Translate

Senin, 03 Oktober 2016

Al-Maidah, ayat 45-63

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya. maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Ayat ini pun termasuk cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan sengaja dan menentang. Mereka menghukum qisas seorang Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat. Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan pada kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan, lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan. Karena itulah disebutkan dalam ayat sebelumnya melalui firman-Nya:
{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturun­kan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)
Karena mereka mengingkari hukum Allah dengan sengaja, menentang, dan telah direncanakan. Sedangkan dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:
{فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)
Karena mereka tidak membela orang yang teraniaya dari orang yang aniaya dalam hal yang diperintahkan oleh Allah agar ia berlaku adil dan menyamakan hak di antara semuanya. Tetapi ternyata mereka menentang perintah Allah ini dan berbuat zalim serta sebagian dari mereka berbuat sewenang-wenang atas sebagian yang lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ali ibnu Yazid (saudara Yunus ibnu Yazid), dari Az-Zuhri, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. membacanya dengan bacaan berikut:
{وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ}
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, sedangkan mata (dibalas) dengan mata. (Al-Maidah: 45)
Yakni dengan me-nasab-kan lafaz on-nafs dan me-rafa'-kan lafaz al- ain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid.
Banyak kalangan ulama ahli usul dan ahli ilmu fiqih yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita juga apabila diulangi kisahnya dan tidak di-mansukh, seperti pendapat yang terkenal dari jumhur ulama; juga seperti apa yang diriwayatkan oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah menurut semua imam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab) dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi selainnya. Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam Syafii dan sebagian besar muridnya, Ia menguatkan pendapat yang mengatakan sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).
Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam ki­tab Asy-Syamil adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang ditunjukkan oleh maknanya.
Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini. Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain disebutkan padanya:
"أَنَّ الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ"
Bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita.

"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) darahnya.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya, terkecuali jika wali si terbunuh membayar separo diat kepada wali si pembunuh; karena diat seorang wanita adalah separo diat lelaki." Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ata, Usman Al-Basti, dan suatu riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."
Imam Abu Hanifah rahimahullah berhujah melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi, dan seorang yang merdeka dibunuh karena membunuh seorang budak.
Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut dengan Abu Hanifah. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.
Adapun sehubungan dengan masalah budak, maka banyak asar yang beraneka ragam dari ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh seorang budak. Banyak hadis yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi predikatnya tidak sahih. Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi) kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis makna ayat yang mulia ini.
Apa yang dikatakan oleh Ibnus Sabbag, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh hadis yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيّ، حَدَّثَنَا حُمَيْد، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ الرُّبَيع عَمّة أَنَسٍ كَسَرَتْ ثَنيَّة جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا إِلَى الْقَوْمِ الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "الْقِصَاصُ". فَقَالَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَنَسُ، كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". قَالَ: فَقَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ. قَالَ: فَرَضِيَ الْقَوْمُ، فَعَفَوْا وَتَرَكُوا الْقِصَاصَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأبَّره".
Disebutkan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' —bibi Anas— pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi' meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak. Kemudian kaum Ar-Rabi" datang kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hukum qisas." Lalu Saudara lelaki Ar-Rabi' —yaitu Anas ibnun Nadr— berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya, "Hai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus­mu dengan benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan hukum qisas-nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.
Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain.
وَقَدْ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُثَنَّى الْأَنْصَارِيُّ، فِي الْجُزْءِ الْمَشْهُورِ مِنْ حَدِيثِهِ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛ أَنَّ الرُّبَيع بِنْتَ النَّضِرِ عَمَّته لَطَمَتْ جَارِيَةً فَكَسَرَتْ ثَنِيَّتَهَا فَعَرَضُوا عَلَيْهِمُ الْأَرْشَ، فَأَبَوْا فَطَلَبُوا الْأَرْشَ وَالْعَفْوَ فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهُمْ بِالْقِصَاصِ، فَجَاءَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَكْسِرُ ثَنِيَّةَ الرَّبِيعِ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تَكْسِرْ ثَنِيَّتَهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". فَعَفَا الْقَوْمُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لِأَبَرَّهُ".
Muhammad ibnu Abdullah ibnul Musanna Al-Ansari telah meriwa­yatkannya di dalam bagian yang terkenal dari kitab hadisnya melalui Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' binti Nadr—bibinya— pernah menampar muka seorang budak perempuan sehingga merontok­kan gigi serinya. Lalu keluarga Ar-Rabi’ menawarkan diat kepada keluarga si budak, tetapi mereka menolak. Kemudian keluarga Ar-Rabi’ mengajukan pembayaran diat dan mohon maaf. tetapi mereka menolak pula. Lalu keluarga si budak datang kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. memerintahkan kepada mereka untuk melakukan hukum qisas. Kemudian datanglah saudara lelaki Ar-Rabi', yaitu Anas ibnun Nadr, yang berkata memohon grasi kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri Ar-Rabi'? Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan hak, saya memohon janganlah engkau merontokkan gigi serinya." Maka Nabi Saw. bersabda: Hai Anas, ketentuan Kitabullah (Al-Qur'an) adalah hukum qisas. Tetapi akhirnya kaum si budak perempuan itu memaafkannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, niscaya Allah memperkenankannya
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafaz yang semisal.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضرة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ غُلَامًا لِأُنَاسٍ فُقَرَاءَ قَطَعَ أُذُنَ غُلَامٍ لِأُنَاسٍ أَغْنِيَاءَ، فَأَتَى أَهْلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا أُنَاسٌ فُقَرَاءُ، فَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ شَيْئًا.
Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak pidana itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadapnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafaz yang sama.
Sanad hadis ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang siqah. Tetapi hadis ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya pelaku tindak pidana ada­lah orang yang usianya belum mencapai balig, maka ia tidak terkena hukum qisas. Dan barangkali Nabi Saw. sendirilah yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum yang miskin untuk diberikan kepada budak kaum yang hartawan, atau barangkali Nabi Saw. sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum yang miskin.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}
dan luka-luka (pun) ada qisas-nya. (Al-Maidah: 45)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain, hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi sebagai hukum qisas.
Dalam ketentuan hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka —baik yang laki-laki maupun yang wanita— disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun sebawahnya. Para budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa atau sebawahnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Pelukaan adakalanya terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi.
Adapun jika pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.
Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi.
Imam Syafii mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Asy-Sya'bi, A]-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berpedoman pada hadis Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang kecuali mengenai gigi.
Tetapi hadis Ar-Rabi' tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi “mematahkan gigi seri seorang budak wanita”. Padahal gigi  dapat tertanggalkan tanpa mengalami patah; maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi.
أَنَّ رَجُلًا ضَرَبَ رَجُلًا عَلَى سَاعِدِهِ بِالسَّيْفِ مِنْ غَيْرِ الْمَفْصِلِ، فَقَطَعَهَا، فَاسْتَعْدَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَ لَهُ بِالدِّيَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُريد الْقِصَاصَ. فَقَالَ: "خُذِ الدِّيَةَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا". وَلَمْ يَقْضِ لَهُ بِالْقِصَاصِ.
Disebutkan bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada bagian lengannya, bukan pada pergelangannya,hingga lengannya patah. Kemudian lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi Saw. bersabda, "Terimalah diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah Saw. tidak memutuskan hukum qisas baginya.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, hadis ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai daif, hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun se­orang Badui yang berpredikat daif, tetapi ayahnya —yaitu Jariyah ibnu Zafar— disebutkan berpredikat sahabat.
Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh); karena jika dia melakukan hukum qisas (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَنَّ رَجُلًا طَعَنَ رَجُلًا بِقَرْنٍ فِي رُكْبَتِهِ، فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَقِدْنِي. فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَعْجَلْ حَتَّى يَبْرَأَ جُرْحُكَ". قَالَ: فَأَبَى الرَّجُلُ إِلَّا أَنْ يَسْتَقِيدَ، فَأَقَادَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ، قَالَ: فَعَرَجَ الْمُسْتَقِيدُ وَبَرَأَ الْمُسْتَقَادُ مِنْهُ، فَأَتَى الْمُسْتَقِيدُ إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عَرَجْتُ وَبَرَأَ صَاحِبِي. فَقَالَ: "قَدْ نَهَيْتُكَ فَعَصَيْتَنِي، فَأَبْعَدَكَ اللَّهُ وَبَطَلَ عَرَجُكَ". ثُمَّ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ جُرْحٍ حَتَّى يَبْرَأَ صَاحِبُهُ.
bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qisas kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas" maka Nabi Saw. memberikan hak qisas kepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qisas) kepincanganmu. Kemudian Rasulullah Saw. melarang melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Seandainya orang yang dilukai melakukan hukum qisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang melakukan hukum qisas.
Amir, Asy-Sya'bi, Ata,Tawus; Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila, Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan, wajib diat yang dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas.
Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukum qisas diat yang seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari harta benda miliknya.
****
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ}
Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya (Al-Maidah: 45); Bahwa barang siapa yang memaafkan pelaku tindak pidana dan melepas­kannya, maka perbuatan ini merupakan penebus dosa bagi pelaku tindak pidana dan merupakan pahala bagi si korban.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang melepaskan hak qisas-nya, hal itu merupakan kifarat bagi si pelaku tindak pidana pelukaan dan merupakan pahala bagi yang dilukai di sisi Allah Swt. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah meriwayatkan hal yang semisal dari Khaisamah ibnu Abdur Rahman. Mujahid, Ibrahim dalam salah satu pendapatnya, Amir Asy-Sya'bi, dan Jabir Ibnu Zaid.
Jalur yang kedua diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zazan, telah menceritakan kepada kami Harami (yakni Ibnu Imarah), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Imarah (yakni Ibnu Hafsah), dari seorang lelaki, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Yakni bagi orang yang dilukai.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal, dari Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i dalam salah satu penda­patnya, dan Abu Ishaq Al-Hamdani. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal yang semisal dari Amir Asy-Sya'bi dan Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qais (yakni Ibnu Muslim) yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Tariq ibnu Syihab menceritakan dari Al-Haisam ibnul Uryan An-Nakha'i yang telah mengatakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr berada di ru­mah Mu'awiyah mengenakan pakaian merah, mirip dengan mawali (bu­dak yang telah dimerdekakan). Lalu ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Abdullah ibnu Amr menjawab bahwa digugurkan (dihapuskan) darinya sebagian dari dosa-dosanya yang sesuai dengan pemberian maafnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Qais ibnu Muslim; telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan Syu'bah.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ مُحَمَّدٍ المُجَاشِعي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الجُعْفي، حَدَّثَنَا مُعلَّى -يَعْنِي ابْنَ هِلَالٍ -أَنَّهُ سَمِعَ أَبَانَ بْنَ تَغْلِبَ، عَنْ أَبِي الْعُرْيَانِ الْهَيْثَمِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -وَعَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ} قَالَ: هُوَ الَّذِي تُكْسَرُ سِنَّهُ، أَوْ تُقْطَعُ يَدُهُ، أَوْ يُقْطَعُ الشَّيْءُ مِنْهُ، أَوْ يُجْرَحُ فِي بَدَنِهِ فَيَعْفُو عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ فَيُحَطّ عَنْهُ قَدْرُ خَطَايَاهُ، فَإِنْ كَانَ رُبْعُ الدِّيَةِ فَرُبْعُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَ الثُّلْثُ فَثُلْثُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ حَطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَذَلِكَ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar Aban ibnu Taglab menceritakan hadis berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Nabi Saw. bersabda: Dia adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, Maka dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya: jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya: dan jika seluruh diat. maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.
ثُمَّ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ يونس بن أبي إسحاق، عن أبي السَّفَر قَالَ: دَفَعَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْدَقَّتْ ثَنِيَّتُهُ، فَرَفَعَهُ الْأَنْصَارِيُّ إِلَى مُعَاوِيَةَ، فَلَمَّا أَلَحَّ عَلَيْهِ الرَّجُلُ قَالَ: شَأْنُكَ وَصَاحِبُكَ. قَالَ: وَأَبُو الدَّرْدَاءِ عِنْدَ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصَابُ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ، فَيَهَبُهُ، إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهِ دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْهُ بِهِ خَطِيئَةً". فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ وَوَعَاهُ قَلْبِي، فَخَلَّى سَبِيلَ الْقُرَشِيِّ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: مُرُوا لَهُ بِمَالٍ.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abus Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mendorong seorang lelaki Ansar hingga gigi serinya ada yang patah. Maka lelaki Ansar itu melaporkannya kepada Mu'awiyah. Ketika lelaki Ansar itu terus mendesak Mu'awiyah, maka Mu'awiyah berkata, "Itu urusanmu dan temanmu." Saat itu Abu Darda ada bersama Mu'awiyah, maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim dilukai pada salah satu dari anggota tubuhnya kemudian dia memaafkannya. melainkan Allah meninggikan satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya sebab lukanya itu. Lelaki Ansar itu bertanya, "Apakah kamu benar-benar mendengar dari Rasulullah Saw.?" Abu Darda menjawab, "Aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan disimpan di dalam hatiku." Maka lelaki Ansar itu memaafkan lelaki Quraisy yang melukainya. Kemudian Mu'awiyah berkata, "Berikanlah kepadanya sejumlah harta."
Ibnu Jarir pun telah meriwayatkannya, begitu pula Imam Ahmad.
وَرَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فَقَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي السَّفر قَالَ: كَسَرَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ سِنَّ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَاسْتَعْدَى عَلَيْهِ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ القرشيُّ: إِنَّ هَذَا دَقَّ سِنِّي؟ قَالَ مُعَاوِيَةُ: إِنَّا سَنُرْضِيهِ. فَأَلَحَّ الْأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: شَأْنُكَ بِصَاحِبِكَ، وَأَبُو الدَّرْدَاءِ جَالِسٌ، فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصَابُ بِشَيْءٍ فِي جَسَدِهِ، فَيَتَصَدَّقُ بِهِ، إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهِ دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً". فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: فَإِنِّي، يَعْنِي: قَدْ عَفَوْتُ.
Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abu Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mematahkan gigi seorang lelaki dari kalangan Ansar, kemudian Mu'awiyah membantu lelaki Quraisy, lalu ia mengatakan, "Kami mencoba untuk membujuknya agar mau memberi maaf." Tetapi lelaki Ansar itu tetap bersikeras menuntut hukum qisas, maka Mu'awiyah berkata, "Terserah padamu." Saat itu Abu Darda duduk di dalam majelis. Maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa musibah pada salah satu dari bagian tubuhnya, lalu ia melepaskan hak qisas-nya, melainkan Allah mengangkat satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya karena hal itu. Maka lelaki Ansar berkata, "Sesungguhnya aku telah memberi maaf."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi melalui hadis Ibnul Mubarak, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Waqi'; keduanya meriwayatkan hadis ini dari Yunus ibnu Abu Ishaq dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, "Bila ditinjau dari segi ini, hadis ini berpredikat garib. Menurutnya ia belum pernah mengetahui bahwa Abus Safar pernah mendengar dari Abu Darda.
قَالَ [أَبُو بَكْرِ] بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا دَعْلَج بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ ظَبْيَانَ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ؛ أَنَّ رَجُلًا هَتَم فَمَهُ رَجُلٌ، عَلَى عَهْدِ مُعَاوِيَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فأعْطِي دِيَةً، فَأَبَى إِلَّا أَنْ يَقْتَصَّ، فَأُعْطِي دِيَتَيْنِ، فَأَبَى، فَأُعْطِي ثَلَاثًا، فَأَبَى، فَحَدَّثَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ تَصَدَّقَ بِدَمٍ فَمَا دَوُنَهُ، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ إِلَى يَوْمِ يَمُوتُ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da' laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Imran Ibnu Zabyan, dari Addi ibnu Sabit, bahwa di masa Mu'awiyah r.a. pernah terjadi seorang lelaki melukai mulut lelaki lain. Kemudian ia diberi diat, tetapi ia menolak dan bersikeras menginginkan qisas. Lalu ia diberi dua kali lipat diat, tetapi tetap menolak; dan diberi tiga kali diat pun tetap menolak. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. Menceritakan hadis bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : Barang siapa yang melepaskan hak (qisas) darahnya atau yang lebih kecil daripada itu, maka hal tersebut merupakan peng­hapus dosanya sejak hari ia dilahirkan sampai hari kematiannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الْمُغِيرَةِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ؛ أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يُجْرَحُ مِنْ جسده جراحة، فيتصدق بِهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ مِثْلَ مَا تَصَدَّقَ بِهِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man. telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah mencerita­kan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki dilukai pada tubuhnya sekali luka, lalu ia melepaskan hak qisas-nya, melainkan Allah menghapuskan darinya dosa yang setimpal dengan apa yang disedekahkannya.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui Ali ibnu Hujr, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Dan Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Khaddasy, dari Hasyim, kedua-duanya dari Al-Mugirah dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، عَنْ مَجَالِدٍ، عَنْ عَامِرٍ، عَنِ المحرَّر بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ، فَتَرَكَهُ لِلَّهِ، كَانَ كَفَّارَةً لَهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan. dari Mujalid, dari Amir, dari Al-Muharrar ibnu Abu Hurairah, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Barang siapa yang dilukai pada salah satu anggota badannya, lalu ia memaafkannya karena Allah, maka hal itu merupakan penghapus bagi dosa-dosanya.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan dari Ata dan Tawus. Keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekufuran yang masih di bawah kafir, kezaliman yang masih di bawah zalim, serta kefasikan yang masih di bawah fasik.

وَقَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (46) وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (47)
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedangkan di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang mene­rangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Tau­rat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memu­tuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik
Allah Swt. telah berfirman:
وَقَفَّيْنَا
Dan kami iringkan. (Al-Maidah: 46)
Yakni kami ikutkan pada jejak mereka, Nabi-nabi Bani Israil.
{بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ}
dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat. (Al-Maidah: 46)
Yakni beriman kepada kitab Taurat dan menjadi hakim tentang apa yang terkandung di dalamnya.
{وَآتَيْنَاهُ الإنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ}
Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedangkan di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi). (Al-Maidah: 46)
Yaitu sebagai petunjuk kepada perkara yang hak dan cahaya yang dapat menerangi untuk melenyapkan kesyubhatan dan memecahkan berbagai macam masalah.
{وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ}
dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. (Al-Maidah: 46)
Yakni mengikuti kitab Taurat dan tidak menentang apa yang terkandung di dalamnya kecuali dalam sedikit masalah yang dia jelaskan kepada kaum Bani Israil sebagian perkara yang diperselisihkan di kalangan mereka pada masa silam. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya, menceritakan keadaan Al-Masih, bahwa ia pernah berkata kepada kaum Bani Israil:
{وَلأحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ}
dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang diharamkan untuk kalian. (Ali Imran: 50)
Karena itulah menurut pendapat yang terkenal di kalangan para ulama dari dua pendapat mereka, kitab Injil me-mansukh sebagian hukum kitab Taurat.
****
Firman Allah Swt.:
{وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ}
Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (Al-Maidah: 46)
Yaitu kami jadikan kitab Injil sebagai petunjuk yang dijadikan pegangan dan sebagai pengajaran, yakni peringatan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan perbuatan-perbuatan yang berdosa; bagi orang-orang yang bertakwa, yakni bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan takut kepada ancaman dan siksa-Nya.
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الإنْجِيلِ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فِيهِ}
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. (Al-Maidah: 47)
Dibaca liyahkuma dengan bacaan nasab karena huruf lam-nya bermakna kai, yakni "dan Kami berikan kepadanya kitab Injil agar ia memutuskan perkara para pengikut agamanya di zamannya dengan kitab Injil itu". Dan dibaca jazm —yaitu walyahkum— karena huruf lam-nya dianggap sebagai lamul amri, yang artinya "hendaklah mereka beriman kepada semua apa yang terkandung di dalam kitab Injil, dan hendaklah mereka menegakkan semua apa yang diperintahkan di dalamnya yang antara lain ialah berita gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan perintah mengikutinya serta membenarkannya bila telah ada". Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya melalui firman Allah Swt.:
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنزلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ}
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil. Dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan Kalian (Al Maidah : 68) hingga akhir ayat
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat. (Al-A'raf: 157)
sampai dengan firman-Nya:
أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A'raf: 157)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 47)
Yakni orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Tuhannya, cenderung kepada kebatilan dan meninggalkan perkara yang hak. Dalam keterangan yang terdahulu telah disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani, dan hal ini jelas dari konteks ayat

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48) وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)
Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lomba­lah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan me­nimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik Apakah hukum Jahiliah yang mereka ke­hendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Setelah Allah Swt. menyebutkan perihal kitab Taurat yang diturunkan­Nya kepada Nabi Musa —yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan memuji serta menyanjung Kitab Taurat dan memerintahkan agar kitab Taurat diikuti ajarannya —mengingat kitab Taurat layak untuk diikuti oleh mereka—, lalu Allah Swt. menyebutkan perihal kitab Injil dan memujinya serta memerintahkan kepada para pemegangnya untuk mengamalkannya dan mengikuti apa yang terkandung di dalamnya, seperti yang telah disebutkan di atas. Kemudian Allah Swt. menyebutkan tentang Al-Qur’an yang Dia turunkan kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Untuk itu Allah Swt berfirman:
{وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran. (Al-Maidah: 48)
Yakni membawa kebenaran, tiada keraguan di dalamnya; dan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah Swt.
{مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ}
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya). (Al-Maidah: 48)
Yaitu kitab-kitab terdahulu yang mengandung sebutan dan pujian kepadanya, dan bahwa Al-Qur'an itu akan diturunkan dari sisi Allah kepada hamba lagi Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Dan penurunan Al-Qur'an yang sesuai dengan apa yang telah diberitakan oleh kitab-kitab terdahulu merupakan faktor yang menambah kepercayaan di kalangan para pemilik kitab-kitab sebelum Al-Qur'an dari kalangan orang-orang yang mempunyai ilmu dan taat kepada perintah Allah, mengikuti syariat-syariat Allah serta membenarkan rasul-rasul Allah, seperti yang disebutkan oleh Allah melalui firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا}
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Maha­suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi." (Al-Isra: 107-108)
Yakni sesungguhnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami melalui lisan rasul-rasul-Nya yang terdahulu —yaitu mengenai keda­tangan Nabi Muhammad Saw.— adalah benar-benar terjadi dan pasti dipenuhi.
Firman Allah Swt.:
{وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ}
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (Al-Maidah: 48)
Sufyan As-Sauri dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "dipercaya oleh kitab-kitab sebelumnya".
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-muhaimin ialah "yang dipercaya". Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan semua kitab sebelumnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, Atiyyah. Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, dan Ibnu Zaid.
Ibnu Juraij mengatakan, Al-Qur'an adalah kepercayaan kitab-kitab terdahulu yang sebelumnya. Dengan kata lain, apa saja isi dari kitab terdahulu yang sesuai dengan Al-Qur'an. maka itu adalah benar; dan apa saja isi dari kitab-kitab terdahulu yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an, itu adalah batil.
Telah diriwayatkan dari Al-Walibi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaimin ini, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai saksi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan As-Saddi.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaiminan, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hakim atau batu ujian bagi kitab-kitab yang sebelumnya.
Semua pendapat tersebut pengertiannya saling berdekatan, karena sesungguhnya lafaz muhaimin mengandung semua pengertian itu, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan, saksi, dan hakim atas kitab-kitab yang sebelumnya. Allah Swt telah menjadikan kitab Al-Qur'an yang agung ini yang Dia turunkan sebagai akhir dari kitab-kitab Nya dan merupakan pamungkasnya paling agung dan paling sempurna. Di dalam Al-Qur'an terkandung kebaikan-kebaikan kitab-kitab sebelumnya dan ditambahkan banyak kesempurna­an yang tidak terdapat pada kitab-kitab lainnya. Karena itulah Allah menjadikannya sebagai saksi, kepercayaan dan hakim atas semua kitab yang terdahulu, dan Allah sendiri menjamin pemeliharaan bagi keutuhannya.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr: 9)
Mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ikrimah dan Sa'id ibnu Jubair, Ata Al-Khurrasani serta Ibnu Abu Nujaih dari Mujahid, mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Muhaiminan 'alaihi" bahwa makna yang dimaksud ialah Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang dipercaya atas Al-Qur'an. Kalau ditinjau dari segi maknanya memang benar, tetapi bila ditafsirkan dengan pengertian ini, masih perlu dipertimbangkan. Demikian pula mengenai penurunannya kepada dia bila dipandang dari segi bahasa Arab, masih perlu dipertimbangkan pula. Pada garis besarnya pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama tadi.
Abu Ja'far ibnu Jarir setelah mengemukakan riwayat dari Mujahid, bahwa takwil ini sulit dimengerti menurut pemahaman orang-orang Arab, bahkan merupakan suatu kekeliruan. Dikatakan demikian karena lafaz muhaimin di-'ataf-kan kepada lafaz musaddiqan. Karena itu, kedudukannya tiada lain kecuali menjadi sifat dari apa yang disifati oleh lafaz musaddiqan. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa seadainya duduk perkaranya seperti apa yang dikatakan oleh Mujahid, niscaya disebutkan oleh firman-Nya dengan ungkapan seperti berikut: "Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, sebagai orang yang membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai orang yang dipercaya untuk (menerima) Al-Qur'an," yakni dengan ungkapan tanpa huruf  ataf.
****
Firman Allah Swt.:
{فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ}
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan. (Al-Maidah: 48)
Yakni hai Muhammad, putuskanlah perkara di antara manusia baik yang Arab maupun yang 'Ajam, baik yang ummi maupun yang pandai baca tulis, dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu di dalam Al-Qur'an yang agung ini, dan dengan apa yang telah ditetapkan untukmu dari hukum para nabi sebelummu, tetapi tidak di-mansukh oleh syariatmu. Demikianlah menurut apa yang di kemukakan oleh Ibnu Jarir dalam menjabarkan maknanya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ حُسَيْنٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَيَّرًا، إِنْ شَاءَ حَكَمَ بَيْنَهُمْ، وَإِنْ شَاءَ أَعْرَضَ عَنْهُمْ. فَرَدَّهُمْ إِلَى أَحْكَامِهِمْ، فَنَزَلَتْ: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ} فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْكُمَ بَيْنَهُمْ بِمَا فِي كِتَابِنَا.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu! Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. disuruh memilih. Jika beliau suka, boleh memutuskan perkara di antara mereka (kaum Ahli Kitab); dan jika tidak suka, beliau boleh berpaling dari mereka, lalu mengembalikan keputusan mereka kepada hukum-hukum mereka sendiri. Maka turunlah firman-Nya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49); Dengan turunnya ayat ini Rasulullah Saw. diperintahkan untuk memutus­kan perkara di antara mereka (Ahli Kitab) dengan apa yang terdapat di dalam kitab kita, yakni Al-Qur'an.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ}
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49)
Yaitu pendapat-pendapat mereka yang mereka peristilahkan sendiri, dan karenanya mereka meninggalkan apa yang apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul Nya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
{وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ}
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Al-Maidah: 48)
Yakni janganlah kamu berpaling dari kebenaran yang diperintahkan Allah kepadamu, lalu kamu cenderung kepada hawa nafsu orang-orang yang bodoh lagi celaka itu.
Firman Allah Swt.:
{لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا}
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Al-Maidah: 48)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yusuf ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan. (Al-Maidah: 48); Bahwa yang dimaksud dengan syir'atan ialah jalan.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan jalan yang terang. (Al-Maidah: 48); Makna yang dimaksud ialah tuntunan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan syir'atan wa minhajan ialah jalan dan tuntunan.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Abu Ishaq As-Subai'i, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Syir'atan wa minhajan", bahwa makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan. Dan dari Ibnu Abbas, Mujahid serta Ata Al-Khurrasani disebutkan sebaliknya, bahwa yang dimaksud dengan syir'ah ialah tuntunan, sedangkan minhaj ialah jalan. Tetapi pendapat pertama lebih sesuai, mengingat makna syir'ah juga berarti "syariat" dan "permulaan untuk menuju ke arah sesuatu". Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan syara'aji kaza yang artinya "memulainya". Demikian pula makna lafaz syari'ah, artinya sesuatu yang dipakai untuk berlayar di atas air. Makna minhaj adalah jalan yang terang lagi mudah, sedangkan lafaz as-sunan artinya tuntunan-tuntunan. Dengan demikian, berarti tafsir firman-Nya, "Syir'atan wa minhajan', dengan pengertian jalan dan tuntunan lebih jelas kaitannya daripada kebalikannya. Kemudian konteks ini dalam kaitan memberitakan perihal umat-umat yang beraneka ragam agamanya dipandang dari aneka ragam syariat mereka yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Allah melalui rasul-rasul-Nya yang mulia, tetapi sama dalam pokoknya, yaitu ajaran tauhid.
Disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"نَحْنُ مُعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ، دِينُنَا وَاحِدٌ"
Kami para nabi adalah saudara-saudara yang berlainan ibu, tetapi agama kami satu.
Makna yang dimaksud ialah ajaran tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada semua rasul yang diutus-Nya dan terkandung di dalam semua kitab yang diturunkan-Nya, seperti apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ}
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah tagut itu" (An-Nahl: 36), hingga akhir ayat.
Adapun mengenai berbagai macam syariat yang berbeda-beda dalam masalah perintah dan larangannya, adakalanya sesuatu hal dalam suatu syariat diharamkan, kemudian dalam syariat yang lain dihalalkan dan kebalikannya; lalu diringankan dalam suatu syariat, sedangkan dalam syariat yang lain diperberat. Yang demikian itu karena mengandung hikmah yang tidak terbatas serta hujah yang jelas bagi Allah dalam menentukan hal tersebut.
Sa’id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubung­an dengan makna firman-Nya: Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Al-Maidah: 48); Makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan. Tuntunan itu berbeda-beda, di dalam kitab Taurat merupakan suatu syariat, di dalam kitab Injil merupakan suatu syariat, dan di dalam Al-Qur'an merupakan suatu syariat; di dalamnya Allah menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, yaitu untuk me­nyatakan siapa yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka. Agama yang tidak diterima oleh Allah ialah yang selainnya, yakni selain agama tauhid dan ikhlas kepada Allah semata. Agama inilah yang didatangkan oleh semua rasul.
Menurut suatu pendapat, orang yang diajak bicara oleh ayat ini adalah umat ini, yakni umat Nabi Muhammad Saw. Makna yang dimaksud ialah "untuk tiap-tiap orang dari kaitan yang termasuk dalam umat ini, Kami jadikan Al-Qur'an sebagai jalan dan tuntunannya". Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah buat kalian semuanya sebagai panutan kalian. Damir yang mansub dalam firman-Nya, "Likullin ja'alna minkum" yaitu ja'alnahu yang artinya "Kami jadikan Al-Qur'an sebagai syariat dan tuntunannya untuk menuju ke tujuan yang benar dan sebagai tuntunan, yakni jalan yang jelas lagi gamblang". Demikianlah menurut ringkasan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid.
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama tadi, karena diperkuat dengan firman selanjutnya yang mengatakan:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً}
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). (Al-Maidah: 48)
Seandainya hal ini merupakan khitab (pembicaraan) bagi umat ini, niscaya kurang tepatlah bila disebutkan oleh firman-Nya: Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). (Al-Maidah: 48)
Padahal mereka merupakan satu umat, tetapi hal ini merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan kepada semua umat dan sebagai pemberitahuan tentang kekuasaan Allah Yang Mahabesar, yang seandai­nya Dia menghendaki, niscaya dihimpunkan-Nya semua umat manusia dalam satu agama dan satu syariat yang tiada sesuatu pun darinya yang di-mansukh.
Akan tetapi, Allah Swt. menjadikan suatu syariat tersendiri bagi tiap rasul, kemudian me-mansukh seluruhnya atau sebagiannya dengan risalah lain yang diutus oleh Allah sesudahnya, hingga semuanya di-mansukh oleh apa yang diturunkan Nya kepada hamba lagi rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Allah mengutusnya kepada seluruh penduduk bumi dan menjadikannya sebagai penutup para nabi semua­nya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِيمَا آتَاكُمْ}
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian. (Al-Maidah: 48)
Dengan kata lain, Allah Swt. telah menetapkan berbagai macam syariat untuk menguji hamba-hamba-Nya terhadap apa yang telah disyariatkan untuk mereka dan memberi mereka pahala karena taat kepadanya, atau menyiksa mereka karena durhaka kepada-Nya melalui apa yang mereka perbuat atau yang mereka tekadkan dari kesemuanya itu.
Abdullah ibnu Kasir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
{فِيمَا آتَاكُمْ}
terhadap pemberian-Nya kepada kalian. (Al-Maidah: 48)
Makna yang dimaksud ialah Al-Kitab.
Kemudian Allah Swt. menganjurkan kepada mereka untuk bersegera mengerjakan kebajikan dan berlomba-lomba mengerjakannya. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (Al-Maidah: 48)
Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikan-Nya me-mansukh syariat pendahulunya serta membenarkan kitab Al-Qur'an yang merupakan akhir dari kitab yang diturunkan-Nya. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا}
Hanya kepada Allah-lah kembali kalian. (Al-Maidah: 48)
Yakni tempat kembali kalian kelak di hari kiamat hanyalah kepada Allah Swt.
{فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ}
lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu. (Al-Maidah: 48)
Yaitu Allah memberitahukan kepada kalian kebenaran mengenai apa yang kalian perselisihkan, maka Dia akan memberikan balasan pahala kepada orang-orang yang percaya berkat kepercayaan mereka dan mengazab orang-orang kafir yang ingkar lagi mendustakan perkara yang hak dan menyimpang darinya ke yang lain tanpa dalil dan tanpa bukti, bahkan mereka sengaja ingkar terhadap bukti-bukti yang jelas, hujah-hujah yang terang serta dalil-dalil yang pasti.
Ad-Dahhak, makna firman-Nya: maka berlomba-lombalah kepada kebajikan. (Al-Maidah: 48) ialah umat Nabi Muhammad Saw.,
tetapi makna yang pertama lebih jelas dan lebih kuat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ}
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49)
Ayat ini mengukuhkan apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu perintah yang menganjurkan hal tersebut dan larangan berbuat kebalikan­nya.
Kemudian Allah Swt berfirman:
{وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزلَ اللَّهُ إِلَيْكَ}
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (Al-Maidah: 49)
Yakni waspadalah terhadap musuh orang-orang Yahudi itu, jangan biarkan mereka memalsukan perkara yang hak melalui berbagai macam perkara yang mereka ajukan kepadamu; janganlah kamu teperdaya oleh mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta, kafir lagi penghianat.
{فَإِنْ تَوَلَّوْا}
Jika mereka berpaling. (Al-Maidah: 49)
Yaitu berpaling dari perkara hak yang telah kamu putuskan di antara mereka, lalu mereka menentang syariat Allah.
{فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ}
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. (Al-Maidah: 49)
Yakni ketahuilah bahwa hal itu telah direncanakan oleh takdir Allah dan kebijaksanaan-Nya terhadap mereka, yaitu Dia hendak memalingkan mereka dari jalan hidayah disebabkan dosa-dosa mereka yang terdahulu yang berakibat kesesatan dan pembangkangan mereka.
{وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ}
Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 49)
Yaitu sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka dan menentang perkara yang hak serta berpaling darinya. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu Firman-Nya:
{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103)
{وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ}
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Al-An'am: 116), hingga akhir ayat.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي مُحَمَّدٍ مَوْلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ أَوْ عِكْرِمَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ كَعْبُ بْنُ أَسَدٍ، وَابْنُ صَلُوبَا، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ صوريا، وشاس بْنُ قَيْسٍ، بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: اذْهَبُوا بِنَا إِلَى مُحَمَّدٍ، لَعَلَّنَا نَفْتِنُهُ عَنْ دِينِهِ! فَأَتَوْهُ، فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّكَ قَدْ عَرَفْتَ أَنَّا أَحْبَارُ يَهُودَ وَأَشْرَافُهُمْ وَسَادَاتُهُمْ، وَإِنَّا إِنِ اتَّبَعْنَاكَ اتَّبَعَنَا يَهُودُ وَلَمْ يُخَالِفُونَا، وَإِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا خُصُومَةً فَنُحَاكِمُهُمْ إِلَيْكَ، فَتَقْضِي لَنَا عَلَيْهِمْ، وَنُؤْمِنُ لَكَ، وَنُصَدِّقُكَ! فَأَبَى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، فِيهِمْ: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزلَ اللَّهُ إِلَيْكَ} إِلَى قَوْلِهِ: {لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ka'b ibnu Asad, Ibnu Saluba, Abdullah ibnu Suria, dan Syas ibnu Qais; sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Marilah kita berangkat kepada Muhammad, barangkali saja kita dapat memalingkan dia dari agama­nya." Lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami ada­lah rahib-rahib Yahudi, orang-orang terhormat, dan pemuka-pemuka mereka. Dan sesungguhnya jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi akan mengikutimu dan tidak akan menentang kami. Seka­rang telah terjadi suatu perselisihan antara kami dan kaum kami, maka kami serahkan keputusan kami dan mereka kepadamu; dan engkau putuskan untuk kemenangan kami atas mereka, lalu kami mau beriman kepadamu dan membenarkanmu." Tetapi Rasulullah Saw. menolak tawaran itu, dan Allah Swt menu­runkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa mereka itu, yakni firman-Nya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu. (Al-Maidah: 49) sampai dengan firman-Nya: bagi orang-orang yang yakin. (Al-Maidah: 50)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
****
Firman Allah Swt.:
{أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50)
Melalui ayat ini Allah Swt. mengingkari perbuatan orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam lagi mencakup semua kebaikan, melarang setiap perbuatan jahat, lalu mereka memilih pendapat-pendapat yang lain dan kecenderungan-kecenderungannya serta peristilahan yang dibuat oleh kaum lelaki tanpa sandaran dari syariat Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh ahli Jahiliah. Orang-orang Jahiliah memutuskan perkara mereka dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat-buat sendiri oleh pendapat dan keinginan mereka. Dan juga sama dengan hukum yang dipakai oleh bangsa Tartar berupa undang-undang kerajaan yang diambil dari raja mereka, yaitu Jengis Khan; perundang-undangan tersebut dibuat oleh Al-Yasuq untuk mereka. Undang-undang ini terangkum di dalam suatu kitab yang di dalamnya memuat semua hukum-hukum yang dipetik dari berbagai macam syariat, dari agama Yahudi, Nasrani, dan agama Islam serta lain-lainnya. Di dalamnya banyak terdapat undang-undang yang ditetapkan hanya berdasarkan pandangan dan keinginan Jengis Khan sendiri, kemudian hal tersebut di kalangan keturunannya menjadi peraturan yang diikuti dan lebih diprioritaskan atas hukum Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Barang siapa yang melakukan hal tersebut dari kalangan mereka, maka dia adalah orang kafir yang wajib diperangi hingga dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, karena tiada hukum kecuali hukum-Nya, baik dalam perkara yang kecil maupun perkara yang besar.
Firman Allah Swt.:
{أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ}
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Al-Maidah: 50)
Yakni yang mereka inginkan dan mereka kehendaki, lalu mereka berpaling dari hukum Allah.
{وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50)
Yaitu siapakah yang lebih adil daripada Allah dalam hukumnya bagi orang yang mengerti akan syariat Allah, beriman kepada-Nya, dan yakin serta mengetahui bahwa Allah adalah Hakim di atas semua hakim serta Dia lebih belas kasihan kepada makhluk-Nya ketimbang seorang ibu kepada anaknya? Dan sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa atas segala sesuatu, lagi Mahaadil dalam segala sesuatu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hilal ibnu Fayyad, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah An-Naji yang telah mencerita­kan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan berkata, "Barang siapa yang memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah, maka hukum Jahiliah yang dipakainya."
Dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih yang telah menceritakan bahwa Tawus apabila ada seseorang bertanya kepadanya, "Bolehkah aku membeda-bedakan pemberian di antara anak-anakku?" Maka Tawus membacakan firman-Nya: Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Al-Maidah: 50), hingga akhir ayat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ نَجْدة الْخُوطِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَطَالَبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ ليُرِيق دَمَهُ".
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Wahhab ibnu Najdah Al-Huti, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Abu Hamzah, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain, dari Nafi' ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Orang yang pating dimurkai oleh Allah Swt. ialah orang yang menginginkan tuntunan Jahiliah dalam Islam, dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan hanya semata-mata ingin mengalirkan darahnya.
Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang semisal, dari Abul Yaman, lengkap dengan sanad berikut tambahannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51) فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ (52) وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ (53)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di anta­ra kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kami akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana, " Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.
Selanjutnya Allah mengancam orang mukmin yang melakukan hal itu melalui firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Muhammad (Yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Iyad, bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al Asyari untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar r.a. Maka Khalifah Umar merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai jinabah?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, "Pecatlah dia." Selanjutnya Khalifah Umar membacakan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah mencerita­kan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Atabah pernah berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian memelihara dirinya, jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, sedangkan dia tidak menyadarinya." Menurut Muhammad ibnu Sirin, yang dimaksud olehnya menurut dugaan kami adalah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah : 51), hingga akhir ayat.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Asim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Maka ia menjawab, "Boleh dimakan."  Allah Swt. hanya berfirman: Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51)
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abuz Zanad.
****
Firman Allah Swt.:
{فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ}
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya. (Al-Maidah: 52)
Yaitu keraguan, kebimbangan, dan kemunafikan.
{يُسَارِعُونَ فِيهِمْ}
bersegera mendekati mereka. (Al-Maidah: 52)
Maksudnya, mereka bersegera berteman akrab dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani secara lahir batin.
{يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ}
seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana." (Al-Maidah: 52)
Yakni mereka melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan terjadi suatu perubahan, yaitu orang-orang kafir beroleh kemenangan atas kaum muslim. Jika hal ini terjadi, berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, meng­ingat orang-orang Yahudi dan Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri  di kalangan orang-orang kafir, sehingga sikap berteman akrab dengan mereka dapat memberikan manfaat ini. Maka Allah Swt berfirman menjawab mereka:
{فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ}
Mudah-mudahan Allah akan memberikan kemenangan (kepada Rasul-Nya). (Al-Maidah: 52)
Menurut As-Saddi, yang dimaksud dengan al-Fathu dalam ayat ini ialah kemenangan atas kota Mekah. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekuasaan peradilan dan keputusan.
{أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ}
atau sesuatu keputusan dari-Nya. (Al-Maidah: 52)
Menurut As-Saddi, makna yang dimaksud ialah memungut jizyah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani.
{فَيُصْبِحُوا}
Maka karena itu mereka menjadi. (Al-Maidah: 52)
Yakni orang-orang yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali mereka dari kalangan kaum munafik.
{عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ}
menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka (Al-Maidah: 52)
Yaitu menyesali perbuatan mereka yang berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani itu. Dengan kata lain, mereka menyesali perbuatan yang mereka lakukan karena usahanya itu tidak dapat memberikan hasil apa pun, tidak pula dapat menolak hal yang mereka hindari, bahkan berpihak kepada mereka merupakan penyebab utama dari kerusakan itu sendiri. Kini mereka keadaannya telah dipermalukan dan Allah telah menampakkan perkara mereka di dunia ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, padahal sebelumnya mereka tersembunyi, keadaan dan prinsip mereka masih belum diketahui. Tetapi setelah semua penyebab yang mempermalukan mereka telah lengkap, maka tampak jelaslah perkara mereka di mata hamba-hamba Allah yang mukmin. Orang-orang mukmin merasa heran dengan sikap mereka (kaum munafik itu), bagaimana mereka dapat menampakkan diri bahwa mereka seakan-akan termasuk orang-orang mukmin, dan bahkan mereka berani bersumpah untuk itu, tetapi dalam waktu yang sama mereka berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani? Dengan demikian, tampak jelaslah kedustaan dan kebohongan mereka. Untuk itulah Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
{وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ}
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kalian?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 53)
Para ahli qiraah berbeda pendapat sehubungan dengan huruf wawu dari ayat ini. Jumhur ulama menetapkan huruf wawu dalam firman-Nya:
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan. (Al-Maidah: 53)
Kemudian sebagian dari mereka ada yang membaca rafa' dan mengatakan sebagai ibtida (permulaan kalimat). Sebagian dari mereka ada yang me-nasab-kannya karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ}
"Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. . (Al-Maidah: 53)
Dengan demikian, berarti bentuk lengkapnya ialah an-yaqula (dan mudah-mudahan orang-orang yang beriman mengatakan).
Tetapi ulama Madinah membacanya dengan bacaan berikut:
{يَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا}
Orang-orang yang beriman akan mengatakan. (Al-Maidah: 53)
Yakni tanpa memakai huruf wawu. demikian pula yang tertera di dalam mushaf mereka, menurut Ibnu Jarir.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan firman Allah Swt.: Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada (RasulNya), atau sesuatu keputusdan dari Sisi-Nya. (Al-Maidah: 52) Sebagai konsekuensinya disebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kalian?” Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 53).
Yakni tanpa memakai wawu. Demikianlah menurut salinan yang ada di tangan kami. Tetapi barangkali ada kalimat yang digugurkan padanya, karena menurut ungkapan Tafsir Ruhul Ma'ani disebutkan bahwa Ibnu Kasir, Nafi', dan Ibnu Amir membaca yaaulu tanpa memakai wawu dengan interpretasi sebagai isti-naf bayani. Seakan-akan dikatakan bahwa "lalu apakah yang dikatakan oleh orang-orang mukmin saat itu?".
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menye­butkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal."Sedangkan yang lainnya menyatakan, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya." Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.
Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah Saw. mengutusnya kepada Bani Quraizah, lalu mereka bertanya kepadanya, "Apakah yang akan dilakukan olehnya terhadap kami?" Maka Abu Lubabah mengisya­ratkan dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya bahwa Nabi Saw. akan menyembelih mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain. ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, seperti apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، عَنْ عَطِيَّةَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: جَاءَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ، مِنْ بَنِي الْخَزْرَجِ، إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَوَالِي مَنْ يَهُودٍ كَثِيرٌ عَدَدُهُمْ، وَإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْ وَلَايَةِ يَهُودٍ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: إِنِّي رَجُلٌ أَخَافُ الدَّوَائِرَ، لَا أَبْرَأُ مِنْ وِلَايَةِ مَوَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ: "يَا أَبَا الحُباب، مَا بَخِلْتَ بِهِ مِنْ وَلَايَةِ يَهُودَ عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَهُوَ لَكَ دُونَهُ". قَالَ: قَدْ قَبِلْتُ! فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ [بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ] } إِلَى قَوْلِهِ: {فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ}
bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Atiyyah ibnu Sa'd, bahwa Ubadah ibnus Samit dari Banil Haris ibnul Khazraj datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai teman-teman setia dari kalangan orang-orang Yahudi yang jumlah mereka cukup banyak. Dan sesungguhnya saya sekarang menyatakan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari mengambil orang-orang Yahudi sebagai teman setia saya, dan sekarang saya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya." Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Sesungguhnya aku adalah seseorang yang takut akan mendapat bencana. Karenanya aku tidak mau berlepas diri dari mereka yang telah menjadi teman-teman setiaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah ibnu Ubay, "Hai Abul Hubab, apa yang engkau pikirkan, yaitu tidak mau melepaskan diri dari berteman setia dengan orang-orang Yahudi, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Ubadah ibnus Samit. Maka hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk Ubadah." Abdullah ibnu Ubay berkata, "Saya terima." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51), hingga dua ayat berikutnya.
ثُمَّ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا هَنَّاد، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: لَمَّا انْهَزَمَ أَهْلُ بَدْرٍ قَالَ الْمُسْلِمُونَ لِأَوْلِيَائِهِمْ مِنْ يَهُودَ: آمِنُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِيَوْمٍ مِثْلَ يَوْمِ بَدْرٍ! فَقَالَ مَالِكُ بْنُ الصَّيْفِ: أَغَرَّكُمْ أَنْ أَصَبْتُمْ رَهْطًا مِنْ قُرَيْشٍ لَا عِلْمَ لَهُمْ بِالْقِتَالِ!! أَمَا لَوْ أمْرَرْنا الْعَزِيمَةَ أَنْ نَسْتَجْمِعَ عَلَيْكُمْ، لَمْ يَكُنْ لَكُمْ يَدٌ بِقِتَالِنَا فَقَالَ عُبَادَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنَ الْيَهُودِ كَانَتْ شَدِيدَةً أَنْفُسُهُمْ، كَثِيرًا سِلَاحُهُمْ، شَدِيدَةً شَوْكَتُهُمْ، وَإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ [تَعَالَى] وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ وِلَايَةِ يَهُودَ، وَلَا مَوْلَى لِي إِلَّا اللَّهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: لَكِنِّي لَا أَبْرَأُ مِنْ وَلَاءِ يَهُودٍ أَنَا رَجُلٌ لَا بُدَّ لِي مِنْهُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَبَا الْحُبَابِ أَرَأَيْتَ الَّذِي نَفَّسْتَ بِهِ مِنْ وَلَاءِ يَهُودَ عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَهُوَ لَكَ دُونَهُ؟ " فَقَالَ: إِذًا أقبلُ! قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ [بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ] } إِلَى قَوْلِهِ: {وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ}
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ketika kaum musyrik mengalami kekalahan dalam Perang Badar, kaum muslim berkata kepada teman-teman mereka yang dari kalangan orang-orang Yahudi, "Masuk Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian suatu bencana seperti yang terjadi dalam Perang Badar." Malik ibnus Saif berkata, "Kalian telah teperdaya dengan kemenangan kalian atas segolongan orang-orang Quraisy yang tidak mempunyai pengalaman dalam peperangan. Jika kami bertekad menghimpun kekuatan untuk menyerang kalian, maka kalian tidak akan berdaya untuk memerangi kami." Maka Ubadah ibnus Samit berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya teman-teman sejawatku dari kalangan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang berjiwa keras, banyak memiliki senjata, dan kekuatan mereka cukup tangguh. Sesungguhnya aku sekarang berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan orang-orang Yahudi. Sekarang bagiku tidak ada pemimpin lagi kecuali Allah dan Rasul-Nya." Tetapi Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tetapi aku tidak mau berlepas diri dari berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya aku adalah orang yang bergantung kepada mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abul Hubab, bagaimanakah jika apa yang kamu sayangkan, yaitu berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi terhadap Ubadah ibnus Samit, hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk dia?" Abdullah ibnu Ubay menjawab, "Kalau begitu, aku bersedia menerima­nya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian). (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah: 67)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kabilah Yahudi yang mula-mula berani melanggar perjanjian antara mereka dan Rasulullah Saw. adalah Bani Qainuqa.
فَحَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ قَالَ: فَحَاصَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى نَزَلُوا عَلَى حُكْمِهِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بن أبي بن سَلُولَ، حِينَ أَمْكَنَهُ اللَّهُ مِنْهُمْ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَحْسِنْ فِي مَوَالي. وَكَانُوا حُلَفَاءَ الْخَزْرَجِ، قَالَ: فَأَبْطَأَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَحْسِنْ فِي مَوَالِي. قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ. فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِي جَيْبِ دِرْعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. "أَرْسِلْنِي". وَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رُئِي لِوَجْهِهِ ظُلَلًا ثُمَّ قَالَ: "وَيْحَكَ أَرْسِلْنِي". قَالَ: لَا وَاللَّهِ لَا أُرْسِلُكَ حَتَّى تُحْسِنَ فِي مَوَالي، أَرْبَعِمِائَةِ حَاسِرٍ، وَثَلَاثِمِائَةِ دَارِعٍ، قَدْ مَنَعُونِي مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ، تَحْصُدُهُمْ فِي غَدَاةٍ وَاحِدَةٍ؟! إِنِّي امْرُؤٌ أَخْشَى الدَّوَائِرَ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُم لَكَ."
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Asim ibnu Umar ibnu Qatadah yang mengatakan bahwa lalu Rasulullah Saw. mengepung mereka hingga mereka menyerah dan mau tunduk di bawah hukumnya. Lalu bangkitlah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul kepada Rasulullah, setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya atas mereka. Kemudian Abdullah Ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku itu dengan baik, karena mereka adalah teman-teman sepakta orang-orang Khazraj." Rasulullah Saw. tidak melayaninya, dan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata lagi, "Hai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku ini dengan baik. Tetapi Rasulullah Saw. tidak mempedulikannya. Kemudian Abdullah ibnu Ubay memasukkan tangannya ke dalam kantong baju jubah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bersabda kepadanya.”Lepaskanlah aku!" Bahkan Rasulullah Saw. marah sehingga kelihatan roman muka beliau memerah, kemudian bersabda lagi, "Celakalah kamu, lepaskan aku.  Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tidak, demi Allah, sebelum engkau bersedia akan memperlakukan teman-teman sejawatku dengan perlakuan yang baik. Mereka terdiri atas empat ratus orang yang tidak memakai baju besi dan tiga ratus orang memakai baju besi, dahulu mereka membelaku dari ancaman orang-orang yang berkulit merah dan berkulit hitam yang selalu mengancamku, sesungguhnya aku adalah orang yang takut akan tertimpa bencana." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Mereka kuserahkan kepadamu."
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَاقَ بْنُ يَسار، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: لَمَّا حَارَبَتْ بَنُو قَيْنُقَاع رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَشَبَّثَ بِأَمْرِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ، وَقَامَ دُونَهُمْ، وَمَشَى عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ أَحَدَ بَنِي عَوْف بْنِ الْخَزْرَجِ، لَهُ مِنْ حِلْفِهِمْ مِثْلَ الَّذِي لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، فَجَعَلَهُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَبَرَّأَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَبَرَّأُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مِنْ حِلْفِهِمْ، وَأَتَوَلَّى اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ، وَأَبْرَأُ مِنْ حِلْفَ الْكُفَّارِ وَوَلَايَتِهِمْ. فَفِيهِ وَفِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ نَزَلَتِ الْآيَاتُ فِي الْمَائِدَةِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ}
Muhammad ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq ibnu Yasar, dari Ubadah ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa ketika Bani Qainuqa' memerangi Rasulullah Saw., Abdullah ibnu Ubay berpihak dan membela mereka, sedangkan Ubadah ibnus Samit berpihak kepada Rasulullah Saw. Dia adalah salah seorang dari kalangan Bani Auf ibnul Khazraj yang juga merupakan teman sepakta Bani Qainuqa', sama dengan Abdullah ibnu Ubay. Ubadah ibnus Samit menyerahkan perkara mereka kepada Rasulullah Saw. dan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mereka. Lalu ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, saya berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mere­ka; dan sekarang saya berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin; saya pun menyatakan lepas dari perjanjian saya dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka." Berkenaan dengan dia dan Abdullah ibnu Ubay ayat-ayat ini diturunkan,- yaitu firman Allah Swt. yang ada di dalam surat Al-Maidah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ محمد بن إِسْحَاقَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَة، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ نَعُودُهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَدْ كُنْتُ أَنْهَاكَ عَنْ حُبّ يَهُودَ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَقَدْ أَبْغَضَهُمْ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ، فَمَاتَ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bersama dengan Rasulullah Saw. menjenguk Abdullah ibnu Ubay yang sedang sakit. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Aku pernah melarangmu jangan berteman dengan orang-orang Yahudi. Tetapi Abdullah ibnu Ubay menjawab, "As'ad ibnu Zararah pernah membenci mereka, dan ternyata dia mati."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (54) إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56)
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendiri­kan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguh­nya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Allah Swt. berfirman menceritakan tentang kekuasaan-Nya Yang Mahabesar, bahwa barang siapa yang memalingkan diri tidak mau menolong agama Allah dan menegakkan syariat-Nya, sesungguhnya Allah akan menggantikannya dengan kaum yang lebih baik daripadanya, lebih keras pertahanannya serta lebih lurus jalannya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu firman-firman-Nya berikut ini:
{وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ}
dan jika kalian berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian (ini). (Muhammad: 38)
{إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ}
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian, wahai manusia; dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai pengganti kalian). (An-Nisa: 133)
{إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ. وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ}
Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mengganti (kalian) dengan makhluk yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah. (Ibrahim: 19-20)
****
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ}
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya. (Al-Maidah: 54)
Yakni meninggalkan perkara yang hak dan kembali kepada kebatilan. Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pemimpin orang-orang Quraisy. Menurut Al-Hasan Al-Basri, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang murtad yang baru kelihatan kemurtadannya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar.
{فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ}
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54)
Al-Hasan Al-Basri menyebutkan bahwa demi Allah, yang dimaksud adalah Abu Bakar dan sahabat-sahabatnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Ayyasy berkata sehubungan dengan firman-Nya: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54); Mereka adalah penduduk Qadisiyah. Sedangkan menurut Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, mereka adalah suatu kaum dari negeri Saba.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Ajlah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54) Yang dimaksud adalah segolongan orang-orang dari penduduk negeri Yaman, Kindah, dan-As-Sukun.
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ -يَعْنِي ابْنَ حَفْصٍ-عَنْ أَبِي زِيَادٍ الْحِلْفَانِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المُنْكَدر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: سُئل رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ: {فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} قَالَ: "هَؤُلَاءِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، ثُمَّ مِنْ كِنْدَةَ، ثُمَّ مِنَ السكون، ثم من تُجِيبَ".
Telah menceritakan pula kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musaffa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hafs), dari Abu Ziyad Al-Hilfani, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mencerita­kan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mereka adalah suatu kaum dari kalangan penduduk negeri Yaman, lalu dari Kindah, dari As-Sukun, dan dari Tajib.
Hadis ini berpredikat garib sekali.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّة، حدثنا عَبْدُ الصَّمَدِ -يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْوَارِثِ-حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سِمَاك، سَمِعْتُ عِيَاضًا يُحَدِّثُ عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُمْ قَوْمُ هَذَا".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad (yakni Ibnu Abdul Waris), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak; ia pernah mendengar Iyad menceritakan hadis dari Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah Saw. bersabda: Mereka adalah dari kaum orang ini (seraya mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yakni dari penduduk Yaman, pent.).
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang semisal.
****
Firman Allah Swt.:
{أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ}
yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah: 54)
Demikianlah sifat orang mukmin yang sempurna, yaitu selalu bersikap rendah diri terhadap saudara dan teman sejawatnya, dan bersikap keras terhadap musuh dan seterunya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ}
Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (Al-Fath: 29)
Di dalam gambaran tentang sifat Rasulullah Saw. disebutkan bahwa beliau Saw. adalah orang yang banyak senyum lagi banyak berperang. Dengan kata lain, beliau selalu bersikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kekasih-kekasihnya dan sangat keras terhadap musuh-musuhnya.
***
Firman Allah Swt.:
{يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ}
yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (Al-Maidah: 54)
Yakni mereka tidak pernah mundur setapak pun dari prinsipnya, yaitu taat kepada Allah, menegakkan batasan-batasan-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan melakukan amar ma’ruf serta nahi munkar. Mereka sama sekali tidak pernah surut dari hal tersebut tiada seorangpun yang dapat menghalang-halangi mereka, dan tidak pernah takut terhadap celaan orang-orang yang mencela dan mengkritiknya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا سَلَامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ، أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي، وَلَا أَنْظُرُ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي، وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ، وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا، وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا، وَأَمَرَنِي أَلَّا أَخَافَ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَأَمَرَنِي أَنَّ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Salam Abul Munzir, dari Muhammad ibnu Wasi', dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar yang menceritakan: Kekasihku (yakni Nabi Saw.) telah memerintahkan kepadaku melakukan tujuh perkara, yaitu: Beliau memerintahkan kepadaku agar menyayangi orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Beliau memerintahkan kepadaku agar memandang kepada orang yang sebawahku dan jangan memandang kepada orang yang seatasku. Beliau memerintahkan kepadaku agar menghubungkan silaturahmi, sekalipun hatiku tidak suka. Beliau memerintahkan kepadaku agar jangan meminta sesuatu pun kepada orang lain. Beliau memerintahkan kepadaku agar mengucapkan hal yang hak, sekalipun itu pahit. Beliau memerintahkan kepadaku agar jangan takut kepada celaan orang yang mencela dalam membela (agama) Allah. Dan beliau memerintahkan kepadaku agar memperbanyak ucapan, "La haula wala auwwata illa billah (Tidak ada daya untuk menghindar dari maksiat dan tidak ada kekuatan untuk mengerjakan ibadah kecuali berkat pertolongan Allah)," karena sesungguhnya kalimah ini merupakan suatu perbendaharaan yang tersimpan di bawah 'Arasy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ عَنْ أَبِي الْمُثَنَّى؛ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ قَالَ: بَايَعَنِي رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسًا وَوَاثَقَنِي سَبْعًا، وَأَشْهَدَ اللَّهَ عَلَيَّ تِسْعًا، أَنِّي لَا أَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "هَلْ لَكَ إِلَى بَيْعَةٍ وَلَكَ الْجَنَّةُ؟ " قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: وَبَسَطْتُ يَدَيَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَشْتَرِطُ: عَلَى أَلَّا تَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا؟ قُلْتُ: نَعَمْ قَالَ: "ولا سوطك وإن سَقَطَ مِنْكَ يَعْنِي تَنْزِلُ إِلَيْهِ فَتَأْخُذُهُ."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Safwan, dari Abul Musanna, bahwa Abu Zar r.a. pernah menceritakan, "Rasulullah Saw. membaiat diriku atas lima perkara dan mengikat diriku dengan tujuh perkara. Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan takut terhadap celaan orang yang mencela demi membela (agama) Allah." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah Saw. memanggil­ku dan bersabda, 'Maukah engkau berbaiat, sedangkan bagimu nanti surga?' Aku menjawab, 'Ya.' Lalu aku mengulurkan tanganku, maka Nabi Saw. bersabda seraya mensyaratkan kepadaku, 'Janganlah kamu meminta kepada orang lain barang sesuatu pun.' Aku menjawab, 'Ya.' Nabi Saw. bersabda: Dan jangan pula kamu meminta kepada orang lain untuk memungut cambukmu, sekalipun cambukmu terjatuh dari tanganmu. Yakni beliau Saw. memerintahkan kepadaku agar memungut sendiri cambukku, jangan minta pertolongan kepada orang lain untuk mengambilkannya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنِ الْمُعَلَّى القُرْدوسي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَّا لَا يَمْنَعْنَ أَحَدَكُمْ رَهْبةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ بِحَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ، فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجْلٍ، وَلَا يُبَاعد مَنْ رِزْقٍ أَنْ يَقُولَ بِحَقٍّ أَوْ يُذَكِّرَ بِعَظِيمٍ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Ja'far, dari Al-Ma'la Al-Firdausi, dari Al-Hasan. dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ingatlah, jangan sekali-kali seseorang di antara kalian merasa takut terhadap orang lain untuk mengatakan perkara yang benar, jika dia melihat atau menyaksikannya. Karena sesungguhnya tidak dapat memendekkan ajal dan tidak pula menjauhkan rezeki bila seseorang mengatakan perkara yang hak atau menceritakan hal yang berat diutarakan.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ زُبَيْد عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَحْقِرَنَّ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ أَنْ يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ فِيهِ مَقَال، فَلَا يَقُولُ فِيهِ، فَيُقَالُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكُونَ قُلْتَ فِيَّ كَذَا وَكَذَا؟ فَيَقُولُ: مَخَافَةَ النَّاسِ. فَيَقُولُ: إِيَّايَ أَحَقُّ أَنْ تَخَافَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Zubaid, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian merendahkan dirinya bila ia melihat suatu perkara menyangkut (agama) Allah yang harus ia utarakan, lalu ia tidak mau mengatakannya. Maka akan dikata­kan kepadanya pada hari kiamat, "Apakah yang mencegah dirimu untuk mengatakan anu dan anu?” Lalu ia menjawab, "Karena takut kepada manusia" Maka dijawab, "Sebenarnya yang harus kamu takuti hanyalah Aku."
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dengan lafaz yang sama.
وَرَوَى أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ، مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي طُوَالة عَنْ نَهَارِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْعَبْدِيِّ الْمَدَنِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "إن اللَّهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْأَلُهُ يَقُولُ لَهُ: أيْ عَبْدِي، رَأَيْتَ مُنْكَرًا فَلَمْ تُنْكِرْهُ؟ فَإِذَا لَقَّن اللَّهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ، قَالَ: أيْ رَبِّ، وَثِقْتُ بِكَ وَخِفْتُ النَّاسَ".
Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Abdullah ibnu Abdur Rahman Abu Tuwalah, dari Nahar ibnu Abdul lah Al-Abdi Al-Madani, dari Abu Sa'id Al-Khudri. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah benar-benar akan menanyai hamba-Nya di hari kiamat, hingga Dia benar-benar menanyainya, dengan pertanyaan, "Hai hamba-Ku, bukankah engkau pernah melihat perkara yang mungkar, lalu mengapa engkau tidak mencegahnya?” Maka apabila Allah telah mengajarkan kepada seseorang hamba hujah (alasan) yang dikatakannya, maka si hamba berkata, "Ya Tuhanku, saya percaya kepada-Mu, tetapi saya takut kepada manusia."
Telah disebutkan pula di dalam sebuah hadis sahih:
"مَا يَنْبَغِي لِمُؤْمِنٍ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ"، قَالُوا: وَكَيْفَ يُذِلُّ نَفْسَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "يَتَحَمَّلُ مِنَ الْبَلَاءِ مَا لَا يُطِيقُ".
Tidak layak bagi seorang mukmin menghinakan dirinya sendiri. Ketika mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan menghinakan dirinya sendiri?" Maka Rasulullah Saw. bersabda: Menanggung bencana (akibat) yang tidak kuat disanggahnya.
*****
{ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ}
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Maidah: 54)
Yakni orang-orang yang menyandang sifat-sifat tersebut, tiada lain berkat karunia dan taufik Allah kepada mereka.
{وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Maidah: 54)
Yaitu Dia Mahaluas karunia-Nya kepada orang yang berhak menerima karunia itu, dan Maha Mengetahui terhadap siapa yang tidak berhak mendapat karunia-Nya.
****
Firman Allah Swt.:
{إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا}
Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. (Al-Maidah: 55)
Yakni orang-orang Yahudi itu bukanlah penolong kalian. Penolong kalian tiada lain adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin.
Firman Allah Swt.:
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
yang mendirikan salat dan menunaikan zakat. (Al-Maidah: 55)
Yakni orang-orang mukmin yang mempunyai sifat-sifat ini, yaitu mendirikan salat yang merupakan rukun Islam yang paling utama, karena salat dilakukan hanya untuk Dia semata dan tiada sekutu bagi-Nya; dan menunaikan zakat yang merupakan hak menyangkut makhluk serta pertolongan terhadap orang-orang yang memerlukan pertolongan dari kalangan orang-orang lemah dan orang-orang miskin. Adapun mengenai firman-Nya yang mengatakan:
{وَهُمْ رَاكِعُونَ}
seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Al-Maidah: 55)
Maka sebagian ulama ada yang menduga bahwa jumlah ini berkedu­dukan sebagai hal atau keterangan keadaan dari firman-Nya:
{وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ}
dan menunaikan zakat. (Al-Maidah: 55)
Yaitu dalam keadaan rukuk mereka, mereka menunaikan zakat (sedekahnya. Seandainya memang demikian, berarti menunaikan zakat di saat sedang rukuk merupakan hal yang lebih utama daripada keadaan lainnya, karena dalam ayat ini disebutkan sebagai tindakan yang terpuji, padahal keadaannya tidaklah demikian, menurut salah seorang ulama dari kalangan ulama fatwa yang telah kami kenal. Sehingga ada sebagian dari mereka yang menyebutkan sebuah asar sehubungan dengan ayat ini, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dia. Demikian itu karena pada suatu hari di depannya lewat seorang peminta-minta, sedangkan dia dalam keadaan rukuk pada salatnya, lalu dia memberikan cincinnya kepada peminta-minta itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Sulaiman Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Suwaid, dari Atabah ibnu Abu Hakim sehubungan dengan firman-Nya: sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah. Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. (Al-Maidah: 55) Bahwa mereka adalah orang-orang mukmin dan Ali ibnu Abu Talib.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin Abu Na'im Al-Ahwal, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Qais Al-Hadrami, dari Salamah ibnu Kahil yang menceritakan bahwa sahabat Ali ibnu Abu Talib pernah menyedekahkan cincinnya, sedangkan dia dalam rukuk salatnya, maka turunlah firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya rukuk. (Al-Maidah: 55)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Galib ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah Rasul-Nya. (Al-Maidah: 55) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Talib r.a. yang me­ngeluarkan sedekah ketika sedang rukuk dalam salatnya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Mujahid, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan de­ngan firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya. (Al-Maidah: 55), hingga akhir ayat; Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Ali ibnu Abu Talib. Akan tetapi, hadis Abdul Wahhab ibnu Mujahid tidak dapat dijadikan sebagai hujah (yakni predikatnya daif).
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Abu Sinan, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Ali ibnu Abu Talib sedang berdiri dalam salatnya, lewatlah di hadapannya seorang peminta-minta saat ia dalam rukuknya. Maka ia memberikan cincinnya kepada peminta-minta itu, lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah Rasul-Nya. (Al-Maidah: 55), hingga akhir ayat.
Tetapi Ad-Dahhak tidak pernah bersua dengan Ibnu Abbas r.a.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه أَيْضًا عَنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ السَّائِبِ الْكَلْبِيِّ -وَهُوَ مَتْرُوكٌ-عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ، بَيْنَ رَاكِعٍ وَسَاجِدٍ وَقَائِمٍ وَقَاعِدٍ، وَإِذَا مِسْكِينٌ يَسْأَلُ، فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَعْطَاكَ أَحَدٌ شَيْئًا؟ " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "مَنْ؟ " قَالَ: ذَلِكَ الرَّجُلُ الْقَائِمُ. قَالَ: "عَلَى أَيِّ حَالٍ أَعْطَاكَهُ؟ " قَالَ: وَهُوَ رَاكِعٌ، قَالَ: "وَذَلِكَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ". قَالَ: فَكَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ، وَهُوَ يَقُولُ: {وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ}
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan pula melalui jalur Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi —dia orangnya matruk-— dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar dari rumah menuju masjid di saat orang-orang sedang salat, ada yang sedang rukuk, ada yang sedang sujud, ada yang sedang berdiri, ada pula yang sedang duduk. Tiba-tiba ada seorang miskin meminta-minta. Maka Rasulullah Saw. masuk ke dalam masjid dan bertanya (kepada orang miskin itu), "Apakah ada seseorang yang memberimu sesuatu?" Ia menjawab, "Ya, ada." Nabi Saw. bertanya, "Siapakah dia?" Ia menjawab, "Itu, lelaki yang sedang berdiri." Nabi Saw. bertanya, "Dalam keadaan apakah dia ketika memberimu?" Ia menjawab, "Ketika dia sedang rukuk." Nabi Saw. bersabda, "Orang itu adalah Ali ibnu Abu Talib." Maka Rasulullah Saw. saat itu bertakbir seraya membaca firman-Nya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)
Sanad hadis ini kurang menggembirakan.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ali ibnu Abu Talib r.a. sendiri dan Ammar ibnu Yasir serta Abu Rafi', teta­pi tiada sesuatu pun darinya yang sahih sama sekali, mengingat sanad-sanadnya lemah lagi para perawinya tidak dikenal.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkan berikut sanadnya, dari Maimun ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 55) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang mukmin, terutama sekali Ali ibnu Abu Talib.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Abdul Malik, dari Abu Ja'far sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya rukuk. (Al-Maidah: 55) Maka kami tanyakan kepadanya (Abu Ja'far) "Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu?" Abu Ja'far menjawab, "Ya, orang-orang yang beriman." Kami katakan," Telah sampai kepada kami bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Talib." Abu Ja'far berkata, "Ali termasuk orang-orang yang beriman."
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan semua orang mukmin, tetapi Ali ibnu Abu Talib ketika sedang salat lewat kepadanya seseorang yang meminta-minta di saat ia rukuk dalam salatnya di dalam masjid, lalu ia memberikan cincinnya kepada orang yang meminta-minta itu.
Ali ibnu AbuTalhah Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang masuk Islam, berarti dia telah berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman; yakni menjadikan mereka sebagai walinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Dalam hadis-hadis yang telah kami kemukakan disebutkan bahwa seluruh ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ubadah ibnus Samit r.a. ketika menyatakan berlepas diri dari perjanjian paktanya dengan orang-orang Yahudi, lalu ia rela berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Karena itulah sesudah kesemuanya disebutkan oleh firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ}
Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{كَتَبَ اللَّهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ. لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
Allah telah menetapkan, "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah Mahakuai lagi Mahaperkasa Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (Al-Mujadilah: 21)
Maka setiap orang yang rela dengan kekuasaan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, dia beruntung di dunia dan akhirat serta beroleh pertolongan di dunia dan akhirat. Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ}
Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (Al-Maidah: 56)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (57) وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ (58)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil jadi wali kalian, orang-orang yang membuat agama kalian jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kalian betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.
Hal ini merupakan peringatan terhadap perbuatan berteman sejawat dengan musuh-musuh Islam dan para pemeluknya, yaitu dari kalangan kaum Ahli Kitab dan kaum musyrik. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan syariat Islam yang suci lagi mencakup semua kebaikan dunia dan akhirat sebagai bulan-bulanan ejekan mereka. Mereka menduganya sebagai sejenis permainan menurut pandangan mereka yang rusak itu dan pemikiran mereka yang beku. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang penyair:
وَكَمْ مِنْ عَائبٍ قَولا صَحِيحًا ... وآفَتُهُ مِن الْفَهم السَّقِيمِ ...
Betapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar, hal itu bersumberkan dari pemahaman yang tidak benar.
Firman Allah Swt.:
{مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ}
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 57)
Huruf min pada lafaz minal lazina adalah untuk menerangkan jenis yang artinya "yaitu". Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya:
{فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ}
maka jauhilah oleh kalian barang yang najis, (yaitu) berhala-berhala tersebut. (Al-Hajj: 30)
Sebagian mufassir ada yang membaca jar lafaz al-kuffar karena di-'ataf-kan kepada minal lazina. Sedangkan ulama tafsir lainnya membacanya dengan bacaan nasab karena berkedudukan menjadi ma'mul dari firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ}
janganlah kalian mengambil jadi wali kalian, orang-orang yang membuat agama kalian jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian, dan (jangan pula) orang-orang kafir. (Al-Maidah: 57)
Yakni janganlah kalian menjadikan Ahli Kitab dan orang-orang kafir sebagai wali kalian. Yang dimaksud dengan orang-orang kafir dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik, seperti yang disebutkan di dalam qiraah Ibnu Mas'ud menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yaitu:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ}
janganlah kalian mengambil orang-orang yang membuat agama kalian jadi buah ejekan dan permainan, yaitu di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang musyrik, sebagai wali kalian.
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Dan bertakwalah kepada Allah jika kalian betul-betul orang-orang yang beriman. (Al-Maidah: 57)
Yaitu bertakwalah kalian kepada Allah, janganlah kalian mengambil musuh-musuh kalian dan agama kalian itu sebagai wali (teman sejawat) kalian jika kalian orang-orang yang beriman kepada syariat Allah, karena mereka membuat agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan. Perihalnya semakna dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu:
{لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ}
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya Dan hanya kepada Allah kembali (kalian). (Ali Imran: 28)
Mengenai firman Allah Swt.:
{وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا}
Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. (Al-Maidah: 58)
Yakni demikian pula jika kalian menyerukan azan untuk salat yang merupakan amal yang paling afdal bagi orang yang berpikir dan berpengetahuan dari kalangan orang-orang yang berakal, maka orang-orang kafir itu menjadikannya sebagai bahan ejekan dan permainan mereka.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Al-Maidah: 58)
Yakni tidak mengerti akan makna beribadah kepada Allah dan tidak memahami syariat-syariat-Nya. Yang demikian itu merupakan sifat para pengikut setan. Apabila mendengar azan, ia berlari menjauh seraya terkentut-kentut, hingga suara azan tidak terdengar lagi olehnya; apabila azan telah selesai, ia datang lagi.
Apabila salat diiqamahkan, ia berlari menjauh lagi; dan apabila iqamah sudah selesai, ia datang lagi dan memasukkan bisikannya ke dalam hati seseorang, lalu berkata, "Ingatlah ini dan itu," yang sebelum­nya tidak terpikirkan oleh orang yang bersangkutan, sehingga orang yang bersangkutan tidak mengetahui lagi berapa rakaat salat yang telah dilakukannya. Apabila seseorang di antara kalian mengalami hal tersebut, hendaklah ia melakukan sujud sebanyak dua kali (sujud sahwi) sebelum salamnya. Demikianlah menurut makna hadis yang muitafaq 'alaih.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Allah Swt. telah menyebutkan masalah azan dalam Al-Qur'an, yaitu melalui firman-Nya: Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Al-Maidah: 58). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. (Al-Maidah: 58); Seorang lelaki dari kalangan Nasrani di Madinah, apabila mendengar seruan untuk salat yang mengatakan, "Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah," ia berkata, "Semoga si pendusta itu terbakar." Maka di suatu malam seorang pelayan wanitanya masuk ke dalam rumahnya dengan membawa api, saat itu ia sedang tidur,- begitu pula ke­luarganya. Lalu ada percikan api yang jatuh dari api yang dibawa di tangannya, kemudian rumahnya terbakar sehingga dia beserta keluarganya terbakar pula. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya bahwa pada hari kemenangan atas kota Mekah Rasulullah Saw. masuk ke dalam Ka'bah ditemani oleh sahabat Bilal. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk menyerukan azan, sedangkan saat itu terdapat Abu Sufyan ibnu Harb, Attab ibnu Usaid, dan Al-Haris ibnu Hisyam yang sedang duduk di halaman Ka'bah. Maka Attab ibnu Usaid berkata, "Sesungguhnya Allah telah memuliakan Usaid bila dia tidak mendengar seruan ini, karena dia akan mendengar hal yang membuatnya marah (tidak suka)." Al-Haris ibnu Hisyam berkata pula, "Ingatlah, demi Allah, seandainya aku mengetahui bahwa dia benar, niscaya aku benar-benar mengikutinya," Sedangkan Abu Sufyan berkata, "Aku tidak akan mengatakan sesuatu pun. Seandainya aku berkata (berkomentar), niscaya batu-batu kerikil ini akan menceritakan apa yang kukatakan." Lalu Nabi Saw. keluar menemui Abu Sufyan Ibnu Harb dan bersabda, "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang telah kalian katakan." Kemudian Abu Sufyan menyampaikan hal itu kepada mereka berdua, lalu Al-Haris dan Attab berkata, "Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasul, tiada seorang pun yang bersama kita mengetahui pembicaraan ini, lalu dia menyampaikannya kepadamu."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْح بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْج، أخبرنا عبد العزير بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي مَحْذُورَةَ؛ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَيريز أَخْبَرَهُ -وَكَانَ يَتِيمًا فِي حِجْرِ أَبِي مَحْذُورَةَ-قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي مَحْذُورَةَ: يَا عَمُّ، إِنِّي خَارِجٌ إِلَى الشَّامِ، وَأَخْشَى أَنْ أُسأل عَنْ تَأْذِينِكَ. فَأَخْبَرَنِي أَنَّ أَبَا مَحْذُورَةَ قَالَ لَهُ: نَعَمْ خَرَجْتُ فِي نَفَرٍ، وَكُنَّا بِبَعْضِ طَرِيقِ حُنَيْنٍ، مَقْفَلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حُنَيْن، فَلَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ الطَّرِيقِ، فَأَذَّنَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّلَاةِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمِعْنَا صَوْتَ الْمُؤَذِّنِ وَنَحْنُ مُتَنَكِّبُونَ فَصَرَخْنَا نَحْكِيهِ وَنَسْتَهْزِئُ بِهِ، فَسَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّوْتَ، فَأَرْسَلَ إِلَيْنَا إِلَى أَنْ وَقَفْنَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّكُمُ الَّذِي سمعتُ صَوْتَهُ قَدِ ارْتَفَعَ؟ " فَأَشَارَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ إِلَيَّ، وَصَدَقُوا، فَأَرْسَلَ كلَّهم وَحَبَسَنِي. وَقَالَ "قُمْ فَأَذِّنْ بِالصَّلَاةِ". فَقُمْتُ وَلَا شَيْءَ أَكْرَهُ إِلَيَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا مِمَّا يَأْمُرُنِي بِهِ فَقُمْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَلْقَى عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّأْذِينَ هُوَ بِنَفْسِهِ، قَالَ: "قُلِ اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، " ثُمَّ قَالَ لِي: "ارْجِعْ فَامْدُدْ مِنْ صَوْتِكَ". ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أن لا إله إلا الله، أشهد أن مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَّاحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَّاحِ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ". ثُمَّ دَعَانِي حِينَ قَضَيْتُ التَّأْذِينَ، فَأَعْطَانِي صُرَّة فِيهَا شَيْءٌ مِنْ فِضَّةٍ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى نَاصِيَةِ أَبِي مَحْذُورَةَ، ثُمَّ أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ عَلَى كَبِدِهِ حَتَّى بَلَغَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ سُرَّةَ أَبِي مَحْذُورَةَ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَارَكَ اللَّهُ فِيكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْني بِالتَّأْذِينِ بِمَكَّةَ. فَقَالَ قَدْ "أَمَرْتُكَ بِهِ". وَذَهَبَ كُلُّ شَيْءٍ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كَرَاهَةٍ، وَعَادَ ذَلِكَ كُلُّهُ مَحَبَّةً لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَدِمْتُ عَلَى عَتَّابِ بْنِ أُسَيْدٍ عَامِلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ فَأَذَّنْتُ مَعَهُ بِالصَّلَاةِ عَنْ أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخْبَرَنِي ذَلِكَ مَنْ أَدْرَكْتُ مِنْ أَهْلِي مِمَّنْ أَدْرَكَ أَبَا مَحْذُورَةَ، عَلَى نَحْوِ مَا أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَيريز.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdul Malik ibnu Abu Mahzurah, bahwa Abdullah ibnu Muhairiz pernah menceritakan kepadanya hadis berikut, sedangkan dia dahulu adalah seorang yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Mahzurah. Dia berkata, "Aku pernah berkata kepada Abu Mahzurah, 'Hai paman, sesungguhnya aku akan berangkat ke negeri Syam, dan aku merasa enggan untuk bertanya kepadamu tentang peristiwa azan yang dilakukan olehmu'." Abdullah ibnu Muhairiz melanjutkan kisahnya: Abu Mahzurah menjawabnya dengan jawaban yang positif, lalu ia menceritakan bahwa ia pernah mengadakan suatu perjalanan dengan sejumlah orang, dan ketika dia bersama teman-temannya berada di tengah jalan yang menuju ke Hunain, saat itu Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulang dari Hunain. Kemudian kami (Abu Mahzurah dan kawan-kawannya) bersua dengan Rasulullah Saw. di tengah jalan. Kemudian juru azan Rasulullah Saw. menyerukan azan untuk salat di dekat Rasulullah Saw. Dan kami mendengar suara azan itu saat kami mulai menjauh darinya, lalu kami berseru dengan suara keras meniru suara azan dengan maksud memper-olok-olokkan suara azan itu. Ternyata Rasulullah Saw. mendengar suara kami, lalu beliau mengirimkan seorang utusan kepada kami, dan akhirnya kami dihadapkan ke hadapannya. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Siapakah di antara kalian yang suaranya tadi terdengar keras olehku?" Maka kaum yang bersama Abu Mahzurah mengisyaratkan kepadanya dan mereka memang benar. Nabi Saw. melepaskan semua­nya, sedangkan Abu Mahzurah ditahannya, lalu beliau bersabda, "Berdi­rilah dan serukanlah azan!" Abu Mahzurah berkata, "Maka aku terpaksa berdiri. Saat itu tiada yang aku segani selain Rasulullah Saw. dan apa yang beliau perintahkan kepadaku. Lalu aku berdiri di hadapan Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan kepadaku kalimat azan, yaitu: Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Aku bersaksi bahwa tidakada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Marilah salat, marilah salat, marilah kepada keberuntungan, marilah kepada keberuntungan. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar, tidak ada Tuhan selain Allah. Setelah aku selesai menyerukan azan, Nabi Saw. memanggilku dan memberiku sebuah kantong yang berisi sejumlah mata uang perak." Kemudian beliau meletakkan tangannya ke atas ubun-ubun Abu Mahzurah, lalu mengusapkannya sampai ke wajahnya, lalu turun ke kedua sisi dadanya, ulu hatinya, hingga tangan Rasulullah Saw. sampai kepada pusar Abu Mahzurah. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda, "Semoga Allah memberkati dirimu, dan semoga Allah memberkati perbuatanmu." Lalu aku (Abu Mahzurah) berkata, "Wahai Rasulullah, perintahkanlah aku untuk menjadi juru azan di Mekah." Rasulullah Saw. bersabda, "Aku telah perintahkan engkau untuk mengemban tugas ini." Sejak saat itu lenyaplah semua kebenciannya terhadap Rasulullah Saw. dan kejadi­an tersebut membuatnya menjadi berubah, seluruh jiwa raganya sangat mencintai Rasulullah Saw. Kemudian ia datang kepada Attab ibnu Usaid, Amil Rasulullah Saw. (di Mekah), lalu ia menjadi juru azan salat bersama Attab ibnu Usaid atas perintah dari Rasulullah Saw.  Abdul Aziz ibnu Abdul Malik berkata, telah bercerita kepadanya hal yang sama.” Semua orang yang sempat aku jumpai dari keluarga­ku yang pernah menjumpai masa Abu Mahzurah menceritakan kisah yang sama seperti apa yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Muhairiz kepadaku."
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Imam Muslim di dalam kitab Sahihnya dan Ahlus Sunan yang empat orang telah meriwayatkannya melalui jalur Abdullah ibnu Muhairiz, dari Abu Mahzurah yang namanya adalah Samurah ibnu Mu'ir ibnu Luzan, salah seorang dari empat orang muazin Rasulullah Saw. Dia adalah muazin Mekah dalam waktu yang cukup lama.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ (59) قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (60) وَإِذَا جَاءُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَقَدْ دَخَلُوا بِالْكُفْرِ وَهُمْ قَدْ خَرَجُوا بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَكْتُمُونَ (61) وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (62) لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (63)
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, apakah kalian memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedangkan kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang fasik?'' Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasan­nya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah tagut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepada kalian, mereka mengatakan, "Kami telah beriman, "padahal mereka datang kepada kalian dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kalian) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguh­nya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”
Allah Swt. berfirman, "Hai Muhammad, katakanlah kepada mereka yang membuat agamamu sebagai bahan ejekan dan permainan, yaitu dari kalangan orang-orang Ahli Kitab."
{هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلُ}
Apakah kalian memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya? (Al-Maidah: 59)
Yakni apakah kalian menilai kami salah atau tercela hanya karena itu? Padahal hal itu bukanlah suatu cela atau kesalahan. Dengan demikian, berarti istisna dalam ayat ini bersifat munqati, perihalnya sama dengan istisna yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:
{وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ}
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj: 8)
{وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ}
dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. (At-Taubah: 74)
Di dalam sebuah hadis yang kesahihannya disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:
"مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَميل إِلَّا أَنْ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ".
Tidak sekali-kali Ibnu Jamil dicela hanyalah karena dahulunya dia miskin, lalu Allah memberinya kecukupan.
****
Firman Allah Swt.:
{وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ}
sedangkan kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 59)
Ayat ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{أَنْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلُ}
hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya. (Al-Maidah: 59)
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kami beriman pula, sedangkan kebanyakan dari kalian adalah orang-orang yang fasik. Yang dimaksud dengan fasik ialah keluar dari jalan yang lurus, yakni menyimpang darinya.
****
Firman Allah Swt.:
{قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ}
Katakanlah, "Apakah akan aku beri tahukan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah?" (Al-Maidah: 60)
Yakni apakah harus aku ceritakan kepada kalian pembalasan yang lebih buruk daripada apa yang kalian duga terhadap kami kelak di hari kiamat di sisi Allah? Yang melakukan demikian itu adalah kalian sendiri, karena semua sifat yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya ada pada kalian, yaitu:
{مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ} {وَغَضِبَ عَلَيْهِ}
yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah. (Al-Maidah: 60)
Dikutuk artinya "dijauhkan dari rahmat-Nya", dan dimurkai artinya "Allah murka kepada mereka dengan murka yang tidak akan reda sesu­dahnya untuk selama-lamanya.
{وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ}
di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi. (Al-Maidah: 60)
Seperti yang telah disebutkan di dalam surat Al-Baqarah dan seperti yang akan diterangkan nanti dalam tafsir surat Al-A'raf.
قَالَ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ: عَنْ عَلْقَمَة بْنِ مَرْثَد، عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْد، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ، أَهِيَ مِمَّا مَسَخَ اللَّهُ [تَعَالَى] ؟ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُهْلِكْ قَوْمًا -أَوْ قَالَ: لَمْ يَمْسَخْ قَوْمًا-فَيَجْعَلْ لَهُمْ نَسْلا وَلَا عَقِبًا وَإِنَّ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ كانت قبل ذلك".
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Alqamah ibnu Marsad, dari Al-Mugirah ibnu Abdullah, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kera dan babi, apakah kedua binatang itu berasal dari kutukan Allah. Maka beliau Saw. menjawab: Sesungguhnya Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum —atau beliau mengatakan bahwa Allah belum pernah mengutuk suatu kaum— lalu menjadikan bagi mereka keturunan dan anak cucunya. Dan sesungguhnya kera dan babi telah ada sebelum peristiwa kutukan itu.
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Mis'ar, keduanya dari Mugirah ibnu Abdullah Al-Yasykuri dengan lafaz yang sama.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْأَعْيَنِ الْعَبْدِيِّ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ، أَهِيَ مِنْ نَسْلِ الْيَهُودِ؟ فَقَالَ: "لَا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَلْعَنْ قَوْمًا فَيَمْسَخُهُمْ فَكَانَ لَهُمْ نَسْلٌ، وَلَكِنْ هَذَا خَلْقٌ كَانَ، فَلَمَّا غَضِبَ اللَّهُ عَلَى الْيَهُودِ فَمَسَخَهُمْ، جَعَلَهُمْ مِثْلَهُمْ".
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Muhammad ibnu Zaid, dari Abul A'yan Al-Ma'badi, dari Abul Ahwas, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa kami pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kera dan babi, apakah kera dan babi yang ada sekarang merupakan keturunan dari orang-orang Yahudi yang dikutuk Allah Swt. Maka Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, sesungguhnya Allah sama sekali belum pernah mengutuk suatu kaum, lalu membiarkan mereka berketurunan. Tetapi kera dan babi yang ada merupakan makhluk yang telah ada sebelumnya. Dan ketika Allah murka terhadap orang-orang Yahudi, maka Dia mengutuk mereka dan menjadikan mereka seperti kera dan babi.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Daud ibnu Abul Furat dengan lafaz yang sama
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مَحْبُوبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْحَيَّاتُ مَسْخ الْجِنِّ، كَمَا مُسِخَتِ الْقِرَدَةُ وَالْخَنَازِيرُ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Mahbub, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Ular adalah jin yang telah dikutuk sebagaimana kera dan babi adalah hewan kutukan.
Hadis ini garib sekali.
****
Firman Allah Swt.:
{وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ}
dan (orang-orang yang) menyembah tagut. (Al-Maidah: 60)
Dibaca abadat tagut karena berupa fi'il madi, sedangkan lafaz tagut di-nasab-kan olehnya, yakni "dan Allah menjadikan di antara mereka orang yang menyembah tagut". Dibaca 'abdat tagut dengan di-­mudaf-kan artinya adalah "dan Allah menjadikan di antara mereka orang-orang yang mengabdi kepada tagut, yakni pengabdi dan budak tagut". Ada pula yang membacanya 'ubadat tagut dalam bentuk Jam’ul jami'; bentuk tunggalnya adalah 'abdun, bentuk jamaknya adalah tabidun, sedangkan bentuk jam'ul jami'-nya adalah 'ubudun, perihal­nya sama dengan lafaz simarun yang bentuk jam'ul jami '-nya adalah sumurun. Demikianlah menurut Riwayat Ibnu Jarir dan Al A’masy.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Al-A'masy; diriwayatkan dari Buraidah Al-Aslami bahwa ia membacanya wa 'abidat tagut. Sedangkan menurut qiraah dari Ubay dan Ibnu Mas'ud disebutkan wa abadu. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Abu Ja'far Al-Qari' bahwa dia membaca­nya walubidat tagut dengan anggapan sebagai maf’ul dari fi'il yang tidak disebutkan fail-nya, tetapi bacaan ini dinilai oleh Ibnu Jarir jauh dari makna. Padahal menurut makna lahiriahnya hal ini tidak jauh dari makna yang dimaksud, mengingat ungkapan ini termasuk ke dalam Bab "Ta'rid (Sindiran)" terhadap mereka. Dengan kata lain, telah disembah tagut di kalangan kalian, dan kalianlah orang-orang yang melakukannya
Semua qiraah yang telah disebutkan di atas mempunyai kesimpulan makna yang menyatakan bahwa sesungguhnya kalian, hai Ahli Kitab, yang mencela agama kami, yaitu agama yang menauhidkan dan mengesakan Allah dalam menyembah-Nya tanpa ada selain-Nya; maka mengapa timbul dari kalian sikap seperti itu, padahal semua yang telah disebutkan ada pada diri kalian. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا}
Mereka itu lebih buruk tempatnya. (Al-Maidah: 60)
Yakni lebih buruk daripada apa yang kalian duga dan kalian tuduhkan terhadap kami.
{وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ}
dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 60)
Ungkapan, ini termasuk ke dalam Bab "Pemakaian Af’al Tafdil Tanpa Menyebutkan Pembanding pada Sisi yang Lainnya", perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:
{أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا}
Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggal­nya dan paling indah tempat istirahatnya. (Al-Furqan: 24)
****
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا جَاءُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَقَدْ دَخَلُوا بِالْكُفْرِ وَهُمْ قَدْ خَرَجُوا بِهِ}
Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan, "Kami telah beriman, "padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kamu) dengan kekafirannya (pula). (Al-Maidah: 61)
Demikianlah sifat-sifat orang-orang munafik dari kalangan mereka, yaitu bahwa mereka berdiplomasi dengan kaum mukmin pada lahiriahnya, sedangkan dalam batin mereka memendam kekafiran. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
وَقَدْ دَخَلُوا
padahal mereka telah datang. (Al-Maidah: 61)
Yakni kepadamu, hai Muhammad.
{بِالْكُفْرِ}
dengan kekafirannya. (Al-Maidah: 61)
Yaitu seraya memendam kekafirannya di dalam hati mereka, kemudian mereka pergi darimu dengan membawa kekafirannya pula. Pengetahuan yang telah mereka dengar darimu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi mereka, dan tiada bermanfaat bagi mereka semua nasihat dan peringatan. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَهُمْ [قَدْ] خَرَجُوا بِهِ}
dan mereka pergi (dari kamu) dengan kekafirannya (pula). (Al-Maidah: 61)
Allah Swt mengkhususkan sebutan ini hanya bagi mereka, bukan selain mereka.
****
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَكْتُمُونَ}
dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (Al-Maidah: 61)
Yakni Allah mengetahui semua rahasia mereka dan apa yang tersimpan di dalam dada mereka, sekalipun mereka menampakkan di mata makhluk hal yang berbeda dengan batin mereka dan memulas diri dengan hal-hal yang bertentangan dengan hati mereka. Karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui semua yang gaib dan yang nyata, Allah lebih mengetahui dari diri mereka sendiri, dan kelak Allah akan memberikan balasan hal tersebut terhadap mereka dengan pembalasan yang sempurna.
****
Firman Allah Swt.:
{وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ}
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. (Al-Maidah: 62)
Mereka bersegera melakukan tindakan tersebut,yakni mengerjakan se­mua hal yang berdosa dan hal-hal yang diharamkan serta menganiaya orang lain dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
{لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Maidah: 62)
Yaitu alangkah buruknya perbuatan yang mereka kerjakan dan alangkah jahatnya perbuatan aniaya yang mereka lancarkan itu.
****
Firman Allah Swt.:
{لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Maidah: 63)
Yakni mengapa para penguasa dan pendeta-pendeta mereka tidak mau melarang mereka melakukan hal tersebut. Yang dimaksud dengan rabbaniyyun ialah para penguasa yang juga orang alim mereka, sedang­kan yang dimaksud dengan pendeta adalah para ulama saja.
{لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Maidah: 63)
Yaitu karena para penguasa dan para pendeta itu tidak mau melarang para pengikut mereka dari hal tersebut.
Demikianlah menurut penafsiran Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dikatakan demikian kepada mereka di saat mereka tidak melakukan nahi munkar dan di saat mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan. Abdur Rahman ibnu Zaid melanjutkan perkataannya, bahwa memang kenyataannya demikian; mereka mengerjakan hal-hal yang diharamkan, padahal mereka mengetahui bahwa itu diharamkan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Khalid ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang sangat keras celaannya selain dari ayat ini, yaitu firman-Nya: Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bahaya dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
Demikianlah menurut qiraah yang diutarakan oleh Ibnu Abbas, kata Ibnu Jarir. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dhahhak, "Tiada suatu ayat pun dalam Al-Qur'an yang lebih aku takuti daripada ayat ini, yaitu bila kami tidak melakukan nahi munkar." Demikianlah menurut Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan —demikian pula Yunus ibnu Habib— bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim ibnu Abul Waddah, telah menceritakan kepada kami Sabit ibnu Sa'id Al-Hamdani, bahwa ia pernah menjumpainya di Ar-Ray, lalu ia menceritakan sebuah asar dari Yahya ibnu Ya'mur yang menceritakan bahwa Ali ibnu Abu Talib berkhotbah. Untuk itu, ia memulainya dengan mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt, kemudian berkata, "Hai manusia, sesungguhnya telah binasa umat sebelum kalian hanyalah karena mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dan para pendeta serta para penguasa mereka tidak melarangnya. Setelah mereka berkepanjangan dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka siksaan datang menimpa mereka. Karena itu, ber-amar maruf-lah kalian dan ber-nahi munkar-lah kalian, sebelum azab yang pernah menimpa mereka menimpa kalian. Dan perlu kalian ketahui bahwa melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar itu tidak akan memutuskan rezeki dan tidak akan menyegerakan ajal."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا، شَرِيك، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ يَكُونُ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ مَنْ يَعْمَلُ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ مِنْهُ وَأَمْنَعُ، لَمْ يُغَيِّرُوا، إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعَذَابٍ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Ishaq, dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali suatu kaum yang di hadapan mereka terdapat orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan durhaka, padahal mereka lebih kuat dan lebih perkasa daripada dia, lalu mereka tidak mencegahnya, kecuali Allah menimpakan azab kepada mereka karena ulah orang itu.
Hadis tersebut bila ditinjau dari segi ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، عَنْ مَسَدَّد، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ، عَنْ جَرِيرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يَعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي، يَقْدِرُونَ أَنْ يُغِّيرُوا عَلَيْهِ، فَلَا يُغَيِّرُونَ إِلَّا أَصَابَهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ قَبْلَ أَنْ يَمُوتُوا".
Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad, dari Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari Jarir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tiada seorang pun dalam suatu kaum mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka suatu siksaan sebelum mereka mati.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Waki’ dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Ubaidillah ibnu Jarir, dari ayahnya dengan lafaz yang sama
Al-Hafiz Al-Mazzi mengatakan bahwa hal yang sama telah diri­wayatkan oleh Syu'bah, dari Abu Ishaq, dengan lafaz yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar