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah.
Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"البَيِّعان
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفرَّقا"
Dua orang yang bertransaksi jual beli masih dalam khiyar selagi keduanya
belum berpisah.Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:
"إِذَا
تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا"
Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka
masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum
berpisah.Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai transaksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendukung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, berarti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.
***
Firman Allah Swt.:
{أُحِلَّتْ
لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ}
Dihalalkan bagi kalian binatang ternak. (Al-Maidah: 1)Yang dimaksud dengan binatang ternak ialah unta, sapi, dan kambing. Demikianlah menurut Abul Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Jarir mengatakan bahwa demikian pula menurut pengertian orang-orang Arab.
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang menyimpulkan dalil dari ayat ini akan bolehnya janin ternak bila dijumpai dalam keadaan mati dalam perut induknya yang disembelih. Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah hadis di dalam kitab-kitab sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Mujalid, dari Abul Wadak Jubair ibnu Naufal. dari Abu Sa'id yang mengatakan:
قُلْنَا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَنْحَرُ النَّاقَةَ، وَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ أَوِ الشَّاةَ
فِي بَطْنِهَا الْجَنِينُ، أَنُلْقِيهِ أَمْ نَأْكُلُهُ؟ فَقَالَ: "كُلُوهُ إِنْ
شِئْتُمْ؛ فَإِنَّ ذَكَاتَهُ ذَكَاةُ أُمِّهِ".
Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bila kami menyembelih unta, sapi. atau
kambing yang di dalam perutnya terdapat janin, apakah kami harus membuangnya
atau kami boleh memakannya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Makanlah, jika kalian
suka; karena sesungguhnya sembelihan janin itu mengikut kepada sembelihan
induknya."Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَتَّاب بْنُ بَشِيرٍ، حَدَّثَنَا عَبِيدُ
اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْقَدَّاحُ الْمَكِّيُّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ"
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya
ibnu Faris, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Attab ibnu Ba-syir, telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah ibnu Abu Ziyad Al-Qaddah Al-Makki, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu
Abdullah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sembelihan janin mengikut
kepada sembelihan induknya.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
***
Firman Allah Swt.:
{إِلا
مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}
kecuali yang akan dibacakan kepada kalian. (Al-Maidah: 1)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hal yang akan dibacakan ialah bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan menurut Qatadah, yang dimaksud adalah bangkai dan hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah padanya. Menurut lahiriahnya —hanya Allah yang lebih mengetahui— hal yang dimaksud ialah apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang dipukul yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas,
(Al-Maidah: 3)Karena sesungguhnya sekalipun hal yang disebutkan termasuk binatang ternak, tetapi menjadi haram karena adanya faktor-faktor tersebut. Dalam ayat berikutnya disebutkan:
{إِلا
مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}
kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi
kalian) yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)Binatang yang diharamkan antara lain hewan yang disembelih untuk berhala. Sesungguhnya hewan yang demikian diharamkan sama sekali dan tidak dapat ditanggulangi serta tidak ada jalan keluar untuk menghalalkannya. Karena itulah pada permulaan surat ini disebutkan:
{أُحِلَّتْ
لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}
Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepada kalian. (Al-Maidah: 1)Yaitu kecuali apa yang akan dibacakan kepada kalian pengharamannya dalam keadaan tertentu.
***
Firman Allah Swt.:
{غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ}
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang
mengerjakan haji. (Al-Maidah: 1)Menurut sebagian ulama, lafaz gaira dibaca nasab karena menjadi hal. Makna yang dimaksud dengan an'am ialah binatang ternak yang pada umumnya jinak, seperti unta, sapi, dan kambing. Juga binatang yang pada umumnya liar, seperti kijang, banteng, dan kuda zebra. Maka hal-hal tersebut di atas dikecualikan dari binatang ternak yang jinak, dan dikecualikan dari jenis yang liar ialah haram memburunya di saat sedang melakukan ihram.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah Kami menghalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang dikecualikan darinya bagi orang yang mengharamkan berburu secara tetap, padahal binatang tersebut hukumnya haram, karena ada firman Allah Swt yang mengatakan:
{فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya dengan tidak
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl: 115)Artinya, Kami halalkan memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakannya, tetapi dengan syarat ia tidak dalam keadaan memberontak, juga tidak melampaui batas. Demikian pula ketentuan tersebut berlaku dalam ayat ini (surat Al-Maidah). Yakni sebagaimana Kami halalkan binatang ternak dalam semua keadaan, maka mereka diharamkan berburu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah telah memutuskan demikian, Dia Mahabijaksana dalam semua yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Karena itulah dalam firman Selanjutnya disebutkan:
{إِنَّ
اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ}
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang di-kehendaki-Nya.
(Al-Maidah: 1)
***
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-sy'iar
Allah. (Al-Maidah: 2)Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah, serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:
{وَلا
الشَّهْرَ الْحَرَامَ}
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2)Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu —misalnya memulai peperangan—dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ
كَبِيرٌ}
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah,
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217)Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan.
(At-Taubah: 36). hingga akhir ayat.Di dalum kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam haji wada':
"إِنَّ
الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم، ثَلَاثٌ
مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدة، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَر
الَّذِي بَيْنَ جُمادى وَشَعْبَانَ".
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah
menciptakan langit dan bumi; satu tahun adalah dua bilas bulan; empat bulan di
antaranya adalah bulan haram (suci) tiga (di antaranya)
berturut-turut, yaitu Zul Qa'dah, Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar
jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang dikatakan oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2); Janganlah kalian menghalalkan perang padanya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan haram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَإِذَا
انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدْتُمُوهُمْ}
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.
Imam Abu Ja'far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bahwa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bulan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya. Abu Ja'far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembunuhan, jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau keamanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.
****
Firman Allah Swt:
{وَلا
الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ}
jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang
qolaid. (Al-Maidah: 2)Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda (berkurban) untuk Baitullah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna mengagungkan syiar-syiar Allah; jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian, maka orang-orang tidak berani mengganggunya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang semisal; karena sesungguhnya barang siapa yang menyerukan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun.
Untuk itulah ketika Rasulullah Saw. melakukan haji, terlebih dahulu beliau menginap di Zul Hulaifah, yaitu di lembah Aqiq. Keesokan harinya beliau menggilir semua istrinya yang saat itu ada sembilan orang. Kemudian beliau mandi dan memakai wewangian, lalu salat dua rakaat Sesudah itu beliau memberi tanda kepada ternak hadyunya dan mengalunginya dengan kalungan tanda, lalu ber-ihlal (berihram) untuk haji dan umrah. Saat itu ternak hadyu Nabi Saw. terdiri atas ternak unta yang cukup banyak jumlahnya, mencapai enam puluh ekor, terdiri atas berbagai jenis dan warna yang semuanya baik. Selaras dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya:
{ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى
الْقُلُوبِ}
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
(Al-Hajj: 32)Menurut sebagian ulama Salaf, yang dimaksud dengan mengagung-kannya ialah memilihnya dari yang baik-baik dan yang gemuk-gemuk. Sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kami untuk memberikan tanda pada mata dan telinga (ternak hadyunya). Demikianlah menurut riwayat ahlus sunan.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan (pula) binaiang-binaiang qalaid. (Al-Maidah: 2); Dengan kata lain, janganlah kalian mengganggunya. Disebutkan bahwa dahulu ahli Jahiliah bila keluar dari tanah airnya di luar bulan-bulan haram, mereka mengalungi dirinya dengan bulu domba dan bulu unta, dan orang-orang musyrik Tanah Suci mengalungi dirinya dengan serat-serat pepohonan Tanah Suci. Karena itu, mereka aman (tidak ada yang berani mengganggunya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa telah di-mansukh dari surat Al-Maidah sebanyak dua ayat, yaitu ayat mengenai qalaid dan firman-Nya:
{فَإِنْ
جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ}
Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta
putusan), maka puluskanlah (perkara itu) di antara mereka atau
berpalinglah dari mereka. (Al-Maidah: 42)Telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Ibnu Auf yang mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Basri), 'Apakah ada sesuatu yang di-mansukh dari Al-Maidah?' Al-Hasan menjawab, 'Tidak ada'."
Ata mengatakan bahwa dahulu mereka mengalungi (dirinya) dengan akar tumbuh-tumbuhan Tanah Suci, karenanya mereka aman. Maka Allah melarang menebang (memotong) pepohonannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mutarrif ibnu Abdullah.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلا
آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ
وَرِضْوَانًا}
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)Artinya, janganlah kalian menghalalkan perang terhadap orang-orang yang mengunjungi Baitullah yang suci dan barang siapa yang memasukinya aman. Jangan pula mengganggu orang yang mengunjunginya dengan tujuan mencari karunia Allah dan berharap mendapat rida-Nya. Jangan sekali-kali kalian mcnghalang-halanginya. jangan mencegahnya, jangan pula mengacaukannya.
Mujahid, Ata, Abul Aliyah, Mutarrif ibnu Abdullah. dan Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sedang mereka mencari karunia Allah. (Al-Maidah: 2); Makna yang dimaksud ialah berdagang. Penafsiran ini sama dengan apa yang telah disebutkan sehubungan dengan firman-Nya:
{لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ}
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)Mengenai firman-Nya: dan keridaan (dari Tuhan kalian). (Al-Maidah: 2); Menurut Ibnu Abbas, mereka mencari rida Allah melalui ibadah hajinya.
Ikrimah, As-Saddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Hatm ibnu Hindun Al-Bakri; dia pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah (merampoknya), kemudian pada tahun berikutnya dia berumrah ke Baitullah. Maka sebagian sahabat bermaksud menghadangnya di tengah jalan yang menuju ke Baitullah. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)
Ibnu Jarir meriwayatkan adanya kesepakatan bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai jaminan keamanan, sekalipun dia bertujuan mengunjungi Baitullah yang suci atau Baitul Maadis. Hukum yang berkaitan dengan mereka (orang-orang musyrik) di-mansukh. Orang yang bertujuan ke Baitullah dengan maksud untuk melakukan ke-mulhid-an, kemusyrikan, dan kekufuran jelas harus dilarang. Allah Swt. telah berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا}
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
(At-Taubah: 28)Karena itulah Rasulullah Saw. pada tahun sembilan Hijriah ketika mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai amir jamaah haji menugaskan Ali, sebagai ganti dari Rasulullah Saw., untuk menyerukan di kalangan manusia agar Baitullah dibersihkan; dan sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melakukan haji, dan tidak boleh ada orang yang tawaf sambil telanjang bulat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2); Yaitu orang yang menuju ke Baitullah yang suci. Dahulu orang-orang muslim dan orang-orang musyrik sama-sama melakukan haji, dan Allah Swt. melarang orang-orang mukmin mencegah seseorang dari kalangan mukmin atau orang kafir untuk sampai kepadanya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan lagi Firman-Nya, yaitu:
{إِنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ
هَذَا}
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)
{مَا
كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ}
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjidAllah.
(At-Taubah: 17)
{إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ}
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian. (At-Taubah: 18)Maka sejak itu orang-orang musyrik diusir dari Masjidil Haram.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2); Ayat ini telah di-mansukh. Dahulu seseorang di zaman Jahiliah apabila keluar dari rumahnya dengan maksud melakukan haji, mereka memakai kalung (qiladah, jamaknya qalaid) yang terbuat dari bagian pohon Tanah Suci, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Apabila ia pulang, ia memakai kalung dari (pintalan) bulu domba, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Pada masa itu orang musyrik tidak dihalang-halangi datang ke Baitullah. Sedangkan orang-orang muslim telah diperintahkan tidak boleh melakukan peperangan pada bulan-bulan haram, tidak boleh pula melakukannya di dekat Baitullah (Tanah Suci dalam waktu kapan pun). Kemudian hal ini di-mansukh oleh firman-Nya: maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah 5)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid (Al-Maidah: 2); Artinya, jika mereka (orang-orang musyrik) mengalungi dirinya dengan kalung yang terbuat dari sesuatu dari Tanah Suci, mereka harus diberi jaminan keamanan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab masih tetap mencela orang yang berani melanggar ketentuan tersebut Salah seorang penyair mereka mengatakan:
ألَمْ
تَقْتُلا الحرْجَين إِذْ أَعْوَرَا لَكُمْ ...
يمرَّان الأيدي اللَّحاء المُضَفَّرا
Mengapa kamu membunuh dua orang yang
menuju ke Tanah Suci, padahal kamu tidak boleh mengganggunya;
keduanya lewat memakai kalung dari
serat kayu pohon Tanah Suci yang dipintal.
*****
Firman Allah Swt:
{وَإِذَا
حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا}
dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah
berburu. (Al-Maidah: 2)Jika kalian telah selesai dari ihram dan sudah ber-tahallul, maka Kami perbolehkan kalian mengerjakan hal-hal yang tadinya kalian dilarang sewaktu ihram, seperti berburu. Hal ini merupakan perintah sesudah larangan. Menurut pendapat yang sahih lagi terbukti jeli dan mendalam, hukum mengenai hal ini dikembalikan kepada hukum semula sebelum ada larangan. Jika sebelum ada larangan hukumnya wajib, maka dikembalikan menjadi wajib. Jika sebelum ada larangan hukumnya sunat, maka dikembalikan menjadi sunat lagi; atau asalnya mubah, maka dikembalikan menjadi mubah. Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum hal ini wajib, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan banyak ayat lainnya. Mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh), akhirnya dibantah oleh ayat lain. Sedangkan pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil lainnya adalah pendapat yang kami sebutkan tadi, seperti yang dipilih oleh sebagian ulama Usul Fiqh.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ
تَعْتَدُوا}
Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian
berbuat aniaya (kepada mereka). (Al-Maidah: 2)Sebagian ulama qiraah membacanya as-saddukum, dengan harakat fat-hah pada alif-nya. Maknanya sudah jelas karena berasal dari an (masdariyah), yakni: Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka.
Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapa pun.
Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang pembahasannya akan diuraikan kemudian, yaitu firman-Nya:
{وَلا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى}
Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong
kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa, (Al-Maidah: 8)Maksudnya, jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk meninggalkan norma-norma keadilan. Sesungguhnya keadilan itu wajib atas setiap orang terhadap siapa pun dalam segala keadaan. Salah seorang ulama Salaf mengatakan, "Selama kamu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap dirimu dengan perlakuan yang kamu landasi dengan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Affan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi mereka sampai ke Baitullah. Peristiwa tersebut terasa amat berat bagi mereka. Kemudian lewatlah kepada mereka sejumlah orang dari kalangan kaum musyrik —penduduk kawasan timur— dengan maksud akan melakukan umrah. Sahabat-sahabat Nabi Saw. berkata, "Kita halang-halangi mereka sebagaimana teman-teman mereka menghalang-halangi kita." Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.
Asy-syana-an artinya kebencian; menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya berakar dari kata syana-iuhu asynau-hu syana-anan, semuanya di-harakat-i, wazan-nya sama dengan lafaz jamazan, darajah, raqalan yang berasal dari jamz, daraj, dan raql.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara orang-orang Arab ada yang menghapuskan harakat alif-nya hingga disebutkan menjadi sya-nan. Akan tetapi, menurut saya tidak ada seorang pun yang saya ketahui memakai bacaan ini. Termasuk ke dalam bacaan ini perkataan seorang penyair mereka yang mengatakan:
ومَا
العيشُ إِلَّا مَا تُحبُّ وتَشْتَهي ...
وَإنْ
لامَ فِيهِ ذُو الشنَّان وفَنَّدَا
Tiadalah kehidupan ini melainkan apa
yang kamu sukai dan kamu senangi, sekalipun dalam menjalaninya dicela dan
dikecam oleh orang yang tidak suka.
****
Firman Allah Swt.:
{وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ
وَالْعُدْوَانِ}
Dan Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
(Al-Maidah: 2)Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwaan. Allah Swt. melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي
بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ
مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ
أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ
تَمْنَعُهُ
فَإِنَّ
ذَلِكَ نَصْرُهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya
(yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya.
Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia
dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka
Rasulullah Saw. menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari
perbuatan aniaya, itulah cara menolongnya.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Keduanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"انْصُرْ
أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ
مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ،
فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"
"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun dianiaya."
Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku tolong bila dalam
keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolongnya jika dia berbuat aniaya?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara
kamu menolongnya."
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ
عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا
يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu
Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Orang mukmin
yang bergaul dengan manusia dan bersabar dalam menghadapi gangguan mereka lebih
besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan
tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi Saw. yang mengatakan:
"الْمُؤْمِنُ
الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا
يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"
Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan
mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan
manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; keduanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ
فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ
كَفَاعِلِهِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan
kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul
Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari
Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang
menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya)
dengan pelaku kebaikan itu.Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:
"مَنْ
دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ
دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ
اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا"
Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal
dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal
tersebut tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan barang siapa
yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa
orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka barang sedikit pun.
قَالَ
أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ
الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ
مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ
خَرَجَ من الإسلام"
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari
-Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul
Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk
membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah
keluar dari Islam'.'
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian, sebab
itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada
kalian NikmatKu. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa.
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kalimat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bangkai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya; hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.
Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.
Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab:
"هُوَ
الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), menurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya.
****
Firman Allah Swt.:
{وَالدَّمُ}
dan darah. (Al-Maidah: 3)Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pengertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{أَوْ
دَمًا مَسْفُوحًا}
atau darah yang mengalir. (Al-An'am: 145)Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah darah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.
قَالَ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أحِلَّ لَنَا
مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ
وَالطُّحَالُ".
Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari
Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis
bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan
limpa.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.
Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis), kemudian mereka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apakah hal yang melarangnya?" Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai dan darah. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisahnya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami tidak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan seseorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu terdapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu kepadaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak pernah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman tersebut."
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah mereguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu: "Maka aku (Sada) mendengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini dari kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguhkan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."
Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A'sya (seorang penyair) dalam qasidah (syair)nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu:
وإياكَ
وَالْمَيْتَاتِ لَا تقربنَّها ...
وَلَا تَأْخُذَنَّ عَظْمًا حَدِيدًا فَتَفْصِدَا ...
Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu,
jangan sekali-kali kamu mendekatinya,
dan jangan sekali-kali kamu mengambil
tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah (ternak yang hidup).
Dengan kata lain, janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demikian itu
karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengambil sesuatu yang tajam
dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak
dari jenis lainnya. Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu,
lalu meminumnya. Karena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini.
Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula:
وَذَا
النّصُب المنصوبَ لَا تَأتينّه ...
وَلَا تَعْبُدِ الْأَصْنَامَ وَاللَّهَ فَاعْبُدَا ...
Dan tugu yang dipancangkan itu jangan
sekali-kali kamu datangi,
dan janganlah kamu sembah berhala,
tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.
*****
Firman Allah Swt,:
{وَلَحْمُ
الْخِنزيرِ}
dan daging babi. (Al-Maidah: 3)Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak diperlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:
{فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا}
—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al-An'am:
145)Dalam konteks firman-Nya:
{إِلا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ}
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al-An'am: 145)Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Padahal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (bahasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali kepada mudaf, bukan mudafilaih.
Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
لَعِبَ بالنردَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ الْخِنْزِيرِ
وَدَمِهِ"
Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan
mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila memakan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ".
فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهَا تُطْلَى
بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، ويَسْتَصبِحُ بِهَا النَّاسُ؟
فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ".
Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan
berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah
menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai
sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit
serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw.
menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau (Nabi Saw.) melarang kami memakan bangkai dan darah."
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}
(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah:
3)Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung.
Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak menyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut kesepakatan semua.
Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan diterangkan nanti dalam tafsir surat Al-An'am.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami', dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah dihalalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharamkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam a.s., ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib'i, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah (kakek Abdullah) meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair, ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor untanya jika telah sampai di mata air (siapa yang paling cepat di antara keduanya, dialah yang menang). Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-masing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Saw., lalu ia berseru kepada orang-orang, "Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!"
Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan kesahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
حَمَّادُ
بْنُ مَسْعَدة، عَنْ عَوْفٍ، عَنِ أَبِي رَيْحانة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُعاقرة
الْأَعْرَابِ.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. melarang (memakan
daging) dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.
وَقَالَ
أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ،
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ
خِرِّيتٍ قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمة يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ
يُؤْكَلَ.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid
ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa
ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw.
melarang memakan makanan hasil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan
oleh orang-orang yang bertanding.Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanadnya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula.
****
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُنْخَنِقَةُ}
dan hewan yang tercekik.(Al-Maidah: 3)Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya.
Makna lafaz {الْمَوْقُوذَةُ} mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli dengan kayu hingga sekarat, lalu mati.
Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan buruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabda:
"إِذَا
رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فخَزَق فَكُلْه، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْضِه فَإِنَّمَا
هُوَ وَقِيذ فَلَا تَأْكُلْهُ"
Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menusuknya,
maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya
hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu memakannya.Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.
Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat mengenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan dengan masalah ini, yaitu:
Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul.
Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai (tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu), karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut.
Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khusus seperti penjelasan berikut.
Sebuah pasal:
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang
melepaskan anjing pemburunya untuk mengejar hewan buruan, lalu hewan buruan
tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya. Apakah
hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya,
seperti penjelasan berikut:Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah:
4)Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas.
Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii. dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii.
Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm dan Al-Mukhtasar. Karena sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya masing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari keterangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya (Imam Syafii). Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya; tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan salah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya.
Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad, tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya.
Abu Ja'far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali, mengingat tidak ditemukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang bersumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya.
Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih sesuai dengan kaidah-kaidah Usul serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat.
Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Rafi' ibnu Khadij, yaitu:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ الله، إنا لاقو العدو غدا وليس معنا مُدًى، أَفَنَذْبَحُ بالقَصَب؟
قَالَ: "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
فَكُلُوهُ"
"Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh
besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan
aasab (welat bambu)'?" Rasulullah Saw. menjawab: Apa saja yang dapat
mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah
sembelihan itu oleh kalian.Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu minuman nabiz yang terbuat dari madu.
Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:
"كُلُّ
شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ"
Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul kalim.
Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Karena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.
Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah dikecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan melalui sabdanya:
"لَيْسَ
السِّنُّ وَالظُّفُرُ، وسأحدثكم عن ذلك: أما السن فعظم، وأما الظُّفُرُ فَمُدي
الْحَبَشَةِ"
Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan kepada kalian
mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang
Habsyah.Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika tidak demikian, berarti tidak muttasil (berkaitan). Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, sehingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakan:
"مَا
أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ"
Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah
padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.Dalam hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu dengan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih; darahnya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis.
Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya (kayunya), tidak boleh dimakan; jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah anjing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diinterpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempunyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, sekalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib mengartikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama; hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal (pokok) mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyeluruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi masalah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibunuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah (yakni terpukul olehnya). Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan mati karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak bertentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula.
Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah:
4)Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adakalanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya.
Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"
Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memisahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengatakan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat membolehkan hal yang diperselisihkan (kehalalannya) melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dilarang menurut kebanyakan ulama.
Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan:
{فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah:
4)Tidak mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan dikhususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dikecualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh dimakan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak dikenal.
Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya; maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai.
Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengatakan:
{حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ}
Diharamkan bagi kalian bangkai. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayatbersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang memasukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.:
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4), hingga
akhir ayat.Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut.
Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat (yang baik-baik). Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengertian yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana hewan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim.
Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buruan yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal.
Jika ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum berburu memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal; dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya dengan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan deraan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui haramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpukul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati karena tertanduk.
Mengenai masalah berburu memakai anak panah (tombak), adakalanya si pelempar (pemburu) melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci.
Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabda:
"إِنْ
أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى
نَفْسِهِ"
Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena
sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menangkap buruan untuk dirinya
sendiri (bukan untuk tuan yang melepaskannya).Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum yang disebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. Demikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya.
Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pemburunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-temannya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw.
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburu:
"إِذَا
أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ
مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"
Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menyebutkan nama Allah,
maka makanlah (hasil buruannya), sekalipun anjingmu memakan sebagian
darinya, dan makan (pulalah) apa yang kamu tarik dengan tanganmu.Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.
قَالَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار
الكَلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى-هُوَ
اللَّاحُونِيُّ-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي
إِيَاسٍ -وَهُوَ مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ
سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ
أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ.
Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan
kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziz ibnu Musa (yaitu Al-Lahuni), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Dinar (yakni At-Tahii). dari Abu Iyas (yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah), dari Sa'id
ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terhadap hewan buruan,
lalu anjing dapat menangkapnya dan memakan sebagian dari hewan buruannya, maka
hendaklah ia memakan sisanya. Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf.
Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan lain-lainnya.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pemburu memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena lapar dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa (halal); demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Karena dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing tersebut menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap hewan buruannya; dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri.
Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama; dan tidak haram, menurut ulama lainnya.
Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu.
Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh anjing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara keduanya.
*****
Yang dimaksud dengan {الْمُتَرَدِّيَةُ}mutaraddiyah
ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati,
hukumnya tidak halal.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas bukit.
Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur.
As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu mati.
{النَّطِيحَةُ} Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya.
Natihah ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni مَنْطُوحَةٍ(hewan yang ditanduk). Bentuk lafaz ini kebanyakan di kalangan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun (mata yang bercelak), kaffun khadibun (tangan yang memakai pacar). Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah (jalan yang panjang).
Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk menunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dimengerti dari permulaan pembicaraan.
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ}
dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya; dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan.
Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. mengharamkan hal itu bagi kaum mukmin.
Firman Allah Swt.:
{إِلا
مَا ذَكَّيْتُمْ}
kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, f Al-Maidah: 3)Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pengembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, sedangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang stabil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya:
{وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ
السَّبُعُ}
hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang
diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya. (Al-Maidah: 3); Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyembelihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka makanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik (saat kalian menyembelihnya), maka makanlah hewan itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim dan Abbad; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keadaan masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakangnya, maka makanlah hewan tersebut."
Hal yang sama diriwayatkan dari Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Ubaid ibnu Umair, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hewan yang disembelih itu manakala masih dapat melakukan gerakan yang menunjukkan ia masih hidup sesudah disembelih, maka hewan itu halal hukumnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama fiqih; dan hal yang sama dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kambing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"
Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan punggungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?" Imam Malik menjawab, "Jika yang digigitnya sampai ke tengkuknya. tidak boleh dimakan. Tetapi jika yang digigitnya itu adalah bagian lain dari anggota tubuhnya, tidak mengapa (disembelih,lalu dimakan)." Ketika ditanyakan lagi kepadanya, "Dubuk itu menerkamnya dan mematahkan punggungnya?" Imam Malik menjawab, "Tidak aneh bagiku, kambing itu pasti tidak dapat hidup lagi karenanya." Ketika ditanyakan lagi mengenai masalah serigala yang menerkam kambing dan merobek perut tanpa mengeluarkan isinya, maka Imam Malik menjawab, "Bila serigala telah merobek perutnya, maka menurut pendapatku kambing itu tidak boleh dimakan lagi."
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, tetapi makna lahiriah ayat bersifat umum, tidak seperti apa yang dikecualikan oleh Imam Malik dalam gambaran-gambaran yang dialami oleh hewan-hewan tersebut sampai pada tahapan tidak dapat hidup lagi sesudahnya. Maka untuk menetapkannya diperlukan adanya dalil yang mentakhsis ayat.
Di dalam kitab Sahihain dari Rafi' ibnu Khadij disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai pisau penyembelih, bolehkah kami menyembelih memakai welat?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya:
"مَا
أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ، لَيْسَ السنُّ
والظَّفُر، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ، أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى
الحبشة"
Alat apa saja yang dapai mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah
padanya, maka makanlah sembelihannya, selagi bukan berupa gigi dan kuku. Aku
akan menceritakan kepada kalian tentang hal tersebut. Adapun gigi berasal dari
tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni secara marfu' ada hal yang perlu dipertimbangkan di dalamnya. Telah diriwayatkan dari Umar secara mauquf, hal ini lebih sahih. Disebutkan,
"أَلَا
إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ
تَزْهَقَ".
"Ingatlah, menyembelih itu pada tenggorokan dan lubbah (urat leher),
dan janganlah kalian tergesa-gesa agar rohnya cepat dicabut."Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asyra Ad-Darimi, dari ayahnya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,"Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu lubbah dan tenggorokan?" Rasulullah Saw. menjawab:
"لَوْ
طُعِنَتْ فِي فَخْذِهَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ.
Seandainya kamu tusuk pada pahanya, niscaya sudah cukup bagimu.Hadis ini sahih, tetapi pengertiannya ditujukan terhadap hewan yang tidak dapat disembelih pada tenggorokan dan lubbah (urat lehernya).
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}
dan yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)Mujahid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa berhala terbuat dari batu di zaman dahulu banyak didapat di sekitar Ka'bah.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa jumlah berhala yang ada di sekeliling Ka'bah kurang lebih tiga ratus enam puluh buah. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab menyembelih hewan kurbannya di dekat berhala-berhala itu, lalu mereka melumuri bagian depan berhala-berhala itu —yang menghadap ke arah Ka'bah— dengan darah sembelihan mereka; dan mereka mengiris tipis dagingnya, lalu mereka letakkan pada berhala-berhala itu. Demikian pula hal yang diriwayatkan oleh lainnya yang bukan hanya seorang. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan itu; juga mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan yang dilakukan di dekat berhala-berhala itu, sekalipun ketika menyembelihnya dibacakan asma Allah. Mengingat adanya bekas kemusyrikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sudah selayaknya masalah ini disamakan dengan masalah di atas, karena sebelumnya telah dikatakan haram memakan sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْ
تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ}
Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah:
3)Diharamkan bagi kalian, hai orang-orang mukmin, mengundi nasib dengan anak panah. Bentuk tunggal dari azlam ialah zulam, tetapi adakalanya dibaca zalam. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata 'lakukanlah', pada yang kedua bertuliskan 'jangan kamu lakukan', sedangkan pada yang ketiganya tidak terdapat tulisan apa pun. Menurut sebagian orang, pada yang pertama bertuliskan 'Tuhanku memerintahkan kepadaku', pada yang kedua bertuliskan 'Tuhanku melarangku', dan pada yang ketiganya kosong, tidak ada tulisan.
Jika telah dikocok, lalu keluarlah panah yang bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang keluar adalah anak panah yang kosong, maka ia mengulanginya lagi.
Istilah istiqsam diambil dari makna meminta bagian dari anak-anak panah tersebut yang dipakai untuk mengundi. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam adalah anak panah (yang belum diberi bulu kestabilan dan besi runcing pada ujungnya). Dahulu mereka menggunakan alat ini untuk mengundi nasib dalam semua perkara. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Abbas mengatakan, azlam adalah anak panah yang dahulu mereka gunakan untuk mengundi nasib dalam semua urusan.
Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan bahwa berhala orang Quraisy yang paling besar diberi nama Hubal. Berhala ini dipancangkan di atas sebuah sumur yang terdapat di dalam Ka'bah, di dalamnya diletakkan semua hadiah dan harta Ka'bah. Di dekat berhala tersebut terdapat tujuh buah anak panah yang pada masing-masingnya tertera apa yang biasa mereka gunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang sulit bagi mereka. Maka anak panah mana saja yang keluar, hal itu dijadikan pegangan oleh mereka dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa ketika Nabi Saw. memasuki Ka'bah, beliau menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalamnya, pada tangan kedua nabi itu terdapat azlam. Maka Nabi Saw. bersabda:
"قَاتَلَهُمُ
اللَّهُ، لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا
أَبَدًا."
Semoga Allah melaknat mereka (ahli Jahiliah), sesungguhnya mereka
mengetahui bahwa keduanya sama sekali tidak pernah menggunakannya.Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Suraqah ibnu Malik ibnu Ju'syum ketika berangkat mengejar Nabi Saw. dan Abu Bakar yang sedang menuju Madinah melakukan hijrahnya, terlebih dahulu mengundi nasib dengan azlam, apakah dia dapat menimpakan mudarat kepada mereka atau tidak. Ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu yang mengatakan, "Kamu tidak dapat menimpakan mudarat terhadap mereka." Suraqah mengatakan, "Lalu aku tidak menghiraukan apa yang dihasilkan oleh azlam itu, dan langsung aku mengejar mereka." Kemudian ia melakukannya lagi untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya. Tetapi setiap ia melakukan undian, ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu "kamu tidak dapat membahayakan mereka." Memang demikianlah kejadiannya. Saat itu Suraqah masih belum masuk Islam, ia baru masuk Islam sesudah peristiwa tersebut.
وَرَوَى
ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ رَقَبةَ، عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ رَجاء بْنِ حَيْوَة، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يَلِج
الدَّرَجَاتِ مَنْ تَكَهَّن أَوِ اسْتَقْسَمَ أَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ
طَائِرًا".
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Ibrahim ibnu Yazid, dari Ruqabah,
dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Raja ibnu Haiwah, dari Abu Darda yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak akan masuk surga
orang yang melakukan tenung atau mengundi nasib atau kembali dari bepergian
karena tatayyur.Mujahid mengatakan sehubungan dengan Firman-Nya: Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam ialah anak panah orang-orang Arab, dan dadu orang-orang Persia serta orang-orang Romawi yang biasa mereka pakai untuk berjudi.
Pendapat yang disebutkan oleh Mujahid ini sehubungan dengan pengertian azlam —yaitu alat yang dipakai untuk berjudi— masih perlu dipertimbangkan. Kecuali jika ia mengatakan bahwa dahulu orang-orang Arab adakalanya memakai azlam untuk beristikharah dan adakalanya untuk berjudi, karena sesungguhnya Allah Swt. menggandengkan antara azlam dan qumar (judi), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ
وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. (Al-Maidah: 90-91)
sampai dengan firman-Nya:
فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah:
91)Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya dengan makna yang sama, yaitu:
{وَأَنْ
تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ}
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (Al-Maidah:
3)Yaitu melakukan perbuatan tersebut akan mengakibatkan kefasikan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka merasa ragu dalam urusan mereka, hendaknya mereka melakukan istikharah kepada-Nya, yaitu dengan menyembah-Nya, kemudian memohon petunjuk dari-Nya tentang perkara yang hendak mereka lakukan.
Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ahlus Sunan meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abul Mawali, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam semua urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur'an kepada kami. Untuk itu beliau Saw. bersabda:
"إِذَا
هَمَّ أحدُكُم بالأمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ
لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أسْتَخِيركَ بعلمكَ، وأسْتَقْدِرُك بقدرتكَ، وأسألُكَ
مِنْ فَضْلك الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِر وَلَا أقْدِر، وتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَم،
وَأَنْتَ عَلام الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنَّ كنتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ
-وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ-خَيْرًا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وعاقِبة أَمْرِي،
فاقدُرْهُ لِي ويَسِّره لِي وَبَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ إِنْ كنتَ تَعْلَمْهُ
شَرًّا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فاصْرِفْنِي عَنْهُ،
وَاصْرِفْهُ عنِّي، واقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّني
بِهِ".
Apabila seseorang di antara kalian berniat akan melakukan suatu urusan,
hendaklah ia salat dua rakaat bukan salat fardu. Kemudian hendaklah ia
mengucapkan (dalam doanya), "Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah
kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu, memohon
karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkau Kuasa, sedangkan aku tidak
kuasa; dan Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui. Engkau Maha
Mengetahui semua yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini
(disebutkan nama urusannya) baik bagiku dalam agamaku, duniaku,
kehidupanku, dan akibat perkaraku. Atau beliau Saw. mengatakan, 'Dalam
urusan dunia dan akhiratku,' maka takdirkanlah urusan ini untukku dan
mudahkanlah bagiku dalam melakukannya, kemudian berilah berkah bagiku di
dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam
agamaku, duniaku, penghidupanku, dan akibat perkaraku, maka pa-lingkanlah aku
darinya dan palingkanlah urusan ini dariku, dan takdirkanlah yang baik bagiku
menurut seadanya, kemudian ridailah aku dengannya."Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Ibnu Abul Mawali.
****
Firman Allah Swt.:
{الْيَوْمَ
يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ}
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agama kalian. (Al-Maidah: 3)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka putus asa dan tidak punya harapan lagi untuk mengembalikan agama mereka. Hal yang sama diriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Berdasarkan makna ini disebutkan sebuah hadis dalam kitab sahih yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ
الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ المُصَلُّون فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ،
وَلَكِنْ بالتَّحْرِيش بَيْنَهُمْ"
Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah kembali di Jazirah
Arabia, tetapi masih bisa mengadu domba di antara mereka.Makna ayat dapat ditafsirkan dengan makna lain, yaitu bahwa mereka telah putus asa untuk dapat menyerupai kaum muslim, mengingat kaum muslim mempunyai ciri khas yang berbeda dengan mereka, antara lain ialah sifat-sifat yang jauh bertentangan dengan kemusyrikan dan para penganutnya. Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk tetap bersabar dan teguh dalam perbedaan dengan orang-orang kafir, dan janganlah orang-orang mukmin merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Swt. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَلا
تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ}
sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
(Al-Maidah: 3)Artinya, janganlah kalian takut dalam bersikap berbeda dengan mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong kalian atas mereka, dan Aku akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas mereka. Aku akan melegakan hati kalian terhadap mereka dan menjadikan kalian berada di atas mereka di dunia dan akhirat.
*****
Firman Allah Swt.:
{الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسْلامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi
kalian. (Al-Maidah; 3)Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, karena Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka; semoga salawat dan salam terlimpahkan kepadanya. Karena itulah Allah menjadikan beliau Saw. sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya untuk manusia dan jin. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyarjatkannya. Semua yang ia beritakan adalah benar belaka, tiada dusta dan tiada kebohongan padanya. Seperti yang disebut dalam firman Allah Swt., yaitu:
{وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an), sebagai kalimat
yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)Yakni benar dalam beritanya, serta adil dalam perintah dan larangannya. Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, berarti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإسْلامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam jadi agama bagi
kalian, (Al-Maidah: 3)Artinya, terimalah oleh kalian dengan rela Islam sebagai agama kalian, karena sesungguhnya Islam adalah agama yang disukai dan diridai Allah, dan Dia telah mengutus rasul yang paling utama dan terhormat sebagai pembawanya, dan menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan melaluinya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Yakni agama Islam. Allah Swt. memberitahukan kepada Nabi-Nya dan orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan Islam untuk mereka, karena itu Islam tidak memerlukan tambahan lagi selamanya. Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya untuk selamanya. Dia telah rida kepadanya, maka Dia tidak akan membencinya selama-lamanya.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah, sesudah itu tidak lagi diturunkan wahyu mengenai halal dan haram, dan Rasulullah Saw. kembali ke Madinah, lalu beliau wafat.
Asma binti Umais menceritakan, "Aku ikut haji bersama Rasulullah Saw. dalam haji tersebut (haji wada'). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepadanya membawa wahyu. Maka Rasulullah Saw. membungkuk di atas unta kendaraannya, dan unta kendaraannya hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah Saw. karena beratnya wahyu yang sedang turun. Lalu unta kendaraannya duduk mendekam, dan aku datang mendekati Nabi Saw., kemudian aku selimuti tubuhnya dengan jubah burdahku."
Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. wafat sesudah hari Arafah selang delapan puluh satu hari kemudian. Hadis ini dan hadis sebelumnya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ بْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْل، عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ،
عَنْ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}
وَذَلِكَ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ، بَكَى عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا يُبْكِيكَ؟ " قَالَ: أَبْكَانِي أَنَّا
كُنَّا فِي زِيَادَةٍ مِنْ دِينِنَا، فَأَمَا إذْ أُكْمِلَ فَإِنَّهُ لَمْ يَكْمُلْ
شَيْءٌ إِلَّا نَقُصَ. فَقَالَ: "صَدَقْتَ".
telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada
kami Ibnu Fudail, dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa
ketika diturunkan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian
agama kalian. (Al-Maidah: 3) Hal ini terjadi pada hari haji Akbar. Maka Umar
menangis, lalu Nabi Saw. bertanya kepadanya: "Mengapa engkau menangis?"
Umar menjawab, "Aku menangis karena sejak dahulu kita masih terus ditambahi
dalam agama kita, adapun sekarang ia telah sempurna; dan sesungguhnya tidak
sekali-kali sesuatu itu sempurna, melainkan kelak akan berkurang." Nabi Saw.
menjawab, "Kamu benar."Makna hadis ini diperkuat oleh hadis yang mengatakan:
"إِنَّ
الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى
للغُرَبَاء".
Sesungguhnya Islam bermula dari keterasingan, dan kelak akan kembali
menjadi terasing, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْن، حَدَّثَنَا أَبُو العُمَيْس،
عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ
الْيَهُودِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] فَقَالَ: يَا
أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ آيَةً فِي كِتَابِكُمْ، لَوْ
عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا.
قَالَ: وَأَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ قَوْلُهُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي} فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ
إني
لَأَعْلَمُ
الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَالسَّاعَةَ الَّتِي نَزَلَتْ فِيهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَزَلَتْ عَشية عَرَفَة فِي يَوْمِ
جُمُعَةٍ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, telah
menceritakan kepada kami Abul Umais, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu
Syihab yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki Yahudi datang kepada Khalifah
Umar ibnul Khattab, lalu berkata, "Hai Amirul Mu’minin, sesungguhnya kamu biasa
membaca suatu ayat dalam Kitab kamu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami
golongan orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari
raya." Khalifah Umar bertanya, "Ayat apakah itu?" Orang Yahudi tersebut
membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama
kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. (Al-Maidah: 3) Maka
Khalifah Umar berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari
ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan saat penurunannya kepada
Rasulullah Saw. yaitu pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat."Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnus Sabbali, dari Ja'far ibnu Aun dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Qais ibnu Muslim dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini melalui jalur Sufyan AS-Sauri, dari Qais, dari Tariq, orang-orang Yahudi berkata kepada Umar, "Sesungguhnya kalian biasa membaca suatu ayat, seandainya ayat itu diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan (hari turunnya) sebagai hari raya." Maka Umar ibnul Khattab r.a. menjawab, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui saat ayat itu diturunkan, kapan diturunkannya, dan di mana Rasulullah Saw. berada saat menerima penurunan ayat itu. Ayat tersebut diturunkan pada hari Arafah, sedangkan aku —demi Allah— berada di Arafah pula." Sufyan mengatakan bahwa dia merasa ragu apakah hal itu terjadi pada hari Jumat ataukah bukan, yaitu turunnya ayat berikut: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Sufyan merasa ragu jika disebutkan di dalam riwayat, maka hal itu merupakan sikap hati-hatinya bila ditinjau dari segi keraguan, apakah gurunya telah mengabarkan hal itu atau tidak. Jika ia merasa ragu perihal kejadian wuquf pada haji wada' adalah hari Jumat, hal ini menurut kami bukan keluar dari Sufyan, mengingat hal ini merupakan suatu perkara yang telah dimaklumi dan telah dipastikan, tiada seorang pun dari kalangan Ahli Magazi dan sejarah —tidak pula Ahli Fiqih— yang memperselisihkannya. Karena banyak hadis mutawatir yang menerangkan bahwa kejadian itu hari Jumat, tiada yang meragukan kesahihannya. Hal tersebut diriwayatkan dari Umar melalui berbagai jalur.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Raja ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ubadah ibnu Nissi, telah menceritakan kepada kami Amir kami (yaitu Ishaq) yang menurut Abu Ja'far ibnu Jarir dia adalah Ishaq ibnu Harsyah, dari Qubaisah (yakni Ibnu Abu Zi-b) yang mengatakan bahwa Ka'b pernah mengatakan, "Seandainya selain umat ini yang diturunkan kepada mereka ayat tersebut, niscaya mereka akan mempertimbangkan hari ayat tersebut diturunkan kepada mereka, lalu mereka menjadikannya sebagai hari raya, hari mereka berkumpul padanya." Lalu Umar bertanya, "Ayat apakah yang kamu maksudkan, hai Ka'b?'" Maka Ka'b menjawab, yaitu firman Allah Swt.: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Maka Umar r.a menjawab, "Sesungguhnya aku mengetahui hari ayat ini diturunkan dan tempat penurunannya. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah. Kedua-duanya Alhamdulillah merupakan hari raya bagi kami (umat Islam)."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ammar (yaitu maula Bani Hasyim), bahwa Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3); Lalu ada seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jumat."
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Hamani, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sulaiman, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Ibnul Hanafiyah, dari Ali yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika beliau sedang wuquf di Arafah pada sore harinya, yaitu firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Ismail ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais As-Sukuni, bahwa ia pernah mendengar Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan membaca ayat berikut di atas mimbarnya, yaitu firman Allah Swt.: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Lalu Mu'awiyah berkata bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad Bani Ishaq. dari Amr ibnu Musa ibnu Dahiyyah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang mengatakan bahwa firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3) diturunkan di Arafah ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan wuquf di mauqif.
Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi kalian dilahirkan pada hari Senin, dan beliau Saw. keluar meninggalkan Mekah (menuju Madinah) pada hari Senin, dan beliau Saw. memasuki kota Madinah pada hari Senin, dan Perang Badar dimulai pada hari Senin, serta surat Al-Maidah diturunkan pada hari Senin, yakni firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Zikir (Al-Qur’an) diangkat pada hari Senin (yakni nanti di hari kiamat).
Maka asar ini berpredikat garib dan sanadnya daif. Tetapi hal ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah. dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi Nabi pada hari Senin, keluar meninggalkan Mekah berhijrah ke Madinah pada hari Senin, dan tiba di Madinah pada hari Senin, wafat pada hari Senin, dan Hajar Aswad diletakkan pada hari Senin.
Demikianlah lafaz riwayat Imam Ahmad, tetapi tidak disebutkan padanya penurunan surat Al-Maidah pada hari Senin. Barangkali Ibnu Abbas bermaksud bahwa ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, seperti pada asar di atas, tetapi perawi keliru dalam mengemukakannya.
Ibnu Jarir mengatakan, suatu pendapat mengatakan bahwa mengenai harinya tidak diketahui oleh orang-orang.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Ibnu Abbas mengatakan bahwa hari itu hari yang tidak diketahui oleh orang-orang. Ibnu Jarir mengatakan pula, adakalanya dikatakan bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. sewaktu beliau dalam perjalanannya ke haji wada'. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut kami, Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. pada hari Gadir Kham, yaitu ketika Nabi Saw. bersabda kepada Ali r.a.:
"مَنْ
كنتُ مَوْلَاهُ فَعَليٌّ مَوْلَاهُ"
Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya
pula.Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Abu Hurairah, antara lain disebutkan bahwa hari itu adalah hari kedelapan belas dari bulan Zul Hijjah. Dengan kata lain, di saat Nabi Saw. kembali dari haji wada'nya. Tetapi baik riwayat ini ataupun riwayat di atas tiada yang sahih. Bahkan yang benar dan tidak diragukan lagi ialah riwayat yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah diturunkan pada hari Arafah yang saat itu jatuhnya bertepatan dengan hari Jumat Yaitu seperti yang tertera pada riwayat Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab, Ali ibnu Abu Talib, raja Islam pertama (yaitu Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan), juru tafsir Al-Qur'an (yaitu Abdullah ibnu Abbas), dan Samurah ibnu Jundub, radiyallahu anhum.
Asar ini di-mursal-kan oleh Asy-Sya'bi, Qatadah ibnu Di'amah, dan Syahr ibnu Hausyab serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan para imam dan para ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari.
*****
Firman Allah Swt.:
{فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ}
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 3)Artinya, barang siapa yang terpaksa memakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah —seperti yang telah disebutkan di atas— karena keadaan darurat yang memaksanya melakukan hal itu, maka dia boleh memakannya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya, karena Allah Swt. mengetahui kebutuhan hambaNya yang terpaksa dan keperluannya akan hal tersebut. Maka dari itu Allah memaafkan dan mengampuninya.
Di dalam kitab musnad dan kitab sahih Ibnu Hibban disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Umar secara marfu', bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخْصته كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى
مَعْصِيته"
Sesungguhnya Allah suka bila rukhsah-rukhsah (kemurahan-kemurahan-Nya)
dikerjakan, sebagaimana Dia benci bila perbuatan durhaka kepada-Nya
dikerjakan.Demikianlah menurut lafaz Imam Ibnu Hibban. Sedangkan menurut lafaz Imam Ahmad disebutkan seperti berikut:
مَنْ
لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَة اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلَ جِبَالِ
عَرَفَةَ"
Barang siapa yang tidak mau menerima rukhsah (kemurahan) Allah,
maka atas dirinya dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.Karena itu, maka ulama fiqih mengatakan bahwa adakalanya memakan bangkai itu hukumnya wajib, yaitu bila orang yang bersangkutan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwanya, sedangkan di tempat ia berada tidak ditemukan selainnya (yakni selain bangkai itu). Adakalanya memakan bangkai itu hukumnya sunat, adakalanya hukumnya mubah (boleh), semua ditentukan oleh keadaan.
Tetapi ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah kadar yang dimakannya, apakah hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan saja, atau sampai sekenyangnya, atau sampai kenyang, dan boleh membekali diri dengannya? Banyak pendapat di kalangan mereka mengenai masalah ini, semuanya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Mereka berselisih pendapat pula dalam masalah bilamana orang yang bersangkutan menjumpai bangkai hewan dan makanan milik orang lain atau hewan buruan, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Masalahnya ialah apakah dia boleh memakan bangkai itu atau hewan buruan yang mengharuskan dia bayar denda, atau makanan milik orang lain yang konsekuensinya dia harus menggantinya. Ada dua pendapat mengenai masalah ini, kedua-duanya dikatakan oleh Imam Syafii rahimahullah.
Bukan termasuk syarat, boleh memakan bangkai bila orang yang bersangkutan telah menjalani masa tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun, seperti yang diduga oleh kebanyakan kalangan awam dan lain-lainnya. Bahkan manakala orang yang bersangkutan dalam keadaan terpaksa harus memakannya, maka diperbolehkan baginya melakukannya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ
اللَّيْثِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا
بِهَا الْمَخْمَصَةُ، فَمَتَى تَحِلُّ لَنَا بِهَا الْمَيْتَةُ؟ فَقَالَ: "إِذَا
لَمْ تَصْطَبِحوا، وَلَمْ تَغْتَبِقُوا، وَلَمْ تَجتفئوا بقْلا فَشَأْنُكُمْ بِهَا
".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim,
telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Hassan
ibnu Atiyyah, dari Abu Waqid Al-Laisi, bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami berada di suatu tempat dan kami mengalami
kelaparan di tempat itu. Bilakah diperbolehkan bagi kami memakan bangkai di
tempat itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Bilamana kalian tidak mendapatkan
untuk makan pagi dan tidak pula untuk makan sore hari serta tidak dapat
memperoleh sayur-sayuran padanya, maka bangkai itu terserah kamu.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad bila ditinjau dari segi ini, tetapi sanadnya sahih dengan syarat Syaikhain.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abdul A'la ibnu Wasil, dari Muhammad ibnul Qasim Al-Asadi, dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama. Tetapi sebagian mereka meriwayatkannya dari Al-Auza'i, dari Hassan ibnu Atiyyah, dari Muslim ibnu Yazid, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Al-Auza'i, dari Hassan, dari Marsad atau Abu Marsad, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad ibnus Sirri, dari Isa ibnu Yunus, dari Hassan, dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya oleh dia, lalu ia menuturkan hadis ini. Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Hannad, dari Ibnul Mubarak, dari Al-Auza'i, dari Hassan secara mursal.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ
عُلَيَّة، عَنْ عَوْن قَالَ: وَجَدْتُ عِنْدَ الْحَسَنِ كِتَابَ سَمُرة،
فَقَرَأْتُهُ عَلَيْهِ، فَكَانَ فِيهِ: "ويُجزى من الأضرار غَبُوق أَوْ صُبُوحٌ
"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun yang menceritakan
bahwa ia pernah menemukan catatan Samurah pada Al-Hasan, lalu ia membacanya, dan
yang terdapat padanya antara lain ialah, "Cukup bagi yang terpaksa memakan
sekadar makan malam atau makan paginya."
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الخَصيب بْنِ زَيْدٍ التَّمِيمِيِّ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: [إِلَى] مَتَى يَحِلُّ [لِي] الْحَرَامُ؟ قَالَ: فَقَالَ:
"إِلَى مَتَى يَرْوى أَهْلُكَ مِنَ اللَّبَنِ، أَوْ تَجِيءُ مِيرَتُهم
".
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Hasyim, dari Al-Khasib ibnu Zaid At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw. Untuk itu ia
mengatakan, "Sampai kapan yang haram dihalalkan?" Nabi Saw. menjawab melalui
sabdanya: Sampai dengan keluargamu merasa kenyang karena minum air susu atau
sampai datang makanan mereka.
حَدَّثَنَا
ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ جَدِّهِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ
جَدَّتِهِ ؛ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِيهِ فِي الَّذِي حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي
أَحَلَّ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَحِلُّ
لَكَ الطَّيِّبَاتُ، وتَحْرُم عَلَيْكَ الْخَبَائِثُ إِلَّا أَنْ تَفْتَقِر إِلَى
طَعَامٍ لَا يَحِلُّ لَكَ، فَتَأْكُلَ مِنْهُ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ
الرَّجُلُ: وَمَا فَقْرِي الَّذِي يُحِلُّ لِي؟ وَمَا غِنَايَ الَّذِي يُغْنِينِي
عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كُنْتَ
تَرْجُو نِتَاجًا، فَتَبْلُغُ بلُحُوم مَاشِيَتِكَ إِلَى نِتَاجِكَ، أَوْ كُنْتَ
تَرْجُو غِنًى، تَطْلُبُهُ، فَتَبْلُغُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَأَطْعِمْ أَهْلَكَ
مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: مَا غِنَايَ
الَّذِي أَدَعُهُ إِذَا وَجَدَتُهُ؟ فَقَالَ [النَّبِيُّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِذَا أَرُوِيَتْ أَهْلُكَ غَبُوقا مِنَ اللَّيْلِ، فَاجْتَنِبْ مَا
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ مِنْ طَعَامٍ، وَأَمَّا مَالُكَ فَإِنَّهُ مَيْسُورٌ
كُلُّهُ، لَيْسَ فِيهِ حَرَامٌ".
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami
Salamah, dari Ishaq, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abdullah ibnu Urwah,
dari kakeknya (yaitu Urwah ibnuz Zubair), dari neneknya, bahwa seorang lelaki
Badui pernah datang kepada Nabi Saw. untuk meminta fatwa kepadanya mengenai
barang-barang yang diharamkan oleh Allah dan barang-barang yang dihalalkan
Allah untuknya. Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Dihalalkan bagimu
yang baik-baik dan diharamkan bagimu yang buruk-buruk, kecuali jika kamu
terpaksa memerlukan makanan untuk dirimu; maka kamu boleh memakan sebagian
darinya hingga kamu merasa berkecukupan. Maka lelaki Badui itu bertanya,
"Sampai batas manakah keperluanku yang menghalalkan aku memakannya, dan sampai
batas manakah kecukupanku yang membuat aku tidak memerlukannya lagi?" Nabi Saw.
bersabda: Apabila kamu mencari makanan untuk mencukupimu, lalu kamu menemukan
sesuatu dari (bangkai) itu, maka berilah makan keluargamu menurut apa
yang kamu kehendaki hingga kamu merasa cukup darinya. Lalu lelaki Arab
Badui itu bertanya lagi, "Sampai batas manakah kecukupan yang mengharuskan aku
meninggalkannya jika aku menjumpainya (lagi)?" Maka Nabi Saw. bersabda: Jika
kamu telah dapat mengenyangkan keluargamu dengan minuman susu di malam hari,
maka jauhilah dari makananmu, makanan yung diharamkan oleh Allah bagimu. Karena
sesungguhnya makananmu yang halal itu semuanya mudah didapat dan tidak ada yang
haram padanya.Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Ma lam tastabihu" ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan pagi. Makna ma lam tag-tabiqu ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan malam. Yang dimaksud dengan au tahtaji-u baqalah fasya-nukum biha ialah atau kamu tidak menemukan sayur-sayuran untuk mengganti makananmu, maka makanlah bangkai itu.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz lahtafi-u diriwayatkan mempunyai empat bacaan, yaitu lahfau. tahiafiyu, tahtaffii, dan tahlaju. Tetapi dapat pula memakai hamzah hingga menjadi tahlafiu. Demikianlah menurutnya dalam kitab tafsirnya.
حَدِيثٌ
آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا عُقْبَة بْنُ وَهْب بْنِ عُقْبَةَ
الْعَامِرِيُّ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنِ الْفَجِيعِ الْعَامِرِيِّ؛ أَنَّهُ
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فقال:
مَا
يَحِلُّ لَنَا مِنَ الْمِيتَةِ؟ قَالَ: "مَا طَعَامُكُمْ؟ " قُلْنَا: نَغْتَبِقُ
وَنَصْطَبِحُ. قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ: فَسَّرَه لِي عُقْبَةُ: قَدَحُ غُدوة،
وَقَدَحُ عَشيَّة قَالَ: "ذَاكَ وَأَبِي الجُوعُ". وَأُحِلَّ لَهُمُ الْمَيْتَةُ
عَلَى هَذِهِ الْحَالِ.
Hadis lain. Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah
menceritakan kepada kami Wahb ibnu Uqbah Al-Amiri, bahwa ia pernah mendengar
ayahnya menceritakan hadis dari An-Naji' Al-Amiri bahwa An-Naji’ Al-Amiri pernah
datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Bilakah bangkai dihalalkan bagi
kami?" Nabi Saw. balik bertanya, "Apa sajakah makanan kalian?" Kami
menjawab, "Segelas susu di pagi hari dan segelas susu di malam hari." Abu Na'im
mengatakan bahwa Uqbah mengartikan kepadaku makna nastabih dan
nagtabiq yaitu segelas susu di pagi hari dan segelas susu di petang hari.
Nabi Saw. bersabda, "Yang demikian itu, demi ayahku, dinamakan
kelaparan." Nabi Saw. menghalalkan bangkai untuk mereka dalam keadaan
demikian.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Seakan-akan mereka di pagi hari dan petang harinya memakan sesuatu yang tidak mencukupi mereka, lalu Nabi Saw. menghalalkan bangkai untuk mereka untuk memenuhi kecukupan mereka.
Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat boleh memakan sebagian dari bangkai sampai kenyang, dan tidak terikat dengan batasan hanya untuk menyelamatkan nyawa saja.
حَدِيثٌ
آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا سِمَاكٌ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَة، أَنْ رَجُلًا نَزَلَ
الحَرَّةَ، وَمَعَهُ أَهْلُهُ وَوَلَدُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ نَاقَةً لِي
ضَلَّت، فَإِنْ وَجَدْتَهَا فَأَمْسِكْهَا، فَوَجَدَهَا وَلَمْ يَجِدْ صَاحِبَهَا،
فَمَرِضَتْ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: انْحَرْهَا، فَأَبَى، فَنَفَقَتْ، فَقَالَتْ
لَهُ امْرَأَتُهُ: اسْلُخْهَا حَتَّى نُقدد شَحْمَها وَلَحْمَهَا فَنَأْكُلَهُ.
فَقَالَ: حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: "هَلْ عِنْدَكَ غِنًى يُغْنِيك؟ " قَالَ: لَا.
قَالَ: " فَكُلُوهَا". قَالَ: فَجَاءَ صَاحِبُهَا فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَقَالَ:
هَلَّا كُنْتَ نَحَرْتَهَا؟ قَالَ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْكَ.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami
Hammad, telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Jabir, dari Samurah. bahwa
seorang lelaki turun istirahat di Harrah (pinggir Madinah) disertai istri dan
anak laki-lakinya. Ada lelaki lain yang berkata kepadanya, "Sesungguhnya untaku
hilang (lepas). Jika kamu menemukannya, tolonglah tangkap ia." Lalu ia
menemukannya, tetapi tidak menjumpai pemiliknya (karena telah pergi). Kemudian
lelaki itu sakit, maka istrinya berkata kepadanya, "Sembelihlah unta temuan
ini." Ia menolak dan sakitnya bertambah parah. Lalu istrinya berkata lagi
kepadanya.”Sayatlah salah satu bagiannya, lalu kamu dendeng lemak dan dagingnya,
kemudian kita makan bersama." Ia menjawab, "Tidak, sebelum aku tanyakan lebih
dahulu kepada Rasulullah Saw." Lelaki ku datang kepada Rasulullah Saw. dan
menanyakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah kamu
memiliki makanan yang mencukupimu?" Ia menjawab, 'Tidak." Nabi Saw.
bersabda, "Maka makanlah daging sayatan itu." Tidak lama kemudian
datanglah pemilik unta itu, dan ia mengabarinya. Ternyata pemilik unta itu
berkata, "Mengapa tidak kamu sembelih saja untaku itu?" Ia menjawab, "Aku malu
kepadamu."Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang membolehkan memakan (bangkai) sampai kenyang serta mengambil bekal darinya selama masa yang diperlukan, menurut dugaannya yang kuat.
*****
Firman Allah Swt.:
{غَيْرَ
مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ}
tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-Maidah: 3)Yakni tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguhnya Allah telah membolehkan hal tersebut. Dalam ayat ini tidak disebutkan hal lainnya yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:
{فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan
ia tidak durhaka dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al-Baqarah: 173)Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa orang yang bepergian untuk maksiat tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pun dari rukhsah-rukhsah yang diberikan kepada seorang musafir, karena rukhsah tidak dapat dilakukan dengan adanya maksiat.
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ
الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (4)
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang
buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu, kalian mengajarinya
menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. Maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu
(waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
cepat hisabNya."Setelah Allah menyebutkan hal-hal yang diharamkan-Nya pada ayat sebelumnya, yaitu berupa segala sesuatu yang buruk lagi membahayakan tubuh atau agama, atau kedua-duanya (tubuh dan agama) orang yang bersangkutan, dan Allah mcngccualikan apa-apa yang dikccuali-kan-Nya bila keadaan darurat. Seperti yang disebut di dalam firman-Nya:
{وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ
إِلَيْهِ}
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang
diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.
(Al-An'am: 119)maka sesudah itu Allah Swt. berfirman:
{يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ}
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)Perihalnya sama dengan apa yang disebut di dalam surat Al-A'raf dalam kaitan menyebutkan sifat Nabi Muhammad Saw., bahwa Allah menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Abu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ala ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Addi ibnu Hatim dan Zaid ibnu Muhalhal yang keduanya berasal dari Tai bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu mereka berdua berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengharamkan bangkai, apakah yang dihalalkan bagi kami darinya?" Maka turunlah firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu.”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)
Menurut Sa'id, makna yang dimaksud ialah sembelihan yang halal lagi baik untuk mereka. Menurut Muqatil, yang dimaksud dengan tayyibat ialah segala sesuatu yang dihalalkan untuk mereka memperolehnya, berupa berbagai macam rezeki.
Az-Zuhri pernah ditanya mengenai meminum air seni untuk berobat, maka ia menjawab, "Air seni bukan termasuk tayyibat." Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai menjual burung pemangsa, ia menjawab bahwa burung itu bukan termasuk burung yang halal.
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ}
dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian
ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Yaitu dihalalkan bagi kalian hewan-hewan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, rezeki-rezeki yang baik, dihalalkan pula bagi kalian hewan yang kalian tangkap melalui binatang pemburu, seperti anjing pemburu, macan tutul pemburu, burung falcon (elang), dan lain-lainnya yang serupa. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam. Di antara mereka yang mengatakan demikian ialah Ali ibnu Abu Talhah yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Hewan-hewan tersebut adalah anjing-anjing pemburu yang telah dilatih, dan burung elang serta burung pemangsa lainnya yang telah dilatih untuk berburu. Kesimpulannya ialah jawarih artinya hewan-hewan pemangsa, seperti anjing, macan tutul, burung elang, dan lain sebagainya yang serupa.
Demikianlah riwayat Ibnu Abu Hatim, kemudian ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Khaisamah, Tawus, Mujahid, Mak-hul, dan Yahya ibnu Kasir hal yang semisal.
Telah diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa ia pernah mengatakan, "Burung elang dan burung garuda termasuk jawarih (hewan pemangsa) dari jenis burung." Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ali ibnul Husain.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia memakruhkan berburu dengan memakai segala jenis burung pemangsa, lalu ia membacakan firman-Nya: dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair hal yang semisal. Ibnu Jarir menukilnya dari Ad-Dahhak dan As-Saddi. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa hewan yang diburu oleh burung pemangsa dan lain-lainnya termasuk ke dalam jenis burung pemburu, maka apa yang kamu jumpai adalah untukmu dan apa yang tidak sempat kamu temui janganlah kamu memakannya.
Menurut kami, apa yang diriwayatkan dari jumhur ulama yaitu bahwa berburu dengan burung pemangsa sama dengan memakai anjing pemburu, karena burung pemburu menangkap mangsanya dengan cakarnya, sama halnya dengan anjing sehingga tidak ada bedanya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam yang empat dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir yang menguatkannya dengan hadis yang diriwayatkan:
عَنْ
هَنَّادٍ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ مَجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم عَنْ صَيْدِ الْبَازِي، فَقَالَ: "مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ
فَكُلْ".
dari Hannad, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Mujalid,
dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan hadis berikut: Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang tangkapan burung elang, maka
beliau Saw. menjawab, "Apa yang ditangkap untukmu, makanlah."Imam Ahmad mengecualikan berburu dengan memakai anjing hitam, karena menurut Imam Ahmad anjing hitam termasuk hewan yang wajib dibunuh dan tidak boleh dipelihara.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui sahabat Abu Bakar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَقْطَع
الصلاةَ الحمارُ والمرأةُ والكلبُ الأسودُ" فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْكَلْبِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ ؟ فَقَالَ: "الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ
شَيْطَانٌ"
"Keledai, wanita, dan anjing hitam dapat memutuskan salat." Lalu aku
(Abu Bakar) bertanya, "Apakah bedanya antara anjing merah dan anjing hitam?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Anjing hitam adalah setan."Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan membunuh anjing, kemudian beliau Saw. bersabda:
"مَا
بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ، اقْتُلُوا
مِنْهَا
كُلَّ أَسْوَدٍ بَهِيم".
Apakah gerangan yang menimpa mereka dan anjing-anjing itu, bunuhlah oleh
kalian setiap anjing yang hitam pekat dari anjing-anjing itu.Hewan-hewan yang biasa dipakai berburu itu dinamakan jawarih, berasal dari kata al-jurh yang artinya al-kasbu (penghasilan), seperti yang dikatakan oleh orang-orang Arab Fulanun jaraha ahlahu khairan," yang artinya: si Fulan menghasilkan kebaikan bagi keluarganya. Mereka mengatakan, "Fulanun la jariha lah,'"' yang artinya: si Fulan tidak mempunyai penghasilan (mata pencaharian).
Allah Swt. telah berfirman:
{وَهُوَ
الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ
بِالنَّهَارِ}
Dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari.
(Al-An'am: 60)Yakni mengetahui apa yang kalian hasilkan berupa kebaikan dan keburukan.
Mengenai penyebab turunnya ayat ini disebutkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ حَمْزَةَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَاب، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ
عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنِي أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ،
عَنْ سَلْمَى أَمِّ رَافِعٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر بِقَتْلِ
الْكِلَابِ، فَقُتِلَتْ، فَجَاءَ النَّاسُ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
يَحِلُّ لَنَا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ الَّتِي أَمَرْتَ بِقَتْلِهَا؟ قَالَ:
فَسَكَتَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ} الْآيَةَ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا أَرْسَلَ
الرَّجُلُ كَلْبَهُ وسَمَّى، فَأَمْسَكَ عَلَيْهِ، فَلْيَأْكُلْ مَا لَمْ يَأْكُلْ
".
telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada
kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ubaidah, telah
menceritakan kepadaku Aban ibnu Saleh, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim, dari Salma
Ummu Rafi’, dari Abu Rafi' maula Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah
memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing (hitam), maka anjing-anjing itu
dibunuh. Lalu orang-orang datang kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, mana
sajakah yang dihalalkan dari jenis ini yang engkau perintahkan agar dibunuh?"
Rasulullah Saw. diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya
kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi
kalian yang baik-baik, dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu
yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu" (Al-Maidah: 4),
hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. bersabda: Apabila seseorang lelaki
melepaskan anjing (pemburu)nya. lalu ia mengucapkan tasmiyah
(bismillah) dan anjing itu menangkap buruan untuknya, maka hendaklah ia
memakannya selagi anjing itu tidak memakannya.Masih dalam bab yang sama:
رَوَاهُ
ابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي كُرَيْب، عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحُبَابِ بِإِسْنَادِهِ،
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَسْتَأْذِنَ عَلَيْهِ، فَأَذِنَ لَهُ فَقَالَ: قَدْ أَذِنَّا
لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَجَلْ، وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ
كَلْبٌ، قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْتُلَ كُلَّ كَلْبٍ
بِالْمَدِينَةِ، فَقَتَلْتُ، حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى امْرَأَةٍ عِنْدَهَا كَلْبٌ
يَنْبَحُ عَلَيْهَا، فَتَرَكْتُهُ رَحْمَةً لَهَا، ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَمَرَنِي، فَرَجَعَتْ
إِلَى الْكَلْبِ فَقَتَلْتُهُ، فَجَاءُوا فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
يَحِلُّ لنا من هذه الأمة التي أمرت بقتلها؟ قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:
{يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا
عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ}
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul Habbab berikut
sanadnya, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Malaikat Jibril datang kepada
Nabi Saw,, lalu meminta izin untuk masuk. Ia diizinkan masuk (tetapi tidak mau
juga masuki, maka Nabi Saw. bersabda, "Saya telah memberimu izin masuk,
wahai utusan Allah." Malaikat Jibril menjawab, "Tetapi kami (para malaikat)
tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang ada anjingnnya." Abu Rafi" mengatakan,
"Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepadaku membunuh semua anjing yang ada di
Madinah, hingga aku sampai pada seorang wanita yang memiliki seekor anjing. Saat
itu anjingnya sedang menggonggong, maka wanita itu meninggalkan anjingnya
karena tidak tega melihatnya dibunuh. Kemudian aku (Abu Rafi') datang kepada
Rasulullah Saw. dan kuceritakan hal itu kepadanya, tetapi beliau Saw. tetap
memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya. Maka aku kembali lagi kepada wanita
itu dan membunuh anjingnya." Kemudian mereka datang dan bertanya, "Wahai
Rasulullah, apa sajakah yang dihalalkan bagi kami dari jenis hewan ini yang
engkau perintahkan agar semuanya dibunuh?" Rasulullah Saw. diam, dan Allah
menurunkan firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan
bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan
(binatang buruan yang ditangkap) oleh binatang pemangsa yang telah kalian
ajar dengan melatihnya untuk berburu." (Al-Maidah: 4)Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh dengan lafaz yang sama; dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah, bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abu Rafi' untuk membunuh semua anjing hingga sampai di Awali (daerah Madinah yang tinggi). Maka datanglah Asim ibnu Addi, Sa'd ibnu Ktiais'amah dan Uwaim ibnu Sa'idah, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dihalalkan bagi kami, wahai Rasulullah?" Maka turunlah ayat ini.
Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sammak, dari Ikrimah, dan hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dalam penyebab turunnya ayat ini, yaitu berkenaan dengan pembunuhan terhadap anjing.
****
Firman Allah Swt.:
{مُكَلِّبِينَ}
dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Lafaz ayat ini dapat dikatakan sebagai hal dari damir yang terkandung di dalam firman-Nya:
{عَلَّمْتُمْ}
yang telah kalian ajari. (Al-Maidah: 4)Dengan demikian, berarti ia menjadi hal dari fa'il. Dapat pula diartikan sebagai hal dari maf'ul yaitu lafaz al-jawarih. yakni binatang pemangsa yang telah kalian ajari saat kalian menggunakannya untuk menerkam hewan buruan kalian. Pengertian ini menunjukkan bahwa hewan pemburu tersebut membunuh mangsanya dengan taring dan cakar kukunya. Dalam keadaan demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa hewan pemburu bila membunuh binatang buruannya dengan menabraknya atau menindihinya dengan berat tubuhnya, hukumnya tidak halal, seperti yang dikatakan oleh salah satu pendapat dari Imam Syafii dan segolongan ulama. Karena itulah dalam ayat Selanjutnya disebutkan:
{تُعَلِّمُونَهُنَّ
مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ}
kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian.
(Al-Maidah: 4)Dengan kata lain, apabila dilepaskan oleh tuannya, ia langsung memburu mangsanya; dan apabila diperintahkan untuk mengintipnya sebelum menerkamnya, maka ia menuruti tuannya; apabila menangkap hewan buruannya, ia menahan dirinya untuk tuannya hingga tuannya datang kepadanya, dan ia tidak berani menangkapnya, lalu ia makan sendiri. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah Swt selanjutnya:
{فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama
Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)Bilamana binatang pemburu telah diajari dan menangkap mangsanya untuk tuannya, sedangkan si tuan telah membaca asma Allah ketika melepasnya, maka hewan buruan itu halal, sekalipun telah dibunuhnya, menurut kesepakatan ulama.
Di dalam sunnah terdapat keterangan yang menunjukkan pengertian yang sama dengan makna ayat ini, seperti yang disebut di dalam kitab Sahihain dari Addi ibnu Hatim yang telah menceritakan:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرْسِلُ الْكِلَابَ المعلَّمة وَأَذْكُرُ اسْمَ
اللَّهِ. فَقَالَ: "إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ المعلَّم وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ،
فَكُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلْنَ؟ قَالَ: "وَإِنْ قَتَلْنَ
مَا لَمْ يُشْرِكْهَا كَلْبٌ لَيْسَ مِنْهَا، فَإِنَّكَ إِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى
كَلْبِكَ وَلَمْ تُسَمِّ عَلَى غَيْرِهِ". قُلْتُ لَهُ: فَإِنِّي أَرْمِي
بالمِعْرَاض الصَّيْدَ فَأُصِيبُ؟ فَقَالَ: "إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فَخَزق
فَكُلْهُ، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْض فَإِنَّهُ وَقِيذٌ، فَلَا
تَأْكُلْهُ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melepaskan anjing pemburu
yang telah dilatih dan aku menyebutkan asma Allah." Rasulullah Saw. menjawab,
"Apabila kamu melepaskan anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah, maka
makanlah selagi anjingmu itu menangkap hewan buruan untukmu.”Aku bertanya,
"Sekalipun hewan buruan itu telah dibunuhnya?" Rasulullah Saw. bersabda,
"Sekalipun telah dibunuhnya selagi tidak ditemani oleh anjing lain yang bukan
dari anjing-anjingmu, karena sesungguhnya kamu hanya membaca tasmiyah untuk
anjingmu, bukan membacanya untuk anjing lain." Aku bertanya kepadanya,
"Sesungguhnya aku melempar hewan buruan dengan tombak dan mengenainya."
Rasulullah Saw. menjawab, "Jika kamu melemparnya dengan tombak dan tombak itu
menembus tubuhnya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenainya ialah bagian
sampingnya (tengahnya), sesungguhnya hewan buruan itu mati karena
terpukul, jangan kamu makan."Menurut lafaz lain yang juga dari keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan seperti berikut:
"إِذَا
أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ
فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا فَاذْبَحْهُ، وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قُتِلَ وَلَمْ
يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ، فَإِنَّ أخْذ الْكَلْبِ ذَكَاتُهُ"
Jika kamu melepaskan anjing pemburumu, bacalah asma Allah; dan jika ia
menangkap hewan buruannya untukmu, lalu kamu jumpai masih hidup, sembelihlah
hewan buruan itu. Jika kamu menjumpainya telah mati dan anjingmu tidak
memakannya, makanlah, karena sesungguhnya terkaman anjingmu itu merupakan
sembelihannya.Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
"فَإِنْ
أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى
نَفْسِهِ."
Dan jika anjingmu itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena
sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya
sendiri.Inilah yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama, dan hal inilah yang dikatakan oleh mazhab Syafii menurut qaul yang sahih. Yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hewan buruan itu haram secara mutlak. Dalam hal ini mereka tidak memberikan keterangan yang rinci, sama dengan makna yang ada dalam hadis.
Tetapi diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf bahwa mereka mengatakan tidak haram sama sekali.
Asar-asar yang menyangkut masalah
ini
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad dan Waki’, dari
Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Salman
Al-Farisi pernah mengatakan, "Makanlah, sekalipun anjing pemburu itu memakan dua
pertiga hewan buruannya," bilamana memang anjing itu memakan sebagian
darinya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah dan Umar ibnu Amir dari Qatadah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Muhammad ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid ibnu Musa, dari Yazid, dari Humaid, dari Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Al-Qasim, bahwa Salman pernah mengatakan, "Apabila anjing pemburu memakannya, kamu boleh memakannya, sekalipun ia memakan dua pertiganya"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Humaid ibnu Malik ibnu Khaisam Ad-Du-ali, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas tentang hewan buruan yang dimakan sebagiannya oleh anjing pemburu. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Makanlah olehmu, sekalipun tiada yang tersisa darinya kecuali hanya sepotong daging."
Syu'bah meriwayatkannya dari Abdu Rabbih ibnu Sa'id, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Sa'd ibnu Abu Waqqas yang mengatakan, "Makanlah (hewan buruan itu), sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir ibnu Abu Hurairah yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing pemburumu, lalu anjing pemburumu memakan sebagian dari hewan tangkapannya, maka kamu tetap boleh memakannya, sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya dan yang tersisa adalah sepertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, bahwa ia pernah mendengar Abdullah; dan telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing terlatihmu dan kamu sebutkan nama Allah (ketika melepaskannya), maka makanlah olehmu selagi anjing itu menangkap buruannya untukmu, baik ia memakannya ataupun tidak memakannya,"
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ubaidillah ibnu Umar dan ibnu Abu Zi-b serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Nafi’.
Asar-asar di atas terbukti bersumber dari Salman, Sa'd ibnu Abu Waqqas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Hal yang sama diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Tetapi menurut asar yang dari Ata dan Al-Hasan Al-Basri, masalah ini masih diperselisihkan. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Az-Zuhri, Rabi'ah, dan Imam Malik. Imam Syafii menurut qaul qadim-nya. mengatakan masalah ini, tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkannya saja.
Telah diriwayatkan melalui jalur Salman Al-Farisi secara marfu'. Untuk itu Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا
عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكُلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى
اللَّاحُونِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي
إِيَاسٍ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّة، عَنْ سعيد بن المسيَّب، عَنْ سَلْمَانَ
الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ، وَقَدْ أَكَلَ
مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ "
telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa Al-Lahuni, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yaitu At-Taji), dari Abu Iyas Mu'awiyah ibnu
Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi. dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda: Apabila seseorang lelaki melepaskan anjingnya terhadap
hewan buruan, lalu dapat ditangkapnya dan dimakan sebagiannya. maka hendaklah
dia memakan yang sisanya.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam sanad hadis ini masih perlu ada yang dipertimbangkan. Sa'id tidak dikenal pernah mendengar dari Salman Al-Farisi, tetapi orang-orang yang siqah meriwayatkannya dari kalam yang tidak marfu'.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini memang benar, tetapi diriwayatkan makna yang sama secara marfu' melalui jalur-jalur lainnya.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهال الضَّرِيرُ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ زُرَيْع، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ أَعْرَابِيًّا -يُقَالُ لَهُ: أَبُو
ثَعْلَبَةَ-قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي كِلَابًا مُكَلَّبة، فَأَفْتِنِي
فِي صَيْدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ
كَانَ لَكَ كِلَابٌ مُكَلَّبَةٌ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ". فَقَالَ:
ذَكِيًّا وَغَيْرَ ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ؟ قَالَ:
"نَعَمْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ". قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفْتِنِي فِي
قَوْسِي. فَقَالَ: "كُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ قَوْسُكَ" قَالَ: ذَكِيًّا وَغَيْرَ
ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "وَإِنْ تَغَيَّبَ عَنْكَ مَا لَمْ يَصِلْ، أَوْ تَجِدْ فِيهِ
أَثَرَ غَيْرِ سَهْمِكَ". قَالَ: أَفْتِنِي فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ إِذَا
اضُّطُرِرْنَا إِلَيْهَا. قَالَ: "اغْسِلْهَا وَكُلْ فِيهَا".
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Minhal Ad-Darir (yang tuna netra), telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Mu’allim, dari Amr ibnu Syu'aib,
dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Badui yang dikenal dengan nama Abu
Sa'labah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai anjing
yang terlatih untuk berburu, maka berilah aku fatwa mengenai hasil buruannya."
Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Jika kamu mempunyai anjing yang
terlatih, maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu. Abu Sa'labah bertanya
lagi, "Baik sempat disembelih, tidak sempat disembelih, dan sekalipun anjing itu
memakan sebagiannya." Nabi Saw. menjawab: Ya, sekalipun anjing itu memakan
sebagiannya. Abu Sa'labah bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, berilah aku
fatwa mengenai berburu dengan panahku." Rasulullah Saw. menjawab: Makanlah
apa yang dihasilkan oleh anak panahmu. Abu Sa'labah berkata, "Baik dalam
keadaan sempat disembelih ataupun tidak sempat disembelih?" Nabi Saw. bersabda:
Dan sekalipun hilang dari pencarianmu selagi masih belum membusuk atau kamu
menemukan padanya bekas anak panah selain anak panahmu. Abu Sa'labah
bertanya, "Berilah daku fatwa mengenai wadah milik orang-orang Majusi jika kami
terpaksa memakainya." Nabi Saw. bersabda: Cucilah terlebih dahulu, lalu
makanlah padanya.Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud.
Imam Nasai mengetengahkannya —demikian pula Imam Abu Daud— melalui jalur Yunus ibnu Saif, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Sa'labah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِذَا
أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ،
وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"
Apabila kamu melepaskan anjingmu dan kamu sebutkan nama Allah, maka
makanlah, sekalipun anjingmu telah memakan sebagiannya, dan makan pulalah apa
yang berhasil kamu tarik dengan tanganmu.Sanad kedua hadis ini jayyid (baik).
As-Sauri meriwayatkan dari Sammak ibnu Harb, dari Addi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَا
كَانَ مِنْ كَلْبٍ ضَارٍّ أَمْسَكَ عَلَيْكَ، فَكُلْ". قُلْتُ: وَإِنْ أَكَلَ؟
قَالَ: "نَعَمْ".
Apa yang ditangkap oleh anjing terlatihmu untuk kamu, makan- Abu
Salabah bertanya, "Sekalipun anjing itu memakannya?" Nabi Saw
menjawab.”Ya."Abdul Malik ibnu Habib meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, dari Ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi, dari Addi hal yang semisal.
Semua asar yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dimaafkan memakan hasil buruan anjing pemburu, sekalipun anjing telah memakan sebagiannya.
Asar-asar ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat tidak haram hasil buruan yang dimakan oleh anjing pemburunya atau hewan pemburu lainnya, seperti dalam keterangan di atas dari orang-orang yang kami ketengahkan pendapatnya.
Tetapi ulama lainnya bersikap pertengahan. Untuk itu mereka mengatakan, "Jika anjing pemburu memakan hewan tangkapannya sehabis menangkapnya, maka hal ini diharamkan," karena berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim yang disebutkan di atas, juga karena Illat (penyebab) yang diisyaratkan oleh Nabi Saw. melalui sabdanya:
"فَإِنْ
أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى
نَفْسِهِ"
Dan jika anjingmu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena
sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya
sendiri.Jika anjing tersebut menangkapnya, kemudian menunggu-nunggu tuannya dan tidak kunjung datang, hingga ia lama menunggu dan lapar, lalu ia makan sebagian tangkapannya karena lapar. Maka dalam keadaan seperti ini tidak mempengaruhi kehalalannya, dan bukan termasuk yang diharamkan. Mereka mendasari pendapatnya dengan hadis Abu Sa'labah Al-Khusyani. Pemisahan atau rincian ini dinilai cukup baik, menggabungkan makna di antara kedua hadis yang sahih tadi. Sehingga Al-Ustaz Abul Ma'ali Al-Juwaini dalam kitab Nihayah-nya mengatakan, "Seandainya saja masalah ini dirincikan secara mendetail seperti ini." Memang Allah telah mengabulkan apa yang dicita-citakannya. Pendapat yang rinci ini ternyata dikatakan oleh sejumlah sahabat.
Ulama lainnya sehubungan dengan masalah ini mempunyai pendapat yang keempat, yaitu memisahkan antara anjing pemburu yang memakan, hukumnya haram berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim; dan antara burung pemangsa dan lain-lainnya yang sejenis yang makan, hukumnya tidak haram, karena burung tidak dapat diajari dan tidak akan mengerti kecuali hanya memakan hewan buruannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibani, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan sehubungan dengan masalah burung pemburu yang dilepaskan untuk memburu buruannya; ternyata ia membunuhnya, maka hasil buruannya boleh dimakan. Sesungguhnya anjing itu jika kamu pukul, maka ia tidak mau memakannya, tetapi mengajari burung pemburu untuk kembali kepada pemiliknya (tuannya) bukan dengan cara memukulnya. Karena itu, bila burung pemburu memakan sebagian dari tangkapannya dan telah mencabuti bulu hewan buruannya, maka hewan buruannya masih boleh dimakan. Demikianlah menurut pendapat Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, yaitu:
حَدَّثَنَا
أَبُو سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، حَدَّثَنَا مُجالد، عَنِ الشَّعْبِيِّ،
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ
نَصِيدُ بِالْكِلَابِ وَالْبُزَاةِ، فَمَا يَحِلُّ لَنَا مِنْهَا؟ قَالَ: "يَحِلُّ
لَكُمْ مَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا
عَلَّمَكُمُ اللَّهُ، فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ" ثُمَّ قَالَ: "مَا أَرْسَلْتَ مِنْ كَلْبٍ وَذَكَرْتَ اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلَ؟
قَالَ: "وَإِنْ قَتَلَ، مَا لَمْ يَأْكُلْ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ
خَالَطَتْ كِلَابُنَا كِلَابًا غَيْرَهَا؟ قَالَ: فَلَا تَأْكُلْ حَتَّى تَعْلَمَ
أَنَّ كَلْبَكَ هُوَ الَّذِي أَمْسَكَ". قَالَ: قُلْتُ: إِنَّا قَوْمٌ نَرْمِي،
فَمَا يَحِلُّ لَنَا؟ قَالَ: "مَا ذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وخزَقَتْ فَكُلْ
".
telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami
Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi
ibnu Hatim yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah
Saw.,"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu
dengan memakai anjing dan elang pemburu, apakah yang dihalalkan untuk kami
darinya?" Rasulullah Saw. menjawab: Dihalalkan bagi kalian buruan yang
ditangkap oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk
berburu: kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada
kalian. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah
nama Allah atas binatang pemangsa itu (waktu melepasnya). Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda pula: Dan anjing pemburu yang kamu lepaskan dengan
menyebut nama Allah atas anjing itu (ketika melepasnya), maka makanlah
olehmu hewan tangkapannya yang ditangkap untukmu. Aku (Addi ibnu Hatim)
bertanya, "Sekalipun hewan tangkapannya itu telah membunuhnya." Rasulullah Saw.
bersabda: Sekalipun telah membunuhnya selagi ia tidak memakannya. Aku
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika anjing-anjing kami dicampur
dengan anjing-anjing lainnya (dalam perburuan itu)?" Rasulullah Saw. menjawab
melalui sabdanya: Jangan kamu makan (hasil tangkapannya) sebelum kamu
mengetahui bahwa anjingmulah yang menangkapnya. Aku bertanya, "Sesungguhnya
kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anak panah, maka apakah
yang dihalalkan bagi kami?" Rasulullah Saw. menjawab: Selagi kamu membacakan
nama Allah atasnya dan panahmu menembusnya, maka makanlah.Segi penyimpulan dalil yang dilakukan oleh mereka ialah bahwa dalam berburu disyaratkan memakai anjing pemburu; hendaknya anjing tidak memakan hasil tangkapannya, hal ini tidak disyaratkan dalam berburu memakai burung elang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya dalam masalah hukum.
*****
Firman Allah Swt.:
{فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama
Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)Membaca bismillah dilakukan sewaktu melepasnya, seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Addi ibnu Hatim melalui sabdanya, yaitu:
"إِذَا
أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ، فَكُلْ مَا أَمْسَكَ
عَلَيْكَ"
Apabila kamu lepas anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah, maka
makanlan apa yang ditangkapnya untukmu.Di dalam hadis Abu Sa'labah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain disebutkan pula:
"إِذَا
أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ، فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وَإِذَا رَمَيْتَ بِسَهْمِكَ
فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ"
Apabila kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma Allah; dan apabila kamu
melepas anak panahmu, sebutlah asma Allah.Karena itulah sebagian dari para imam —seperti Imam Ahmad— menurut pendapat yang masyhur darinya mensyaratkan bacaan tasmiyah (bismillah) waktu melepas anjing pemburu dan anak panahnya, berdasarkan ayat dan hadis ini. Pendapat yang sama dikatakan oleh jumhur ulama menurut qaul yang masyhur dari mereka, yaitu makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu melepasnya. Demikianlah menurut As-Saddi dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah; 4); Bahwa apabila kamu melepas hewan pemangsamu, ucapkanlah bismillah. Tetapi jika kamu lupa membacanya, maka tidak ada dosa atas dirimu (tidak apa-apa).
Sebagian ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu hendak makan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّم رَبِيبه عُمَرَ بْنَ
أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ: "سَمّ اللَّهَ، وكُل بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا
يَلِيكَ"
bahwa Rasulullah Saw. mengajari anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah.
Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sebutlah asma Allah, dan makanlah dengan
tangan kananmu serta makanlah (makanan) yang dekat denganmu.Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا
-حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ-بلُحْمانٍ لَا نَدْرِي أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ فَقَالَ: "سَمّوا اللَّهَ أَنْتُمْ وكلوا."
dari Siti Aisyah r.a bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ada suatu kaum yang baru masuk Islam datang kepada kami dengan
membawa dua jenis daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebut nama Allah
(ketika menyembelihnya) atau tidak." Rasulullah Saw. bersabda: Sebutlah nama
Allah oleh kalian sendiri, lalu makanlah.Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ بُدَيل، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيد بْنِ
عُمَير، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان
يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِي سِتَّةِ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ
فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"أَمَا إِنَّهُ لَوْ
كَانَ
ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ
اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ أَوَّلَهُ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ
اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan
kepada kami Hisyam, dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Siti
Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang sahabatnya, lalu
datanglah seorang Arab Badui yang langsung ikut makan sebanyak dua suap. Maka
Nabi Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia membaca nama Allah,
niscaya makanan ini cukup buat kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian
memakan makanan, hendaklah ia menyebut nama Allah. Jika ia lupa menyebut nama
Allah pada permulaannya, hendaklah ia membaca, "Bismillahi awwalahu wa akhirahu"
(Dengan menyebut asma Allah pada permulaan dan akhirnya).Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun dengan lafaz yang sama.
Hadis ini munqati' (terputus) antara Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Siti Aisyah, karena sesungguhnya dia belum pernah mendengar dari Siti Aisyah hadis ini. Sebagai buktinya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَهَّابِ، أَخْبَرْنَا هِشَامٌ -يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ
الدَّسْتَوائي-عَنْ بُدَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ؛
أَنَّ امْرَأَةً مِنْهُمْ -يُقَالُ لَهَا: أُمُّ كُلْثُومٍ-حَدَّثَتْهُ، عَنْ
عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَأْكُلُ طَعَامًا فِي سِتَّةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ جَائِعٌ
فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَوْ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ
لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ
اسْمَ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwai'), dari
Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, bahwa ada seorang wanita dari
kalangan mereka yang dikenal dengan nama Ummu Kalsum telah menceritakan
kepadanya dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang
sahabatnya. Lalu datanglah seorang Arab Badui yang sedang lapar, maka orang
Badui itu langsung ikut makan sebanyak dua suap. Nabi Saw. bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia menyebut nama Allah, niscaya (makanan
ini) cukup bagi kalian. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian makan,
hendaklah terlebih dahulu menyeru: nama Allah. Dan jika ia lupa menyebut-Nya
pada permulaan makan, hendaklah ia mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah
pada permulaan makan dan akhirnya."Hadis diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Hisyam Ad-Dustuwai' dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا جَابِرُ
بْنُ صُبْحٍ حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخُزَاعِيُّ،
وَصَحِبْتُهُ إِلَى وَاسِطٍ، فَكَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ طَعَامِهِ وَفِي آخِرِ
لُقْمَةٍ يَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
فَقُلْتُ
لَهُ: إِنَّكَ تُسَمِّي فِي أَوَّلِ مَا تَأْكُلُ، أَرَأَيْتَ قَوْلَكَ فِي آخِرِ
مَا تَأْكُلُ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ؟ فَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ
ذَلِكَ إِنَّ جَدِّي أُمِّيَّةَ بْنَ مُخَشَّى -وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-سَمِعْتُهُ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا كَانَ
يَأْكُلُ، وَالنَّبِيُّ يَنْظُرُ، فَلَمْ يُسَمِّ، حَتَّى كَانَ فِي آخِرِ
طَعَامِهِ لُقْمَةٌ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَاللَّهِ مَا زَالَ الشَّيْطَانُ
يَأْكُلُ مَعَهُ حَتَّى سَمّى، فَلَمْ يَبْقَ شَيْءٌ فِي بَطْنِهِ حَتَّى قَاءَهُ
".
Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jabir
ibnu Subh, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i
yang berguru kepada Wasit. Dia selalu mengucapkan bismillah pada
permulaan makan, dan pada akhir suapannya dia mengucapkan bismillahi awwalahu
wa akhirahu (Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan
kesudahannya). Maka aku (Jabir ibnu Subh) bertanya kepadanya.”Sesungguhnya kamu
membaca bismillah pada permulaan makanmu, tetapi mengapa engkau sesudah
makan mengucapkan kalimat bismillahi awwalahu wa akhirahu?" Al-Musanna
ibnu Abdur Rahman menjawab, "Aku akan menceritakan kepadamu bahwa kakekku
(yaitu Umayyah ibnu Makhsyi, salah seorang sahabat Nabi Saw.) pernah kudengar
menceritakan hadis berikut, bahwa ada seorang lelaki sedang makan, ketika itu
Nabi Saw. melihatnya, dan lelaki itu tidak membaca bismillah; hingga pada
akhir suapannya dia baru mengucapkan, "Dengan nama Allah pada permulaan makan
dan kesudahannya. Maka Nabi Saw. bersabda: 'Demi Allah, setan masih terus
makan bersamanya hingga ia membaca tasmiyah (bismillah). maka tidak ada
suatu makanan pun yang ada dalam perut setan melainkan setan memuntahkannya
(karena bacaan bismillah itu)'."Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasa’i melalui hadis Jabir ibnu Subh Ar-Rasi Abu Bisyr Al-Basri. Ibnu Mu'in menilainya siqah, begitu pula Imam Nasai. Tetapi Abul Fat Al-Azdi mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Hadis lain.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ
خَيْثَمَة، عَنْ أَبِي حُذَيْفَةَ
قَالَ
أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: وَاسْمُهُ
سَلَمَةُ بْنُ الْهَيْثَمِ بْنِ صُهَيْبٍ -مِنْ أَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ-عَنْ
حُذَيْفَةَ قَالَ: كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ [صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عَلَى طَعَامٍ، لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ
رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فَيَضَعُ يَدَهُ، وَإِنَّا
حَضَرْنَا مَعَهُ طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ، كَأَنَّمَا تُدفع، فَذَهَبَتْ
تَضَعُ يَدَهَا فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِيَدِهَا، وَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ كَأَنَّمَا يُدفع، فَذَهَبَ يَضَعُ
يَدَهُ فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ] بِيَدِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِذَا لَمْ يُذْكِرِ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا، فَأَخَذْتُ
بِيَدِهَا، وَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَابِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ، فَأَخَذْتُ
بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهِمَا
يَعْنِي الشَّيْطَانَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah
menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah, dari Abu Huzaifah yang
menurut Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Huzaifah
ini nama aslinya adalah Salamah ibnul Haisam ibnu Suhaib, salah seorang murid
sahabat Ibnu Mas'ud. Ia menceritakan hadis ini dari Huzaifah yang menceritakan,
"Kami apabila menghadiri suatu jamuan bersama Nabi Saw., kami tidak berani
menyentuh makanan terlebih dahulu sebelum Rasulullah Saw. memulainya. Ketika
kami sedang menghadiri suatu jamuan, tiba-tiba datanglah seorang budak wanita,
seakan-akan ada yang mendorongnya, lalu budak wanita itu langsung meletakkan
tangannya pada jamuan makanan yang ada. Maka Rasulullah Saw. menahan tangan
budak wanita itu. Lalu datang pula seorang Arab Badui, seakan-akan ada yang
mendorongnya dan langsung hendak mengambil makanan. Maka Rasulullah Saw.
memegang tangan orang Badui itu, lalu bersabda: Sesungguhnya setan
menghalalkan makanan jika tidak disebutkan nama Allah atasnya, dan sesungguhnya
setan datang dengan budak wanita ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan
tangannya. Dan setan datang pula dengan orang Arab Badui ini untuk
menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada
di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya tangan setan itu kupegang dengan
tanganku bersama tangan keduanya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Hadis lain.
Imam Muslim dan Ahlus Sunan selain Imam Turmuzi meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij:
عَنْ
أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ
اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيت
لَكُمْ وَلَا عَشَاء، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ
دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، فَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ
اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ
وَالْعَشَاءَ".
dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya, lalu ia menyebut nama
Allah ketika memasukinya, juga ketika hendak makan, maka setan berkata.”Tiada
tempat menginap dan tiada makan malam bagi kalian (ditujukan kepada
sesamanya)." Tetapi jika seseorang memasuki rumahnya tanpa menyebut nama
Allah ketika memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya), "Kalian
telah menjumpai tempat menginap." Dan apabila ia tidak menyebut nama Allah
ketika hendak makan, maka setan berkata, "Kalian telah menjumpai tempat
menginap dan makan malam."Demikianlah menurut lafaz Imam Abu Daud.
Hadis lain.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشِيّ بْنِ حَرْب بْنِ وَحْشِي بْنِ حَرْب، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّا نَأْكُلُ وَمَا نَشْبَعُ؟ قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ
مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ،
يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ "
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu
Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu
Harb, tlari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi
Saw., "Sesungguhnya kami makan, tetapi kami tidak pernah merasa kenyang." Nabi
Saw. bersabda: Barangkali kalian makan terpisah-pisah (sendiri-sendiri),
sekarang berjamaahlah dalam menyantap makanan kalian dan sebutlah nama
Allah, niscaya kalian diberkati dalam makanan kalian.Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Al-Walid ibnu Muslim.
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ (5)
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang
baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi.Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:
{الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ}
pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. (Al-Maidah:
5)Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya:
{وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ}
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu
dihalalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).
Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Swt. Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.
Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, "Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi Saw. yang memandangnya seraya tersenyum.
Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.
Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai bantahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya: Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)
Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya berkaitan dengan masalah 'ain (barang), karena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.
Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya. Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.
Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak?
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu'man ibnul Munzir, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
{وَلا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ}
Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. (Al-An'am: 121)Kemudian Allah Swt. me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ}
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.
(Al-Maidah: 5)Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bolehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual. Karena itulah dilarang memakan sembelihan selain mereka (Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musyrik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang agama Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab, seperti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya kepada masalah meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab.
Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pendapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang mengatakan:
"سُنوا
بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ"
Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan
terhadap Ahli Kitab.Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya. mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجوس هَجَر
Bahwa Rasulullah Saw. memungut jizyah dari orang-orang Majusi tanah
Hajar.Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ}
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal
bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak halal.
****
Firman Allah Swt.:
{وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ}
dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka. (Al-Maidah:
5)Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab 'Timbal Balik dan Saling Memberi". Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi Saw. dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw. membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.
Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:
"لَا
تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا
تَقِيٌّ"
Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu kecuali orang yang bertakwa.Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang disunatkan, bukan perintah wajib.
***
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ}
Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman. (Al-Maidah: 5)Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:
{وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم}
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Mujahid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Sehingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa "dapat kurma buruk dan takaran yang rusak".
Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
{مُحْصَنَاتٍ
غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}
sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya.
(An-Nisa: 25)Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firman-Nya: dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan, "Aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
{وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ}
'Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman' (Al-Baqarah: 221)."Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.
Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wanita Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena berdasarkan firman-Nya: dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) sekalipun bila dikatakan bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya; bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.
Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ
حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ}
Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)
{وَقُلْ
لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا
فَقَدِ اهْتَدَوْا} الآية
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada
orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?" Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. (Ali Imran: 20),
hingga akhir ayat.
****
Adapun firman Allah Swt.:
{إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ}
bila kalian telah membayar maskawin mereka. (Al-Maidah: 5)Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan senang hati.
Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.
***
Firman Allah Swt.:
{مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ}
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5)Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zina pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak laki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan 'tidak dengan maksud berzina’ dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya.
Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya. Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad nikah kepada seorang wanita yang memelihara kehormatannya, sebelum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
"لَا
يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ."
Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan
orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Hasan yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan seseorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya." Maka Ubay ibnu Ka'b r.a. berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat."
Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:
{الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ
يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ}
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi (Al-Maidah: 5)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (6)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai
dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki; dan
jika kalian junub, maka mandilah; dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
{إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ}
Apabila kalian hendak mengerjakan salat. (Al-Maidah: 6)Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hendak mengerjakan salat. Kedua makna tersebut berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu. Ayat ini memerintahkan berwudu di saat hendak mengerjakan salat; tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib, sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat.
Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَلْقَمَة بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدة عَنْ
أَبِيهِ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى
خُفَّيْهِ، وَصَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ قَالَ: "إِنِّي
عَمْدًا فَعَلْتُهُ يَا عُمَرُ.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari
Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Nabi Saw.
selalu wudu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari kemenangan atas kota
Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang khuff-nya serta
melakukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata kepadanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah melakukan suatu hal yang belum
pernah engkau lakukan sebelumnya." Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya
aku melakukannya dengan sengaja, hai Umar.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedangkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادِ بْنِ مُوسَى، أَخْبَرْنَا
زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الطُّفَيْلِ الْبَكَّائِيُّ، حَدَّثَنَا
الْفَضْلُ بْنُ المُبَشِّر قَالَ: رَأَيْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يُصَلِّي
الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا بَالَ أَوْ أَحْدَثَ، تَوَضَّأَ وَمَسَحَ
بِفَضْلِ طَهُوره الْخُفَّيْنِ. فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، شَيْءٌ تَصْنَعُهُ
بِرَأْيِكَ؟ قَالَ: بَلْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصْنَعُهُ، فَأَنَا أَصْنَعُهُ، كَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] يَصْنَعُ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abbad
ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnut Tufail
Al-Buka-i, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnul Mubasysyir yang
mengatakan bahwa ia pernah melihat Jabir ibnu Abdullah melakukan beberapa kali
salat (fardu) dengan sekali wudu. Apabila ia buang air kecil atau berhadas, maka
barulah ia wudu lagi dan mengusap sepasang khuff-nya. dengan lebihan air
wudunya. Maka aku (Al-Fadl ibnul Mubasysyir) bertanya, "Wahai Abu Abdullah,
apakah sesuatu yang engkau lakukan ini berdasarkan pendapatmu sendiri?" Jabir
ibnu Abdullah menjawab, 'Tidak, bahkan aku pernah melihat Nabi Saw.
melakukannya, dan sekarang aku melakukan seperti apa yang kulihat Rasulullah
Saw. melakukannya."Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Buka-i.
قَالَ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ،
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ حَبَّان الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قُلْتُ لَهُ: أَرَأَيْتَ وُضُوءَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ،
عَمَّن هُوَ؟ قَالَ: حَدَّثَتْهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ؛ أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرِ بْنِ الْغَسِيلِ حَدَّثَهَا،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أُمِرَ
بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ، فَلَمَّا شَقَّ
ذَلِكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَوُضِع عَنْهُ الْوُضُوءَ، إِلَّا مِنْ حَدَثٍ.
فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَرَى أَنَّ بِهِ قُوَّةً عَلَى ذَلِكَ، كَانَ يَفْعَلُهُ
حَتَّى مَاتَ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu
Umar. Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, "Bagaimanakah
menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap
salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sumbernya?"
Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah
menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan berwudu untuk setiap
salat, baik dalam keadaan suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat
olehnya, maka beliau Saw. memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan salat
dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas. Tetapi Abdullah
merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap salat, dia selalu
melakukannya hingga meninggal dunia.Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi,
Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa'd meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadis yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.
Walau bagaimanapun juga sanad hadis ini sahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah menceritakan hadis ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan.
Tetapi Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafaz yang sama.
Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkandung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu melakukan wudu untuk setiap salat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah mendengar dari Mas'ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa sahabat Ali r.a. selalu melakukan wudunya untuk setiap salat, lalu ia membaca firman-Nya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang mengatakan bahwa ia pernah melihat sahabat Ali salat Lohor, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah. Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali r.a. membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas."
Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Khalifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu melakukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, "Inilah cara wudu orang yang tidak berhadas."
Jalur-jalur periwayatan asar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali r.a., sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan suatu wudu agak singkat, lalu ia mengatakan, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas." Sanad asar ini sahih.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.
Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa melakukan wudu tanpa hadas merupakan perbuatan yang melampaui batas. Maka asar ini berpredikat garib dari Sa'id ibnul Musayyab. Kemudian asar ini dapat diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ditujukan terhadap orang yang meyakininya sebagai hal yang wajib, barulah ia dikatakan sebagai orang yang melampaui batas. Mengenai pentasyrian sunat wudu untuk setiap kali salat, maka banyak sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ الْأَنْصَارِيِّ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، قَالَ: قُلْتُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ؟
قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ
نُحْدِثْ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Amir Al-Ansari; ia
pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi Saw. sering
melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya,
"Bagaimana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?" Anas
ibnu Malik r.a. menjawab, "Kami (para sahabat) melakukan semua salat hanya
dengan sekali wudu selagi kami tidak berhadas."Imam Bukhari meriwayatkannya —begitu pula Ahlus Sunan— melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafaz yang sama.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ مَنْصُورٍ، عَنْ هُرَيم، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ -هُوَ
الْإِفْرِيقِيُّ-عَنْ أَبِي غُطَيف، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْر كُتِبَ
لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Bagdadi,
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, dari Harim, dari Abdur Rahman
ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang melakukan wudu dalam
keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Isa ibnu Yunus, dari Al-Afriqi, dari Abu Auf, dari Ibnu Umar, lalu ia menuturkan hadis ini yang di dalamnya terdapat suatu kisah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Al-Afriqi dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa sanad hadis berpredikat daif.
Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyatakan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila hendak mengerjakan salat saja; adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak. Demikian itu karena Rasulullah Saw. apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau Saw. tidak mau berbicara dengan kami; dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau Saw. tidak mau menjawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah, yaitu firman-Nya yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Muslim, dari Abu Kuraib dengan lafaz yang semisal dan sanad yang sama, tetapi hadis ini garib jiddan (aneh sekali). Jabir yang disebutkan di dalam sanadnya adalah Ibnu Zaid Al-Ju'fi, dinilai daif oleh mereka.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم خَرَجَ مِنَ
الْخَلَاءِ، فَقُدِّم إِلَيْهِ طَعَامٌ، فَقَالُوا: أَلَا نَأْتِيكَ بوَضُوء
فَقَالَ: "إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى
الصَّلَاةِ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah
menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari
Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. baru
saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka
(para sahabat) menawarkan, "Maukah kami datangkan untukmu air untuk wudu?"
Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya aku diperintahkan
untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan salat.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dari Ahmad ibnu Mani', juga oleh Imam Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
وَرَوَى
مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى
الْخَلَاءَ، ثُمَّ إِنَّهُ رَجَعَ فَأُتِيَ بِطَعَامٍ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَلَا تَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ: "لِمَ؟ أَأُصْلِي فَأَتَوَضَّأُ؟
".
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu
Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan, "Ketika kami berada di rumah Nabi Saw., Nabi Saw. memasuki kakus
dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, 'Wahai
Rasulullah, apakah engkau hendak wudu lebih dahulu?' Rasulullah Saw. menjawab
melalui sabdanya: Aku bukan akan melakukan salat yang karenanya aku harus
wudu.
****
Allah Swt.:
{فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ}
maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6)Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); sebagai dalil bagi mereka yang menyatakan wajib berniat dalam wudu. Karena penjabaran makna firman-Nya: Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); Yakni demi hendak mengerjakan salat. Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab, "Apabila kamu melihat amir, berdirilah” yakni untuk menghormatinya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
"الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى".
Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya
setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut asma Allah Swt. sebagai permulaan wudunya, karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid dari sejumlah sahabat, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا
وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ".
Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi kesunatannya bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِذَا
اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِه، فَلَا يُدخل يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ
أَنْ يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّ أحدَكم لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ
يَدُهُ"
Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum membasuhnya sebanyak
tiga kali. Karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui di
manakah tangannya berada semalam.Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuhnya rambut —dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala)— sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut, menurut ukuran panjangnya.' Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut, apakah termasuk kepala atau muka —dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas— ada dua pendapat.
Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka. Diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"اكْشِفْهَا،
فَإِنَّ اللِّحْيَةَ مِنَ الْوَجْهِ"
Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wajah.Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidakkah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan dengan anak laki-laki remaja yang tumbuh janggutnya, mereka mengatakannya, 'Telah tampak roman mukanya."
Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyelai rambut janggutnya jika tebal.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ،
عَنْ عَامِرِ بْنِ شَقِيقِ بْنِ جَمْرَة، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: رَأَيْتُ
عُثْمَانَ تَوَضَّأَ -فَذَكَرَ الْحَدِيثَ-قَالَ: وَخَلَّلَ اللِّحْيَةَ ثَلَاثًا
حِينَ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ الَّذِي رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang
mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata Khalifah
Usman menyela-nyelai rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh
mukanya. Kemudian ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan
apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abdur Razzaq, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَة الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنَا
أَبُو المَلِيح، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ زَوْرَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ
أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ، يُخَلِّلُ بِهِ
لِحْيَتَهُ، وَقَالَ: "هَكَذَا أَمَرَنِي بِهِ رَبِّي عَزَّ
وَجَلَّ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi'
ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada
kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. apabila
hendak melakukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangannya,
kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nyelai janggutnya
dengan air itu. Dan bersabda: Beginilah cara yang diperintahkan oleh
Tuhanku.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehubungan dengan masalah menyela-nyelai janggut sebuah hadis dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi Saw. Kemudian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha'i dan segolongan dari kalangan tabi'in.
Di dalam berbagai kitab sahih disebutkan dari Nabi Saw. melalui berbagai jalur —juga dalam kitab-kitab lainnya— bahwa Nabi Saw. apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan ber-intinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa'ah ibnu Rafi' Az-Zurqi, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang yang melakukan salatnya tidak baik:
"تَوَضَّأْ
كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ"
Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu!Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah; atau yang diwajibkan hanya istinsyaq, bukan berkumur, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَنْ
تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ"
Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.Menurut riwayat yang lain disebutkan:
"إِذَا
تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي مَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ
لِيَنْتَثِرْ"
Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan
air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah.Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung dengan sedotan yang kuat.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً
مِنْ مَاءٍ فَتَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً فَجَعَلَ
بِهَا هَكَذَا، يَعْنِي أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى، فَغَسَلَ بِهِمَا
وَجْهَهُ. ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ، فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى،
ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى، ثُمَّ مَسَحَ
رَأْسَهُ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ رَشَّ عَلَى رِجْلِهِ
الْيُمْنَى حَتَّى غَسْلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا
رِجْلَهُ الْيُسْرَى، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْنِي يَتَوَضَّأُ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari
Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh
wajahnya, kemudian menciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan
ber-istinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni
menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan untuk
membasuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan untuk
membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan
untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya, lalu mengambil
seciduk air, kemudian ia tuangkan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya
hingga mencucinya bersih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia
gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan, "Beginilah cara
wudu yang pernah kulihat Rasulullah Saw. melakukannya."Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza'i dengan lafaz yang sama.
****
Firman Allah Swt.:
{وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ}
dan kedua tangan kalian sampai siku. (Al-Maidah: 6)Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam firman-Nya:
{وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا
كَبِيرًا}
dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
(An-Nisa: 2)
وَقَدْ
رَوَى الْحَافِظُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَأَبُو بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ، مِنْ طَرِيقِ
الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ
جَدِّهِ، عَنْ جَابِرِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى
مِرْفَقَيْهِ.
Al-Hafiz Ad-Daruqutni dan Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkan melalui jalur
Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari kakeknya,
dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: Rasulullah Saw. apabila melakukan
wudu, memutarkan (meratakan) air ke sekitar kedua sikunya.Akan tetapi, Al-Qasim yang disebut dalam sanad hadis ini hadisnya tidak dapat dipakai, dan kakeknya berpredikat daif.
Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya dengan memulainya dari lengan hingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
مِنْ
حَدِيثِ نُعَيم المُجْمِر، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْن يَوْمَ الْقِيَامَةِ
غُرًّا مُحَجَّلين مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ
يُطِيلَ غُرَّته فَلْيَفْعَلْ".
melalui hadis Na'im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada
hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya karena bekas
air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kalian mampu
memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukannya.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:
عَنْ
قُتَيْبَة، عَنْ خَلَف بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ
أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ خَلِيلِي
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "تَبْلُغُ الحِلْية مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ
يَبْلُغُ الْوُضُوءُ"
dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Abu
Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang
dikasihinya (yakni Nabi Saw.) bersabda: Perhiasan orang mukmin kelak sampai
sebatas yang dicapai oleh air wudunya.
****
Firman Allah Swt.:
{وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ}
dan sapulah kepala kalian. (Al-Maidah: 6)Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab'id; tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, karena ada dua pendapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya merujuk kepada sunnah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
مِنْ
طَرِيقِ مَالِكٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ -وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو
بْنِ يَحْيَى، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ-: هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ:
نَعَمْ، فَدَعَا بِوُضُوءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ
مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَغَسَلَ
وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غسل يديه
مَرَّتَيْنِ
مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا
وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ،
ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ
غَسَلَ رِجْلَيْهِ.
melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa
seorang lelaki bertanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, yaitu kakek Amr
ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi Saw,, "Apakah engkau dapat memperagakan
kepadaku cara wudu Rasulullah Saw.?" Abdullah ibnu Zaid menjawab, "Ya." Lalu ia
meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia
membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali dan berkumur serta ber-istinsyaq
sebanyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan
membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjutnya ia mengusap
kepalanya dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkan kedua telapak
tangannya ke arah depan, kemudian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya
dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas
tengkuknya, kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula,
sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.Di dalam hadis Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. disebutkan hal yang semisal.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu'awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. dengan keterangan yang semisal.
Di dalam hadis-hadis di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadis-hadis ini merupakan keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur'an.
Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun. Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii), sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dinamakan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempunyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap sebagian dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi.
Tetapi kedua belah pihak berhujan dengan hadis Al-Mugirah ibnu Syu'bah yang menceritakan,
تَخَلَّفَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا
قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ: "هَلْ مَعَكَ مَاءٌ؟ " فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ
كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ، ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ
الْجُبَّةِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ
عَلَى مَنْكِبَيْهِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى
الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ...
وَذَكَرَ بَاقِيَ الْحَدِيثِ،
"Nabi Saw. memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya.
Setelah beliau Saw. selesai dari menunaikan hajarnya, beliau bersabda,
'Apakah kamu membawa air?' Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu,
lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud
menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhirnya kedua
tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya
disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan
dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan
sepasang khuff-nya."Kelanjutan hadis ini disebutkan dengan panjang lebar di dalam kitab Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.
Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi Saw. terbatas hanya mengusap pada ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapannya pada bagian kepala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan pengertian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadis lain. Disebutkan bahwa beliau Saw. mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang khuff-nya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap pada bagian luar kain serban.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.
فَقَالَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ: عَنْ مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ
اللَّيْثِيِّ، عَنْ حُمْران بْنِ أَبَانٍ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ
تَوَضَّأَ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ثَلَاثًا فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ مَضْمَضَ
وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى
إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ
بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا، ثُمَّ الْيُسْرَى ثَلَاثًا
مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ
قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ
نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ: "مَنْ تَوَضَّأ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ
صلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحدِّث فِيْهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ ما تقدم من ذنبه
".
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ata ibnu Yazid
Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman
ibnu Affan melakukan wudunya. Ia memulainya dengan menuangkan air pada kedua
telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan
ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali,
membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, dan membasuh
tangan kiri dengan basuhan yang semisal. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu
membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali
pula, sama dengan basuhan yang pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa ta telah
melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah
itu Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini,
lalu ia salat dua rakaat tanpa mengalami hadas pada keduanya, niscaya diampuni
baginya semua dosanya yang terdahulu.Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan melalui riwayat Abdullah ibnu Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Usman, tentang gambaran wudu yang disebut di dalamnya bahwa ia mengusap kepalanya hanya sekali.
Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali r.a. dengan lafaz yang semisal.
Sedangkan orang-orang yang menyunatkan mengulangi usapan atas kepala berpegang kepada pengertian umum hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Usman r.a., bahwa Rasulullah Saw. melakukan (basuhan dan usapan) wudunya masing-masing sebanyak tiga kati.
وَقَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ
بْنُ مَخْلَد، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ وَرْدَان، حَدَّثَنِي أَبُو
سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنِي حُمْرَانُ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ
بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ. -
فَذَكَرَ
نَحْوَهُ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ،-
قَالَ فِيهِ: ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا،
ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ توضأ
هَكَذَا وَقَالَ: "مَنْ تَوَضَّأَ دُونَ هَذَا كَفَاهُ.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna,
telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Wardan, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu
Abdur Rahman, telah menceritakan kepadaku Hamran yang mengatakan bahwa ia
pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudu. Kemudian ia menyebut hadis yang
semisal (dengan hadis di atas), tanpa menyebut berkumur dan istinsyaq.
Hamran menyebutkan di dalamnya bahwa kemudian Usman mengusap kepalanya
sebanyak tiga kali dan membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali pula. Setelah
itu ia berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti ini,
lalu beliau Saw. bersabda: 'Barang siapa yang berwudu seperti ini, sudah
cukuplah baginya'."Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis Usman di dalam kitab-kitab sahih menunjukkan bahwa dia mengusap kepalanya hanya sekali.
****
Firman Allah Swt.:
{وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ}
dan (basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki. (Al-Maidah:
6)Lafaz arjulakum dibaca nasab karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ}
maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian. (Al-Maidah: 6)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: dan (basuh) kaki kalian. (Al-Maidah: 6); Ia mengatakan bahwa makna ayat ini dikembalikan kepada membasuh.
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Urwah, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, Ibrahim, Ad-Dahhak, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, dan Ibrahim At-Taiini hal yang semisal.
Qiraah ini jelas, maknanya menunjukkan wajib membasuh, seperti apa yang dikatakan oleh ulama Salaf. Berangkat dari pengertian ini ada sebagian orang yang berpendapat wajib tertib dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat berbeda karena ia tidak mensyaratkan adanya tertib ini. Karena itu, seandainya seseorang membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu mengusap kepala; dan membasuh kedua tangan, kemudian membasuh wajah, menurutnya sudah cukup; karena ayat ini memerintahkan agar anggota-anggota tersebut dibasuh, dan huruf wawu bukan menunjukkan makna tertib.
Jumhur ulama dalam membantah pendapat ini mengemukakan suatu pembahasan menurut caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian wajah saat hendak mengerjakan salat, karena perintahnya memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta'qib pengertiannya identik dengan tertib (yakni berurutan). Tidak ada seorang pun yang mengatakan wajib membasuh muka pada permulaannya, kemudian tidak wajib tertib pada basuhan berikutnya. Bahkan hanya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan wajib tertib seperti yang disebutkan oleh ayat, dan pendapat lainnya mengatakan tidak wajib tertib secara mutlak. Padahal makna ayat menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian muka; diwajibkan tertib pada berikutnya menurut kesepakatan ulama, mengingat tidak ada bedanya.
Di antara mereka ada yang berpendapat, "Kami tidak menerima bahwa huruf wawu tidak menunjukkan kepada pengertian tertib, bahkan huruf wawu memang menunjukkan pengertian tertib, seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama nahwu dan ahli bahasa (saraf) serta sebagian kalangan ulama fiqih. Kemudian kata mereka, 'Seandainya kita hipotesiskan huruf wawu di sini tidak menunjukkan makna tertib secara lugawi (bahasa), maka ia masih menunjukkan makna tertib menurut pengertian syara' dalam hal yang seharusnya berurutan'."
Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang menceritakan bahwa setelah Nabi Saw. melakukan tawaf di Baitullah, beliau keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya:
{إِنَّ
الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar-syiar Allah.
(Al-Baqarah: 158)Kemudian Nabi Saw. bersabda:
"أَبْدَأُ
بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Aku memulai dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh
Allah.Lafaz hadis menurut apa yang ada pada Imam Muslim. Sedangkan menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut:
"ابْدَءُوا
بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Mulailah oleh kalian dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh
Allah.Ini merupakan kata perintah, dan sanad hadisnya sahih, maka hal ini menunjukkan wajib memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan pengertian tertib menurut syara'.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa setelah Allah menyebutkan dalam ayat ini suatu gambaran yang menunjukkan pengertian tertib pada mulanya, lalu hal-hal yang sama diputuskan, kemudian disisipkan hal-hal yang diusap di antara dua hal yang dibasuh; hal ini jelas menunjukkan kepada pengertian tertib.
Di antara mereka ada ulama yang mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa Imam Abu Daud telah meriwayatkan, juga yang lain-lainnya,
مِنْ
طَرِيقِ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا
وُضُوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ"
melalui jalur Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Saw. pernah melakukan wudu dengan basuhan dan sapuan sekali pada masing-masing
anggotanya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Inilah wudu yang Allah tidak
mau menerima salat kecuali dengannya.Mereka mengatakan, masalahnya tidak terlepas adakalanya beliau Saw. melakukan wudu secara berurutan yang berarti wajib tertib, atau beliau lakukan wudu tanpa tertib, berarti tidak wajib tertib; hal ini jelas tidak akan ada orang yang mengatakannya. Dengan demikian, berarti apa yang telah kami sebutkan —yakni tertib— merupakan suatu hal yang wajib dalam wudu.
Mengenai qiraah lain yang membacanya wa-arjulikum dengan dibaca jar, yang menjadikannya sebagai dalil adalah golongan Syi'ah untuk memperkuat pendapat mereka yang mengatakan wajib mengusap kedua kaki. Karena lafaz ini menurut mereka di-'ataf-kan kepada mas-hurra-si (menyapu kepala). Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekatnya, "Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah kepada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudu). Maka ia mengatakan, 'Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta (basuhlah) kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya'." Maka Anas berkata, "Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, 'Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian' (dengan bacaan jar pada lafaz arjulikum)." Tersebutlah bahwa Anas apabila mengusap kedua telapak kakinya, ia membasahinya (dengan air). Sanad asar ini sahih sampai kepada Anas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Mu-ammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim Al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur'an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Sanad asar ini pun sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua usapan (sapuan). Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki. (Al-Maidah: 6); Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Alqamah, Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali, Al-Hasan menurut salah satu riwayat, Jabir ibnu Zaid dan Mujahid menurut salah satu riwayat, hal yang semisal dengan asar di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub yang mengatakan bahwa ia melihat Ikrimah mengusap kedua kakinya. Ia sering mengatakan apa yang dilakukannya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Sa-ib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril turun seraya membawa perintah untuk mengusap (kedua kaki). Kemudian Asy-Sya'bi mengatakan, "Tidakkah engkau perhatikan bahwa tayamum itu dilakukan dengan mengusap anggota yang tadinya (dalam wudu) dibasuh, dan menghapuskan apa yang tadinya disapu (diusap)?"
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ismail yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Amir bahwa orang-orang ada yang mengatakan, "Sesungguhnya Malaikat Jibril turun membawa perintah membasuh (kaki)." Maka Amir menjawab, "Jibril turun dengan membawa perintah mengusap (kaki)." Asar ini garib jiddan (aneh sekali).
Makna yang dimaksud dari usapan ini dapat diinterpretasikan ke dalam pengertian membasuh ringan, karena berdasarkan sunnah yang telah terbukti kesahihannya yang di dalamnya mewajibkan membasuh kedua kaki.
Sesungguhnya bacaan jar ini adakalanya karena faktor berdampingan dan untuk keserasian bacaan, seperti yang terdapat di dalam pepatah orang Arab yang mengatakan, "Juhru dabbin kharibin" (liang biawak yang rusak). Dan sama dengan firman-Nya:
{عَالِيَهُمْ
ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَإِسْتَبْرَقٌ}
Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal.
(Al-Insan: 21)Hal seperti ini berlaku di dalam bahasa Arab, lagi sudah terkenal.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bacaan ini diinterpretasikan mengandung makna mengusap kedua telapak kaki bila memakai khuff, menurut Abu Abdullah Asy-Syafii rahimahullah.
Ada pula yang menginterpretasikannya kepada pengertian membasuh ringan, bukan hanya sekadar mengusap, seperti yang disebutkan di dalam sunnah.
Akan tetapi, bagaimanapun juga hal yang diwajibkan ialah membasuh kedua kaki, sebagai suatu fardu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi karena berdasarkan makna ayat ini dan hadis-hadis yang akan kami kemukakan.
Termasuk dalil yang paling baik yang menunjukkan bahwa mengusap diartikan membasuh ringan adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Al-Baihaqi. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Ali Ar-Rauzabadi, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad ibnu Ahmad ibnu Hamawaih Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad Al-Qalanisi, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Maisarah, bahwa ia pernah mendengar An-Nizal ibnu Sabrah menceritakan sebuah hadis dari Ali ibnu Abu Talib. Disebutkan bahwa Ali ibnu Abu Talib melakukan salat Lohor, kemudian duduk melayani keperluan orang-orang banyak di halaman Masjid Kufah, hingga masuk waktu salat Asar. Kemudian diberikan kepadanya satu kendi air, maka ia mengambil sebagian darinya sekali ambil dengan kedua telapak tangannya, lalu ia gunakan untuk mengusap wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kakinya. Kemudian ia bangkit berdiri dan meminum air yang masih tersisa seraya berdiri.
Khalifah Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang menilai makruh minum sambil berdiri, tetapi sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah melakukan seperti apa yang aku lakukan (yakni minum sambil berdiri)." Ali r.a. berkata, "Inilah wudu orang yang tidak berhadas." Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab sahih, dari Adam yang sebagiannya semakna dengan hadis ini.
Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuff dari kalangan ulama Syi'ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan. Demikian pula pendapat orang yang membolehkan mengusap keduanya; dan membolehkan membasuh keduanya, pendapatnya ini pun keliru.
Orang yang menukil dari Abu Ja'far Ibnu Jarir, bahwa Ibnu Jarir telah mewajibkan membasuh kedua kaki berdasarkan hadis-hadis, dan mewajibkan mengusap keduanya berdasarkan makna ayat. Maka sesungguhnya pengertian ini tidak mencerminkan mazhabnya dalam masalah yang dimaksud. Sesungguhnya apa yang dikatakannya di dalam kitab tafsirnya hanyalah menunjukkan bahwa dia bermaksud mewajibkan menggosok kedua kaki, bukan anggota wudu lainnya, karena keduanya menempel di tanah dan tanah liat serta hal-hal yang kotor lainnya. Karena itu, keduanya wajib digosok untuk menghilangkan apa yang menempel pada keduanya. Akan tetapi, Ibnu Jarir mengungkapkan pengertian menggosok ini dengan kata-kata mengusap, sehingga bagi orang yang tidak merenungkan kata-katanya menyangka bahwa Ibnu Jarir bermaksud menghimpun keduanya sebagai hal yang wajib, yakni membasuh dan menggosoknya. Maka sebagian orang meriwayatkan darinya atas dasar pemahaman yang dangkal itu, karenanya masalah ini dinilai sulit oleh kebanyakan ulama fiqih, sedangkan Ibnu Jarir sendiri dimaafkan. Mengingat tidak ada gunanya menghimpun antara mengusap dan membasuh, baik mencuci ataupun menggosok lebih dahulu, karena pengertian menggosok termasuk ke dalam pengertian membasuh. Sesungguhnya yang dimaksud oleh Ibnu Jarir hanyalah seperti ulasan yang telah kami kemukakan tadi (yakni berupaya menggabungkan antara membasuh dan mengusap).
Kemudian kami renungkan kembali kata-katanya, ternyata dapat kesimpulan baru bahwa dia bermaksud menggabungkan di antara kedua bacaan pada firman-Nya ini antara bacaan wa-arjulikum dibaca jar yang menunjukkan makna mengusap, yakni menggosok; dan bacaan wa-arjulakum dibaca nasab yang menunjukkan pengertian membasuh. Karena itulah ia mewajibkan keduanya karena berpegang kepada penggabungan di antara kedua qiraah tersebut.
Hadis-hadis yang menyebutkan membasuh kedua kaki dan bahwa
membasuh kedua kaki merupakan suatu keharusan
Dalam hadis Amirul Mu’minin Usman, Ali, Ibnu Abbas, Mu'awiyah, Abdullah ibnu
Zaid ibnu Asim, dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
membasuh kedua kaki dalam wudunya, adakalanya dua kali atau tiga kali, menurut
riwayat masing-masing yang berbeda-beda.
وَفِي
حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ قَالَ:
"هَذَا وُضُوء لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ ".
Di dalam hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. melakukan wudu dan di dalamnya beliau membasuh kedua kakinya,
kemudian bersabda: Ini adalah wudu yang Allah tidak mau menerima salat
kecuali dengannya.
وَفِي
الصَّحِيحَيْنِ، مِنْ رِوَايَةِ أَبِي عَوَانة، عَنْ أَبِي بِشْر، عَنْ يُوسُفَ
بْنِ مَاهَك، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: تَخَلَّف عَنَّا رسول الله
صلى الله عليه وسلم في سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فأدرَكَنا وَقَدْ أرْهَقَتْنَا
الصلاةُ، صلاةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى
أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: "أسبِغوا الْوُضُوءَ وَيْلٌ
لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ".
Di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr,
dari Yusuf ibnu Mahik, dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
dalam suatu perjalanan bersama kami berhenti, lalu beliau menyusul kami dan
masuklah waktu salat Asar, yang saat itu kami dalam keadaan lelah. Maka kami
lakukan wudu dan kami mengusap pada kedua kaki kami. Lalu Rasulullah Saw.
berseru dengan sekuat suaranya: Sempurnakanlah wudu, celakalah bagi tumit
yang tidak dibasuh karena akan dibakar oleh neraka.Hal yang sama disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah.
فِي
صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ".
Di dalam Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang
telah bersabda: Sempurnakanlah wudu, celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar
oleh neraka.
وَرَوَى
اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ حَيْوة بْنِ شُرَيْح، عَنْ عُقْبة بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ جُزْءٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "وَيْلٌ للأعْقَاب وبُطون الْأَقْدَامِ مِنَ
النَّارِ".
Al-Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Haiwah ibnu Syuraih, dari Uqbah ibnu
Muslim, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Hirz, bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit dan telapak-telapak kaki
yang dibakar neraka (karena tidak dibasuh).
Imam Baihaqi dan Imam Hakim meriwayatkannya Sanad hadis ini sahih.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ: أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ
أَبِي
كَرْبٍ -أَوْ شُعَيْبَ بْنَ أَبِي كَرْبٍ -قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ -وَهُوَ عَلَى جَمَلٍ -يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "وَيْلٌ لِلْعَرَاقِيبِ مِنَ
النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abi Ishaq, bahwa ia pernah
mendengar Sa'id ibnu Abu Karb atau Syu'aib ibnu Abu Karb yang mengatakan bahwa
ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika berada di atas bukit mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Celakalah bagi
tumit-tumit yang dibakar neraka (karena tidak dibasuh dalam wudu).
وَحَدَّثَنَا
أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، أَخْبَرْنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ أَبِي كَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: رَأَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رِجْل رَجُل مِنَّا مثْل
الدِّرْهَمِ لَمْ يَغْسِلْهُ، فَقَالَ: "وَيْلٌ للعَقِبِ مِنَ
النَّارِ".
Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada
kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Abu Karb, dari Jabir ibnu Abdullah
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah melihat ke arah kaki seorang lelaki
yang padanya terdapat bagian sebesar uang dirham belum terbasuh. Maka beliau
Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam
neraka.Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Sa'id dengan sanad dan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Sa'id ibnu Abu Kuraib, dari Jabir, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ،
حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ؛ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى قَوْمًا يَتَوَضَّئُونَ،
لَمْ يُصِبْ أعْقابهم الماءُ، فَقَالَ: "وَيْلٌ للعَراقِيبِ مِنَ
النَّارِ".
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada
kami Abdus Sammad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari
Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat
suatu kaum sedang melakukan wudu tanpa menuangkan air pada tumit mereka. Maka
beliau Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam
neraka.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَف بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ
عُتْبة، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ مُعَيْقيب
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيْلٌ
لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid,
telah menceritakan kepada kami Ayub ibnu Uqbah, dari Yahya ibnu Kasir, dari Abu
Salamah, dari Mu'aiqib yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا
الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ مُطَرَّح بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زَحْر،
عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ
النَّارِ، وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Abdul A'la, telah
menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Mit-rah ibnu Yazid, dari Ubaidillah
ibnu Zahr, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang
dimasukkan ke dalam neraka.Abu Umamah mengatakan, "Sejak saat itu di dalam masjid tiada seorang pun yang terhormat dan tiada pula seorang pun yang kecil, melainkan kulihat dia membolak-balikkan kedua tumitnya seraya memandang kepada keduanya (untuk memeriksa apakah ada bagian yang belum terbasuh oleh air wudunya)."
حَدَّثَنَا
أَبُو كَرَيْبٍ، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ لَيْثٍ، حَدَّثَنِي
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ -أَوْ عَنْ أَخِي أَبِي
أُمَامَةَ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ
قَوْمًا يَتَوَضَّئُونَ وَفِي عَقِب أَحَدِهِمْ -أَوْ: كَعْبِ أَحَدِهِمْ-مِثْلُ
مَوْضِعِ الدِّرْهَمِ -أَوْ: مَوْضِعِ الظُّفُرِ-لَمْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ، فَقَالَ:
"وَيْلٌ للأعقاب من
النَّارِ".
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Husain, dari Zaidah, dari Lais, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu
Sabit, dari Abu Umamah atau dari saudara lelaki Abu Umamah, bahwa Rasulullah
Saw. memandang ke arah suatu kaum yang sedang mengerjakan salat, sedangkan pada
tumit sese-rang atau mata kaki seseorang dari mereka terdapat bagian sebesar
,iang dirham atau sebesar kuku yang masih belum tersentuh air. Maka Rasulullah
Saw. bersabda: Celakalah basi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam
neraka.Abu Umamah melanjutkan kisahnya, bahwa sesudah itu lelaki tersebut bila melihat sesuatu bagian dari tumitnya yang masih belum terkena air, maka ia mengulangi lagi wudunya.
Segi pengambilan dalil dari hadis-hadis ini jelas. Karena itu, seandainya yang diwajibkan adalah mengusap kedua kaki atau sudah cukup hanya dengan mengusap keduanya, maka niscaya Rasulullah Saw. tidak mengancam orang yang meninggalkan basuhan. Karena mengusap itu tidak dapat menyeluruh ke semua bagian kaki, melainkan hanya seperti apa yang dilakukan terhadap mengusap khuff. Demikianlah analisis yang digunakan oleh Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bantahannya terhadap aliran Syi'ah.
وَقَدْ
رَوَى مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ؛ أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى
قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
"ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ".
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui jalur Abuz Zubair,
dari Jabir, dari Umar ibnul Khattab, bahwa seorang lelaki melakukan wudu, dan
meninggalkan bagian sebesar kuku tanpa terbasuh pada telapak kakinya. Nabi Saw.
melihatnya, maka Nabi Saw. bersabda: Kembalilah dan lakukanlah wudumu dengan
baik.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ: أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الْحَافِظُ، أَخْبَرْنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّاغَانِيُّ حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ،
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ: أَنَّهُ سَمِعَ
قَتَادَةَ بْنَ دِعَامَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ؛ أَنَّ رَجُلًا
جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَوَضَّأَ،
وَتَرَكَ عَلَى قَدَمِهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفُرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ
".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu
Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah
menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, bahwa ia pernah mendengar
Qatadah ibnu Di'amah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik,
bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan telah berwudu, tetapi
ada sebagian dari tumitnya sebesar kuku yang belum terbasuh. Maka Rasulullah
Saw. bersabda kepadanya: Kembalilah dan lakukanlah wudumu dengan
baik.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Harun ibnu Ma'ruf dan Ibnu Majah, dari Harmalah dan Yahya, keduanya dari Ibnu Wahb dengan lafaz yang sama; sanad hadis ini jayyid dan semua perawinya berpredikat siqah. Tetapi Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini tidak dikenal, mereka tidak mengenalnya kecuali Ibnu Wahb. Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Yunus dan Humaid, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah Saw. dan seterusnya sama dengan hadis Qatadah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'-dan, dari salah seorang istri Nabi Saw. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki sedang salat, sedangkan pada bagian luar telapak kakinya terdapat bagian yang kering sebesar uang dirham karena tidak terkena air, maka Rasulullah Saw. memerintahkan kepadanya agar mengulangi wudunya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Baqiyyah,dan dalam hadis riwayatnya ditambahkan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi Saw. agar diulangi lagi oleh lelaki itu adalah wudu dan salatnya. Sanad hadis ini jayyid dan kuat lagi sahih.
Di dalam hadis Hamran dari Usman mengenai gambaran wudu Nabi Saw. disebutkan bahwa Nabi Saw. menyela-nyelai di antara jari jemarinya
Ahlus Sunan meriwayatkan:
مِنْ
حَدِيثِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيط بْنِ صَبرةَ، عَنْ
أَبِيهِ قَالَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوءِ:
فَقَالَ: "أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وخَلِّل بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي
الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا".
melalui hadis Ismail ibnu Kasir, dari Asim ibnu Laqit ibnu Sabrah, dari
ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Wahai Rasulullah, jelaskanlah cara wudu kepadaku." Nabi Saw. bersabda:
Lakukanlah wudu secara merata dan sela-selailah di antara jari jemari dan
lakukanlah istinsyaq dengan kuat, kecuali jika kamu sedang puasa.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، أَبُو عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْمُقْرِي حَدَّثَنَا عِكْرِمة بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا شَدَّادُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الدِّمَشْقِيُّ قَالَ
قَالَ
أَبُو أُمَامَةَ: حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ عَبَسَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ
اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوءِ. قَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَقْرَبُ
وُضُوءُهُ، ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ وَيَنْتَثِرُ
إِلَّا
خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ فَمِهِ وَخَيَاشِيمِهِ مَعَ الْمَاءِ حِينَ يَنْتَثِرُ،
ثُمَّ يَغْسِلُ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ
مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى
الْمِرْفَقَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَنَامِلِهِ،
ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ
مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ كَمَا أَمَرَهُ
اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا قَدَمَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ مَعَ
الْمَاءِ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِالَّذِي هُوَ
لَهُ أَهْلٌ، ثُمَّ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ".
قَالَ
أَبُو أُمَامَةَ: يَا عَمْرُو، انْظُرْ مَا تَقُولُ، سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَيُعْطَى هَذَا الرَّجُلُ كُلَّهُ فِي
مَقَامِهِ؟ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ عَبْسة يَا أَبَا أُمَامَةَ، لَقَدْ كَبُرَتْ
سنِّي، وَرَقَّ عَظْمِي، وَاقْتَرَبَ أَجَلِي، وَمَا بِي حَاجَةٌ أَنْ أَكْذِبَ
عَلَى اللَّهِ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [وَ]
لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، لَقَدْ سَمِعْتُهُ [مِنْهُ] سَبْعَ
مَرَّاتٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullaw ibnu Yazid,
Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar,
telah menceritakan kepada kami Syad-dad ibnu Abdullah Ad-Dimasyqi yang
mengatakan bahwa Abu Umamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Absah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang
wudu (yang baik), maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seseorang
di antara kalian mendekati (akan melakukan) wudunya, lalu ia berkumur
dan ber-istinsyaq dan ber-istinsar (menyedot air untuk membersihkan hidung,
kemudian mengeluarkannya), melainkan gugurlah semua kesalahan
(dosa-dosa)nya dari mulut dan lubang hidungnya bersamaan dengan
air ketika ber-istinsar. Setelah itu ia membasuh wajahnya seperti apa yang
diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah semua dosa wajahnya
dari ujung janggutnya bersamaan dengan air. Kemudian membasuh kedua tangannya
beserta kedua sikunya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua tangannya dari
ujung-ujung jemarinya. Kemudian menyapu kepalanya, melainkan berguguranlah
dosa-dosa kepalanya dari semua ujung rambut bersamaan dengan air. Kemudian
membasuh kedua telapak kakinya berikut kedua mata kakinya seperti apa yang
diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua
telapak kakinya dari ujung jari jemarinya bersamaan dengan air. Setelah itu ia
berdiri dan membaca hamdalah serta pujian kepada Allah dengan pujian yang layak
bagiNya, lalu melakukan salat dua rakaat, melainkan ia bersih dari semua
dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Abu Umamah
berkata, "Hai Amr, perhatikanlah apa yang kamu katakan tadi, apakah kamu
mendengar semuanya dari Rasulullah Saw. Apakah beliau memberi hadis ini
seluruhnya kepada lelaki yang seperti kamu?" Maka Amr ibnu Absah menjawab, "Hai
Abu Umamah, sesungguhnya aku telah berusia lanjut dan semua tulangku sudah
rapuh, usiaku telah di ambang senja. Aku tidak perlu berdusta atas nama Allah
dan atas nama Rasulullah. Seandainya aku tidak mendengar hadis ini dari
Rasulullah Saw. kecuali hanya satu kali atau dua kali atau tiga kali (niscaya
aku tidak akan- menceritakannya). Sesungguhnya aku mendengarnya dari beliau
sebanyak tujuh kali atau lebih dari itu."Sanad hadis ini sahih.
Hadis ini terdapat pula di dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur lain, yang di dalamnya disebutkan seperti berikut:
"ثُمَّ
يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ".
Kemudian ia membasuh kedua telapak kakinya seperti apa yang diperintahkan
oleh Allah kepadanya.Kalimat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuhnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Ishaq As-Subai’i:
عَنِ
الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ
قَالَ: اغْسِلُوا الْقَدَمَيْنِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ كَمَا
أُمِرْتُمْ.
dari Al-Haris, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan: Basuhlah kedua
telapak kaki kalian berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan
kepada kalian.Dari asar ini tampak jelas bahwa makna yang dimaksud di dalam hadis Abdu Khair dari Ali yang menyebutkan:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَش عَلَى قَدَمَيْهِ الْمَاءَ
Bahwa Rasulullah Saw. mencipratkan air pada kedua telapak
kakinya.Saat itu beliau Saw. memakai terompah, lalu beliau menggosok kedua telapak kakinya. Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud adalah basuhan ringan karena kedua telapak kakinya memakai terompah (yakni masih suci). Tetapi tiada yang mencegah bila yang dimaksud ialah membasuh, sedangkan telapak kaki memakai terompah. Hanya saja di dalam hadis ini terkandung bantahan terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan dan terlalu apik dari kalangan orang-orang yang waswas.
Hadis yang sama dikemukakan oleh Ibnu Jarir melalui riwayatnya, dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang menceritakan hadis berikut:
أَتَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطةَ قَوْمٍ فَبَالَ
قَائِمًا، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى
نَعْلَيْهِ
Rasulullah Saw. masuk ke dalam kakus suatu kaum, lalu membuang air seni
seraya berdiri. Setelah itu beliau meminta air, lalu berwudu dan mengusap
sepasang terompahnya.Hadis ini sahih.
Ibnu Jarir membantah hadis ini, bahwa orang-orang yang siqah dan para huffaz meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Nabi Saw. buang air kecil sambil berdiri, kemudian berwudu dan mengusap pada sepasang khuff-nya. Yakni dengan lafaz khuff, bukan na'l (terompah).
Menurut kami, dapat pula digabungkan pengertian keduanya, misalnya Nabi Saw. saat itu memakai khuff dan terompahnya.
Berikut ini hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ شُعْبَة، حَدَّثَنِي يَعْلَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَوْسِ بْنِ أَبِي
أَوْسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Ya'la, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang
menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu dan beliau
menyapu kedua terompahnya, kemudian bangkit untuk salat.
وَقَدْ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مُسَدَّد وَعَبَّادِ بْنِ مُوسَى كِلَاهُمَا، عَنْ
هُشَيْم، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطاء، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَوْسِ بْنِ أَبِي أَوْسٍ
قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطة
قَوْمٌ فَبَالَ، وَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ
وَقَدَمَيْهِ.
Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad dan Abbad ibnu Musa, keduanya dari
Hasyim, dari Ya'la ibnu Ata, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang
menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. mendatangi kakus suatu kaum,
lalu beliau buang air kecil, setelah itu beliau berwudu dan menyapu sepasang
terompahnya dan kedua telapak kakinya.Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Syu'bah dan jalur Hasyim. Kemudian ia mengatakan bahwa makna hadis ini dapat diinterpretasikan dengan pengertian bahwa beliau dalam keadaan tidak berhadas pun melakukan wudunya dengan cara yang sama, karena mustahil bila fardu Allah dan sunnah Rasul-Nya bertentangan atau berlawanan.
Menurut hadis yang sahih dari Nabi Saw., ada perintah yang mengandung pengertian umum menganjurkan membasuh kedua telapak kaki dengan air dalam wudu. Hal ini diriwayatkan melalui penukilan yang cukup banyak lagi memastikan keakuratan periwayatannya sampai kepada beliau serta penyampaiannya.
Mengingat Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuh kedua kaki seperti dalam pengertian qi'raah nasab dan seperti yang diwajibkan pula dalam interpretasi qiraah jar. Hal ini membuat ulama Salaf mempunyai dugaan bahwa ayat ini me-mansukh rukhsah mengusap sepasang khuff. Hal ini memang disebutkan di dalam suatu riwayat dari Ali ibnu Abu Talib, tetapi sanadnya tidak sahih. Mengingat hal yang terbukti darinya menyatakan hal yang berbeda, tidak seperti apa yang mereka duga. Karena sesungguhnya telah terbukti bahwa Nabi Saw. mengusap sepasang khuff-nya sesudah ayat ini diturunkan.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُلاثة، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ البَجَلي قَالَ: أَنَا أَسْلَمْتُ
بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ، وَأَنَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ بَعْدَمَا أَسْلَمْتُ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim,
telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnu Ilasah, dari Abdul
Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali
yang menceritakan: Aku masuk Islam setelah turunnya surat Al-Maidah, dan aku
melihat Rasulullah Saw. mengusap (kedua khuff-nya) sesudah aku masuk
Islam.Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
وَفِي
الصَّحِيحَيْنِ، مِنْ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هَمَّام قَالَ:
بَالَ جَرِيرٌ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، فَقِيلَ: تَفْعَلُ
هَذَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَالَ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ.
قَالَ
الْأَعْمَشُ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: فَكَانَ يُعْجِبُهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ؛ لِأَنَّ
إِسْلَامَ جَرِيرٍ كَانَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Al-A'masy, dari
Ibrahim, dari Hammam, yang menceritakan bahwa Jarir buang air kecil, setelah
itu ia berwudu dan mengusap sepasang khuff-nya. Ketika ditanyakan,
"Mengapa engkau lakukan itu?" Ia menjawab, "Ya, aku pernah melihat Rasulullah
Saw. buang air kecil, lalu berwudu dan mengusap sepasang khuff-nya."
Al-A'masy mengatakan bahwa Ibrahim mengatakan bahwa hadis ini dikagumi di
kalangan mereka (ulama), mengingat Islamnya Jarir sesudah surat Al-Maidah
diturunkan. Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.Terbukti melalui riwayat yang mutawatir dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. mensyariatkan mengusap sepasang khuff, baik melalui sabdanya ataupun perbuatannya, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan keterangan yang lebih rinci menyangkut masalah batasan waktu mengusap, tidak diperlukan mengusap atau hal-hal lain yang menyangkut rinciannya; semua itu diterangkan di dalam bagiannya masing-masing.
Orang-orang Rafidah berpendapat berbeda dalam masalah ini tanpa sandaran dan dalil, bahkan hanya dengan kebodohan dan kesesatan, padahal telah terbukti di dalam kitab Sahih Muslim melalui riwayat Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. Seperti halnya terbukti di dalam kitab Sahihain, dari Ali ibnu Abu Talib r.a., dari Nabi Saw. adanya larangan mengenai nikah mut'ah, tetapi mereka membolehkannya. Demikian pula ayat yang mulia ini menunjukkan wajib membasuh kedua kaki yang diperkuat dengan hadis yang mutawatir melalui perbuatan Rasulullah Saw. yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini. Akan tetapi, mereka (orang-orang Rafidah) bertentangan dengan semuanya itu, padahal mereka dalam waktu yang sama tidak mempunyai dalil yang sahih yang menguatkan pendapatnya.
Demikian pula halnya mereka berbeda dengan para imam dan ulama Salaf dalam memahami pengertian dua mata kaki pada telapak kaki. Menurut mereka, dua mata kaki tersebut terdapat pada punggung telapak kaki. Dengan kata lain, setiap telapak kaki mempunyai satu mata kaki. Padahal menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan dua mata kaki ialah dua buah tulang yang menonjol, terletak pada pergelangan betis dan telapak kaki.
Ar-Rabi' mengatakan,"Asy-Syafii mengatakan bahwa menurut pengetahuannya, tiada seorang pun yang berpendapat berbeda bahwa dua mata kaki yang disebut oleh Allah di dalam Al-Qur’an dalam masalah wudu adalah dua buah tulang menonjol yang menghubungkan persendian betis dan telapak kaki." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Asy-Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh para imam, bahwa setiap telapak kaki mempunyai dua mata kaki, seperti yang dikenal di kalangan semua orang dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sunnah.
Di dalam kitab Sahihain melalui jalur Hamran, dari Usman r.a., disebutkan bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh telapak kaki kanannya berikut dua mata kakinya, kemudian membasuh telapak kaki kirinya seperti telapak kaki kanannya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq dan majzum mengenai hal ini, dan Imam Abu Daud serta Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya:
مِنْ
رِوَايَةِ أَبِي الْقَاسِمِ الْحُسَيْنِيِّ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيِّ، عَنِ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
-ثَلَاثًا-وَاللَّهِ لتقيمُن صُفُوفَكُمْ أَوْ ليخالفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ". قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِق كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ،
وَرُكْبَتِهِ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ، ومَنْكبِه بِمَنْكِبِهِ.
melalui riwayat Abul Qasim Al-Husaini ibnul Haris Al-Jadali, dari An-Nu'man
ibnu Basyir yang menceritakan, "Rasulullah Saw. mengarahkan wajahnya ke arah
kami, lalu bersabda: 'Luruskanlah saf kalian —sebanyak tiga kali—. Demi
Allah, kalian benar-benar meluruskan saf kalian atau kelak Allah benar-benar
akan memecah belah di antara hati kalian'." An-Nu'man ibnu Basyir
mengatakan, "Lalu aku melihat setiap orang menempelkan mata kakinya dengan mata
kaki teman yang ada di sampingnya, lutut dengan lutut temannya, dan pundak
dengan pundak temannya."Lafaz hadis menurut apa yang ada pada Ibnu Khuzaimah.
Suatu hal yang tidak mungkin bila seseorang menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya, melainkan jika yang dimaksud dengan mata kaki adalah tulang yang menonjol pada bagian bawah betis, sehingga menjadi lurus sejajar dengan mata kaki temannya.
Hal ini menunjukkan kebenaran dari apa yang telah kami katakan, yaitu bahwa dua mata kaki adalah dua buah tulang yang menonjol pada pergelangan betis dan telapak kaki, seperti halnya yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah (bukan Rafidah, pent.).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Yahya Al-Haris At-Taimi (yakni Al-Khabir). Dia mengatakan bahwa dia melihat orang-orang yang gugur dari kalangan pasukan Zaid, maka ia menjumpai mata kaki berada pada bagian punggung telapak kaki. Hal ini merupakan hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang Syi'ah sesudah mereka terbunuh, sebagai pembalasan buat mereka karena mereka menentang hal yang hak dan selalu menolak perkara yang hak.
****
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ}
dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian
dan tangan kalian dengan tanah itu. (Al-Maidah: 6)Apa yang disebutkan dalam ayat ini semuanya telah dikemukakan dalam tafsir surat An-Nisa. Oleh karena itu, untuk lebih hematnya tidak kami ulangi lagi dalam tafsir surat ini. Kami telah kemukakan penyebab turunnya ayat tayamum dalam surat An-Nisa.
Tetapi Imam Bukhari dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadis khusus mengenai ayat yang mulia ini.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ
الْحَارِثِ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ: سَقَطَتْ قِلَادَةٌ لِي بِالْبَيْدَاءِ، وَنَحْنُ دَاخِلُونَ
الْمَدِينَةَ، فَأَنَاخَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَنَزَلَ، فثَنَى رَأْسَهُ فِي حِجْري رَاقِدًا، أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ فلَكَزَني
لَكْزَةً شَدِيدَةً، وَقَالَ: حَبَسْت النَّاسَ فِي قِلَادَةٍ، فَبى الموتُ
لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ أَوْجَعَنِي،
ثُمَّ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَيْقَظَ وَحَضَرَتِ
الصُّبْحُ، فَالْتَمَسَ الْمَاءَ فَلَمْ يوجَد، فَنَزَلَتْ: {يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} هَذِهِ
الْآيَةُ، فَقَالَ أسَيْد بْنُ الحُضَير لَقَدْ بَارَكَ اللَّهُ لِلنَّاسِ فِيكُمْ
يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ، ما أنتم إلا بركة لهم.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris
bahwa Abdur Rahman ibnul Qasim pernah menceritakan kepadanya, dari ayahnya, dari
Siti Aisyah yang menceritakan, "Kalungku terjatuh di padang pasir, saat itu
kami telah berada di lingkungan kota Madinah. Maka Rasulullah Saw.
memberhentikan unta kendaraannya dan turun. Lalu beliau merebahkan kepalanya di
pangkuanku dan tidur. Kemudian datanglah Abu Bakar dan memukulku dengan pukulan
yang keras seraya berkata, 'Kamulah yang menyebabkan orang-orang tertahan
karena kalung itu.’ Maka aku berharap untuk mati saat itu karena pukulannya
terasa sangat menyakitkan, tetapi aku ingat kepada Rasulullah Saw. yang sedang
tidur di pangkuanku. Tidak lama kemudian Nabi Saw. bangun, dan waktu subuh
masuk. Lalu beliau mencari air, tetapi tidak didapat Maka turunlah firman-Nya:
'Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah muka kalian' (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat." Maka Usaid ibnul
Hudair berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberkati manusia melalui kalian,
hai keluarga Abu Bakar. Kalian tiada lain merupakan berkah bagi mereka."
****
Firman Allah Swt.
{مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ}
Allah tidak hendak menyulitkan kalian. (Al-Maidah: 6)Karena itu, Dia memberikan kemudahan kepada kalian dan tidak menyulitkan kalian, bahkan Dia membolehkan bertayamum bagi orang yang sakit dan di saat air tidak ada, sebagai keluasan dan sebagai rahmat untuk kalian dari-Nya. Dia menjadikan debu sebagai sarana bersuci untuk menggantikan air bagi orang yang tayamum disyariatkan untuknya, kecuali bila dipandang dari beberapa segi, seperti yang dijelaskan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَلَكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ}
tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi
kalian, supaya kalian bersyukur. (Al-Maidah: 6)Yakni supaya kalian mensyukuri nikmat-nikmat-Nya atas kalian dalam hal-hal yang telah disyariatkan-Nya bagi kalian; semuanya mengandung keluasan, belas kasihan, rahmat, kemudahan, dan toleransi buat kalian. Sunnah telah menganjurkan berdoa sesudah wudu sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah menjadikan pelakunya termasuk orang-orang yang bersih, dan sebagai realisasi dari pengamalan ayat yang mulia ini.
Imam Ahmad dan Imam Muslim serta Ahlus Sunan telah meriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan,
كَانَتْ
عَلَيْنَا رِعَايَةُ الْإِبِلِ، فَجَاءَتْ نَوْبَتي فَرَوَّحتها بعَشِيّ،
فَأَدْرَكْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا
يُحَدِّثُ النَّاسَ، فَأَدْرَكْتُ مِنْ قَوْلِهِ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ
فَيُحْسِنُ وُضُوءه، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبلا عَلَيْهِمَا
بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ". قَالَ: قُلْتُ: مَا
أَجُودُ هَذِهِ! فَإِذَا قَائِلٌ بَيْنَ يَدَيَّ يَقُولُ: الَّتِي قَبْلَهَا
أَجْوَدُ مِنْهَا. فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ:
إِنِّي قَدْ رَأَيْتُكَ جِئْتَ آنِفًا قَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ
يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغَ -أَوْ: فَيُسْبِغُ-الْوُضُوءَ، يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، إِلَّا فُتِحَتْ
لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا
شَاءَ".
"Dahulu kami mendapat tugas untuk menggembalakan ternak unta, maka datanglah
giliranku. Pada sore harinya ketika aku hendak mengandangkan ternak unta, aku
berjumpa dengan Rasulullah Saw. yang sedang berdiri dan berbicara kepada
orang-orang. Sabdanya yang sempat kudengar ialah: "Tidak sekali-kali seorang
muslim melakukan wudunya dengan baik, kemudian salat dua rakaat dengan
menghadapkan sepenuh hati dan dirinya (kepada Allah) dalam dua rakaat
itu, melainkan surga merupakan suatu keharusan baginya.' Lalu aku berkata,
'Alangkah baiknya hadis ini.' Tiba-tiba ada seorang yang ada di hadapanku
berkata, 'Hadis sebelumnya jauh lebih baik daripada yang ini.' Ketika kulihat
dia, ternyata dia adalah Umar r.a. Maka Umar r.a. mengatakan bahwa dia telah
melihat kedatanganku tadi, lalu dia menceritakan hadis yang dimaksud, yaitu:
'Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian melakukan wudu, lalu ia
melakukannya dengan penuh kesungguhan atau dengan sempurna, kemudian mengucapkan
doa berikut: Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya; melainkan dibukakan baginya semua pintu surga yang
delapan, dia boleh memasukinya dari pintu mana pun yang disukainya'."
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
قَالَ
مَالِكٌ: عَنْ سُهَيل بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا توَضّأ
الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ -أَوِ: الْمُؤْمِنُ-فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ
كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ: مَعَ آخِرِ
قَطْرِ الْمَاءِ-فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ
بِطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ: مَعَ آخِرِ قطْر الْمَاءِ-فَإِذَا غَسَلَ
رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ:
مَعَ آخِرِ قطْر الْمَاءِ-حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ
الذُّنُوبِ".
Malik meriwayatkan dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Apabila seorang hamba muslim
atau mukmin melakukan wudu, lalu ia membasuh wajahnya, maka keluarlah dari
wajahnya semua dosa yang diakibatkan dari pandangan kedua matanya bersamaan
dengan air, atau bersamaan dengan tetesan terakhir dari airnya. Dan apabila ia
membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari kedua tangannya semua dosa yang
telah dilakukan oleh kedua tangannya bersamaan dengan air atau bersamaan dengan
tetesan terakhir airnya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah
semua dosa yang dijalani oleh kedua kakinya bersamaan dengan air atau bersamaan
dengan tetesan terakhir airnya, hingga ia selesai dari wudunya dalam keadaan
bersih dari semua dosa.Imam Muslim meriwayatkannya dari Abut Tahir, dari Ibnu Wahb, dari Malik dengan lafaz yang sama.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ،
عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ كَعْبِ
بْنِ مُرَّة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا
مِنْ رَجُلٍ يَتَوَضَّأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ -أَوْ: ذِرَاعَيْهِ-إِلَّا خَرَجَتْ
خَطَايَاهُ مِنْهُمَا، فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مَنْ وَجْهِهِ،
فَإِذَا مَسَحَ رَأْسَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رَأَسِهِ، فَإِذَا غَسَلَ
رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Mansur, dari
Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ka'b ibnu Murrah yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki melakukan wudu, lalu
ia membasuh kedua tangan atau kedua lengannya, melainkan keluarlah semua dosa
dari kedua tangannya. Dan apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah semua
dosanya dari wajahnya. Dan apabila ia menyapu (mengusap) kepalanya, maka
keluarlah semua dosanya dari kepalanya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya,
maka keluarlah semua dosanya dari kedua kakinya.Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Ibnu Jarir.
وَقَدْ
رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ، أَوْ كَعْبِ بْنِ مُرَّةَ
السُّلَمِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "وَإِذَا
تَوَضَّأَ الْعَبْدُ فَغَسَلَ يَدَيْهِ، خَرَجَتْ
خَطَايَاهُ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ، وَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ
خَطَايَاهُ
مِنْ وَجْهِهِ، وَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ ذِرَاعَيْهِ،
وَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ
خَطَايَاهُ
مِنْ رِجْلَيْهِ". قَالَ شُعْبَةُ: وَلَمْ يَذْكُرْ مَسْحَ
الرَّأْسِ.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari
Mansur, dari Salim, dari Murrah ibnu Ka'b atau Ka'b ibnu Murrah As-Sulami, dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang hamba berwudu, lalu membasuh
kedua tangannya, maka keluarlah semua dosanya dari celah-celah tangannya. Dan
apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah semua dosanya dari wajahnya. Dan
apabila ia membasuh kedua lengannya, maka berguguranlah semua dosanya dari
kedua lengannya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka berguguranlah semua
dosanya dari kedua kakinya. Syu'bah mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak
disebutkan mengusap kepala. Sanad hadis ini berpredikat sahih.
وَرَوَى
ابْنُ جَرِيرٍ مِنْ طَرِيقِ شَمِر بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، خَرَجَتْ
ذُنُوبُهُ مِنْ سَمْعِهِ وَبَصَرِهِ وَيَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ".
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Syamr ibnu Atiyyah, dari Syahr ibnu
Hausyab, dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa
yang berwudu dan melakukan wudunya dengan baik, kemudian berdiri untuk
mengerjakan salat, maka keluarlah semua dosanya dari telinganya, kedua
tangannya, dan kedua kakinya.
وَرَوَى
مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، مِنْ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ
بْنِ سَلَّامٍ، عَنْ جَدِّهِ مَمْطُورٍ، عَنِ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ؛ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الطَّهور شَطْر
الْإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ
نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرهان، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّة لَكَ أَوْ
عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمعتِقهَا، أَوْ
مُوبِقُهَا".
Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Yahya ibnu
Abu Kasir, dari Zaid ibnu Salam, dari kakeknya (yaitu Mamtur), dari Abu Malik
Al-Asy'ari. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Bersuci adalah sebagian
dari iman, bacaan hamdalah memenuhi timbangan amal (kebaikan), bacaan
Subhanallah dan Allahu Akbar memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi,
puasa adalah tameng, sabar adalah cahaya, zakat adalah bukti, dan Al-Qur'an itu
adalah hujah bagimu atau hujah yang berbalik terhadap dirimu. Semua orang
mengarah kepada menjual dirinya, maka memerdekakannya atau
membinasakannya.
وَفِي
صَحِيحِ مُسْلِمٍ، مِنْ رِوَايَةِ سِمَاك بْنِ حَرْب، عَنْ مُصْعب بْنِ سَعْدٍ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "لا يَقْبَلُ
اللَّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُول، وَلَا صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ".
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui riwayat Sammak ibnu
Harb, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Allah tidak mau menerima sedekah (zakat) dari
hasil korupsi, dan tidak (pula) mau menerima salat tanpa bersuci
(wudu).
وَقَالَ
أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، سَمِعْتُ
أَبَا المَلِيح الهُذَلي يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ:
"إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ صَلَاةً مِنْ غَيْرِ طُهُورٍ، وَلَا صَدَقَةً مِنْ
غُلُول".
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Qatadah; ia pernah mendengar Abul Malih Al-Huzali menceritakan hadis dari
ayahnya, bahwa ayahnya pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu rumah, lalu
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mau menerima
salat tanpa bersuci. dan tidak (pula) mau menerima sedekah (zakat)
dari hasil korupsi.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Imam Nasai, dan Ibnu Majah melalui hadis Syu'bah.
وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ
الصُّدُورِ (7) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (8) وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (9) وَالَّذِينَ
كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (10) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ
قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
(11)
Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan
perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian
mengatakan, "Kami dengar dan kami taati." Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (kalian). Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap
sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan
ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka. Hai orang-orang yang
beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada
kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada
kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari
kalian. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang mukmin itu harus bertawakal.Allah Swt. berfirman mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka dalam syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk mereka, yaitu berupa agama Islam yang agung ini; dan Dia mengutus kepada mereka rasul yang mulia, serta apa yang telah diambil-Nya dari mereka berupa perjanjian dan kesediaan untuk berbaiat kepada rasul, bersedia mengikutinya, menolong dan mendukungnya, menegakkan agamanya dan menerimanya, serta menyampaikannya (kepada orang lain) dari dia. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي
وَاثَقَكُمْ
بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا}
Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah
diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, "Kami dengar dan kami
taati." (Al-Maidah: 7)Baiat inilah yang dimaksud ketika mereka mengucapkannya kepada Rasulullah Saw. saat mereka masuk Islam. Saat itu mereka mengatakan, "Kami berjanji setia kepada Rasulullah Saw. untuk mendengar dan menaatinya dalam keadaan kami sedang bersemangat dan dalam keadaan kami sedang tidak bersemangat Kami mengesampingkan kepentingan pribadi kami dan tidak akan menentang perintah yang dikeluarkan oleh ahlinya," Dan Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَا
لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا
بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Dan mengapa kalian tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul menyeru
kalian supaya beriman kepada Tuhan kalian. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil
perjanjian kalian jika kalian adalah orang-orang yang beriman. (Al-Hadid:
8}Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan peringatan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengambil janji dari mereka bahwa mereka bersedia akan mengikuti Nabi Muhammad Saw. dan taat kepada syariatnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, hal ini merupakan peringatan terhadap anak Adam karena Allah telah mengambil janji dari mereka ketika mereka dikeluarkan oleh Allah dari tulang sulbinya dan mengambil kesaksian dari diri mereka melalui firman-Nya:
{أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا}
"Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172)Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan Muqatil ibnu Hayyan, tetapi pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan As-Saddi, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
****
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Maidah: 7)Hal ini mengukuhkan dan memacu untuk tetap berpegang kepada takwa dalam semua keadaan. Selanjutnya Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati mereka berupa rahasia dan bisikan-bisikan hati. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ}
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi (hati kalian). (Al-Maidah:
8)
***
Firman Allah Swt:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ}
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. (Al-Maidah: 8)Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.
{شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ}
menjadi saksi dengan adil. (Al-Maidah: 8)Maksudnya menegakkan keadilan, bukan kezaliman.
وَقَدْ
ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ:
نَحَلَنِي أَبِي نَحْلا فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى
حَتَّى تُشْهد رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَهُ
لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ: "أُكَلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ "
قَالَ: لَا. قَالَ: "اتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ". وَقَالَ:
"إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْر". قَالَ: فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ
الصَّدَقَةَ.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain dari An-Nu'man ibnu Basyir
yang menceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian
yang berharga. Ibunya bernama Amrah binti Rawwahah berkata, "Aku tidak rela
sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah Saw." Ayahnya datang
menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka
Rasulullah Saw. bertanya: "Apakah semua anakmu diberi hadiah yang semisal?"
Ayahku menjawab, "Tidak." Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Bertakwalah
kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anakmu." Dan Rasulullah
Saw. bersabda pula, "Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman."
An-Nu'man ibnu Basyir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ayahnya pulang dan
mencabut kembali pemberian tersebut darinya.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا}
Dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong
kalian untuk berlaku tidak adil. (Al-Maidah: 8)Artinya, jangan sekali-kali kalian biarkan perasaan benci terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman ataupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
{اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah:
8)Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu meninggalkannya. Fi'il yang ada dalam ayat ini menunjukkan keberadaan masdar yang dijadikan rujukan oleh damir-nya; perihalnya sama dengan hal-hal yang semisal lainnya dalam Al-Qur'an dan lain-lainnya. Sama halnya dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya:
{وَإِنْ
قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}
Dan jika dikatakan kepada kalian.”Kembali (saja)lah" maka hendaklah
kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28}Adapun firman Allah Swt.: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8) Ungkapan ini termasuk ke dalam pemakaian af'alut tafdil di tempat yang tidak terdapat pembandingnya sama sekali. Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah Swt yang lain, yaitu:
{أَصْحَابُ
الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا}
Penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling
indah tempat istirahatnya. (Al-Furqan: 24)Yakni seperti pengertian yang terkandung dalam perkataan seorang wanita dari kalangan sahabat Nabi Saw. kepada Umar r.a., "Kamu lebih kasar dan lebih keras, jauh (bedanya) dengan Rasulullah Saw."
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan. (Al-Maidah: 8)Maksudnya, Dia kelak akan membalas kalian atas apa yang telah Dia ketahui dari amal perbuatan yang kalian kerjakan. Jika amal itu baik, maka balasannya baik; dan jika amal itu buruk, maka balasannya akan buruk pula. Untuk itu selaras dengan pengertian ini disebutkan dalam firman selanjutnya:
{وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ
مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ
عَظِيمٌ}
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal
saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
(Al-Maidah: 9)Yakni ampunan bagi dosa-dosa mereka dan pahala yang besar, yaitu surga yang merupakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Surga tidak dapat diperoleh karena amal perbuatan mereka, melainkan hanya semata-mata sebagai ralimat dan kemurahan dari-Nya; sekalipun penyebab sampainya rahmat tersebut kepada mereka adalah karena amal perbuatan mereka, sebab Allah Swt. sendirilah yang menjadikan penyebab-penyebab untuk memperoleh rahmat, kemurahan, ampunan, dan rida-Nya. Segala sesuatunya dari Allah dan milik Allah, segala puji dan anugerah adalah milik Allah.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَالَّذِينَ
كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu
adalah penghuni neraka. (Al-Maidah: 10)Hal ini merupakan sikap adil dari Allah Swt. dan hikmah serta kepu-tusan-Nya yang tiada kezaliman padanya, bahkan Dia Pemberi keputusan Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana serta Mahakuasa.
Firman Allah Swt.:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ
قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ
عَنْكُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang
diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud memanjangkan
tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan
mereka dari kalian. (Al-Maidah: 11)
قَالَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرْنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ، عَنْ جَابِرٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَزَلَ مَنْزِلًا وتَفَرّق النَّاسُ فِي العضَاه يَسْتَظِلُّونَ تَحْتَهَا،
وَعَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِلَاحَهُ بِشَجَرَةٍ،
فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخَذَهُ فسلَّه، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ قَالَ: "اللَّهُ"! قَالَ
الْأَعْرَابِيُّ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ وَالنَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهُ"! قَالَ: فَشَام
الْأَعْرَابِيُّ السَّيْفَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَصْحَابَهُ فَأَخْبَرَهُمْ خَبَرَ الْأَعْرَابِيِّ، وَهُوَ جَالِسٌ إِلَى جَنْبِهِ
وَلَمْ يُعَاقِبْهُ
-وَقَالَ
مَعْمَرٌ: وَكَانَ قَتَادَةُ يَذْكُرُ نَحْوَ هَذَا، وَذَكَرَ أَنَّ قَوْمًا مِنَ
الْعَرَبِ أَرَادُوا أَنْ يَفْتِكُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَرْسَلُوا هَذَا الْأَعْرَابِيَّ، وَتَأَوَّلَ: {يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ
يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ} الْآيَةَ.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri
yang menceritakannya dari Abu Salamah, dari Jabir, bahwa Nabi Saw. turun
istirahat di suatu tempat peristirahatan, dan orang-orang (para sahabat)
memencar untuk bernaung di bawah pepohonan 'udah, lalu Nabi Saw.
menggantungkan senjata (pedang)nya di sebuah pohon. Lalu datanglah seorang Arab
Badui ke tempat pedang Rasulullah Saw., kemudian ia mengambil pedang itu dan
menghunusnya. Sesudah itu ia datang kepada Nabi Saw., mengancamnya seraya
berkata, "Siapakah yang akan melindungi dirimu dariku?" Nabi Saw. menjawab,
"Allah Swt." Orang Arab Badui itu mengucapkan kata-kata berikut,
"Siapakah yang melindungimu dariku?" (diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali).
Sedangkan Nabi Saw. menjawabnya dengan kalimat, "Allah." Maka tangan
orang Arab Badui itu lumpuh dan pedang terjatuh dari tangannya. Kemudian Nabi
Saw. memanggil para sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang orang Arab
Badui yang duduk di sebelahnya, tetapi Nabi Saw. tidak menghukumnya. Ma'mar
mengatakan bahwa Qatadah menceritakan hal yang semisal, dan ia menyebutkan
bahwa ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab Badui yang bermaksud
membunuh Rasulullah Saw,, lalu mereka mengutus orang Arab Badui itu (salah
seorang dari mereka yang pemberani). Ia menakwilkan dengan pengertian tersebut
akan firman-Nya: ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya)
kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya
kepada kalian (untuk berbuat jahat). (Al-Maidah: 11), hingga akhir ayat.Kisah orang Arab Badui yang bernama Gauras ibnul Haris ini disebutkan di dalam kitab sahih.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian. (Al-Maidah: 11); Demikian itu karena ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Yahudi membuat suatu jamuan makan untuk Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dengan maksud hendak membunuh mereka semua. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya yang memberitahukan perihal rencana kaum Yahudi itu. Maka Nabi Saw. tidak datang ke jamuan makan itu dan hanya memerintahkan kepada para sahabat untuk mendatanginya. Maka mereka datang ke jamuan makan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Malik mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ka'b ibnul Asyraf (pemimpin Yahudi) dan teman-temannya ketika mereka bermaksud melakukan pengkhianatan terhadap Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya; hal ini mereka rencanakan di rumah Ka'b ibnul Asyraf. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, Mujahid, dan Ikrimah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Nadir ketika mereka bermaksud menimpakan batu penggilingan gandum ke tubuh Rasulullah Saw. manakala Rasulullah Saw. datang kepada mereka meminta bantuan berkenaan dengan diat orang-orang Amiriyin. Mereka menyerahkan tugas ini kepada Amr ibnu Jahsy ibnu Ka'b untuk melakukannya, dan mereka memerintahkan kepadanya apabila Nabi Saw. telah duduk di bawah tembok dan mereka berkumpul menemuinya, hendaknya Amr menjatuhkan batu penggilingan gandum itu dari atas tembok tersebut. Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi Saw. makar jahat mereka itu. Akhirnya Nabi Saw. kembali lagi ke Madinah, diikuti oleh para sahabatnya. Berkenaan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:
{وَعَلَى
اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}
dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu bertawakal.
(Al-Maidah: 11)Yaitu barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menutupi semua yang menjadi kesusahannya dan memeliharanya dari kejahatan manusia serta melindunginya. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan agar para sahabat berangkat memerangi mereka. Akhirnya pasukan kaum muslim mengepung mereka dan mengalahkan mereka serta mengusirnya.
وَلَقَدْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ
نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ
وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ
اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ
بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (12) فَبِمَا نَقْضِهِمْ
مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ
تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (13) وَمِنَ
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا
ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
(14)
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil
perjanjian (dari) Bani Israil dan telah
Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku beserta kalian, sesungguhnya jika kalian mendirikan salat dan
menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kalian bantu mereka
dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan
menutupi dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir di
antara kalian sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang
lurus." (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuki mereka,
dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali
sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka
dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik. Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini
orang-orang Nasrani," ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi
peringatan dengannya; maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan
kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka
apa yang selalu mereka kerjakan.Setelah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk menunaikan janji Allah yang telah diambil-Nya atas diri mereka melalui lisan hamba dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw.) dan setelah Allah memerintahkan kepada mereka untuk menegakkan perkara yang hak serta menjadi saksi dengan adil, setelah Allah mengingatkan kepada mereka akan nikmat-nikmat-Nya atas mereka —baik yang lahir maupun yang batin— yaitu Allah telah memberikan petunjuk perkara yang hak kepada mereka dan juga hidayah, maka dalam ayat ini Allah Swt. menerangkan kepada mereka perihal pengambilan janji-Nya atas orang-orang sebelum mereka dari kalangan Ahli Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Disebutkan bahwa setelah orang-orang Ahli Kitab itu melanggar janji Allah, maka hal tersebut membuat mereka dikutuk oleh Allah Swt., dijauhkan dari rahmat-Nya, dan hati mereka dikunci mati agar tidak dapat sampai kepada jalan hidayah dan agama yang hak; jalan menujunya adalah melalui ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَقَدْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ
نَقِيبًا}
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani
Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin.
(Al-Maidah: 12)Yang dimaksud dengan naqib ialah pemimpin atas kabilahnya masing-masing untuk mengajak mereka berbaiat (berjanji setia) untuk tunduk dan taat kepada Allah, rasul, dan kitab-Nya.
Ibnu Abbas menceritakan dari Ibnu Ishaq dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang (dari kalangan bekas Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa hal ini terjadi ketika Nabi Musa a.s. berangkat memerangi orang-orang yang gagah perkasa. Maka Nabi Musa a.s. memerintahkan kepada kaum Bani Israil agar masing-masing kabilah mengangkat seorang naqib (pemimpin).
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, "Tersebutlah bahwa yang menjadi pemimpin kabilah Rubial adalah Syamun ibnu Rakun, kabilah Syam'un dipimpin oleh Syafat ibnu Hirri, kabilah Yahuza dipimpin oleh Kalib ibnu Yufana, kabilah Atyan dipimpin oleh Mikhail ibnu Yusuf, kabilah Yusuf (yakni keturunan Ifrayim) dipimpin oleh Yusya' ibnu Nun, kabilah Bunyamin dipimpin oleh Faltam ibnu Dafun, kabilah Zabulun dipimpin oleh Jaddi ibnu Syura, kabilah Mansya ibnu Yusuf dipimpin oleh Jaddi ibnu Musa, kabilah Dan dipimpin oleh Khamla-il ibnu Haml, kabilah Asyar dipimpin oleh Satur ibnu Mulkil, kabilah Nafsali dipimpin oleh Bahr ibnu Waqsi, dan kabilah Yusakhir dipimpin oleh Layil ibnu Makyad."
Tetapi aku (penulis) melihat di dalam bagian yang keempat dari kitab Taurat terdapat bilangan para naqib Bani Israil dan nama-namanya berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.
Di dalamnya disebutkan bahwa pemimpin Bani Rubial adalah Al-Yasur ibnu Sadun, pemimpin Bani Syam'un adalah Syamuel ibnu Sur Syaki, pernimpin Bani Yahuza adalah Al-Hasyun ibnu Amyazab, pemimpin Bani Yusakhir adalah Syal ibnu Sa'un, pemimpin Bani Zabulun adalah Al-Yab ibnu Halub, pemimpin Bani Ifrayim adalah Mansya ibnu Amanhur, pemimpin Bani Mansya adalah Hamlayail ibnu Yarsun, pemimpin Bani Bunyamin adalah Abyadan ibnu Jad'un, pemimpin Bani Dan adalah Ju'aizar ibnu Amyasyza, pemimpin Bani Asyar adalah Nahalil ibnu Ajran, pemimpin Bani Kan adalah As-Saif ibnu Da'awayil, dan pemimpin Bani Naftali adalah Ajza' ibnu Amyanan.
Demikian pula halnya ketika Rasulullah Saw. membaiat orang-orang Ansar di malam Al-Aqabah. Jumlah mereka adalah dua belas orang pemimpin: Tiga orang dari kabilah Aus; mereka adalah Usaid ibnul Hudair, Sa'd ibnu Khaisamah, dan Rifa'ah ibnu Abdul Munzir, yang menurut suatu pendapat diganti oleh Abul Haisam ibnut Taihan r.a. Sembilan orang dari kalangan kabilah Khazraj; mereka adalah Abu Umamah As'ad ibnu Zurarah, Sa'd ibnur Rabi’, Abdullah ibnu Rawwahah, Rafi' ibnu Malik ibnul Ajian, Al-Barra ibnu Ma'rur, Ubadah ibnus Samit, Sa'd ibnu Ubadah, Abdullah ibnu Amr ibnu Haram, dan Al-Munzir ibnu Umar ibnu Hunaisy radiyallahu anhum.
Jumlah mereka disebutkan oleh Ka'b ibnu Malik dalam syair yang dibuatnya, sebagaimana Ibnu Ishaq pun menyebutkan mereka di dalam syairnya. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka adalah juru penerang atas kabilahnya masing-masing pada malam itu yang menyampaikan perintah Nabi Saw. kepada mereka mengenai hal tersebut. Merekalah yang menangani perjanjian dan baiat kaumnya kepada Nabi Saw. untuk bersedia tunduk dan taat kepadanya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
زَيْدٍ، عَنْ مُجالد، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا
عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَهُوَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ، فَقَالَ لَهُ
رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، هَلْ سَأَلْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمْ يَمْلِكُ هَذِهِ الْأُمَّةَ مِنْ خَلِيفَةٍ؟
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: مَا سَأَلَنِي عَنْهَا أَحَدٌ مُنْذُ قدمتُ الْعِرَاقَ
قَبْلَكَ، ثُمَّ قَالَ: نَعَمْ وَلَقَدْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اثْنَا عَشَرَ كَعِدَّةِ نُقَبَاءَ بَنِي
إِسْرَائِيلَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari
Masruq yang menceritakan, "Ketika kami sedang duduk mendengarkan bacaan
Al-Qur'an yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Mas'ud, tiba-tiba ada seorang
lelaki mengajukan pertanyaan kepadanya, 'Wahai Abu Abdur Rahman, apakah kalian
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. berapa khalifahkah yang dirniliki oleh
umat ini?' Abdullah berkata, 'Belum pernah ada orang yang menanyakan kepadaku
masalah itu sejak aku tiba di Irak, selain kamu.' Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud
berkata, 'Ya, sesungguhnya kami pernah menanyakannya kepada Rasulullah Saw.,
maka beliau Saw. menjawab: Ada dua belas naqib sama dengan para naqib kaum
Bani Israil'."Hadis ini garib bila ditinjau dari segi konteksnya. Asal hadis ini disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Jabir ibnu Samurah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"لَا
يَزَالُ أَمْرُ النَّاسِ مَاضِيًا مَا وَلِيَهُمُ اثْنَا عَشَرَ
رَجُلًا"
Urusan manusia masih tetap lancar selagi mereka diperintah oleh dua belas
orang lelaki.Kemudian Nabi Saw. mengucapkan suatu kalimat yang tidak dapat kudengar dengan baik, lalu aku menanyakan (kepada orang lain) tentang apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka ia menjawab bahwa Nabi Saw. bersabda:
"كُلُّهُمْ
مِنْ قُرَيْشٍ"
Mereka semuanya dari kabilah Quraisy.Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Muslim.
Makna hadis ini mengandung berita gembira yang menyatakan bahwa kelak akan ada dua belas orang khalifah saleh yang menegakkan perkara hak dan bersikap adil di kalangan mereka.
Hal ini tidak memastikan berurutannya mereka, yakni masa-masa pemerintahan mereka. Bahkan terdapat empat orang dari mereka yang berurutan masa pemerintahannya, seperti empat orang Khalifah Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radiyallahu anhum. Di antara mereka ialah Umar ibnu Abdul Aziz, tanpa diragukan lagi menurut para imam, dan sebagian khalifah dari kalangan Banil Abbas. Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum mereka semuanya memerintah, sebagai suatu kepastian.
Menurut lahiriahnya salah seorang dari mereka adalah Imam Mahdi yang diberitakan melalui banyak hadis yang menyebutkan berita gembira kedatangannya. Disebutkan bahwa nama imam ini sama dengan nama Nabi Saw. dan nama ayah Nabi Saw., lalu ia memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kearifan, seperti halnya bumi dipenuhi oleh kezaliman dan keangkara-murkaan sebelumnya.
Akan tetapi, Imam Mahdi ini bukanlah imam yang ditunggu-tunggu kedatangannya —menurut dugaan orang-orang Rafidah, dia akan muncul dari bungker-bungker kota Samara— karena sesungguhnya hal tersebut tidak ada kenyataannya dan tidak ada sama sekali. Bahkan hal tersebut hanyalah merupakan igauan akal-akal yang rendah dan ilusi dari akal yang lemah.
Bukanlah yang dimaksud dengan dua belas orang itu adalah para imam yang jumlahnya dua belas orang menurut keyakinan orang-orang Rafidah (sekte dari Syi'ah). Mereka mengatakan demikian karena kebodohan dan kekurang-akalan mereka.
Di dalam kitab Taurat disebutkan berita gembira mengenai kedatangan Ismail a.s. Allah akan melahirkan dari tulang sulbinya dua belas orang pembesar (pemimpin). Mereka adalah para khalifah yang jumlahnya dua belas orang yang disebutkan di dalam hadis Ibnu Mas'ud dan Jabir ibnu Samurah.
Sebagian orang Yahudi yang telah masuk Islam yang kurang akalnya dan terpengaruh oleh sebagian golongan Syi'ah menduga bahwa mereka adalah para imam yang dua belas orang itu (yang di kalangan Syi'ah lazim disebut "Isna "Asy-ariyah"), sehingga akibatnya banyak dari kalangan mereka yang masuk Syi'ah karena kebodohan dan kedunguan mereka, juga karena minimnya ilmu mereka serta ilmu orang-orang yang mengajari mereka akan hal tersebut tentang sunnah-sunnah yang telah terbukti bersumber dari Nabi Saw.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَ
اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ}
dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kalian." (Al-Maidah:
12)Yakni pemeliharaan-Ku, perlindungan-Ku, dan pertolongan-Ku selalu menyertai kalian.
{لَئِنْ
أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ
بِرُسُلِي}
sesungguhnya jika kalian mendirikan salat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku. (Al-Maidah: 12)Yaitu kalian percaya kepada mereka dalam semua wahyu yang disampaikan oleh mereka kepada kalian.
{وَعَزَّرْتُمُوهُمْ}
dan kalian bantu mereka. (Al-Maidah: 12)Maksudnya, kalian tolong dan kalian dukung mereka dalam membela perkara yang hak.
{وَأَقْرَضْتُمُ
اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا}
dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. (Al-Maidah:
12)Makna yang dimaksud ialah menginfakkan harta di jalan Allah dan jalan yang diridai-Nya.
{لأكَفِّرَنَّ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ}
sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. (Al-Maidah: 12)Yaitu dosa-dosa kalian Kuhapuskan dan Kututupi, Aku tidak akan menghukum kalian karenanya.
{وَلأدْخِلَنَّكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. (Al-Maidah: 12)Artinya, Aku akan menolak dari kalian larangan dan menuntun kalian untuk mencapai apa yang kalian maksudkan.
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ
كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ}
Maka barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah itu, sesungguhnya
ia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 12)Yakni barang siapa yang melanggar perjanjian ini sesudah dijadikan dan dikukuhkan, lalu ia menyimpang dan mengingkarinya, memperlakukannya seperti perlakuan orang yang tidak mengetahuinya, berarti dia telah keliru dari jalan yang jelas, menyimpang dari hidayah menuju ke arah kesesatan.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal siksaan yang akan menimpa mereka yang melanggar perjanjian dengan-Nya dan merusak janji itu. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَبِمَا
نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ}
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuki mereka.
(Al-Maidah: 13)Dengan kata lain, disebabkan mereka merusak janjinya yang telah diambil oleh Allah atas diri mereka, maka Allah mengutuki mereka. Yakni Allah menjauhkan mereka dari perkara yang hak dan mengusir mereka dari jalan hidayah.
{وَجَعَلْنَا
قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً}
dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. (Al-Maidah: 13)Karenanya mereka tidak dapat menyerap nasihat, sebab hati mereka keras dan membeku.
{يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ}
Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya.
(Al-Maidah: 13)Maksudnya, pemahaman mereka telah rusak, sepak terjang mereka sangat buruk terhadap ayat-ayat Allah. Mereka menakwilkan KitabNya dengan penakwilan yang tidak sesuai dengan penurunannya, menginterpretasikannya dengan pengertian yang berlainan dengan makna yang dimaksud, juga mengatakan terhadap Kitab Allah hal-hal yang tidak dikatakan oleh Allah Swt.
{وَنَسُوا
حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ}
dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya. (Al-Maidah: 13)Yakni mereka tidak mau mengamalkannya karena benci terhadapnya. Menurut Al-Hasan, mereka meninggalkan ikatan agamanya dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah atas diri mereka, padahal amal perbuatan tidak akan diterima-Nya kecuali dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban itu.
Sedangkan selain Al-Hasan (Al-Basri) mengatakan bahwa mereka meninggalkan amal saleh sehingga berada dalam keadaan yang amat buruk. Maka hati mereka sakit, fitrah mereka tidak lurus, dan amal perbuatan mereka tidak diterima.
{وَلا
تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ}
dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari
mereka. (Al-Maidah: 13)Yakni tipu muslihat dan makar mereka terhadap dirimu dan para sahabatmu.
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah persekutuan mereka untuk menghancurkan Rasulullah Saw.
{فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاصْفَحْ}
maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. (Al-Maidah: 13)Hal ini merupakan suatu kemenangan dan keberuntungan dalam bentuk yang lain, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, "Imbangilah perbuatan orang yang durhaka kepada Allah terhadap dirimu dengan taat kepada Allah dalam hal tersebut." Dengan demikian, mereka menjadi segan dan malu, mau berdampingan dengan kebenaran, dan mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Maidah:
13)Yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap dirimu.
Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. (Al-Maidah: 13); telah di-mansukh oleh firman Allah Swt. yang mengatakan:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِر
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.
****
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمِنَ
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ}
Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini
orang-orang Nasrani," ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka.
(Al-Maidah: 14)Yakni di antara orang-orang yang mengakui dirinya Nasrani mengikuti Isa ibnu Maryam a.s., padahal kenyataannya mereka tidak demikian; telah kami ambil janji atas diri mereka untuk mengikuti Rasulullah Saw. dan menolongnya, mendukungnya, dan mengikuti jejaknya, mau beriman kepada semua nabi yang telah diutus oleh Allah ke bumi ini. Tetapi mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan kata lain, mereka melanggar dan mengingkari perjanjian tersebut. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
{فَنَسُوا
حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ}
tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka
telah diberi peringatan dengannya, maka Kami timbulkan di antara mereka
permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. (Al-Maidah: 14)Maksudnya, Kami timpakan atas mereka kebencian dan permusuhan di antara mereka, sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain, dan yang demikian itu masih terus berkelanjutan hingga hari kiamat. Demikian pula golongan Nasrani dengan berbagai sekte-sektenya masih senantiasa saling membenci dan saling memusuhi, mengalirkan sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain, dan mengutuk sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain. Setiap sekte dari mereka mengharamkan sekte lainnya dan melarang mereka memasuki tempat peribadatannya. Sekte Malikiyah mengafirkan sekte Ya'qubiyah, demikian pula yang lainnya. Hal yang sama dilakukan oleh sekte Nusturiyah dan Al-Aryusiyah, masing-masing golongan mengafirkan golongan lain di dunia ini hingga hari para saksi bangkit nanti (yakni hari kiamat).
***
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَسَوْفَ
يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}
Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka
kerjakan. (Al-Maidah: 14)Di dalam ayat ini terkandung ancaman dan kecaman yang tegas ditujukan kepada orang-orang Nasrani yang telah melakukan kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan perbuatan mereka yang berani menisbatkan kepada Allah hal-hal yang Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal-hal itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Yaitu mereka menjadikan bagi Allah istri dan anak, Mahatinggi Allah lagi Mahasuci Tuhan Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak diperanakkan, dan tidak beranak, serta tiada seorang pun yang menyerupai-Nya.
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا
كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ
اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ
رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (16)
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada
kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang
kalian sembunyikan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan
kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.Allah Swt. memberitakan perihal diri-Nya Yang Mahamulia, bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad Saw.) dengan membawa hidayah dan agama yang hak kepada seluruh penduduk bumi, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, dan baik yang ummi maupun yang pandai baca tulis. Dia mengutusnya dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan pemisah antara perkara yang hak dan perkara yang batil. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا
كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ}
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami,
menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan
banyak (pula yang) dibiarkannya. (Al-Maidah: 15)Yakni Rasul itu akan menjelaskan hal-hal yang mereka ganti, yang mereka ubah, dan yang mereka takwilkan; mereka dustakan terhadap Allah dalam takwil itu, membiarkan banyak hal yang mereka ubah, tetapi tidak ada faedahnya bila dijelaskan.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nyu melalui hadis Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingkar terhadap hukum rajam, sesungguhnya ia telah ingkar kepada Al-Qur'an tanpa terasa olehnya. Firman Allah Swt.: Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan. (Al-Maidah: 15) Hukum rajam termasuk salah satu yang mereka sembunyikan.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad asar ini sahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada Nabi-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{قَدْ
جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ
رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ}
Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridaan-Nya ke jalan keselamatan, (Al-Maidah: 15-16)Yaitu jalan-jalan keselamatan dan kesejahteraan serta jalan-jalan yang lurus.
{وَيُخْرِجُهُمْ
مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ}
dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah: 16)Maksudnya, menyelamatkan mereka dari kebinasaan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang paling terang, sehingga mereka terhindar dari hal-hal yang dilarang dan dapat meraih urusan-urusan yang disukai mereka, melenyapkan dari mereka kesesalan, dan menunjuki mereka kepada keadaan yang paling baik buat mereka.
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ
فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ (17) وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ
وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ
مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (18)
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam." Katakanlah,
"Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra
Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang yang berada di bumi kesemuanya?
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya.
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu. Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Katakanlah, "Maka mengapa Allah menyiksa kalian
karena dosa-dosa kalian?" (Kalian bukanlah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya), tetapi kalian adalah manusia (biasa) di antara
orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit
dan bumi dan segala apa yang terdapat di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah
kembali (segala sesuatu).Allah Swt. menceritakan perihal kekufuran orang-orang Nasrani karena mereka mendakwakan terhadap diri Al-Masih ibnu Maryam —yang sebenarnya adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah dan salah satu dari makhluk yang diciptakan-Nya— sebagai tuhan. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, bahwa semuanya itu berada di bawah kekuasaan dan pengaruh-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{قُلْ
فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا}
Katakanlah, "Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra
Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang yang berada di bumi kesemuanya?"
(Al-Maidah: 17)Dengan kata lain, seandainya Allah menghendaki hal tersebut, siapakah yang dapat mencegah-Nya dari perbuatan itu, atau siapakah yang mampu memalingkan Allah dari hal tersebut?
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَلِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا
يَشَاءُ}
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang terdapat di
antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Maidah:
17)Semua yang ada ini adalah milik Allah dan makhluk-Nya. Dia Mahakuasa atas apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang mempertanyakan apa yang dilakukan-Nya berkat kekuasaan, pengaruh, keadilan, dan kebesaran-Nya. Makna ayat ini mengandung bantahan terhadap orang-orang Nasrani, semoga laknat Allah yang berturut-turut sampai hari kiamat menimpa mereka. Selanjutnya Allah Swt. berfirman, membantah kedustaan dan kebohongan yang dibuat oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam pengakuannya, yaitu:
{وَقَالَتِ
الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ}
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Majdah: 18)Maksudnya, kami adalah keturunan para nabi-Nya, sedangkan mereka adalah anak-anak-Nya. Dia memperhatikan mereka, karena itu Dia mencintai kami. Telah dinukil pula dari kitab mereka bahwa Allah Swt. berfirman kepada hamba-Nya Israil (Nabi Ya'qub), "Kamu adalah anak pertama-Ku (yakni kesayangan-Ku)." Lalu mereka menakwilkan kalimat ini dengan pengertian yang tidak sebenarnya dan mereka mengubahnya. Mereka dibantah oleh bukan hanya seorang dari kalangan orang-orang pandai mereka yang telah masuk Islam, bahwa kalimat ini diucapkan di kalangan mereka untuk menunjukkan makna menghormat dan memuliakan (bukan seperti yang tertulis). Sama halnya dengan apa yang telah dinukil dari kitab orang-orang Nasrani, bahwa Isa berkata kepada mereka.”Sesungguhnya aku akan pergi menemui Ayahku dan Ayah kalian." Makna yang dimaksud ialah pergi untuk menemui Tuhanku dan Tuhan kalian.
Tetapi kita maklumi semua bahwa orang-orang Yahudi itu tidaklah mendakwakan buat diri mereka status anak seperti yang didakwakan oleh orang-orang Nasrani kepada Isa a.s. Sesungguhnya yang mereka maksudkan dengan kata-kata tersebut hanyalah kehormatan dan kedudukan mereka di sisi-Nya. Karena itu, mereka mengatakan, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya."
Firman Allah Swt. membantah mereka:
{قُلْ
فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ}
Katakanlah, "Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?"
(Al-Maidah: 18)Dengan kata lain, seandainya kalian seperti apa yang kalian dakwakan itu, yakni kalian adalah anak-anak-Nya dan kekasih-kekasih-Nya, mengapa Dia menyiapkan neraka Jahannam buat kalian atas kekufuran kalian dan kedustaan serta kebohongan kalian?
Salah seorang guru tasawwuf pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama fiqih, "Di manakah kamu jumpai di dalam Al-Qur'an bahwa seorang kekasih tidak akan menyiksa orang yang dikasihinya?" Ulama fiqih diam, tidak dapat menjawab. Akhirnya guru tasawwuf itu membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Katakanlah, "Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian?" (Al-Maidah: 18)
Apa yang dikatakan oleh guru tasawwuf ini cukup baik. Apa yang dikatakannya itu mempunyai syahid yang menguatkannya, yaitu di dalam kitab Musnad Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ حُمَيْد، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَصَبِيٍّ فِي
الطَّرِيقِ، فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ
يُوْطَأ، فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ: ابْنَيِ ابْنِي! وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ،
فَقَالَ الْقَوْمُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُلْقِيَ ابْنَهَا
فِي النَّارِ. قَالَ: فَخفَّضَهُم النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: "لَا وَاللَّهِ مَا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid,
dari Anas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Saw. lewat bersama
sejumlah sahabatnya, sedangkan saat itu ada anak kecil berada di tengah jalan.
Ketika ibu si anak melihat kaum datang (yakni Nabi Saw. dan para sahabatnya),
maka si ibu merasa khawatir anaknya akan terinjak oleh kaum. Maka ia lari dan
berkata, "Anakku, anakku," lalu ia mengambil anaknya. Maka kaum bertanya,
"Wahai Rasulullah, ibu ini tidak akan mencampakkan anaknya ke dalam neraka."
Maka Nabi Saw. menahan mereka, lalu bersabda: Tidak, demi Allah, Dia tidak
akan mencampakkan kekasih-Nya ke dalam neraka.Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
*****
{بَلْ
أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ}
Kalian bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kalian
adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya.
(Al-Maidah: 18)Dengan kata lain, kalian sama saja dengan anak Adam lainnya; dan Dialah Yang memberikan kcputusan atas semua hamba-Nya.
{يَغْفِرُ
لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ}
Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya. (Al-Maidah: 18)Yakni Dia Maha Mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya, tiada akibat bagi keputusan-Nya, dan Dia Mahacepat perhitungan-Nya.
{وَلِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا}
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta yang ada di antara
keduanya. (Al-Maidah: 18)Semuanya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan dan pengaruh-Nya.
{وَإِلَيْهِ
الْمَصِيرُ}
Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). (Al-Maidah: 18)Artinya, mereka semuanya akan kembali kepada-Nya dan Dia akan memberikan keputusan hukum terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia Mahaadil yang selamanya tidak zalim.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah kedatangan Nu'-man ibnu Asa. Bahr ibnu Amr, dan Syas ibnu Addi. Lalu mereka berbicara kepadanya dan Rasulullah Saw. berbicara kepada mereka, menyeru mereka kepada Allah dan memperingatkan mereka akan pembalasan-Nya. Mereka mengatakan, "Kamu sama sekali tidak dapat membuat kami takut, hai Muhammad, karena kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya," sama halnya dengan perkataan orang-orang Nasrani. Allah menurunkan ayat berikut berkenaan dengan ucapan mereka itu, yakni firman-Nya: Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Maidah: 18), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut riwayat Imam Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Keduanya telah meriwayatkan pula melalui jalur Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman Allah Swt.: Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Maidah: 18); Mengenai perkataan mereka, "Kami adalah anak-anak Allah," sesungguhnya mereka mengatakan, "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada Israil (yakni Nabi Ya'qub), 'Engkau adalah anak pertama-Ku (kekasihku)'." Maka Allah memasukkan orang-orang Yahudi ke dalam neraka, dan mereka tinggal di dalam neraka selama empat puluh hari untuk dibersihkan dan dihapuskan semua dosanya. Kemudian ada suara yang menyerukan, "Keluarkanlah dari neraka semua orang yang disunat dari kalangan anak-anak Israil!" Lalu mereka dikeluarkan dari neraka. Yang demikian itulah perkataan mereka, "Kami tidak akan dimasukkan ke dalam neraka kecuali hanya beberapa hari yang berbilang."
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ
الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ
جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(19)
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada
kalian Rasul Kami menjelaskan (syariat
Kami) kepada kalian ketika terputus pengiriman) rasul-rasul, agar
kalian tidak mengatakan, "Tidak ada datang kepada kami, baik seorang
pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan." Sesungguhnya telah
datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.Allah Swt. berfirman—ditujukan kepada kaum Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani— bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad Saw. kepada mereka sebagai nabi terakhir, tiada nabi lagi dan tiada pula rasul sesudahnya; dia adalah penutup bagi semua nabi dan rasul. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{عَلَى
فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ}
ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul. (Al-Maidah: 19)Yakni sesudah berlalunya masa yang panjang antara pengangkatan Nabi Muhammad sebagai rasul dan zaman Nabi Isa ibnu Maryam.
Para ulama berselisih pendapat mengenai masa fatrah ini. Menurut Abu Usman An-Nahdi dan Qatadah dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, masa fatrah tersebut adalah 600 tahun.
Menurut riwayat Imam Bukhari, dari Salman Al-Farisi dan Qatadah, fatrah itu selama 560 tahun.
Ma'mar telah mengatakan dari sebagian teman-temannya bahwa fatrah itu adalah 540 tahun.
Menurut Ad-Dahhak, lama fatrah adalah 430 tahun lebih beberapa tahun.
Ibnu Asakir telah menyebutkan di dalam bibliografi Isa a.s., dari Asy-Sya'bi. bahwa Asy-Sya'bi telah mengatakan, "Dari masa pengangkatan Nabi Isa ke langit sampai hijrah Nabi Saw. ke Madinah lamanya 933 tahun."'
Tetapi pendapat yang terkenal adalah pendapat yang pertama tadi, yaitu 600 tahun. Di antara mereka ada yang mengatakan 620 tahun, tetapi pada hakikatnya di antara kedua pendapat ini tidak ada perbedaan; karena pendapat pertama dimaksudkan berdasarkan hitungan tahun Syamsiyyah, sedangkan pendapat kedua berdasarkan perhitungan tahun Qamariyyah. Padahal terdapat perbedaan antara setiap seratus tahun Syamsiyyah dengan seratus tahun Oamariyyah, yaitu tiga tahun. Karena itulah disebutkan di dalam kisah "'As-habul Kahfi" oleh firman-Nya:
{وَلَبِثُوا
فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا}
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan
tahun (lagi). (Al-Kahfi: 25)Yakni berdasarkan perhitungan tahun Qamariyyah, untuk melengkapi hitungan tiga ratus tahun Syamsiyyah yang telah dikenal di kalangan orang-orang Ahli Kitab.
Fatrah yang panjang terjadi antara masa Nabi Isa ibnu Maryam —yang merupakan nabi terakhir dari kalangan kaum Bani Israil— dan Nabi Muhammad —penutup para nabi dari semua anak Adam secara mutlak—, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ
أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ؛ لِأَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَيْنِي
وَبَيْنَهُ
Aku adalah orang yang paling dekat kepada Ibnu Maryam, karena antara dia
dan aku tidak ada seorang nabi pun.Hadis ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang menduga bahwa telah diutus seorang nabi sesudah Isa yang dikenal dengan nama Khalid ibnu Sinan, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Quda'i dan lain-lainnya.
Maksud Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. setelah lama terputusnya pengiriman rasul-rasul adalah agar mereka merasakan bahwa nikmat pengutusannya lebih sempurna dan kedatangannya sangat diperlukan. Dalam masa fatrah tersebut seluruhnya diwarnai zaman yang kelabu, semua agama berubah dari asalnya, dan banyak dilakukan penyembahan terhadap berhala, api serta salib. Kerusakan ini melanda semua negeri, kezaliman dan kebodohan telah memasyarakat di kalangan banyak hamba Allah, sedikit sekali dari mereka yang tetap berpegang kepada sisa-sisa agama para nabi terdahulu; mereka terdiri atas kalangan para rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani serta pendeta-pendeta Sabi-ah.
Sehubungan dengan hal ini, Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ مُطَّرَّف،
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَار المُجَاشِعِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ:
"وَإِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أعلِّمكم مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمني فِي
يَوْمِي هَذَا: كُلُّ مَالٍ نَحَلْته عِبَادِي حَلَالٌ، وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي
حُنَفَاء كلَّهم، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فأضَلَّتْهُم عَنْ
دِينِهِمْ، وحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وأمرَتْهم أَنْ
يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ
وَجَلَّ، نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ، عجَمَهم وعَرَبَهُم، إِلَّا
بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَالَ: إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لِأَبْتَلِيَكَ
وَأَبْتَلِيَ بِكَ، وَأَنْزَلْتُ عَلَيْكَ كِتَابًا لَا يَغْسِلُهُ الْمَاءُ،
تَقْرَؤُهُ نَائِمًا ويَقْظان، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أُحَرِّقَ
قُرَيْشًا، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، إِذَنْ يَثْلَغُوا رَأْسِي فَيَدَعُوهُ خُبْزة،
فَقَالَ: اسْتَخْرِجْهُمْ كَمَا اسْتَخْرَجُوكَ، وَاغْزُهُمْ نُغْزِك، وَأَنْفِقْ
عَلَيْهِمْ فَسَنُنفق عَلَيْكَ، وَابْعَثْ جُنْدًا نَبْعَثُ خَمْسَةَ أَمْثَالِهِ
وَقَاتِلْ بِمَنْ أَطَاعَكَ مَنْ عَصَاكَ، وَأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ: ذُو
سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتصدِّق مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ بِكُلِّ
ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ، وَرَجُلٌ عَفِيف فَقِيرٌ مُتَصَدِّقٌ، وَأَهْلُ النَّارِ
خَمْسَةٌ: الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ لَهُ، الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبْعًا
أَوْ تُبعاء -شَكَّ يَحْيَى-لَا يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا وَالْخَائِنُ
الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ، وَرَجُلٌ لَا
يُصْبِح وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ"،
وَذَكَرَ الْبَخِيلَ أَوِ الْكَذِبَ، "والشِّنْظير: الْفَاحِشُ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan
kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Mutarrif, dari
Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i r.a., bahwa pada suatu hari Nabi Saw. berkhotbah,
antara lain berbunyi sebagai berikut: Dan sesungguhnya Tuhanku telah
memerintahkan aku untuk memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian
ketahui dari apa yang telah diajarkan-Nya kepadaku hari ini, yaitu, "Semua harta
benda yang Aku. berikan kepada hamba-hamba-Ku halal, dan sesungguhnya Aku telah
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang
hak) semuanya. Tetapi sesungguhnya setan datang kepada mereka dan menyesatkan
mereka dari agamanya, dan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan kepada
mereka. Setan pun memerintahkan mereka untuk mempersekutukan Aku, padahal Aku
sekali-kali tidak menurunkan hujah untuk itu." Kemudian Allah Swt. memandang
kepada penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka, baik yangArab maupun yang
'Ajam, kecuali sisa-sisa dari Bani Israil. Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya
Aku mengutusmu hanyalah untuk mengujimu dan menjadikanmu sebagai ujian (buat
mereka). Dan Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak luntur karena
air, kamu membacanya baik dalam keadaan tidur ataupun terjaga." Kemudian
sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku membakar (memerangi)
orang-orang Quraisy, maka aku menjawab, "Wahai Tuhanku, kalau demikian
niscaya mereka akan mengelupas kepalaku dan akan membuatnya seperti adonan
roti." Allah berfirman, "Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.
Perangilah mereka, niscaya Aku akan membantumu. Berinfaklah untuk menghadapi
mereka, niscaya Aku akan menggantikannya kepadamu. Kirimkanlah pasukan, niscaya
Aku akan membantu dengan lima kali lipatnya; dan berperanglah bersama
orang-orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang durhaka
kepadamu." Ahli surga itu ada tiga macam, yaitu penguasa yang adil, bijaksana
lagi dermawan; lelaki yang kasih sayang lagi lembut hatinya kepada setiap
kerabat yang muslim; dan seorang lelaki yang memelihara dirinya dari
meminta-minta, miskin lagi banyak tanggungannya (anak-anaknya). Ahli
neraka itu ada lima macam, yaitu orang lemah yang tiada agamanya, orang-orang
yang berada di antara kalian sebagai pengikut atau selalu mengikut —ragu dari
pihak Yahya— mereka tidak menginginkan punya keluarga dan tidak pula harta,
pengkhianat yang tidak pernah melewatkan suatu kesempatan pun —betapapun
kecilnya pasti dikhianatinya—, dan seorang lelaki yang setiap pagi dan petangnya
tiada lain selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu. Selain itu
disebutkan pula, "Orang yang kikir atau pendusta, dan orang yang buruk
akhlaknya lagi tukang mencaci."Kemudian Imam Ahmad pun meriwayatkannya, demikian pula Imam Muslim serta Imam Nasai melalui berbagai jalur, dari Qatadah, dari Mutarrif ibnu Abdullah ibnusy Syikhkhir.
Di dalam riwayat Syu'bah, dari Qatadah, terdapat penjelasan bahwa Qatadah mendengar hadis ini dari Mutarrif.
Imam Ahmad telah menyebutkan di dalam kitab Musnad-nya bahwa Qatadah tidak mendengarnya dari Mutarrif, melainkan dari empat orang, dari Mutarrif.
Kemudian Qatadah meriwayatkannya pula dari Rauh, dari Auf, dari Hakim Al-Asram, dari Al-Hasan yang telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Mutarrif, dari Iyad ibnu Hammad, lalu ia menyebutkan hadis ini.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Gundar, dari Auf Al-A'rabi dengan lafaz yang sama.
Maksud mengetengahkan hadis ini ialah menyitir kalimat yang mengatakan:
"وَإِنَّ
اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ، عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ
إِلَّا بَقَايَا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ".
Sesungguhnya Allah memperhatikan penduduk bumi, maka Allah murka kepada
mereka semuanya, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, kecuali sisa-sisa dari Bani
Israil.Menurut lafaz Imam Muslim adalah "مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ".”sisa-sisa Ahli Kitab". Dahulu agama masih kabur bagi seluruh penduduk bumi, hingga Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. Maka Allah memberi petunjuk kepada semua makhluk dan mengeluarkan mereka melalui Nabi Muhammad Saw. dari kegelapan menuju ke cahaya yang terang benderang, dan membiarkan mereka berada pada hujah yang jelas dan syariat yang bercahaya Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{أَنْ
تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ}
agar kalian tidak mengatakan, "Tidak ada datang kepada kami baik seorang
pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.”(Al-Maidah:
19)Yakni agar kalian tidak beralasan dan tidak mengatakan, "Hai orang-orang yang mengubah agamanya dan menggantinya, tidak pernah datang kepada kita seorang rasul pun yang membawa berita gembira dengan kebaikan dan memperingatkan kita dari perbuatan jahat." Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, yaitu Nabi Muhammad Saw,
{وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Maidah: 19)Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ini ialah "sesungguhnya Aku berkuasa untuk menghukum orang-orang yang durhaka terhadap-Ku dan berkuasa Untuk memberi pahala orang orang yang taat kepadaKu.
وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ
أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (20) يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ
الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ
فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (21) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا
جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ
يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (22) قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ
يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا
دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (23) قَالُوا
يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ
وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24) قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا
أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ
الْفَاسِقِينَ (25) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً
يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
(26)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai
kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di
antara kalian, dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya
kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara
umat-umat lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena
takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi." Mereka
berkata.”Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah
perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka
keluar darinya. Jika mereka telah keluar darinya, pasti kami akan memasukinya."
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang
keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, "Serbulah mereka melalui pintu gerbang
(kota) itu! Bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan
hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang
yang beriman." Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan
memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah
kamu bersama Tuhanmu; dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya
duduk menanti di sini saja!" Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai
kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan
orang-orang yang fasik itu." Allah berfirman, "(Jika demikian), maka
sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun,
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang
Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang fasik itu.”Allah menceritakan tentang hamba dan Rasul-Nya yang juga merupakan orang yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya, yaitu Nabi Musa ibnu Imran a.s. Kisahnya menyangkut peringatan yang ia sampaikan kepada kaumnya akan nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di tangan mereka, yaitu Allah menghimpunkan bagi mereka kebaikan dunia dan akhirat sekiranya mereka tetap berada pada jalannya yang lurus. Allah Swt. berfirman:
{وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ}
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku,
ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara
kalian." (Al-Maidah: 20)Yakni setiap nabi meninggal dunia, maka bangkitlah di antara kalian nabi lainnya, sejak zaman kakek moyang kalian Nabi Ibrahim sampai masa-masa sesudahnya. Demikianlah keadaan mereka, masih tetap ada nabi-nabi dari kalangan mereka yang menyeru kepada agama Allah dan memperingatkan mereka akan pembalasan-Nya, sehingga diakhiri oleh Nabi Isa ibnu Maryam a.s.
Kemudian Allah memberikan wahyu kepada penutup seluruh para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad ibnu Abdullah yang nasabnya. sampai kepada Nabi Ismail a.s. ibnu Nabi Ibrahim a.s. Dia lebih mulia dan lebih terhormat daripada para nabi sebelumnya
Firman Allah Swt.:
{وَجَعَلَكُمْ
مُلُوكًا}
dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka (Al-Maidah: 20)Istilah muluk menurut apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Mansur, dari Al-Hakam atau lainnya, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna "Dan Dia menjadikan kalian muluk" ialah mempunyai pelayan, istri, dan rumah.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis As-Sauri pula, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "muluk" ialah istri dan pelayan.
{وَآتَاكُمْ
مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Dan Dia telah memberikan kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya
kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud ialah umat-umat lain yang ada semasa mereka. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil apabila telah mempunyai istri, pelayan, dan rumah tempat tinggal, maka ia dinamakan malik (raja).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la. telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Hambali mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As ketika ditanya oleh seorang lelaki, "Bukankah kita termasuk orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin?" Lalu Abdullah ibnu Amr ibnul As balik bertanya, "Bukankah kamu mempunyai istri yang menjadi teman hidupmu?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr bertanya lagi, "Bukankah kamu punya rumah tempat tinggal?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr berkata, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya." Lelaki itu berkata, "Aku mempunyai pelayan." Abdullah ibnu Amr menjawab, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya."
Al-Hasan Al-Bashri telah mengatakan bahwa raja itu tiada lain hanyalah seseorang yang mempunyai kendaraan, pelayan, dan rumah.
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang semisal, dari Al-Hakam, Mujahid, Mansur, dan Sufyan As-Sauri.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Maimun ibnu Mahran; Ibnu Syaizab telah mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan Bani Israil apabila memiliki rumah dan pelayan serta untuk bersua dengannya harus melalui penjaga, maka dia adalah seorang raja
Qatadah mengatakan, orang-orang Bani Israil adalah orang-orang yang mula-mula menggunakan pelayan.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Dia menjadikan kalian orang-orang yang merdeka. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud ialah "bila seseorang dari kalian telah memiliki dirinya, memiliki harta benda, dan mempunyai istri". Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: ذَكَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَة، عَنْ دَرَاج، عَنْ أَبِي
الهَيْثَم، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كَانَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ
خَادِمٌ وَدَابَّةٌ وَامْرَأَةٌ، كُتِب مَلِكًا".
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah,
dari Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda: Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari
mereka mempunyai pelayan, kendaraan, dan istri, maka ia dicatat sebagai seorang
raja.Dari segi teksnya hadis ini berpredikat garib.
قَالَ
ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَة
أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، [قَالَ] سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمٍ يَقُولُ:
{وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا} فَلَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ كَانَ لَهُ بَيْتٌ وَخَادِمٌ
فَهُوَ مَلِكٌ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Bakkar,
telah menceritakan kepada kami Abu Damrah Anas ibnu Iyad. bahwa ia pernah
mendengar Zaid ibnu Aslam berkata menafsirkan makna firman-Nya, "Dan Dia
menjadikan kalian orang-orang merdeka" (Al-Maidah: 20). Maka tiada yang
dikatakannya kecuali hanya mengetengahkan hadis bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Barang siapa yang mempunyai rumah dan pelayan, maka dia adalah
raja. Hadis ini mursal lagi garib. Menurut Malik, yang dimaksud dengan raja ialah orang yang memiliki rumah, pelayan, dan istri. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِربه، عِنْدَهُ قُوت
يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزت لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا".
Barang siapa yang berpagi hari dari kalian dalam keadaan diberi kesehatan
pada tubuhnya dan aman dijalannya, serta ia memiliki makanan untuk hari itu,
maka seakan-akan dunia dan seisinya telah diraih olehnya.
****
Firman Allah Swt.:
{وَآتَاكُمْ
مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya
kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)Yakni orang-orang yang alim di masa kalian. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling mulia di zamannya, lebih mulia daripada orang-orang Yunani, orang-orang Egypt, dan bangsa-bangsa lain dari anak Adam. seperti yang disebutkan oleh ayat lain:
{وَلَقَدْ
آتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى
الْعَالَمِينَ}
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab
(Taurat), kekuasaan, dan kenabian; dan Kami berikan kepada mereka
rezeki-rezeki yang baik, dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada
masanya). (Al-Jatsiyah: 16)Allah Swt. berfirman,menceritakan perihal Musa a.s. ketika umatnya mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{اجْعَلْ
لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ. إِنَّ
هَؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. قَالَ
أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى
الْعَالَمِينَ}
Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka
mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab, "Sesungguhnya kalian
ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)." Sesungguhnya
mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang
selalu mereka kerjakan. Musa menjawab, "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kalian
yang selain dari Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala
umat.” (Al-A'raf: 138-140)Yang kami maksudkan ialah "mereka adalah orang-orang yang paling unggul di masanya", karena sesungguhnya umat ini lebih mulia daripada mereka dan lebih utama di sisi Allah, syariatnya lebih sempurna dan jalannya lebih lurus, nabinya lebih mulia, kerajaannya lebih besar, rezekinya lebih berlimpah, harta dan anaknya lebih banyak, serta kerajaannya lebih luas dan kejayaannya lebih kekal. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ}
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam)
umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia. (Al-Baqarah: 143)Kami telah mengetengahkan hadis-hadis yang mutawatir menceritakan perihal keutamaan umat ini dan kemuliaan serta kehormatannya di sisi Allah, yaitu pada tafsir firman-Nya:
{كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ}
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (Ali Imran:
110)Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Malik serta Sa'id ibnu Jubair, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud dengan lafaz al- 'alamina adalah umat Muhammad Saw.
Seakan-akan mereka bertiga bermaksud bahwa khitab dalam firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun. (Al-Maidah: 20) menyertakan pula umat Muhammad. Sedangkan menurut Jumhur ulama, khitab ini dari Musa a.s., ditujukan kepada umatnya; dan makna yang dimaksud adalah orang-orang alim yang sezaman dengan mereka, seperti keterangan yang telah kami kemukakan di atas.
Menurut pendapat yang lain. makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20); Yakni apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada mereka, berupa manna dan salwa dan dinaungi oleh awan serta hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam lainnya yang pernah diberikan kepada mereka oleh Allah Swt. sebagai suatu kekhususan buat mereka.
Kemudian Allah Swt. menceritakan perihal anjuran yang dikeluarkan oleh Musa a.s. kepada Bani Israil untuk berjihad dan memasuki Baitul Muqaddas yang dahulunya adalah milik mereka di masa kakek moyang mereka, yaitu Nabi Ya'aub a.s. Nabi Ya'qub dan anak-anaknya serta semua keluarganya pergi meninggalkannya menuju ke negeri Mesir di masa Nabi Yusuf a.s. Mereka tetap tinggal di Mesir, dan baru keluar meninggalkannya bersama Musa a.s. Tetapi mereka menjumpai di dalam kota Baitul Maqdis suatu kaum dari orang-orang 'Amaliqah (raksasa) yang gagah perkasa, yang telah merebut kota itu dan menguasainya.
Maka utusan Allah —Nabi Musa a.s.— memerintahkan kaum Bani Israil untuk memasuki Baitul Muqaddas dan memerangi musuh mereka serta membangkitkan semangat mereka dengan berita gembira akan mendapat pertolongan dan kemenangan atas musuh mereka. Tetapi mereka membangkang dan durhaka serta tidak mau menuruti perintah nabinya. Akhirnya mereka dihukum oleh Allah dengan hukuman tersesat di padang sahara selama empat puluh tahun; selama itu mereka tidak mengetahui arah manakah yang mereka tempuh dan ke manakah tujuan mereka. Hal tersebut sebagai hukuman terhadap mereka karena mereka menyia-nyiakan perintah Allah Swt. dan tidak mau menaatiNya.
Untuk itu Allah Swt. Berfirman menceritakan perihal Nabi Musa a.s. yang berkata kepada kaumnya:
{يَا
قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ}
“Hai kaumku masuklah ke tanah suci (Palestina).” (Al Maidah: 21)Yakni: Mutahharah ialah "yang suci". Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna tanah suci ini, bahwa yang dimaksud ialah Bukit Tur dan daerah sekitarnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa tanah suci tersebut adalah Ariha. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan mufassirin. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat Ariha bukan kota yang dimaksudkan untuk diserang, bukan pula terletak di tengah perjalanan mereka menuju ke Baitul Maqdis, karena mereka datang dari negeri Mesir ketika Allah telah membinasakan musuh mereka, yaitu Raja Fir'aun; kecuali jika yang dimaksud dengan Ariha adalah Baitul Maqdis, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir darinya. Jadi, yang dimaksud dengan Ariha bukanlah sebuah kota terkenal yang terletak di pinggiran Bukit Tur sebelah tenggara kota Baitul Muqaddas.
Firman Allah Swt.:
{الَّتِي
كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
yang telah ditentukan Allah bagi kalian. (Al-Maidah: 21)Yakni Allah telah menjanjikannya buat kalian melalui lisan kakek moyang kalian —Nabi Ya*qub— bahwa tanah tersebut merupakan warisan bagi orang yang beriman di antara kalian.
{وَلا
تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ}
dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut musuh).
(Al-Maidah: 21)Dengan kata lain, janganlah kalian membangkang untuk berjihad.
{فَتَنْقَلِبُوا
خَاسِرِينَ قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ
نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا
دَاخِلُونَ}
"Maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.”Mereka berkata, "Hai Musa,
sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa,
sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar
darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.”
(Al-Maidah: 21-22)Mereka mengemukakan alasannya, bahwa "di negeri yang engkau perintahkan agar kami memasukinya dan memerangi penduduknya terdapat kaum yang gagah perkasa, memiliki tubuh raksasa yang kuat dan besar, dan sesungguhnya kami tidak mampu melawan mereka dan tidak pula menyerang mereka, serta tidak mungkin bagi kami memasukinya selagi mereka masih bercokol di dalamnya. Jika mereka keluar darinya, niscaya kami akan memasukinya; tetapi jika mereka masih tetap berada di dalamnya, maka tidak ada kekuatan bagi kami untuk mengusir mereka".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Sa'id pernah mengatakan bahwa Ikrimah telah menceritakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan: Musa diperintahkan untuk memasuki kota orang-orang yang gagah perkasa. Maka Musa berjalan bersama dengan orang-orang yang mengikutinya hingga turun istirahat di suatu tempat dekat dengan kota yang dimaksud, yaitu Ariha. Lalu Musa a.s. mengirimkan kepada mereka dua belas orang mata-mata yang berasal dari masing-masing kabilah. Mata-mata itu ditugaskan untuk melihat keadaan dan kekuatan musuh, lalu beritanya disampaikan kepada Nabi Musa a.s. dan pasukannya. Kedua belas orang mata-mata itu memasuki kota tersebut, dan ternyata mereka menyaksikan suatu hal yang hebat sekali. Mereka tertegun kaget melihat keadaan kota dan tubuh para penghuninya yang besar-besar seperti raksasa. Lalu mereka memasuki kebun milik salah seorang penduduk kota itu, tetapi pemilik kebun datang untuk memetik buah dari kebunnya. Kemudian ia memetik buah-buahan, dan ia menjumpai bekas telapak kaki kedua belas orang itu, lalu ia mengikuti dan mengejarnya. Setiap ia berhasil menangkap seseorang dari mereka, ia masukkan ke dalam kantong baju jubahnya bersama buah-buahan yang dipetiknya, hingga ia berhasil menangkap kedua belas orang mata-mata itu. Pemilik kebun itu memasukkan mereka ke dalam suatu kantong, bersama buah-buahan yang telah dipetiknya, lalu ia berangkat menghadap kepada rajanya dan mengeluarkan mereka semua dari kantong itu di hadapan rajanya. Si Raja berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kalian telah melihat keadaan dan kekuatan kami. maka sekarang pulanglah dan beri tahukanlah kepada pemimpin kalian." Maka mereka kembali kepada Musa a.s. dan menceritakan kepadanya semua apa yang telah mereka saksikan perihal musuh mereka.
Akan tetapi, sanad asar ini masih perlu dipertimbangkan.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Musa bersama kaumnya turun istirahat di suatu tempat, maka ia mengirimkan dua belas orang dari mereka yang semuanya adalah para pemimpin kabilah yang telah disebutkan oleh Allah Swt. Maka Musa a.s. mengirimkan mereka dengan tugas untuk membawa berita perihal kekuatan musuh mereka. Kedua belas orang itu berjalan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan salah seorang dari penduduk kota yang gagah perkasa. Maka orang itu memasukkan mereka ke dalam kantong jubahnya dan membawa mereka sampai ke kotanya. Lalu orang itu berseru kepada kaumnya, kemudian kaumnya berkumpul mengelilinginya. Setelah itu mereka (penduduk kota itu) bertanya, "Siapakah kalian ini?" Kedua belas orang itu menjawab, "Kami adalah kaum Nabi Musa, dialah yang mengirimkan kami untuk mencari berita tentang kalian." Maka mereka memberi kedua belas orang itu sebiji buah anggur yang cukup buat makan satu orang, dan mereka berkata, "Pergilah kalian kepada Musa dan kaumnya, dan katakanlah kepada mereka bahwa ini adalah takdir." Maka mereka kembali dengan hati yang sangat takut, Ketika mereka datang kepada Musa, mereka langsung menceritakan apa yang telah mereka saksikan. Ketika Musa memerintahkan mereka untuk memasuki kota itu dan memerangi penduduknya, maka mereka (kaum Musa) berkata, "Hai Musa. pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnul Hadi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdur Rahman yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Anas ibnu Malik memungut sebuah tongkat, lalu ia mengukurnya dengan sesuatu yang panjangnya tidak ia ketahui berapa hasta. Kemudian ia mengukurkannya ke tanah sepanjang lima puluh atau lima puluh lima kali panjang tongkat itu. Lalu ia berkata, "Inilah tinggi kaum 'Amaliqah (raksasa)."
Sehubungan dengan masalah ini banyak kalangan mufassirin yang menceritakan berita-berita buatan Bani Israil mengenai besarnya tubuh kaum yang gagah perkasa itu. Disebutkan bahwa di antara mereka ada seseorang yang dikenal dengan nama Auj ibnu Unuq binti Adam a.s. Konon tingginya adalah tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga hasta, berdasarkan ukuran perhitungan hasta. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat memalukan bila disebutkan, kemudian hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ
اللَّهَ [تَعَالَى] خَلَقَ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ لَمْ يَزَلِ
الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ".
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as. dengan tinggi enam puluh hasta,
kemudian keadaan (tubuh) manusia terus-menerus berkurang hingga
sekarang.Kemudian mereka menyebutkan bahwa Auj ibnu Unuq ini adalah seorang kafir, dia lahir dari hubungan zina, dan menolak menaiki perahu Nabi Nuh a.s. Dikatakan pula bahwa banjir besar tidak sampai sebatas lututnya (karena sangat tingginya); ini merupakan kedustaan dan kebohongan, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menceritakan bahwa Nabi Nuh a.s. mendoakan kebinasaan atas penduduk bumi yang kafir, seperti yang disebutkan melalui firman-Nya:
{رَبِّ
لَا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا}
Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antaraorang-orang
kafir itu tinggal di atas muka bumi (Nuh : 26)
{فَأَنْجَيْنَاهُ
وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ ثُمَّ أَغْرَقْنَا بَعْدُ
الْبَاقِينَ}
Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal
yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang
tinggal. (Asy-Syu'ara: 119-120)
{لَا
عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ}
Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja)
Yang Maha Penyayang. (Hud: 43)Apabila anak Nabi Nuh sendiri yang kafir tenggelam, maka mana mungkin Auj ibnu Unuq yang kafir lagi anak zina itu dapat selamat dan masih hidup? Hal ini jelas bertentangan dengan rasio dan syara' (agama). Kemudian keberadaan seorang lelaki yang bernama Auj ibnu Unuq ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.
*****
Firman Allah Swt.:
{قَالَ
رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا}
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah)
yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya. (Al-Maidah: 23)Ketika kaum Bani Israil menolak untuk taat kepada Allah dan menolak mengikuti rasul-Nya —yaitu Nabi Musa a.s.—, mereka digerakkan oleh dua orang lelaki yang telah mendapat nikmat yang besar dari Allah; keduanya termasuk orang-orang yang taat kepada perintah Allah dan takut terhadap siksaan-Nya.
Sebagian mufassirin ada yang membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut:
{قَالَ
رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يُخَافُونَ}
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang berpengaruh (di
kalangan mereka). (Al-Maidah: 23)dengan dibaca mabni majhul, yakni sebagian dari orang-orang yang mempunyai pengaruh yang besar dan kedudukan di kalangan mereka (Bani Israil). Kedua orang tersebut menurut suatu pendapat bernama Yusya’ ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Kedua orang itu berkata, seperti yang disebutkan
oleh firman-Nya:
{ادْخُلُوا
عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ
فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kalian
memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya
kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah:
23)Yakni jika kalian bertawakal kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya serta mendukung rasul-Nya, niscaya Allah akan menolong kalian terhadap musuh-musuh kalian, Dia akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas musuh-musuh kalian, dan kalian pasti akan memasuki negeri yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian.
Akan tetapi, hal tersebut tidak memberi pengaruh sedikit pun pada mereka, sebagaimana disebutkan oleh firman selanjutnya:
{قَالُوا
يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ
وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُون}
Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya
selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya Karena itu, pergilah kamu bersama
Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja.” (Al-Maidah: 24)Ini merupakan sikap pembangkangan mereka yang tidak mau berjihad dan menentang rasul mereka serta menolak untuk berperang dengan Musuh mereka.
Disebutkan bahwa ketika mereka menolak berjihad dan bertekad untuk berangkat kembali menuju ke negeri Mesir, maka Musa dan Harun sujud (kepada Allah) di hadapan sejumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil karena sangat keberatan dengan apa yang mereka niatkan itu. Kemudian Yusya' ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana merobek bajunya sendiri (sebagai ungkapan kekesalan) dan mencaci kaumnya yang bersikap demikian itu (menolak berjihad). Menurut suatu kisah, mereka (kaum Bani Israil) merajam Yusya' dan Kalib, dan terjadilah suatu peristiwa yang sangat besar serta krisis yang sangat parah.
Sehubungan dengan hal ini, alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh para sahabat radiyallahu 'anhum pada hari Perang Badar kepada Rasulullah Saw., yaitu ketika Rasulullah Saw. meminta pendapat dari mereka untuk berangkat memerangi pasukan kaum musyrik yang datang untuk melindungi kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
Ketika kafilah itu terlepas dari penghadangan mereka, dan pasukan kaum musyrik yang terdiri atas sembilan ratus sampai seribu orang personel berikut semua perbekalan dan persenjataannya mendekat kepada pasukan kaum muslim, maka Abu Bakar r.a. mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapatnya itu baik. Kemudian sebagian dari sahabat yang terdiri atas kalangan kaum Muhajirin mengemukakan pula pendapatnya, sedangkan Rasulullah Saw. sendiri bersabda:
"أَشِيرُوا
عليَّ أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ".
Berikanlah saran-saran kalian kepadaku, hai kaum muslim!Rasulullah Saw. tidak sekali-kali memaklumatkan demikian kecuali untuk memberitahukan kepada para sahabat dari kalangan Ansar, karena hari itu mereka merupakan mayoritas. Maka Sa'd ibnu Mu'az (pemimpin mereka) berkata:
Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau menyindir kami. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau hadapkan kami ke laut ini, lalu engkau memasukinya, niscaya kami pun akan memasukinya pula bersamamu, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari kami. Kami sama sekali tidak segan untuk menghadapi musuh kami besok hari, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang teguh dalam perang dan pantang mundur dalam medan laga. Mudah-mudahan Allah menampakkan kepadamu sikap kami yang akan membuat engkau senang hati, maka bawalah kami dengan berkah dari Allah
Mendengar perkataan Sa’d dan semangatnya yang berkobar untuk menghadapi medan perang, maka hati Rasulullah Saw. menjadi gembira.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Anshari, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. ketika hendak berangkat menuju ke medan Badar bermusyawarah dengan kaum muslim, maka sahabat Umar mengemukakan pendapatnya untuk berangkat. Kemudian Rasulullah Saw. meminta pendapat mereka, maka kaum Ansar berkata.”Hai orang-orang Ansar, sesungguhnya Rasulullah Saw. bermaksud minta pendapat dari kalian!" Maka mereka menjawab, "Kalau demikian, kami tidak akan mengatakan kepadanya seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa dalam firman-Nya: Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja (Al-Maidah: 24) Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau pergi ke jantung pertahanan mereka sampai ke Barkil Gimad niscaya kami akan ikut besertamu.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ubaidah ibnu Humaid, dari Humaid At-Tawil, dari Anas dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Khalid ibnul Haris, dari Humaid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Hibban meriwayatkannya dari Abu Ya'la, dari Abdul A'la ibnu Hammad, dari Ma'mar ibnu Sulaiman, dari Humaid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Al-Hakam ibnu Ayyub, dari Abdullah ibnu Nasikh, dari Atabah ibnu Ubaid As-Sulami yang telah menceritakan bahwa Nabi Saw. berkata kepada para sahabatnya, "Maukah kalian berperang?" Mereka menjawab, "Ya, dan kami tidak akan berkata seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu yang disitir oleh firman-Nya: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja* (Al-Maidah: 24). Tetapi kami akan mengatakan, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu'."
Yang termasuk salah seorang yang memenuhi seruan itu adalah Al-Miqdad ibnu Amr Al-Kindi r.a. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Waki, telah menceritakan kepadaku Sufyan, dari Mukhariq ibnu Abdullah Al-Ahmasi, dari Tariq, yaitu Ibnu Syihab, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Rasulullah Saw. dalam peristiwa Perang Badar, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami pun ikut berperang bersama kamu berdua."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari segi ini.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur lain, bahwa telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir. telah menceritakan kepada kami Israil, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab yang telah menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah menyaksikan suatu sikap Al-Miqdad yang membuat diriku menginginkan seperti apa yang dilakukannya, yaitu ketika Rasulullah Saw. sedang menyeru kaum muslim untuk berperang melawan kaum musyrik, Al-Miqdad datang kepadanya, lalu berkata, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak akan mengatakan seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. (Al-Maidah: 24) Tetapi kami akan ikut berperang di sebelah kanan, di sebelah kiri, di sebelah depan, dan di sebelah belakangmu.' Maka aku melihat wajah Rasulullah Saw. berseri-seri karenanya. Hal itu membuatnya gembira."
Demikian pula Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Magazi dan kitab Tafsir melalui berbagai jalur dari Mukhariq. Lafaz yang diketengahkannya di dalam kitab Tafsir dari Abdullah adalah seperti berikut:
Pada hari Perang Badar, Al-Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Ansar) tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi berangkatlah engkau,dan kami akan bersama denganmu." Maka seakan-akan Al-Miqdad membuat Rasulullah Saw. sangat gembira.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Waki', dari Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Nabi Saw. hingga akhir hadis.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa pada hari Hudaibiyah Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi hewan kurban kaum muslim dan menghalang-halangi antara mereka dan tempat manasiknya: Sesungguhnya aku akan pergi membawa hewan kurban, maka sembelihlah di Baitullah. Maka Al-Miqdad ibnul Aswad berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami tidak akan seperti segolongan orang dari kaum Bani Israil, ketika mereka berkata kepada nabi mereka (Nabi Musa a.s.). yaitu: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu." Ketika para sahabat mendengar hal ini maka mereka mengikuti sikap Al-Miqdad ibnul Aswad.
Hal ini bilamana memang terjadi pada hari Hudaibiyah, maka dapat diartikan bahwa ucapan tersebut pada hari itu kembali diulangi oleh Al-Miqdad sebagaimana yang pernah ia katakan pada hari Perang Badar.
*****
Firman Allah Swt.:
{قَالَ
رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan
saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik
itu." (Al-Maidah: 25)Yakni ketika kaum Bani Israil tidak mau berperang, maka Nabi Musa a.s. marah kepada mereka, dan ia berkata dalam doanya: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. (Al-Maidah: 25)
Dengan kata lain, tiada seorang pun dari mereka yang taat kepadaku, lalu mau mengerjakan perintah Allah dan memenuhi apa yang aku serukan, kecuali hanya aku dan saudaraku Harun.
{فَافْرُقْ
بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.
(Al-Maidah: 25)Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "berilah keputusan antara aku dan mereka". Hal yang sama dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Ad-Dahhak, yakni "berilah keputusan antara kami dan mereka". Sedangkan menurut yang lainnya adalah "pisahkanlah antara kami dengan mereka". Perihalnya sama dengan pengertian yang ada di dalam sebuah bait syair berikut:
يَا
رَبِّ فَافْرُقْ بَيْنَه وبَيْني ...
أَشَدَّ مَا فَرقْت بَيْن اثْنَيْنِ ...
Ya Tuhanku, pisahkanlah antara dia
dengan aku, dengan perpisahan yang amat jauh yang pernah Engkau lakukan
terhadap dua orang.
****
Firman Allah Swt.:
فَإِنَّهَا
مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ
Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh
tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi
(padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26), hingga akhir ayatSetelah Nabi Musa a.s. menyeru mereka untuk berjihad dan mereka menolak, tidak mau berjihad, maka Allah memutuskan bahwa haram bagi mereka memasuki kota itu selama empat puluh tahun. Akhirnya mereka terjebak di padang Tih dan mereka berjalan berputar-putar selama masa tersebut di dalamnya tanpa mengetahui jalan keluarnya.
Di padang Tih itu terjadi banyak hal yang ajaib dan mukjizat-mukjizat, antara lain: Mereka selalu dinaungi oleh awan, diturunkannya manna dan salwa kepada mereka, dan keluarnya air dari benda mati, yaitu sebuah batu yang mereka bawa di atas seekor hewan kendaraan. Apabila Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka mengalirlah darinya dua belas mata air yang memancar, masing-masing kabilah memperoleh sebuah mata air. Terjadi pula mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Musa ibnu Imran.
Di padang Tih itulah kitab Taurat diturunkan, disyariatkan untuk mereka berbagai hukum, serta dibuatkan kubah perjanjian yang dikenal dengan sebutan "Kubah Zaman".
Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan dari Asbag ibnu Zaid, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt. berikut: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (AJ-Maidah: 26), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka tersesat di padang itu selama empat puluh tahun, setiap hari mereka berjalan tanpa ada tempat yang tetap bagi mereka. Kemudian di padang itulah mereka dinaungi oleh awan, dan diturunkan kepada mereka manna dan salwa. Inilah yang disebutkan oleh sebagian dari hadis Futun.
Kemudian pada masa itulah Harun a.s. wafat, selang tiga tahun kemudian Musa as. pun meninggal dunia. Lalu Allah mengangkat Yusya' ibnu Nun sebagai nabi mereka menggantikan Musa ibnu Imran as. Kebanyakan kaum Bani Israil meninggal dunia di masa itu, sehingga dikatakan bahwa tiada seorang pun dari mereka yang tersisa selain Yusya’ ibnu Nun dan Kalib. Berangkat dari pengertian ini sebagian kalangan mufassirin ada yang mengatakan bahwa firman-Nya:
{قَالَ
فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ}
Allah berfirman, "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu
diharamkan atas mereka " (Al-Maidah: 26)Pada ayat ini terdapat waqaf tam (bacaan berhenti atau titik), dan firman-Nya:
{أَرْبَعِينَ
سَنَةً}
selama empat puluh tahun. (Al-Maidah: 26)di-nasab-kan oleh fi'il yang terdapat pada firman-Nya:
{يَتِيهُونَ
فِي الأرْضِ}
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang
Tih) itu. (Al-Maidah: 26)Setelah masa empat puluh tahun berlalu, maka Yusya' ibnu Nun membawa mereka keluar dari padang itu bersama orang-orang yang masih hidup dari mereka atau dengan Bani Israil seluruhnya dari bukit yang berikutnya. Lalu Yusya' ibnu Nun a.s. membawa mereka dengan tujuan Baitul Maqdis, kemudian Yusya' mengepung kota itu, dan akhirnya kota itu berhasil ia jatuhkan pada hari Jumat sesudah asar.
Ketika matahari hampir tenggelam dan Yusya' merasa khawatir akan masuknya hari Sabtu (yang disucikan mereka), maka ia berkata, "Sesungguhnya engkau diperintahkan, aku pun diperintahkan pula. Ya Allah, tahanlah matahari ini untukku." Maka Allah menahannya hingga kemenangan mereka raih secara sempurna.
Allah memerintahkan Yusya' ibnu Nun agar memerintahkan kepada Bani Israil supaya memasuki Baitul Maqdis dari pintu gerbangnya seraya bersujud dan mengucapkan doa Hittah (yakni ampunilah dosa-dosa kami). Tetapi ternyata mereka mengganti semua yang diperintahkan kepada mereka; mereka memasukinya dengan mengesot seraya mengatakan, "Habbah fi sya'rah." Hal ini telah kami terangkan di dalam surat Al-Baqarah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r,a. sehubungan dengan firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26); Bahwa mereka tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun, dan Musa serta Harun wafat di padang itu beserta semua orang yang usianya melampaui empat puluh tahun.
Setelah berlalu masa empat puluh tahun, maka Yusya' ibnu Nun memimpin mereka. Dialah yang memerintah mereka sesudah Musa a.s., dan dialah yang mengalahkan kota Baitul Maqdis, dia pula yang dikatakan kepadanya bahwa hari itu adalah hari Jumat. Ketika mereka hampir saja mengalahkan kota itu dan matahari mendekati ufuk baratnya, maka Yusya' ibnu Nun merasa khawatir bila malam Sabtu masuk, sehingga mereka harus menyucikan hari itu. Lalu ia berseru kepada matahari, "Sesungguhnya aku diperintahkan sebagaimana engkau pun diperintahkan." Maka matahari terhenti hingga Yusya' ibnu Nun menjatuhkan kota itu.
Di dalam kota itu Yusya ibnu Nun menjumpai harta yang berlimpah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian ia memasukkan semua harta ganimah itu ke dalam api, tetapi api tidak mau melahapnya. Maka ia berkata, "Di antara kalian ada orang yang korupsi." Lalu ia memanggil semua pemimpin kabilah yang berjumlah dua belas orang. Kemudian Yusya' membaiat mereka, ternyata tangan seseorang dari mereka ada yang menempel, tidak mau lepas dari tangannya. Maka Yusya' ibnu Nun berkata, "Penggelapan ini terjadi di antara orang-orangmu, maka keluarkanlah barang itu!"
Maka orang yang tangannya menempel itu mengeluarkan sebuah patung kepala sapi dari emas yang kedua matanya terbuat dari batu yaqut dan giginya dari mutiara. Lalu Yusya' ibnu Nun meletakkan patung sapi itu bersama dengan ganimah lainnya yang akan dibakar oleh api, maka saat itu juga api baru mau melahapnya.
Konteks asar ini mempunyai bukti yang menguatkannya di dalam kitab Sahih.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka (Al-Maidah: 26) merupakan 'amil yang berpengaruh pada lafaz arba'ina sanah (empat puluh tahun), dan bahwa mereka tinggal tanpa dapat memasuki Baitul Maqdis selama empat puluh tahun dalam keadaan tersesat di padang sahara tanpa mengetahui arah tujuannya.
Ibnu Jarir mengatakan, setelah itu Nabi Musa a.s. keluar dari padang Tih dan membuka kota Baitul Maqdis bersama dengan Bani Israil. Ibnu Jarir mengatakan demikian dengan berdalilkan kesepakatan pendapat ulama berita-berita umat terdahulu yang mengatakan bahwa Auj ibnu Unuq dibunuh oleh Musa a.s. Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya Musa membunuhnya sebelum ia masuk ke padang Tih, niscaya kaum Bani Israil tidak merasa takut terhadap bangsa 'Amaliqah.
Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa kejadian tersebut sesudah pengembaraan di padang Tih."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa para ulama ahli berita umat terdahulu telah sepakat bahwa Bal'am ibnu Ba'ura membantu kaum yang gagah perkasa untuk melawan Musa a.s. melalui doanya. Ibnu Jarir mengatakan, hal tersebut masih belum terjadi kecuali setelah pengembaraan di padang Tih, karena mereka sebelum itu tidak merasa takut terhadap Musa a.s. dan kaumnya. Demikianlah alasan yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa panjang tongkat Nabi Musa adalah sepuluh hasta, sedangkan tinggi lompatannya sepuluh hasta, dan tinggi tubuhnya sendiri adalah sepuluh hasta. Lalu Nabi Musa a.s. melompat dan memukulkan tongkatnya kepada Auj ibnu Unuq. tetapi yang ia kenai hanya mata kakinya, dan ternyata pukulan itu mematikan Auj ibnu Unuq. Konon tulang (iganya) dijadikan jembatan Sungai Nil selama satu tahun.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Nauf Al-Bakkali yang telah mengatakan bahwa konon tempat tidur Auj ibnu Unuq panjangnya delapan ratus hasta. Tinggi Nabi Musa adalah sepuluh hasta, panjang tongkatnya sepuluh hasta, dan ia melompat ke atas setinggi sepuluh hasta, lalu ia memukul Auj ibnu Unuq dengan tongkatnya, yang ia kenai hanyalah mata kakinya Lalu Auj ibnu Unuq jatuh dan mati, maka (tulangnya) dijadikan oleh orang-orang sebagai jembatan tempat mereka berlalu lalang.
****
Firman Allah Swt.:
{فَلا
تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang
yang fasik itu. (Al-Maidah: 26)Hal ini dimaksudkan untuk menghibur hati Nabi Musa a.s. agar tidak memikirkan mereka. Dengan kata lain, janganlah kamu sesali dan jangan kamu bersedih hati terhadap mereka tentang apa yang telah engkau putuskan atas mereka, karena sesungguhnya mereka berhak untuk mendapat hukuman itu.
Di dalam kisah ini terkandung makna yang mengingatkan orang-orang Yahudi akan masa silam mereka yang penuh dengan kekelaman dan terkandung penjelasan mengenai hal-hal yang memalukan mereka dan pertentangan mereka terhadap Allah dan rasul-Nya, serta pembangkangan mereka kepada keduanya, yakni mereka tidak menaati perintah keduanya yang menganjurkan mereka untuk berjihad. Dan ternyata jiwa mereka lemah, tidak mampu bersabar untuk menghadapi musuh dan memeranginya, padahal di antara mereka terdapat utusan Allah yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan merupakan makhluk pilihan Allah di masa itu. Dia telah menjanjikan pertolongan dan kemenangan bagi mereka atas musuh-musuhnya. Padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang telah dilakukan oleh-Nya terhadap musuh mereka, yaitu Fir'aun, berupa azab-Nya, pembalasan-Nya, dan Fir'aun beserta bala tentaranya ditenggelamkan ke dalam laut oleh-Nya, sedangkan mereka menyaksikan peristiwa itu agar hati mereka tenteram, dan peristiwa tersebut tidaklah jauh dari masa mereka. Akan tetapi, mereka tetap membangkang, tidak mau berperang melawan penduduk Baitul Maqdis; padahal bila dibandingkan dengan penduduk Mesir, tidak ada satu persennya, baik dari segi bilangan penduduknya maupun dari segi perlengkapan senjatanya.
Ternyata keburukan-keburukan perbuatan dan sepak terjang mereka tampak jelas di mata orang-orang tertentu dan juga kalangan awam. Sejarah mereka yang memalukan itu tidak dapat ditutupi, sekalipun oleh gelapnya malam dan tidak dapat disembunyikan. Tetapi ironisnya mereka dalam kebodohannya bergelimangan, dan dalam kesesatannya tiada berkesudahan. Mereka adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah dan dianggap sebagai musuh-musuh-Nya. Tetapi anehnya sekalipun demikian mereka tega mengatakan bahwa dirinya adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Semoga Allah memburukkan wajah mereka yang seharian darinya telah dikutuk oleh Allah menjadi babi dan kera yang hina, dan selalu disertai oleh laknat Allah yang terus-menerus menemani mereka sampai ke neraka yang menyala-nyala. Allah memutuskan keabadian di dalam neraka bagi mereka, dan Allah telah melakukan hal itu. Segala puji bagi Allah dari segala seginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar