Translate

Senin, 03 Oktober 2016

An-Nisa, ayat 101-122

وَإِذا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكافِرِينَ كانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِيناً (101)
Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian), jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
Allah Swt. berfirman:
وَإِذا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
Apabila kalian bepergian di muka bumi. (An-Nisa: 101)
Yaitu melakukan perjalanan ke berbagai negeri; semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ}
maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101)
Yakni meringankan; adakalanya dari segi rakaatnya, misalnya salat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai dalil salat qasar dalam perjalanan, sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang semisal. Seperti yang diriwayatkan oleh Ata dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena berdasarkan kepada makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan:
{إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا}
jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101)
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan bagi bepergian harus dalam rangka taqarrub, melainkan boleh pula dalam rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجانِفٍ لِإِثْمٍ
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Seperti halnya diperbolehkan baginya memakan bangkai bila dalam keadaan darurat, tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat dengan perjalanannya itu. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta selain keduanya dari kalangan para imam.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Ibrahim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, aku biasa pulang pergi ke Bahrain." Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepadanya salat dua rakaat (yakni salat qasar). Hadis ini berpredikat mursal.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan ini bersifat mutlak. Dengan kata lain, baik yang mubah ataupun yang terlarang, sekalipun dia bepergian untuk tujuan membegal jalan dan menakut-nakuti orang yang lewat (meneror). Hukum qasar diperbolehkan baginya karena safar (perjalanan) diartikan mutlak. Hal ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, As-Sauri, dan Daud, karena berdasarkan kepada keumuman makna ayat. Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda dengan mereka.
*******************
Adapun firman-Nya:
إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101)
Barangkali hal ini diinterpretasikan menurut kebanyakan yang terjadi di lingkungan saat ayat ini diturunkan. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam sesudah hijrah, kebanyakan perjalanan yang mereka lakukan dipenuhi oleh bahaya yang menakutkan. Bahkan mereka tidak beranjak meninggalkan tempat tinggalnya melainkan untuk menuju ke peperangan tahunan, atau sariyyah (pasukan) khusus, sedangkan keadaan lainnya merupakan perang terhadap Islam dan para pengikutnya. Pengertian mantuq apabila diungkapkan dalam bentuk prioritas, atau berdasarkan suatu kejadian, maka ia tidak mempunyai subyek pengertian. Sama halnya dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلا تُكْرِهُوا فَتَياتِكُمْ عَلَى الْبِغاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّناً
Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri mengingini kesucian. (An-Nur: 33)
Juga seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
 وَرَبائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسائِكُمُ
dan anak-anak istri kalian yang ada dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْج، عَنِ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بابَيْه، عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ: سَأَلْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قُلْتُ: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا} وَقَدْ أمَّن اللَّهُ النَّاسَ؟ فَقَالَ لِي عُمَرُ: عجبتُ مِمَّا عجبتَ مِنْهُ، فسألتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: "صَدَقَةٌ تَصْدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Ammar, dari Abdullah ibnu Rabiyah, dari Ya'la ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab mengenai makna firman-Nya: tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian), jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101) Sedangkan orang-orang di masa sekarang dalam keadaan aman (ke mana pun mereka mengadakan perjalanan)? Maka Umar r.a. berkata kepadaku bahwa ia pun pernah merasa heran seperti apa yang aku rasakan, lalu ia bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal tersebut. Maka beliau Saw. menjawab: Sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian. Karena itu, terimalah sedekah-Nya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abu Ammar dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih melalui Umar, dan tiada yang hafal kecuali dari jalur ini; semua perawinya dikenal.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Abu Hanzalah Al-Hazza yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang salat safar (salat dalam perjalanan). Maka ia menjawab bahwa salat perjalanan itu adalah dua rakaat (yakni qasar). Lalu aku bertanya, "Kalau demikian, bagaimanakah dengan firman Allah Swt. yang mengatakan: 'jika kalian takut diserang orang-orang kafir (An-Nisa: 101). Sedangkan kita sekarang dalam keadaan aman?" Maka Ibnu Umar menjawab, "Itulah sunnah, Rasulullah Saw."
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Minjab, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Qais ibnu Wahb, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar mengenai dua rakaat dalam perjalanan. Maka ia menjawab bahwa hal itu adalah rukhsah (keringanan) yang diturunkan dari langit; jika tidak menginginkannya, kalian boleh mengembalikan ke asalnya (yaitu empat rakaat).
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Kami salat bersama Rasulullah Saw. di antara Mekah dan Madinah sebanyak dua rakaat-dua rakaat, padahal kami dalam keadaan aman dan tidak takut dengan apa pun di antara Mekah dan Madinah itu."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai melalui Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid Al-Hazza, dari Abdullah ibnu Aun dengan lafaz yang sama.
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, demikian pula telah diriwayatkan oleh Ayyub, Hisyam, dan Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Menurut kami, hal yang sama diriwayatkan oleli Imam Turmuzi dan Imam Nasai; semuanya dari Qutaibah, dari Hasyim, dari Mansur, dari Zazan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Saw. berangkat dari Madinah menuju Mekah tanpa ada rasa takut kecuali kepada Tuhan semesta alam, tetapi beliau Saw. salat dua rakaat (yakni qasar). Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.
وَقَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَر، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من المدينة إِلَى مَكَّةَ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ. قُلْتُ: أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا؟ قَالَ: أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan hadis berikut: Kami keluar bersama-sama Rasulullah Saw. dari Madinah ke Mekah, beliau Saw. salat dua rakaat-dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah. Aku (Yahya ibnu Abu Ishaq) bertanya, "Apakah kalian tinggal di Mekah selama beberapa waktu?" Anas menjawab, "Kami bermukim selama sepuluh hari di Mekah."
Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Yahya ibnu Abu Ishaq Al-Hadrami dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wa-ki telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Wahb Al-Khuza'i yang menceritakan bahwa ia pernah salat dengan Nabi Saw. (yaitu salat Lohor dan Asar) di Mina dan banyak orang yang bermakmum kepadanya, dalam keadaan yang aman, masing-masing dua rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Ibnu Abu Ishaq, dari Anas dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Harisah ibnu Wahb menceritakan hadis berikut: Kami salat bersama-sama Rasulullah Saw. dalam situasi yang aman sekali di Mina sebanyak dua rakaat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Nafi’, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia salat dua rakaat bersama Rasulullah Saw. (yakni di Mina), begitu pula pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan permulaan masa Khalifah Usman; kemudian Usman menggenapkannya empat rakaat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafaz yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Yazid menceritakan asar berikut, Khalifah Usman ibnu Affan r.a. salat bersama kami di Mina empat rakaat. Lalu diceritakan kepada Abdullah ibnu Mas'ud r.a. hal tersebut, maka Abdullah mengucapkan istirja' (yakni inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Kemudian Abdullah mengatakan, 'Aku salat bersama Rasulullah Saw. di Mina dua rakaat, dan aku salat bersama Abu Bakar di Mina dua rakaat, dan aku salat bersama Umar ibnul Khattab di Mina dua rakaat pula. Aduhai, keberuntunganku dari dua rakaat yang pasti diterima ketimbang empat rakaat'."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari As-Sauri, antara lain dari Qutaibah, sama seperti yang disebut di atas.
Hadis-hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa qasar itu tidak disyaratkan adanya situasi yang menakutkan. Karena itu ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qasar dalam bab ini ialah qasar dari segi kaifiyah, bukan kammiyyah. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid, Ad-Dahhak, dan As-Saddi, seperti yang akan diterangkan kemudian.
Mereka memperkuat alasannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa salat itu pada asal mulanya difardukan dua rakaat-dua rakaat, baik dalam bepergian maupun di tempat tinggal. Kemudian salat dalam bepergian ditetapkan, sedangkan salat di tempat tinggal ditambahkan (menjadi empat rakaat).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Yusuf At-Tanisi, dan Muslim dari Yahya ibnu Yahya, sedangkan Abu Daud dari Al-Qa'nabi, dan Imam Nasai dari Qutaibah; keempat-empatnya dari Malik dengan lafaz yang sama.
Timbul suatu pertanyaan dari mereka, apabila asal salat dalam perjalanan adalah dua rakaat, bagaimanakah yang dimaksud dengan qasar kammiyyah dalam bab ini? Mengingat sesuatu yang merupakan asal tidak dapat disebut demikian (yakni istilah qasar, karena sejak semula sudah dua rakaat), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: maka tidaklah mengapa kalian mengqasar salat (kalian). (An-Nisa: 101)           '          
Hal yang lebih jelas lagi penunjukannya dari ayat ini ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Sufyan serta Abdur Rahman, dari Zubaid Al-Yami, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Umar r.a. yang mengatakan bahwa salat dalam perjalanan itu dua rakaat, salat Hari Raya Kurban dua rakaat, salat Hari Raya Fitri dua rakaat, dan salat Jumat dua rakaat, sebagai salat yang lengkap, bukan qasar (ditetapkan) melalui lisan Nabi Muhammad Saw.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui berbagai jalur dari Zubaid Al-Yami dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini harus dengan syarat Imam Muslim.
Imam Muslim menetapkan di dalam mukadimah kitab sahihnya bahwa Ibnu Abu Laila benar pernah mendengar hadis dari Umar. Sesungguhnya hal itu disebutkan dengan jelas dalam hadis ini, juga dalam hadis lainnya.
Hal ini, insya Allah benar, sekalipun Yahya ibnu Mu'in dan Abu Hatim serta Imam Nasai mengatakan bahwa Ibnu Abu Laila belum pernah mendengar dari Umar.
Menanggapi pendapat ini Imam Muslim mengatakan pula, "Sesungguhnya telah terjadi dalam sebagian jalur Abu Ya'la Al-Mausuli melalui jalur As-Sauri, dari Zubaid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari seorang yang siqah, dari Umar, lalu Imam Muslim mengetengahkannya. Imam Ibnu Majah disebutkan melalui jalur Yazid ibnu Abu Ziyad ibnu Abul Ja'd, dari Zubaid, dari Abdur Rahman, dari Ka'b ibnu Ujrah, dari Umar.
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri; Imam Muslim dan Imam Nasai menambahkan dan melalui Ayyub ibnu Aiz, keduanya dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mewajibkan salat melalui lisan Nabi kalian (Nabi Muhammad Saw.) empat rakaat di tempat dan dua rakaat dalam perjalanan, sedangkan dalam keadaan khauf (takut) adalah satu rakaat. Sebagaimana beliau melakukan salat qabliyah dan ba'diyah di tempat, demikian pula beliau Saw. melakukannya dalam salat perjalanan.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid, yang ia riwayatkan dari Tawus sendiri. Hal ini membuktikan bahwa hadis ini benar-benar bersumber dari Ibnu Abbas r.a.
Akan tetapi, hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah dikisahkan oleh Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa asal salat itu adalah dua rakaat, tetapi pada salat di tempat ditambahkan (dua rakaat lagi). Setelah keadaannya mapan, maka benarlah bila dikatakan bahwa salat di tempat difardukan seperti apa yang diceritakan oleh Ibnu Abbas (yakni empat rakaat).
Akan tetapi, hadis Ibnu Abbas dan hadis Siti Aisyah sepakat mengatakan bahwa salat safar itu adalah dua rakaat; dan bahwa dua rakaat tersebut merupakan salat yang lengkap, bukan qasar, seperti juga yang diterangkan di dalam hadis Umar r.a.
Bilamana demikian, berarti firman Allah Swt. yang mengatakan: maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Makna yang dimaksud ialah qasar kaifiyyah, seperti halnya dalam salat Khauf. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101), hingga akhir ayat.
Dalam ayat berikutnya disebutkan pula: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102), hingga akhir ayat.
Maka dalam ayat selanjutnya disebutkan tujuan utama dari qasar disertai dengan penyebutan gambaran dan tata caranya. Karena itulah ketika Imam Bukhari hendak mencatat Bab "Salat Khauf dalam kitab sahihnya, terlebih dahulu ia memulainya dengan menyebutkan firman-Nya: Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu. (An-Nisa: 102)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Juwaibir dari Ad-Dahhak sehubungan dengan firman-Nya: maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Bahwa hal tersebut di saat peperangan, seorang lelaki yang berkendaraan salat dengan dua takbir menghadap ke arah mana pun kendaraannya mengarah.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa  kalian meng-qasar salat (kalian), jika kalian takut. (An-Nisa: 101), hingga akhir ayat. Sesungguhnya jika kamu salat dua rakaat dalam perjalanan, maka itulah batas qasar yang diperbolehkan baginya. Tidak diperbolehkan selain itu kecuali bila ia takut diserang oleh orang-orang kafir di saat ia melakukan salat, maka qasar-nya boleh hanya dengan satu rakaat.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Hal tersebut terjadi ketika Nabi Saw. dan para sahabatnya berada di Asfan, sedangkan pasukan kaum musyrik berada di Dajnan, maka mereka menjadi berhadap-hadapan. Nabi Saw. salat Lohor bersama semua sahabatnya empat rakaat lengkap dengan rukuk dan sujudnya, dan mereka berdiri bersama-sama pula. Maka pasukan kaum musyrik hampir saja hendak menyerang dan menjarah barang-barang serta perabotan yang dibawa pasukan kaum muslim. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid, As-Saddi, dari Jabir dan Ibnu Umar. Ibnu Jarir memilih pendapat ini pula, karena ternyata ia mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan hal tersebut sesudah meriwayatkan hadis ini, dan inilah yang benar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi-b, dari Ibnu Syihab, dari Umayyah ibnu Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Kami menjumpai di dalam Kitabullah masalah qasar salat khauf, tetapi kami tidak menjumpai qasar salat safar." Maka Abdullah ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya kami menjumpai Nabi kami mengamalkan perbuatan yang kita kerjakan sekarang. Salat Khauf itu dinamakan salat qasar, serta menginterpretasikan ayat dengan pengertian tersebut, bukan dengan pengertian qasar salat untuk musafir."
Ibnu Umar menetapkan hal tersebut. Ia menyimpulkan dalil sehubungan dengan salat qasar musafir hanya dari perbuatan pentasyri’, bukan dengan nas Al-Qur'an.
Hal yang lebih jelas dari itu ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Walid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah ibnu Sammak Al-Hanafi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang salat safar. Maka Ibnu Umar menjawab, "Salat safar adalah dua rakaat sebagai salat yang lengkap, bukan qasar. Sesungguhnya salat qasar hanyalah pada keadaan Khauf saja." Lalu aku (Al-Hanafi) bertanya, "Bagaimanakah caranya salat khauf itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hendaknya imam salat dengan segolongan orang sebanyak satu rakaat, kemudian mereka yang sudah salat datang ke posisi mereka yang belum salat untuk menggantikannya, lalu mereka yang belum salat datang menggantikan kedudukan mereka yang sudah salat, lalu imam salat bersama golongan yang kedua satu rakaat lagi. Dengan demikian, imam melakukan salat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari dua golongan tersebut satu rakaat-satu rakaat."

وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرائِكُمْ وَلْتَأْتِ طائِفَةٌ أُخْرى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً واحِدَةً وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كانَ بِكُمْ أَذىً مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً (102)
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum salat, lalu salatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kalian lengah terhadap senjata kalian dan harta benda kalian, lalu mereka menyerbu kalian dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit; dan siap siagalah kalian. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.
Salat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Salat itu adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti salat Magrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti salat Subuh dan salat Safar). Kemudian adakalanya mereka melakukan salat dengan berjamaah, adakalanya perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak dapat berjamaah, melainkan masing-masing salat sendirian dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan.
Dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka diperbolehkan berjalan dan memukul dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam salatnya.
Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka melakukan salatnya satu rakaat saja, karena berdasarkan kepada hadis Ibnu Abbas yang lalu tadi. Hal ini dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Al-Munziri di dalam kitab Al-Hawasyi mengatakan bahwa pendapat ini dikatakan oleh Ata, Jabir, Al-Hasan, Mujahid, Al-Hakam, Qatadah, dan Hammad. Hal yang sama dikatakan pula oleh Tawus dan Ad-Dahhak.
Abu Asim Al-Abbadi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi, bahwa ia berpendapat salat Subuh dikembalikan menjadi satu rakaat dalam keadaan khauf (perang). Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan, "Adapun dalam keadaan pedang beradu, maka cukup bagimu satu rakaat dengan cara memakai isyarat saja. Jika kamu tidak mampu, cukup hanya dengan sekali sujud karena salat adalah zikrullah."
Ulama lainnya mengatakan cukup hanya dengan sekali takbir saja. Barangkali dia bermaksud satu rakaat, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan murid-muridnya. Hal yang sama dikatakan oleh Jabir ibnu Abdullah, Abdullah ibnu Umar dan Ka'b serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, juga As-Saddi, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Akan tetapi, orang-orang yang meriwayatkan pendapat ini hanya meriwayatkan berdasarkan makna lahiriahnya saja, yaitu menilai cukup salat khauf hanya dengan sekali takbir, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Amir Abdul Wahhab ibnu Bukht Al-Makki. Bahkan ia berani mengatakan, "Jika ia tidak mampu melakukan takbir, janganlah ia meninggalkan salat dalam hatinya, cukup hanya dengan niat." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Syu'aib ibnu Dinar.
Di antara ulama ada yang membolehkan mengakhirkan salat karena uzur peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi Saw.; beliau mengakhirkan salat Lohor dan Asar dalam Perang Ahzab dan mengerjakannya sesudah Magrib. Kemudian beliau melakukan salat Magrib dan Isya sesudahnya. Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk menghadapi mereka. Beliau Saw. bersabda:
"لَا يُصَلِّيَنَّ أحدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"
Jangan   sekali-kali  seseorang   di   antara   kalian   salat  Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah!
Waktu salat datang ketika mereka berada di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. hanyalah agar kita berjalan dengan cepat, bukan bermaksud agar kita mengakhirkan salat dari waktunya. Maka golongan ini mengerjakan salat Asar tepat pada waktunya di tengah jalan.
Sedangkan golongan lain dari mereka mengakhirkan salat Asar, lalu mereka mengerjakannya di tempat Bani Quraizah sesudah salat Magrib. Akan tetapi, Rasulullah Saw. tidak menegur salah satu dari kedua golongan tersebut.
Kami membahas masalah ini di dalam kitab Sirah, dan menerangkan pula bahwa orang-orang yang mengerjakan salat Asar pada waktunya lebih dekat kepada kebenaran daripada kenyataannya, sekalipun golongan yang lain dimaafkan. Hujah mereka yang menyebabkan mereka mengakhirkan salat Asar dari waktunya ialah uzur, karena mereka sedang dalam rangka jihad dan mengadakan serangan cepat terhadap segolongan orang-orang Yahudi yang terkutuk, disebabkan mereka melanggar perjanjian.
Menurut pendapat jumhur ulama, semuanya itu dimansukh oleh salat khauf, karena sesungguhnya ayat salat khauf masih belum diturunkan ketika terjadi peristiwa itu. Setelah ayat salat khauf diturunkan, maka mengakhirkan salat dimansukh olehnya. Hal ini lebih jelas dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan ahlus sunan.
Akan tetapi, hal ini sulit bila diselaraskan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya, yaitu dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng dan Bersua dengan Musuh". Disebutkan bahwa Al-Auza'i mengatakan, "Jika kemenangan berada di tangan dan mereka tidak mampu melakukan salat, hendaklah mereka salat dengan memakai isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-sendiri. Jika mereka tidak mampu memakai isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat sampai peperangan terhenti atau situasi aman dan terkendali, baru mereka melakukan salatnya dua rakaat. Jika dua rakaat tidak mampu mereka kerjakan, maka cukup dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika hal itu tidak mampu juga mereka kerjakan (karena keadaan masih sangat genting), maka tidak cukup bagi mereka mengerjakan salatnya hanya dengan takbir, melainkan mereka harus mengakhirkannya hingga keadaan benar-benar aman." Hal ini dikatakan oleh Makhul.
Anas ibnu Malik mengatakan, ia ikut mengepung Benteng Tustur di saat fajar menyingsing, lalu pecahlah perang dengan serunya, hingga pasukan kaum muslim tidak dapat melakukan salat Subuh. Maka kami tidak mengerjakannya kecuali setelah matahari tinggi, lalu baru kami berkesempatan mengerjakannya; saat itu kami berada di bawah pimpinan Abu Musa. Akhirnya kami beroleh kemenangan dan berhasil merebut Benteng Tustur.
Sahabat Anas mengatakan, "Tidaklah aku gembira bila salat tersebut ditukar dengan dunia dan semua yang ada padanya." Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Selanjutnya Imam Bukhari mengiringinya dengan hadis tentang mengakhirkan salat di saat Perang Ahzab. Menyusul hadis perintah Nabi Saw. kepada pasukan kaum muslim yang mengatakan bahwa mereka jangan mengerjakan salat Asar kecuali di tempat Bani Quraizah, seakan-akan Imam Bukhari memilih pendapat ini.
Bagi orang yang cenderung kepada pendapat ini boleh meniru apa yang telah dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya pada waktu penaklukan Benteng Tustur, karena sesungguhnya hal ini menurut kebanyakan ulama telah dikenal. Akan tetapi, peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab, dan tiada suatu nukilan pun yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya diprotes oleh seseorang dari kalangan sahabat.
Para ulama mengatakan bahwa salat khauf disyariatkan pada saat Perang Khandaq, karena Perang Zatur Riqa' terjadi sebelum Perang Khandaq menurut kebanyakan ulama Sirah dan Magazi. Di antara mereka yang me-nas-kan demikian ialah Muhammad ibnu Ishaq, Musa ibnu Uqbah, Al-Waqidi, Muhammad ibnu Sa'd (juru tulisnya), dan Khalifah ibnul Khayyat serta lain-lainnya.
Lain halnya dengan Imam Bukhari dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Perang Zatur Riqa' terjadi sesudah Perang Khandaq, karena berdasarkan kepada hadis Abu Musa dan hadis lainnya yang disebut di atas, kecuali Perang Khaibar.
Tetapi yang sangat mengherankan sekali ialah apa yang dikatakan oleh Al-Muzani, Abu Yusuf Al-Qadi, dan Ibrahim ibnu Ismail ibnu Ulayyah. Mereka berpendapat bahwa salat khauf telah dimansukh oleh perintah Nabi Saw. yang mengakhirkan salat dalam Perang Khandaq. Pendapat ini sangat aneh, karena terbukti melalui banyak hadis bahwa salat khauf terjadi sesudah Perang Khandaq.
Sebagai jalan keluarnya menginterpretasikan pengertian mengakhirkan salat pada hari itu menurut apa yang dikatakan oleh Makhul dan Al-Auza'i lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102)
Maksudnya, apabila kamu salat bersama mereka sebagai imam dalam salat khauf. Hal ini bukan seperti keadaan yang pertama tadi, karena pada keadaan pertama salat di-qasar-kan (dipendekkan) menjadi satu rakaat, seperti yang ditunjukkan oleh makna hadisnya, yaitu sendiri-sendiri, sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak, semuanya sama.
Kemudian disebutkan keadaan berjamaah dengan bermakmum kepada seorang imam, alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mewajibkan salat berjamaah berdasar-kan ayat yang mulia ini, mengingat dimaafkan banyak pekerjaan karena jamaah. Seandainya berjamaah tidak wajib, maka hal tersebut pasti tidak diperbolehkan.
Adapun orang yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa salat khauf dimansukh sesudah Nabi Saw., karena berdasarkan kepada firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka. (An-Nisa: 102)
Dengan pengertian ini, berarti gambaran salat tersebut terlewatkan olehnya, dan cara penyimpulan dalil seperti ini lemah. Dapat pula disanggah dengan sanggahan semisal perkataan orang-orang yang tidak mau berzakat, yaitu mereka yang beralasan kepada firman-Nya yang mengatakan:
خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِها وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kalian membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (At-Taubah: 103)
Mereka mengatakan bahwa kami tidak mau membayar zakat kepada siapa pun sesudah Nabi Saw., melainkan kami akan mengeluarkannya dengan tangan kami sendiri untuk diberikan kepada orang-orang yang akan kami beri. Kami tidak akan memberikannya kepada siapa pun kecuali kepada orang yang doanya menjadi ketenteraman jiwa bagi kami.
Sekalipun alasan mereka demikian, para sahabat menyanggah dan menyangkal alasan mereka, dan tetap memaksa untuk membayar zakatnya serta memerangi orang-orang dari kalangan mereka yang membangkang, tidak mau membayar zakat.
Dalam pembahasan berikut akan kami ketengahkan terlebih dahulu asbabun nuzul ayat ini sebelum menerangkan sifat (gambaran)nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Saif, dari Abu Rauq, dari Abu Ayyub, dari Ali r.a. yang menceritakan bahwa suatu kaum dari kalangan Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah Saw. Mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering bepergian di muka bumi. Bagaimanakah caranya kami menunaikan salat?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Kemudian wahyu terhenti. Satu tahun kemudian Nabi Saw. melakukan peperangan lagi dan salat Lohor dalam peperangan itu. Maka orang-orang musyrik berkata (dengan sesama mereka), "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya memberikan kesempatan kepada kalian punggung mereka, mengapa kalian tidak segera menyerang mereka dari belakang?" Lalu seseorang dari mereka ada yang berkata, "Sesungguhnya masih ada segolongan lagi dari mereka yang berada di belakangnya melindungi mereka." Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Allah Swt. menurunkan firman-Nya di antara kedua salat (Lohor dan Asar), yaitu: jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa:  101), hingga akhir ayat berikutnya. Maka turunlah ayat mengenai salat khauf.
Konteks hadis ini garib, tetapi sebagian darinya ada syahid (penguat)nya yang diketengahkan melalui riwayat Abu Ayyasy Az-Zuraqi, nama aslinya ialah Zaid ibnus Samit Az-Zuraqi r.a. yang ada pada Imam Ahmad dan Ahli Sunan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abu Ayyasy Az-Zuraqi yang menceritakan, "Ketika kami bersama-sama Rasulullah Saw. di Asfan, orang-orang musyrik yang di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid (yang saat itu belum masuk Islam) datang hendak menyerang kami. Posisi mereka terletak di antara kami dan arah kiblat. Maka Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor bersama kami." Mereka (pasukan kaum musyrik) berkata, "Sesungguhnya mereka berada di dalam suatu posisi yang menguntungkan, seandainya saja kita menyerang mereka di saat mereka lengah." Kemudian mereka mengatakan pula, "Sekarang telah tiba saatnya bagi mereka suatu salat yang lebih mereka sukai daripada anak-anak dan diri mereka sendiri." Maka turunlah Malaikat Jibril di antara salat Lohor dan Asar dengan membawa ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102) Ketika waktu salat tiba, Rasulullah Saw. memerintahkan mereka untuk menyandang senjata, lalu membariskan kami di belakangnya menjadi dua saf. Kemudian Nabi Saw. rukuk, dan kami semua rukuk; lalu Nabi Saw. mengangkat tubuhnya dari rukuk, kami pun melakukan hal yang sama semuanya. Sesudah itu Nabi Saw. sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf berikutnya dalam keadaan tetap berdiri melakukan tugas penjagaan. Setelah mereka sujud dan bangun, maka golongan yang lainnya duduk, lalu sujud menggantikan mereka yang telah sujud. Kemudian saf kedua maju menggantikan kedudukan saf pertama, dan saf pertama mundur menggantikan kedudukan saf yang kedua. Lalu Nabi Saw. rukuk, maka mereka semuanya rukuk; dan Nabi Saw. mengangkat kepalanya dari rukuk, maka mereka mengangkat kepalanya pula dari rukuknya. Hal ini dilakukan mereka secara bersama-sama. Kemudian Nabi Saw. sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf yang lain tetap berdiri menjaga mereka. Setelah mereka duduk, maka saf yang lainnya duduk, lalu sujud. Selanjutnya Nabi Saw. salam bersama-sama mereka semua, dan selesailah salatnya. Abu Ayyasy Az-Zuraqi mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menjalankan salat ini dua kali; sekali di Asfan, dan yang lainnya di tanah tempat orang-orang Bani Sulaim.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya dari Gundar, dari Syu'bah, dari Mansur dengan sanad yang sama dan dengan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Sa'id ibnu Mansur, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dan Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, semuanya dari Mansur dengan lafaz yang sama.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai banyak syahid (penguat), antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, dari Az-Zubaidi, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Atabah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. berdiri (untuk salat), lalu orang-orang berdiri pula bersamanya. Nabi Saw. bertakbir, maka mereka pun bertakbir mengikutinya; Nabi Saw. rukuk, dan sebagian dari mereka rukuk bersamanya, kemudian Nabi Saw. sujud yang diikuti oleh sebagian dari mereka. Kemudian Nabi Saw. berdiri untuk rakaat yang kedua, maka berdirilah orang-orang yang tadinya sujud bersamanya dan tetap berdiri menjaga saudara-saudara mereka yang belum salat. Lalu golongan yang lainnya bergabung bersama Nabi Saw. rukuk dan sujud bersamanya. Semua pasukan berada dalam salat, tetapi sebagian dari mereka menjaga sebagian yang lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang mengqasar salat, bilakah diturunkan dan pada peristiwa apa? Jabir menjawab, "Kami berangkat menghadap kafilah orang-orang Quraisy yang datang dari negeri Syam. Ketika kami berada di Nakhlah (sedang beristirahat), maka datanglah seorang lelaki dari kalangan musuh kepada Rasulullah Saw. (secara diam-diam), lalu bertanya dengan nada mengancam, 'Hai Muhammad, apakah kamu takut kepadaku?' Nabi Saw. menjawab, Tidak.' Lelaki itu berkata lagi, "Siapakah yang akan mencegahku darimu?' Nabi Saw. menjawab, 'Allah yang akan melindungiku darimu.' Maka pedang lelaki itu terjatuh, kemudian Nabi Saw. berbalik mengancam dan memperingatinya. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar semuanya berangkat dan menyandang senjatanya masing-masing. Tetapi waktu salat tiba, maka diserukan untuk salat. Rasulullah Saw. salat dengan segolongan orang dari kaum, sedangkan kaum yang lain menjaga mereka yang sedang salat. Rasulullah Saw. salat bersama-sama saf yang ada di belakangnya sebanyak dua rakaat, kemudian mereka yang telah salat bersamanya mundur ke belakang, lalu kedudukan mereka digantikan oleh orang-orang yang belum salat, dan mereka menggantikan posisi orang-orang yang belum salat itu untuk menjaganya. Lalu Nabi Saw. salat bersama mereka dua rakaat lagi, kemudian Nabi Saw. salam.  Dengan demikian, Nabi Saw. melakukan salatnya sebanyak empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat. Pada hari itulah Allah menurunkan wahyu yang menerangkan tentang qasar salat dan memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar tetap membawa senjatanya."
Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasu¬lullah Saw. berperang melawan orang-orang Hafsah. Lalu datanglah seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Gauras ibnul Haris, sehingga berdiri di hadapan Rasulullah Saw. dengan pedang yang terhunus, (saat itu Rasulullah Saw. sedang istirahat). Lalu ia berkata, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Nabi Saw. menjawab, "Allah." Maka saat itu juga pedang terjatuh dari tangan Gauras. Rasulullah Saw. mengambil pedangnya, lalu berkata kepadanya, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Lelaki itu menjawab, "Semoga engkau adalah orang yang paling baik dalam membalas." Nabi Saw. bersabda, "Maukah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Lelaki itu menjawab, "Tidak. Tetapi aku berjanji kepadamu, aku tidak akan memerangimu dan tidak akan membantu orang-orang yang memerangimu." Maka Rasulullah Saw. melepaskannya. Gauras kembali kepada kaumnya, lalu mengatakan kepada mereka, "Aku baru saja datang dari manusia yang paling baik." Ketika waktu salat tiba, Rasulullah Saw. melakukan salat khauf, dan orang-orang dibagi menjadi dua golongan; segolongan berada di hadapan musuh, dan segolongan yang lain salat bersama Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. salat dua rakaat bersama-sama mereka, lalu mereka bersalam. Sesudah itu mereka pergi dan menggantikan posisi golongan lain yang belum salat menghadapi musuh, sedangkan mereka yang tadinya berjaga menghadapi musuh, bergabung salat bersama Rasulullah Saw. sebanyak dua rakaat. Maka Rasulullah Saw. melakukan salat empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat.
Hadis ini bila ditinjau dari segi sanadnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Qatn (yaitu Amr ibnul Haisam), telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Yazid Al-Faqir yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang dua rakaat dalam perjalanan, apakah keduanya adalah salat qasar? Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Salat dua rakaat dalam perjalanan adalah salat yang sempurna. Sesungguhnya yang dimaksud dengan qasar hanyalah di saat peperangan berkecamuk, yaitu satu rakaat. Tatkala kami sedang bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tiba-tiba salat didirikan. Maka Rasulullah Saw. membuat satu saf barisan yang terdiri atas segolongan kaum, sedangkan segolongan yang lain berada di hadapan musuh. Maka Rasulullah Saw. salat bersama mereka satu rakaat dan sujud sebanyak dua kali bersama mereka. Kemudian orang-orang yang tidak ikut salat meninggalkan posisinya untuk menggantikan mereka yang telah salat, dan yang telah salat menggantikan posisi mereka yang belum salat. Lalu mereka yang belum salat itu bersaf di belakang Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. salat bersama mereka satu rakaat serta sujud dua kali bersama-sama mereka. Setelah itu Rasulullah Saw. duduk (bertasyahhud) dan salam bersama orang-orang yang ada di belakangnya, dan salam pula mereka yang sedang dalam posisi berjaga. Dengan demikian, berarti Rasulullah Saw. salat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari kedua kaum itu satu rakaat." Kemudian Jabir ibnu Abdullah membacakan firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102), hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah Saw. salat bersama mereka (yaitu salat khauf). Untuk itu Rasulullah Saw. mengatur mereka menjadi dua saf, satu saf berada di hadapannya, dan saf yang lain berada di belakangnya. Kemudian Rasulullah Saw. salat satu rakaat bersama mereka yang ada di belakangnya dengan dua kali sujud. Selanjutnya mereka yang telah salat maju ke depan dan menggantikan posisi teman mereka yang belum salat. Lalu mereka yang belum salat datang dan menggantikan kedudukan mereka yang sudah salat; maka Nabi Saw. salat bersama mereka satu rakaat lagi berikut dua kali sujud, setelah itu beliau salam. Maka Nabi Saw. melakukan salat dua rakaat, dan bagi mereka masing-masing satu rakaat.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah. Hadis ini mempunyai jalur-jalur lain yang bersumber dari Jabir, dan di dalam kitab Sahih Muslim hadis ini diriwayatkan melalui sanad yang lain dan dengan lafaz yang lain pula. Jamaah telah meriwayatkannya di dalam kitab-kitab sahih, musnad, dan sunan dari Jabir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102) ia mengatakan, yang dimaksud adalah salat khauf. Rasulullah Saw. salat dengan salah satu golongan dari dua golongan yang ada sebanyak satu rakaat, sedangkan golongan yang lain menghadap ke arah musuh sambil berjaga-jaga. Setelah itu golongan yang tadinya menghadapi musuh datang dan salat bersama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. salat satu rakaat lagi bersama mereka, kemudian salam. Sesudah itu masing-masing dari kedua golongan melakukan salat sendiri-sen-diri masing-masing satu rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah dalam kitab-kitab mereka melalui jalur Ma'mar dengan lafaz yang sama. Hadis ini mempunyai banyak jalur periwayatan dari sejumlah sahabat.
Abu Bakar ibnu Murdawaih sehubungan dengan hadis ini mengetengahkan jalur-jalur dan lafaz-lafaznya dengan cara yang baik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ibnu Jarir. Hal ini akan kami catat di dalam Kitabul Ahkam Al-Kabir, insya Allah.
*******************
Perintah menyandang senjata dalam salat khauf, menurut segolongan ulama diinterpretasikan berhukum wajib karena berdasarkan kepada makna lahiriah ayat. Pendapat ini merupakan salah satu dari kedua pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafii. Sebagai dalilnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ}
Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit; dan siap siagalah kalian (tetap waspadalah kalian). (An-Nisa: 102)
Dengan kata lain, tetap waspadalah kalian; karena sewaktu-waktu bila diperlukan, kalian pasti akan menyandangnya dengan mudah, tanpa susah payah lagi.
{إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا}
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu. (An-Nisa: 102)
فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً (103) وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَما تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً (104)
Maka apabila kalian telah menyelesaikan salat (kalian), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh kalian). Jika kalian menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kalian menderitanya, sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Allah Swt. memerintahkan banyak berzikir sesudah mengerjakan salat khauf, sekalipun zikir sesudah salat disyariatkan dan dianjurkan pula dalam keadaan lainnya, tetapi dalam keadaan khauf (perang) lebih dikukuhkan, mengingat dalam salat khauf banyak terjadi keringanan dalam rukun-rukunnya, juga banyak rukhsah (kemurahan) padanya sehingga banyak pekerjaan yang dilakukan padanya, seperti datang dan pergi dan lain-lainnya yang tidak boleh dilakukan dalam salat lainnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya sehubungan dengan bulan-bulan haram, yaitu:
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36)
Sekalipun hal tersebut dilarang pula pada selain bulan-bulan haram, tetapi larangan ini lebih kuat dalam bulan-bulan haram, mengingat keharaman dan keagungannya yang sangat. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ}
Maka apabila kalian telah menyelesaikan salat (kalian), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. (An-Nisa: 103)
Maksudnya, ingatlah Allah dalam semua keadaan kalian.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ}
Kemudian apabila kalian sudah merasa aman, maka dirikanlah salat itu. (An-Nisa: 103)
Dengan kata lain, bila kalian telah merasa aman dan tidak takut lagi, sehingga ketenangan kalian peroleh.
{فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ}
maka dirikanlah salat itu. (An-Nisa: 103)
Yaitu sempurnakanlah salat dan dirikanlah ia sebagaimana kalian diperintahkan untuk melakukannya, lengkap dengan rukun-rukun, khusyuk, rukuk, sujud, dan semua urusannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً
Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103)
Menurut Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah yang difardukan. Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa salat itu mempunyai waktu, sama seperti ibadah haji mempunyai waktu yang tertentu baginya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Salim ibnu Abdullah, Ali ibnul Husain, Muhammad ibnu Ali, Al-Hasan, Muqatil, As-Saddi, dan Atiyyah Al-Aufi.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103) Bahwa Ibnu Mas'ud mengatakan, "Salat itu mempunyai waktu-waktu tertentu, sama halnya dengan ibadah haji."
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103) Yakni mempunyai waktunya masing-masing. Dengan kata lain, apabila salah satu waktunya pergi,  datanglah waktu yang lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغاءِ الْقَوْمِ
Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka. (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, janganlah semangat kalian kendur dalam mengejar musuh, melainkan kejarlah terus mereka, perangilah mereka, dan awasilah semua gerakan mereka.
{إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ}
Jika kalian menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kalian menderitanya. (An-Nisa: 104)
Yaitu sebagaimana kalian terkena luka dan kematian, maka hal tersebut telah menimpa mereka pula. Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ
Jika kalian (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. (Ali Imran: 140)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ
sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, kalian dan musuh kalian sama saja mengalami luka dan sakit yang semisal. Tetapi kalian berbeda dengan mereka; kalian mengharapkan pahala, pertolongan dan bantuan dari Allah, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepada kalian melalui Kitab-Nya dan melalui lisan Rasulullah Saw. Janji-Nya itu adalah nyata dan berita yang benar, sedangkan mereka (musuh kalian) tidak mengharapkan sesuatu pun dari hal tersebut. Kalian lebih utama dengan jihad daripada mereka, dan kalian lebih kuat keinginannya daripada mereka, dan lebih kuat keinginan kalian dalam menegakkan kalimat Allah dan meninggikannya.
{وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, Allah lebih mengetahui dan lebih bijaksana dalam semua apa yang ditentukan dan yang diputuskan-Nya serta dalam pelaksanaan-Nya sehubungan dengan peraturan-peraturan hukum syariat dan hukum tatanan alam semesta ini. Dia Maha Terpuji atas semua keadaan.

إِنَّا أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخائِنِينَ خَصِيماً (105) وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً (106) وَلا تُجادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ خَوَّاناً أَثِيماً (107) يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضى مِنَ الْقَوْلِ وَكانَ اللَّهُ بِما يَعْمَلُونَ مُحِيطاً (108) هَا أَنْتُمْ هؤُلاءِ جادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا فَمَنْ يُجادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلاً (109)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepada kamu dengan membawa  kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa; mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?
Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada Rasul-Nya:
{إِنّا أَنزلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran. (An-Nisa: 105)
Kitab itu adalah perkara yang hak dari Allah; di dalam berita dan perintah serta larangannya mengandung perkara yang hak.
Firman Allah Swt.:
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ اللَّهُ
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu. (An-Nisa: 105)
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan ulama Usul yang berpendapat bahwa Nabi Saw. boleh memutuskan peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini.
Berdasarkan apa yang telah disebut di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu rumahnya. Maka beliau keluar menemui mereka, dan bersabda:
«أَلَا إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّمَا أَقْضِي بِنَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ، وَلَعَلَّ أَحَدَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هي قطعة من النار فَلْيَحْمِلْهَا أَوْ لِيَذَرْهَا»
Ingatlah, sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya memutuskan peradilan sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang dari kalian adalah orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang lain, lalu aku memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa yang aku telah putuskan peradilan untuknya terhadap hak seorang muslim, sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, hendaklah ia membawanya atau membiarkannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: جَاءَ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ يَخْتَصِمَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوَارِيثَ بَيْنَهُمَا قَدْ دَرَسَتْ، لَيْسَ عِنْدَهُمَا بَيِّنَةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ ألْحَن بحُجَّتِه مِنْ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلَا يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ، يَأْتِي بِهَا إِسْطَامًا فِي عُنُقِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ". فَبَكَى الرَّجُلَانِ وَقَالَ كُلٌّ مِنْهُمَا: حَقِّي لِأَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَمَّا إِذَا قُلْتُمَا فَاذْهَبَا فَاقْتَسِمَا، ثُمَّ تَوَخَّيَا الْحَقَّ، ثُمَّ اسْتَهِمَا، ثُمَّ ليُحْللْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا صَاحِبَهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang mengadukan persengketaan mereka kepada Rasulullah Saw. mengenai warisan yang ada di antara keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai bukti. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah seorang dari kalian lebih lihai dalam alasannya daripada yang lain, dan aku hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya, janganlah dia mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka, yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat. Maka kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing mengatakan, "Hakku untuk saudaraku." Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Mengapa tidak kalian katakan sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan tegakkanlah perkara yang hak di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di antara kamu berdua dan hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada temannya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid dengan lafaz yang sama, tetapi ditambahkan:
«إِنِّي إِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمَا بِرَأْيٍ فِيمَا لَمْ يَنْزِلْ عَلَيَّ فِيهِ»
Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan pendapatku sehubungan dengan hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku mengenainya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Al-Aufi, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa segolongan orang dari kalangan Ansar ikut berperang bersama-sama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan. Lalu baju besi salah seorang dari mereka ada yang mencuri. Menurut dugaanku, pencuri tersebut adalah seseorang dari kalangan Ansar. Maka pemilik baju besi itu datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Sesungguhnya Tu'mah ibnu Ubairiq telah mencuri baju besiku." Setelah si pencuri melihat hal tersebut, maka dengan sengaja ia menaruh baju besi itu di dalam rumah seseorang yang tidak mencuri (tanpa sepengetahuannya), lalu ia datang kepada segolongan dari kaum kerabatnya, "Sesungguhnya aku sembunyikan baju besi itu dengan menaruhnya di rumah si Fulan, maka baju besi itu kelak akan dijumpai di dalam rumahnya.' Lalu keluarga si pencuri berangkat menemui Nabi Saw. di malam hari dan mengatakan, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya teman kami tidak bersalah, dan pemilik baju besi itu (yakni si Fulan) telah mengetahui tuduhan yang dilancarkannya. Maafkanlah teman kami di mata orang banyak dan belalah dia; karena sesungguhnya jika ia tidak dipelihara oleh Allah melaluimu, niscaya dia akan binasa." Rasulullah Saw. bangkit dan membersihkan namanya serta memaafkannya di hadapan orang banyak. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. (An-Nisa: 105-107); Kemudian Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan kedustaan, yaitu: mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat berikutnya. Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan sesuatu untuk membela orang yang berbuat khianat. Kemudian Allah Swt. berfirman: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya din sendiri. (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Yang dimaksud ialah mereka yang datang kepada Rasulullah Saw. seraya menyembunyikan kedustaan. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman: Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. (An-Nisa: 112) Maksudnya, si pencuri tersebut dan orang-orang yang membelanya.
Akan tetapi konteks hadis ini garib.
Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari kalangan Bani Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang berbeda-beda, tetapi pengertiannya berdekatan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu Abu Isa At-Turmuzi dalam kitab Jami'-nya dalam tafsir ayat ini —dan Imam Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu Nu'man r.a.) yang menceritakan hadis berikut:
Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul Saw., kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila sahabat-sahabat Rasulullah Saw. mendengar syair tersebut, mereka berkata, "Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu," atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa'ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong beras); di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa'ah datang kepadaku melaporkan, "Hai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa makanan serta senjata kita." Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana dan kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, "Demi Allah, kami merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam." Ketika Labid mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, "Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus membuktikan pencurian ini." Mereka berkata, "Tenanglah, menjauhlah engkau dari kami, engkau bukan pencurinya." Maka kami terus melakukan penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, "Hai keponakanku, sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah Saw. dan berbicara kepadanya mengenai hal tersebut." Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa'ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan." Nabi Saw. bersabda, "Aku akan melaksanakan hal tersebut." Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnun Nu'man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai ahli Islam dan orang baik-baik; lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi." Qatadah melanjutkan kisahnya, Maka aku datang lagi kepada Nabi Saw. untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi Saw. bersabda (kepadaku), 'Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi'." Qatadah mengatakan, "Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, 'Hai keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?' Lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Maka pamanku berkata, 'Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan'." Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu Al-Qur'an yang mengatakan seperti berikut, yaitu: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (An-Nisa: 105) dan mohonlah ampun kepada Allah. (An-Nisa: 106) Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang berkhianat' itu adalah Bani Ubairiq. Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. (An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun, niscaya mereka diampuni. Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (An-Nisa: 111) sampai dengan firman-Nya: dosa yang nyata. (An-Nisa: 112) Firman Allah Swt. yang ditujukan kepada Labid, yaitu: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. (An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114) Ketika Al-Qur'an telah diturunkan kepada Rasulullah Saw., senjata itu diserahkan kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. mengembalikannya kepada Rifa'ah. Qatadah mengatakan, "Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman Jahiliah; 'atau' di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu Isa, dan aku menilai Islam pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya, ia berkata, "Hai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat sabilillah." Maka aku merasa yakin bahwa Islamnya adalah benar. Setelah Al-Qur'an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd ibnu Sumayyah. Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 115-116) Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd, maka Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, "Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku dengan kebaikan."
Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Turmuzi disebutkan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengetahui seseorang pun yang meng-isnad-kan (menyandarkan)nya selain Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani.
Yunus ibnu Bukair dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah secara mursal, tanpa menyebutkan dari ayahnya, dari kakeknya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama dengan sebagiannya.
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail (yakni As-Saiq), telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini dengan panjang lebar.
Abusy Syekh Al-Asbahani di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibnu Ayyasy ibnu Ayyub dan Al-Hasan ibnu Ya'qub; keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Kemudian di akhirnya ia mengatakan bahwa Muhammad ibnu Salamah mengatakan, "Telah mendengar hadis ini dariku Yahya ibnu Mu'in, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Israil."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq secara makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat syair. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ
mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. (An-Nisa: 108)
Ayat ini mengingkari perbuatan orang-orang munafik, karena mereka menyembunyikan keburukan-keburukannya dari mata manusia, agar manusia tidak ingkar terhadap mereka (percaya kepada mereka), tetapi mereka berani terang-terangan melakukan hal tersebut terhadap Allah, karena Allah melihat semua rahasia mereka dan mengetahui apa yang terkandung di dalam hati sanubari mereka.
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا}
padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (An-Nisa: 108)
Ayat ini mengandung makna ancaman dan peringatan terhadap mereka.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. (An-Nisa: 109)
Dengan kata lain, misalnya mereka menang dalam perkaranya berkat apa yang mereka kemukakan atau berkat alasan-alasan yang mereka ajukan kepada para hakim yang menjalankan tugasnya menurut apa yang ada pada lahiriahnya saja, sekalipun mereka itu dianggap beribadah di dalam pekerjaannya. Maka apakah yang akan dilakukan oleh mereka kelak di hari kiamat di hadapan peradilan Allah Swt. yang mengetahui semua rahasia dan yang tidak tampak? Siapakah yang akan membela mereka pada hari kiamat itu untuk memperkuat pengakuan mereka? Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang dapat menolong mereka. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: Atau siapakah yang jadi pelindung  mereka  (terhadap  siksa Allah)? (An-Nisa: 109)
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُوراً رَحِيماً (110) وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْماً فَإِنَّما يَكْسِبُهُ عَلى نَفْسِهِ وَكانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً (111) وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْماً ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئاً فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتاناً وَإِثْماً مُبِيناً (112) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَما يُضِلُّونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُمْ وَما يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيماً (113)
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.
Allah Swt. memberitakan tentang kemurahan dan kedermawanan-Nya, bahwa semua orang yang bertobat kepada-Nya, pasti Dia menerima tobatnya atas semua dosa yang telah ia lakukan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya tentang ampunan-Nya, sifat penyantun-Nya, kemurahan-Nya, keluasan rahmat-Nya, dan pemaafan-Nya. Barang siapa yang mengerjakan suatu dosa, baik kecil ataupun besar.
{ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}
kemudian ia mohon ampun kepada Allah,' niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Sekalipun dosa-dosanya lebih besar daripada langit, bumi dan semua gunung. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Abdullah pernah menceritakan, ''Dahulu kaum Bani Israil, apabila seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, tercatat kifarat dosanya itu di atas pintu rumahnya. Apabila ada air seni yang mengenai sesuatu dari pakaiannya, maka ia harus menggunting bagian yang terkena itu dengan gunung dan membuangnya." Maka ada seorang lelaki berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberikan kebaikan kepada kaum Bani Israil." Lalu Abdullah ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada mereka. Allah telah menjadikan air suci lagi menyucikan bagi kalian." Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mereka mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Ali Imran: 135); Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ibnu Aun, dari Habib ibnu Abu Sabit yang menceritakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Abdullah ibnu Mugaffal, lalu wanita itu menanyakan kepadanya tentang seorang wanita yang berbuat zina hingga mengandung. Setelah melahirkan bayinya, maka bayi itu ia bunuh. Abdullah ibnu Mugaffal menjawab, bahwa wanita tersebut masuk neraka. Maka wanita yang bertanya itu pergi seraya menangis. Lalu Abdullah ibnu Mugaffal memanggilnya dan berkata kepadanya, "Menurutku, perkaramu itu hanyalah salah satu di antara dua pilihan," lalu Abdullah membacakan firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110) Mendengar hal tersebut wanita itu mengusap air matanya, kemudian pergi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ رَبِيعَةَ مِنْ بَنِي أَسَدٍ، يُحَدِّثُ عَنْ أَسْمَاءَ -أَوِ ابْنِ أَسْمَاءَ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ -قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ شَيْئًا نَفَعَنِي اللَّهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي مِنْهُ. وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ -وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ إِلَّا غُفِرَ لَهُ". وَقَرَأَ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ: {وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ [ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا] } {وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ} الآية.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami Abdur-Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada Kami Syu'bah, dari Usman ibnul Mugirah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali ibnu Rabi'ah dari Bani Asad menceritakan hadis kepada Asma atau Ibnu Asma dari Bani Fazzarah, bahwa Ali r.a. pernah mengatakan, "Apabila aku mendengar dari Rasulullah Saw. sesuatu hal, maka Allah memberikan manfaat kepadaku mengenainya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar As-Siddiq, dan memang Abu Bakar itu orangnya siddiq; ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Tidak sekali-kali seorang muslim melakukan suatu dosa, lalu ia melakukan wudu dan salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah untuk dosa tersebut, melainkan Allah memberikan ampun baginya'." Kemudian Rasulullah Saw. membacakan kedua ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya. (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. (Ali Imran: 135), hingga akhir ayat.
Kami membicarakan tentang hadis ini dan menisbatkannya kepada orang-orang dari kalangan ashabus sunan yang meriwayatkannya. Kami menyebutkan pula perihal sesuatu kelemahan pada sanadnya dalam Musnad Abu Bakar As-Siddiq r.a. Sebagian darinya telah diterangkan di dalam surat Ali Imran.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Ali r.a. Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الْحَرْبِيُّ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ مِهْران الدَّبَّاغُ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ -هُوَ الصِّدِّيقُ -  يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ عَبْدٍ أَذْنَبَ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَاسْتَغْفَرَ مِنْ ذَنْبِهِ، إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ: {وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ [ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا] } .
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Mihran Ad-Dabbag, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yazid, dari Abdu Khair, dari Ali yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar As-Siddiq menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: tidak sekali-kali seorang hamba melakukan perbuatan dosa, lalu ia bangkit melakukan wudu dengan wudu yang baik, kemudian berdiri melakukan salat, lalu memohon ampun dari dosanya, melainkan pasti Allah memberikan ampunan kepadanya. Karena Allah Swt. telah berfirman, "Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya" (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Abban (ibnu Abu Ayyasy), dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali, dari As-Siddiq dengan lafaz yang semisal. Tetapi sanad hadis ini tidak sahih.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ دُحَيم حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمٍ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ مَرْوَانَ الرَّقِّي، حَدَّثَنَا مُبَشِّر بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْحَلَبِيُّ، عَنْ تَمَّامِ بْنِ نَجِيح، حَدَّثَنِي كَعْبُ بْنُ ذُهْل الْأَزْدِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يُحَدِّثُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسْنَا حَوْلَهُ، وَكَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ فَقَامَ إِلَيْهَا وَأَرَادَ الرُّجُوعَ، تَرَكَ نَعْلَيْهِ فِي مَجْلِسِهِ أَوْ بَعْضَ مَا عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ قَامَ فَتَرَكَ نَعْلَيْهِ. قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: فَأَخَذَ رَكْوَة مِنْ مَاءٍ فَاتَّبَعْتُهُ، فَمَضَى سَاعَةً، ثُمَّ رَجَعَ وَلَمْ يَقْضِ حَاجَتَهُ، فَقَالَ: "إِنَّهُ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَالَ: إِنَّهُ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا} فَأَرَدْتُ أَنْ أُبَشِّرَ أَصْحَابِي". قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: وَكَانَتْ قَدْ شَقَّتْ عَلَى النَّاسِ الْآيَةُ الَّتِي قَبِلَهَا: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ رَبَّهُ، غَفَرَ لَهُ؟ قَالَ: "نَعَمْ" قُلْتُ الثَّانِيَةَ، قَالَ: "نَعَمْ"، ثُمَّ قُلْتُ الثَّالِثَةَ، قَالَ: "نَعَمْ، وَإِنَّ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ غَفَرَ لَهُ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ عُوَيْمِرٍ". قَالَ: فَرَأَيْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يَضْرِبُ أَنْفَ نَفْسِهِ بأصبعه.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Mubasysyir ibnu Ismail Al-Halbi, dari Tammam ibnu Nujaih, telah menceritakan kepadaku Ka'b ibnu Zahl Al-Azdi yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda menceritakan hadis berikut: "Rasulullah Saw. bilamana kami sedang duduk di sekitarnya, lalu beliau hendak membuang hajatnya, maka beliau bangkit untuk menunaikan hajatnya; dan bila beliau hendak kembali lagi ke majelisnya, maka ditinggalkannya sepasang terompahnya atau salah satu dari pakaiannya. Kali ini beliau Saw. bangkit ke hajatnya dan meninggalkan sepasang terompahnya." Abu Darda melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. membawa segayung air, dan aku mengikutinya. Kemudian beliau pergi selama sesaat, tetapi kembali lagi tanpa menunaikan hajatnya, lalu bersabda: 'Sesungguhnya telah datang utusan dari Tuhanku yang menyampaikan, barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka aku bermaksud untuk menyampaikan berita gembira ini terlebih dahulu kepada sahabat-sahabatku”." Abu Darda melanjutkan kisahnya, "Terasa berat oleh orang-orang ayat yang sebelumnya, yaitu firman-Nya: 'Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu' (An-Nisa: 123). Setelah Rasulullah Saw. menyampaikan berita gembira itu, maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sekalipun dia telah berzina dan telah mencuri, lalu ia memohon ampun kepada Tuhannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya?' Rasulullah Saw. menjawab, 'Ya.' Aku bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, dan beliau menjawab, 'Ya.' Ketika aku bertanya untuk yang ketiga kalinya, maka beliau Saw. bersabda: 'Ya, sekalipun dia telah berbuat zina, dan sekalipun dia telah mencuri, lalu ia memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah memberikan ampunan baginya, sekalipun hidung Abu Darda keropos'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Setiap kali aku melihat Abu Darda menceritakan hadis ini, ia selalu memukul hidungnya dengan jarinya."
Hadis ini garib sekali bila ditinjau dari segi sanadnya dengan konteks seperti ini, dan di dalam sanadnya terdapat kelemahan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْماً فَإِنَّما يَكْسِبُهُ عَلى نَفْسِهِ
Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (An-Nisa: 111)
Ayat ini semakna dengan ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلا تَزِرُ وازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرى
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-An'am: 164)
Dengan kata lain, seseorang tidak dapat menyelamatkan orang Lain. Sesungguhnya setiap orang akan menerima sendiri akibat dari apa yang dikerjakannya, tidak dapat membebankannya kepada orang lain. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 111)
Hal tersebut terjadi berkat pengetahuan-Nya, kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, dan rahmat-Nya.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا
Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah. (An-Nisa: 112), hingga akhir ayat.
Seperti yang dilakukan oleh Bani Ubairiq, ketika ia melemparkan tuduhan perbuatan jahatnya kepada orang Lain yang dikenal saleh, yaitu Labid ibnu Sahl, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis di atas. Atau seperti apa yang dituduhkan orang-orang kepada Zaid ibnus Samin (seorang Yahudi), padahal  Zaid tidak bersalah; dan mereka yang menuduhnya sebagai orang-orang zalim yang berkhianat, seperti yang diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Kemudian ancaman dan cemoohan ini bersifat umum. Dengan kata lain, mencakup pula selain mereka yang disebut dari kalangan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat seperti mereka dan berkarakter seperti mereka; maka baginya hukuman yang sama seperti yang diterima mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَما يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَما يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu. (An-Nisa: 113)
Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani dalam surat yang ditujukannya kepadaku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah Al-Ansari, dari ayahnya, dari kakeknya Qatadah ibnun Nu'man, lalu ia menyebutkan kisah Bani Ubairiq, dan Allah Swt. menurunkan firman-Nya: tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu. (An-Nisa: 113); Yang dimaksud dengan 'mereka' adalah Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya.
Dengan kata lain, ketika Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya memuji tindakan Bani Ubairiq dan mencela Qatadah ibnu Nu'man karena ia menuduh mereka yang mereka anggap sebagai orang baik-baik dan tidak bersalah, padahal duduk perkaranya tidaklah seperti apa yang mereka sampaikan kepada Rasulullah Saw. Karena itulah maka Allah menurunkan penyelesaian masalah tersebut dan membukakannya kepada Rasulullah Saw.
Kemudian Allah menganugerahkan kepadanya dukungan-Nya dalam semua keadaan dan memelihara dirinya. Allah menganugerahkan pula kepadanya Al-Qur'an dan hikmah, yakni sunnah.
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. (An-Nisa: 113)
Yakni sebelum hal tersebut diturunkan kepadamu. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتابُ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) itu? (Asy-Syura: 52), hingga akhir ayat.
وَما كُنْتَ تَرْجُوا أَنْ يُلْقى إِلَيْكَ الْكِتابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur'an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. (Al-Qasas: 86)
Karena itu dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:
{وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا}
Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (An-Nisa: 113)

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْواهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ ابْتِغاءَ مَرْضاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً (114) وَمَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساءَتْ مَصِيراً (115)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf. atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Firman Allah Swt:
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ}
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka. (An-Nisa: 114)
Yakni pembicaraan manusia.
{إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ}
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (An-Nisa: 114)
Maksudnya, kecuali orang-orang yang membisikkan dan mengatakan hal tersebut, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid ibnu Hunaisy yang menceritakan bahwa kami masuk ke dalam rumah Sufyan As-Sauri dalam rangka menjenguknya. Lalu masuklah kepada kami Sa'id ibnu Hissan. Maka As-Sauri berkata kepadanya, "Coba kamu ulangi lagi kepadaku hadis yang telah kamu ceritakan kepadaku dari Ummu Saleh." Lalu Sa'id ibnu Hissan mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku Ummu Saleh, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Ummu Habibah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كَلَامُ ابْنِ آدَمَ كُلُّهُ عَلَيْهِ لَا لَهُ مَا خَلَا أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا  عَنْ مُنْكَرٍ [أَوْ ذِكْرَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"،
'Perkataan anak Adam memudaratkan dirinya, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, kecuali zikrullah, atau menganjurkan kebajikan, atau melarang perbuatan mungkar'."
Maka Sufyan berkata, "Tidakkah kamu mendengar Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya, yaitu: ' Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia' (An-Nisa: 114)."
Maka hadis itu sama dengan ayat ini. Tidakkah kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula:
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً
'Pada hari ketika roh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar' (An-Naba': 38)."
Maka ayat ini pun semakna dengan hadis tersebut. Tidakkah kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula di dalam Kitab-Nya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ
'Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian' (Al-Asr 1-2), hingga akhir surat." Maka ayat ini sama dengan hadis tersebut.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Muhammad ibnu Yazid ibnu Hunaisy, dari Sa'id ibnu Hissan dengan lafaz yang sama; tetapi dalam riwayat ini tidak disebutkan perkataan As-Sauri. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, tidak dikenal kecuali melalui hadis Ibnu Hunaisy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ كَيْسان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عُبَيد اللَّهِ بْنِ شِهَابٍ: أَنَّ حُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَخْبَرَهُ، أن أمه أم كلثوم بنت عقبة أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي  يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا -أَوْ يَقُولُ خَيْرًا" وَقَالَتْ: لَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: فِي الْحَرْبِ، وَالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ، وَحَدِيثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا. قَالَ: وَكَانَتْ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عُقْبَةَ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ اللَّاتِي بَايَعْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim ibnu Ubaidillah ibnu Syihab, bahwa Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan kepadanya bahwa ibunya (yaitu Ummu Kalsum binti Uqbah) menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Bukanlah pendusta orang yang mengadakan perdamaian di antara manusia, lalu ia menyebarkan kebaikan atau mengatakan kebaikan. Ummu Kalsum binti Uqbah mengatakan, "Aku belum pernah mendengar beliau Saw. memberikan rukhsah (keringanan) terhadap apa yang diucapkan oleh manusia barang sedikit pun, kecuali dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, mengadakan perdamaian di antara manusia, dan pembicaraan suami terhadap istrinya serta pembicaraan istri terhadap suaminya."
Imam Ahmad mengatakan bahwa Ummu Kalsum binti Uqbah termasuk salah seorang wanita yang berhijrah dan ikut berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah Saw.
Jamaah selain Ibnu Majah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلِ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ؟ " قَالُوا: بَلَى. قَالَ: "إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ" قَالَ: "وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Muhammad, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku beritahukan hal yang lebih utama daripada pahala puasa, salat, dan zakat?" Mereka menjawab, "Tentu saja, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Mendamaikan orang-orang yang bersengketa." Nabi Saw. bersabda pula, "Kerusakan (yang ditimbulkan oleh) orang-orang yang bersengketa adalah Al-Haliqah (yang menghabiskan segala sesuatu)."
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي أَيُّوبَ: "أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى تِجَارَةٍ؟ " قَالَ: بَلَى: قَالَ: "تَسْعَى فِي صُلْحٍ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوا، وتُقَارب بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاعَدُوا"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Humaid, dari Anas, bahwa Nabi Saw. telah bersabda kepada Abu Ayyub, "Maukah engkau aku tunjukkan tentang suatu perniagaan?" Abu Ayyub menjawab, "Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda: Upayamu untuk mendamaikan di antara manusia, apabila mereka saling merusak; dan mendekatkan di antara mereka apabila mereka saling menjauh.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Abdullah Al-Umra orangnya lemah (daif), dan sesungguhnya dia banyak meriwayatkan hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
*******************
Dalam ayat selanjutnya disebutkan: 
{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللهِ}
Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah. (An-Nisa: 114)
Yaitu ikhlas dalam mengerjakannya  seraya mengharapkan pahala yang ada di sisi Allah Swt.
{فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا}
maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 114)
Yakni pahala yang berlimpah, banyak, dan luas.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. (An-Nisa: 115)
Barang siapa yang menempuh jalan selain jalan syariat yang didatangkan oleh Rasul Saw., maka ia berada di suatu belahan, sedangkan syariat Rasul Saw. berada di belahan yang lain. Hal tersebut dilakukannya dengan sengaja sesudah tampak jelas baginya jalan kebenaran.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. (An-Nisa: 115)
Makna firman ini saling berkaitan dengan apa yang digambarkan oleh firman pertama tadi. Tetapi adakalanya pelanggaran tersebut terhadap nas syariat, dan adakalanya bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh umat Muhammad dalam hal-hal yang telah dimaklumi kesepakatan mereka secara' nyata. Karena sesungguhnya dalam kesepakatan mereka telah dipelihara dari kekeliruan, sebagai karunia Allah demi menghormati mereka dan memuliakan Nabi mereka.
Hal ini disebut oleh hadis-hadis sahih yang cukup banyak jumlahnya, sebagian darinya yang telah diseleksi telah kami ketengahkan di dalam kitab Ahadisul Usul. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa makna hadis-hadis tersebut berpredikat mutawatir.
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafii yang menunjukkan bahwa ijma' adalah hujah (sumber hukum) yang haram ditentang; hal ini dijadikan sebagai rujukannya setelah pemikiran yang cukup lama dan penyelidikan yang teliti. Dalil ini merupakan suatu kesimpulan yang terbaik lagi kuat. Sebelum itu kesimpulan ini sulit ditemukan oleh sebagian kalangan ulama, karenanya jangkauan pemikiran mereka tidak sampai kepada kesimpulan ini.
Untuk itulah Allah Swt. memberikan ancaman terhadap orang yang berbuat demikian melalui firman selanjutnya, yaitu:
{نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا}
Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisa: 115)
Dengan kata lain apabila ia menempuh jalan yang menyimpang itu, maka Kami memberikan balasan yang setimpal terhadapnya, misalnya Kami jadikan baik pada permulaannya, dan Kami menghiaskannya untuk dia sebagai istidraj (daya pikat ke arah kebinasaan). Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Maka serahkanlah kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an). Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (Al-Qalam: 44)
فَلَمَّا زاغُوا أَزاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. (As-Saff: 5)
Sama juga dengan firman-Nya:
وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)
Allah menjadikan tempat kembalinya adalah neraka kelak di hari kemudian. Karena orang yang keluar dari jalan hidayah, tiada jalan baginya kecuali jalan yang menuju ke neraka di hari kiamat kelak. Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْواجَهُمْ
 (Kepada malaikat diperintahkan), "Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka.” (As-Saffat: 22), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُمْ مُواقِعُوها وَلَمْ يَجِدُوا عَنْها مَصْرِفاً
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya. (Al-Kahfi: 53)

 إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116) إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا (117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا (120) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلَا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا (121) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا (122)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni' dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan, "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh-mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari darinya. Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?
Dalam pembahasan yang lalu telah kami ketengahkan makna ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ}
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu. (An-Nisa: 116), hingga akhir ayat.
Telah kami sebutkan pula hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat ini pada permulaan surat (yakni surat An-Nisa).
Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Saubar ibnu Abu Fakhitan alias Sa'id ibnu Alaqah, dari ayahnya, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Tiada suatu ayat pun di dalam Al-Qur'an yang lebih aku sukai selain ayat ini," yakni firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. (An-Nisa: 116), hingga akhir ayat.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa asar ini hasan garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالًا بَعِيداً
Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 116)
Yakni sesungguhnya dia telah menempuh jalan selain jalan yang benar, dan telah tersesat dari jalan hidayah, jauh dari kebenaran. Ini berarti dia membinasakan dirinya sendiri, merugi di dunia dan akhirat, terlewatkan olehnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِناثاً
Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Waqid, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna ayat ini: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah jin perempuan. (An-Nisa: 117) Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa setiap berhala ada jin perempuannya.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Bahili, dari Abdul Aziz ibnu Muhammad, dari Hisyam (yakni Ibnu Urwah), dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud dengan inasan ialah berhala.
Telah diriwayatkan dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, dan Muqatil hal yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang musyrik mengatakan, "Para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah. Sesungguhnya kami menyembah mereka hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui mereka."
Ad-Dahhak mengatakan pula, bahwa lalu mereka menjadikannya sebagai sesembahan-sesembahan mereka, dan membuat patung-patung mereka dalam bentuk perempuan, lalu mereka menghiasinya dan memberinya kalung, kemudian mereka berkata, "Berhala-berhala ini mirip dengan anak-anak perempuan Allah yang kita sembah-sembah," maksud mereka adalah para malaikat.
Tafsir ini mirip dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
Maka apakah kalian patut (hai orang-orang musyrik) menganggap Lata dan Uzza (sebagai anak perempuan Allah)? (An-Najm: 19)
Sama maknanya dengan yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَجَعَلُوا الْمَلائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبادُ الرَّحْمنِ إِناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. (Az-Zukhruf: 19)
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. (As-Saffat: 158), hingga akhir ayat berikutnya.
Ali ibnu Abu Talhah dan Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Yang dimaksud dengan inasan ialah benda-benda mati.
Mubarak (yakni Ibnu Fudalah) telah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Al-Hasan (Al-Basri) mengatakan, yang dimaksud dengan istilah inas dalam ayat ini ialah segala sesuatu yang merupakan benda mati, tidak bernyawa; adakalanya berupa kayu kering dan adakalanya batu yang kering, yakni berhala yang terbuat dari benda-benda tersebut. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, tetapi pendapat ini dinilai garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطاناً مَرِيداً
Yang mereka sembah itu tiada lain hanyalah setan yang durhaka. (An-Nisa: 117)
Setanlah yang menganjurkan mereka berbuat demikian, dan setanlah yang menghiasinya dan menjadikannya baik di mata mereka, padahal kenyataannya mereka hanyalah menyembah iblis. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطانَ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, hai Bani Adam, supaya kalian tidak menyembah setan? (Yasin: 60), hingga akhir ayat.
Allah Swt. berfirman menceritakan perihal para malaikat, bahwa di hari kiamat mereka akan membicarakan orang-orang musyrik yang mengaku telah menyembah mereka ketika di dunia, yaitu:
بَلْ كانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu. (Saba': 41)
*******************
Firman Allah Swt.:
{لَعَنَهُ اللَّهُ}
yang dilaknati Allah. (An-Nisa: 118)
Maksudnya, diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, dan mengeluarkannya dari sisi-Nya.
{لأتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا}
dan setan itu mengatakan, "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya)." (An-Nisa: 118)
Yaitu jumlah tertentu dan telah dimaklumi.
Menurut Qatadah, jumlah tersebut ialah setiap seribu orang sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan yang seorang dimasukkan ke dalam surga.
{وَلأضِلَّنَّهُمْ}
dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka. (An-Nisa: 119)
Yakni dari jalan yang benar.
{وَلأمَنِّيَنَّهُمْ}
dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka. (An-Nisa: 119)
Artinya, aku akan menghiaskan pada mereka agar mereka tidak bertobat, dan aku bangkitkan angan-angan kosong mereka, menganjurkan kepada mereka untuk menangguh-nangguhkannya, dan menipu diri mereka melalui hawa nafsu mereka sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأنْعَامِ}
dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. (An-Nisa: 119)
Menurut Qatadah, As-Saddi, dan selain keduanya, yang dimaksud ialah membelah telinga binatang ternak untuk dijadikan tanda bagi hewan bahirah, saibah, dan wasilah.
{وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ}
dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. (An-Nisa: 119)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan mengubah ciptaan Allah dalam ayat ini ialah mengebiri binatang ternak.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas, Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Abi Iyad, Qatadah, Abu Saleh, As-Sauri. Hal ini telah dilarang oleh hadis yang menceritakan hal tersebut.
Al-Hasan ibnu Abul Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud ialah mentato binatang ternak. Di dalam kitab Sahih Muslim telah disebutkan adanya larangan membuat tato pada wajah. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah melaknat orang yang berbuat demikian.
Di dalam hadis sahih dari Ibnu Mas'ud disebutkan bahwa Allah melaknat wanita tukang tato dan wanita yang minta ditato, wanita yang mencabuti bulu alisnya dan yang meminta dicabuti, wanita yang melakukan pembedahan untuk kecantikan lagi mengubah ciptaan Allah Swt.
Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan pula, "Ingatlah, aku melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Saw.," yang hal ini terdapat di dalam Kitabullah. Yang dimaksud ialah firman-Nya:
وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr: 7)
Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat darinya, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Al-Hakam, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. (An-Nisa: 119)
Yang dimaksud dengan khalqallah dalam ayat ini ialah agama Allah Swt. Ayat ini berdasarkan tafsir tersebut semakna dengan firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Maka   hadapkanlah   wajahmu   dengan   lurus   kepada   agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30)
Menurut penafsiran orang yang menjadikan masdar sebagai kata perintah, artinya yakni 'janganlah kalian mengganti fitrah Allah, dan serulah manusia untuk kembali kepada fitrah mereka'.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَة، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدانه، ويُنَصِّرَانه، ويُمَجِّسَانه، كَمَا تُولَدُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعاء، هَلْ يَحُسّون فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ "
Setiap anak dilahirkan atas fitrah. maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak yang utuh, maka apakah kalian menjumpai padanya anggota tubuhnya yang tidak lengkap?
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Iyad ibnu Hammad yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنِّي خلقتُ عِبَادِي حُنَفَاء، فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فْاجْتَالَتْهُم عَنْ دِينِهِمْ، وحَرّمت عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ  لَهُمْ"
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus), lalu datanglah setan-setan dan menyesatkan mereka dari agamanya, serta mengharamkan atas mereka hal-hal yang telah Kuhalalkan bagi mereka."
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْراناً مُبِيناً
Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (An-Nisa: 119)
Dia benar-benar merugi di dunia dan akhiratnya, kerugian seperti ini tidak dapat diobati dan tidak dapat diganti bagi yang telah terlewatkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا}
Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa: 120)
Demikianlah akhir dari apa yang dijanjikan oleh setan pada kenyataannya, karena sesungguhnya setan selalu menjanjikan kepada para pendukungnya dan membangkitkan angan-angan kosong mereka, bahwa merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Padahal sesungguhnya setan berdusta dalam janji yang dibuat-buatnya itu. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa: 120)
Perihalnya sama dengan apa yang disebut oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, menceritakan keadaan iblis di hari kemudian, yaitu firman-Nya:
{وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ [إِلا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ] إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar; dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian." (Ibrahim: 22) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)
*******************
Firman Allah Swt.:
أُولَئِكَ
mereka itu. (An-Nisa: 121)
Orang-orang yang menganggap baik setan dalam janji dan apa yang diangan-angankannya kepada mereka.
{مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ}
tempatnya Jahannam. (An-Nisa: 121)
Tempat kembali mereka kelak di hari kiamat adalah neraka Jahannam.
{وَلا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا}
dan mereka tidak memperoleh tempat lari darinya. (An-Nisa: 121)
Artinya, mereka tidak mempunyai jalan selamat dari neraka, tiada tempat untuk menghindarkan diri darinya.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. menyebutkan keadaan yang dialami oleh orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang bertakwa serta kehormatan yang sempurna yang diperolehnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ}
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh. (An-Nisa: 122)
Yaitu hati mereka percaya dan semua anggota tubuh mereka mengamalkan semua yang diperintahkan kepada mereka berupa kebaikan-kebaikan, dan meninggalkan semua perkara mungkar yang dilarang mereka mengerjakannya.
{سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. (An-Nisa: 122)
Maksudnya, mereka dapat mengalirkannya menurut apa yang mereka kehendaki dan di mana pun mereka kehendaki.
{خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا}
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (An-Nisa: 122)
Yakni tidak akan hilang kenikmatan itu dan tidak akan pindah darinya.
{وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا}
Allah telah membuat suatu janji yang benar. (An-Nisa: 122)
Artinya, hal ini merupakan janji Allah, dan janji Allah itu sudah di-maklumi pasti nyata dan pasti terjadinya. Karena itulah maka dalam firman ini ungkapan diperkuat dengan memakai masdar untuk menunjukkan kepastian dari berita, yaitu firman-Nya, "Haqqan."
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلا}
Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (An-Nisa: 122)
Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang lebih benar perkataannya daripada Allah Swt. Yang dimaksud dengan lebih benar ialah lebih baik; tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Tersebutlah bahwa Rasulullah Saw. bila dalam khotbahnya selalu mengucapkan kalimat berikut:
«إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كَلَامُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النار»
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Allah, dan sebaik-baik hidayah ialah hidayah Muhammad Saw. Dan seburuk-buruk perkara ialah hal-hal yang baru, dan setiap hal yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar