Translate

Senin, 03 Oktober 2016

An-Nisa, ayat 1-16

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) }
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah. kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminla satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya, yaitu menyembah kepada-Nya semata dan tidak membuat sekutu bagi-Nya. Juga mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari seorang diri berkat kekuasaan-Nya orang tersebut adalah Adam a.s.
{وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا}
dan darinya Allah menciptakan istrinya. (An-Nisa: 1)
Siti Hawa a.s. diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam a.s. ketika Adam a.s. sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam a.s.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal. dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita kalian."
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ»
Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya. niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً}
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan. (An-Nisa: 1)
Allah mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan dari Adam dan Hawa, lalu menyebarkan mereka ke seluruh dunia dengan berbagai macam jenis, sifat, warna kulit, dan bahasa mereka. Kemudian sesudah itu hanya kepada-Nya mereka kembali dan dihimpunkan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ}
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. (An-Nisa: 1)
Maksudnya, bertakwalah kalian kepada Allah dengan taat kepada-Nya.
Ibrahim, Mujahid, dan Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, (An-Nisa: 1) Yakni seperti dikatakan, "Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan hubungan silaturahmi."
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat adalah 'bertakwalah kalian kepada Allah yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut nama-Nya'. Bertakwalah kalian kepada Allah dalam silaturahmi. Dengan kata lain, janganlah kalian memutuskannya. melainkan hubungkanlah dan berbaktilah untuknya. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid. Al-Hasan. Ad-Dahhak. Ar-Rabi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Salah seorang ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami. yakni dengan bacaan jar karena di-'ataf-kan kepada damir yang ada pada bihi. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi. Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian. (An-Nisa: 1)
Dia mengawasi semua keadaan dan semua perbuatan kalian. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Mujadilah: 6)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ»
Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.
Hal ini merupakan petunjuk dan sekaligus sebagai peringatan, bahwa diri kita selalu berada di dalam pengawasan Allah Swt.
Allah Swt. telah menyebutkan bahwa asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang lain, dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah dari mereka.
Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ أُولَئِكَ النَّفَرُ مِنْ مُضَر -وَهُمْ مُجْتابو النِّمار -أَيْ مِنْ عُريِّهم وفَقْرهم -قَامَ فَخَطَب النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ [وَاتَّقُوا اللَّهَ] } [الْحَشْرِ:18] ثُمَّ حَضَّهم عَلَى الصَّدَقَةِ فَقَالَ: "تَصَدَّقَ رجُلٌ مِنْ دِينَاره، مِنْ دِرْهَمِه، مِنْ صَاعِ بُرِّه، صَاعِ تَمْره ... " وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ.

bahwa ketika Rasulullah Saw. kedatangan sejumlah orang dari kalangan Mudar —mereka adalah orang-orang yang mendatangkan buah-buahan, yakni dari pohon-pohon milik mereka— maka Nabi Saw. berkhotbah kepada orang-orang sesudah salat Lohor. Dalam khotbahnya beliau Saw. membacakan firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat. Kemudian membacakan pula firman-Nya: Hai orang-orang yang berimah, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. (Al-Hasyr: 18) Kemudian Nabi Saw. menganjurkan mereka untuk bersedekah. Untuk itu beliau bersabda: Seorang lelaki bersedekah dari uang dinarnya, dari uang dirhamnya, dari sa' jewawutnya. dari sa' kurmanya, hingga akhir hadis.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahlus sunan dari Ibnu Mas'ud dalam khotbah hajinya. yang di dalamnya disebut pula bahwa setelah itu Ibnu Mas'ud membacakan tiga buah ayat Salah satunya adalah firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat.

وَآتُوا الْيَتامى أَمْوالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوالَهُمْ إِلى أَمْوالِكُمْ إِنَّهُ كانَ حُوباً كَبِيراً (2) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا مَا طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا (3) وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً (4) 
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kalian makan harta mereka bersama-sama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku  adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya).
Allah Swt. memerintahkan agar menyerahkan harta benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia balig yang sempurna dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah Swt. ber-firman:
{وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ}
jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk. (An-Nisa: 2)
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Saleh, "Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.
Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk".
Ibrahim An-Nakha'i dan Ad-Dahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."
As-Saddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantikannya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing. Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ}
dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian (An-Nisa: 2)
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan)'
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا}
Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang besar. (An-Nisa: 2)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai firman-Nya: dosa yang besar. (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah dosa besar.
Akan tetapi di dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya daif.
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya semisal dengan perkataan Ibnu Abbas.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan:
"اغْفِرْ لَنَا حُوبَنَا وَخَطَايَانَا"
Ampunilah bagi kami atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"يَا أَبَا أَيُّوبَ، إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ أَيُّوبَ كَانَ حُوبًا"
Hai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub adalah dosa!
Menurut Ibnu Sirin. yang dimaksud dengan al-hub ialah dosa.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi Saw., tetapi Nabi Saw. bersabda:  Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.
Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan tetap memegangnya (sebagai istrinya).
Ibnu Murdawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis Ali ibnu Asim, dari Humaid At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi Saw. bersabda:
"إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ سُلَيْمٍ لَحُوبٌ"
Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim benar-benar dosa.
Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.
Makna ayat: yaitu sesungguhnya bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim). hal itu adalah dosa yang besar dan merupakan kesalahan yang parah; maka jauhilah perbuatan tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى}
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)
Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.
Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)
Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ}
dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)
Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ
Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)
Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.
Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.
Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.: Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!
Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.
Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.
Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.
Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.
Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.
Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.
Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.
Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.
Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.
رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا  مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"
Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.
Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:
أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .
telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."
Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)
Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:
بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ... لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ
 Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.
Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا} قال: "لا تجوروا".
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"
Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً}
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً} قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Membacakan firman-Nya:  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً وَارْزُقُوهُمْ فِيها وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (5) وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).
Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya.
Berangkat dari pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam: adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).
Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat akalnya kurang sempurna atau agamama kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian. (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim.
Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah wanita.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمّار، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَائِكَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَإِنَّ النِّسَاءَ السُّفَهاء إِلَّا الَّتِي أَطَاعَتْ قَيِّمَها".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih secara panjang lebar.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian. (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا}
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah. dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan bagi mereka. yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian' (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemiutang tidak mempunyai saksi terhadapnya
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5) Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi.
Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى}
Dan ujilah anak yatim itu. (An-Nisa: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).
{حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ}
sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6)
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.
Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya  melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
«لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»
Tidak ada yatim sesudah balig dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.
Di dalam hadis yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:
«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»
Qalam diangkat dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.
Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan:
عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ -إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ
Diriku ditampilkan kepada Nabi Saw. dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu  berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya hadis ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan alamat balig atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia balig, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia balig bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka tidak mau mengobatinya.
Menurut pendapat yang sahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.
Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan:
عُرضنا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ، فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.
Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."
Ahlu sunan mengetengahkan hadis yang semisal, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.
Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya.
Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya:
قَبِيحٌ بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا
Amatlah buruk bagi orang semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang sebenarnya.
*******************
Firman Allah:
{فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (An-Nisa: 6)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan bukan hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.
Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.
*******************
Firman Allah Swt.
{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا}
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)
Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.
Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ}
Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6)
Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun.
Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).
{وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.
Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam. dari ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.
Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif. yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.
Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ  مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ بِمَالِهِ»
Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau— tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.
Kata   ‘atau' merupakan ragu dari pihak Husain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah Saw. menjawab:
«بِالْمَعْرُوفِ غَيْرَ مُسْرِفٍ»
Makanlah dengan cara yang makruf tanpa berlebih-lebihan!
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:
«مَا كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»
Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta(mu).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya. Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya".'
Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Pendapat inilah —yakni tidak wajib mengganti— yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat yang kedua, mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."
Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu, maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).
Sanad asar ini sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah dengan utang.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Telah diriwayatkan melalui jalur As-Saddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.
Imam Baihaqi mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa. sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang mengatakan: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang yang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.
Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya. yaitu firman-Nya:
وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa. (Al-An'am: 152 dan Al-Isra’: 34)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka. (An-Nisa: 6)
Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:
{فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ}
maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)
Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا}
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas  (atas  persaksian  itu). (An-Nisa: 6)
Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال يتيم"
Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim.

لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً (7) وَإِذا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُوا الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (8) وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً (9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً (10)
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wania ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah. yang mereka khawatir ter-adap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesurgguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik memberikan hartanya kepada anak-anaknya yang besar-besar saja, dan mereka tidak mewariskannya kepada wanita dan anak-anak. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Yaitu semuanya sama dalam hukum Allah Swt. Mereka mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan oleh Allah Swt. bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan kekerabatan mereka dengan si mayat, atau hubungan suami istri, atau hubungan al-wala. Karena sesungguhnya hubungan wala itu merupakan daging yang kedudukannya sama dengan daging yang senasab.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Ibnu Hirasah. dari Sufyan As-Sauri, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil. dari Jabir yang menceritakan bahwa Ummu Kahhah datang nienghadap Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang anak perempuan yang bapaknya telah mati, sedangkan keduanya tidak memperoleh warisan apa pun (dari ayahnya)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Hadis ini akan diterangkan nanti dalam pembahasan kedua ayat tentang pembagian warisan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8)
Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari kalangan ahli waris.
أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8)
Maka hendaklah mereka diberi bagian sekadarnya sebagai persen. Sesungguhnya hal tersebut pada permulaan Islam diwajibkan. Menurut pendapat yang lain adalah sunat. Para ulama berselisih pendapat, apakah hal ini dimansukh ataukah tidak; ada dua pendapat mengenainya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan, dari Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini muhkamah dan tidak dimansukh. Pendapat Imam Bukhari ini diikuti oleh Sa'id yang meriwayatkannya juga dari Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini masih tetap berlaku dan dipakai.
As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan ayat ini, bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib atas ahli waris si mayat dalam jumlah yang disetujui oleh mereka dan mereka rela memberikannya. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Abu Musa, Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Abul Aliyah, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan.
Ibnu Sirin, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Ibrahim An-Nakha'i. Ata ibnu Abu Rabah, Az-Zuhri, dan Yahya ibnu Ya'mur mengatakan bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Asyaj. dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Ibnu Sirin mengatakan bahwa Ubaidah mengurus suatu wasiat; ia memerintahkan agar didatangkan seekor kambing, lalu kambing itu disembelih, kemudian ia memberi makan orang-orang yang disebutkan dalam hadis ini, lalu berkata, "Seandainya tidak ada ayat ini, niscaya biayanya diambil dari hartaku."
Imam Malik dalam suatu riwayat yang ia ketengahkan di kitab tafsir—bagian dari satu juz—yang terhimpun dalam muwatha mengatakan bahwa urwah pernah memberi orang-orang  dari harta Mus'ab ketika ia membagikan  harta (yang ditinggalkan)nya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini muhkam. Telah diriwayatkan dari Abdul Karim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa pemberian tersebut suatu hak yang wajib dalam batas yang disetujui oleh orang-orang yang bersangkutan.
Alasan orang-orang yang berpendapat bahwa pemberian bagian tersebut merupakan perintah wasiat yang ditujukan kepada mereka yang bersangkutan.
Abdur Razzaq mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu  Mulaikah, bahwa Asma binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq dan Al-Qasim ibnu Muhammad; keduanya telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pernah membagikan harta warisan ayahnya (yaitu Abdur Rahman) yang saat itu Siti Aisyah masih hidup. Selanjutnya Abdullah tidak membiarkan seorang miskin pun, tidak pula seorang kerabat, melainkan diberinya bagian dari harta peninggalan ayahnya.  Lalu keduanya membacakan firman Allah Swt.: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Al-Qasim mengatakan bahwa lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas, maka ia berkata, "Kurang tepat, sebenarnya dia tidak usah melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu hanyalah berdasarkan wasiat, dan ayat ini hanyalah berkenaan dengan wasiat yang dikehendaki oleh si mayat buat mereka." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Alasan orang yang berpendapat bahwa ayat ini dimansukh secara keseluruhan.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini dimansukh.
Ismail ibnu Muslim Al-Makki meriwayatkan dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan ayat berikut. yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat sesudahnya, yaitu oleh firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan ini, yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Hal ini berlaku sebelum turunnya ayat tentang bagian-bagian tertentu dalam harta pusaka. Sesudah itu Allah menurunkan ayat bagian-bagian tertentu dan memberikan kepada ahli waris haknya. kemudian sedekah diadakan menurut apa yang disebutkan oleh si mayat (sewaktu masih hidupnya). Semua itu diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah. Telah menceritakan kepada  kami Hajaj. dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ati. Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8) Ayat ini dimansukh oleh ayat tentang pembagian harta pusaka. Maka Allah menjadikan bagi setiap ahli waris bagiannya yang tertentu dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kaum kerabatnya, ada yang men-dapat sedikit dan ada yang mendapat banyak.
Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Hammam, dari Qatadah. dari Sa'id ibnul Musayyab; ia pernah mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh. Sebelum ada ayat yang nicnentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris. harta peninggaian seorang Lelaki sebagian darinya diberikan kepada anak yatim, orang fakir miskin, dan kaum kerabat apabila mereka menghadiri pembagiannya. Selanjutnya dimansukh oleh ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, maka Allah menetapkan bagi tiap-tiap ahli waris liak yang didapatnya. Wasiat diambil dari sebagian harta peninggalan si mayat yang ia wasiatkan buat kaum kerabat yang dikehendakinya.
Malik meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat mawaris dan ayat mengenai wasiat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim ibnu Muhammad, Abu Saleh dan Abu Malik, juga oleh Zaid ibnu Aslam, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Rabi'ah ibnu Abu Abdur Rahman. Disebutkan bahwa mereka mengatakan ayat ini telah dimansukh.
Hal ini merupakan mazhab jumhur ulama fiqih, Imam yang empat dan para pengikutnya masing-masing.
Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Jarir memilih suatu pendapat yang aneh sekali. Kesimpulannya menyatakan bahwa makna ayat menurutnya ialah: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yakni apabila pembagian harta wasiat itu dihadiri oleh kaum kerabat mayat: maka berilah mereka dari harta itu, dan ucapkanlah oleh kalian. (An-Nisa: 8) Kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin bila mereka menghadirinya. perkataan yang benar. (An-Nisa: 8)
Demikianlah makna yang disimpulkan oleh Ibnu Jarir sesudah pembicaraan yang bertele-tele dan berulang-ulang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yaitu pembagian warisan.
Demikianlah yang dikatakan bukan hanya seorang ulama, dan makna inilah yang dinilai benar, bukan seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tadi.
Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orane miskin, anak-anak yatim, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya. Maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut. Bila mereka melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah Swt. Yang Maha Pengasih dan  Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka. Suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang sekadamya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya kepada fakir miskin). (Al-An'am: 141)
Allah Swt. mencela orang-orang yang mengangkut harta dengan sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhajat kepadanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang para pemilik kebun. yaitu melalui firman-Nya:
إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّها مُصْبِحِينَ
ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. (Al-Qalam: 17)
Makna yang dimaksud ialah di malam hari.
Allah Swt. telah berfirman:
فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخافَتُونَ أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ
Maka pergilah mereka seraya saling berbisik-bisik.”Pada hari ini janganlah ada seorang miskin masuk ke dalam kebun kalian." (Al-Qalam: 23-24)
Maka sebagai akibatnya mereka dibinasakan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكافِرِينَ أَمْثالُها
Allah telah. rnenimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)
Barang siapa yang ingkar terhadap hak Allah, niscaya Allah akan menghukumnya dengan rnenimpakan malapetaka terhadap barang milik yang paling disayanginya. Karena itulah maka disebutkan di dalam sebuah hadis:
«مَا خَالَطَتِ الصَّدَقَةُ مَالًا إِلَّا أَفْسَدَتْهُ»
Tidak sekali-kali harta zakat mencampuri suatu harta, melainkan ia pasti merusaknya.
Dengan kata lain, tidak menunaikan zakat merupakan penyebab bagi ludesnya harta tersebut secara keseluruhan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka. (An-Nisa: 9), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya. Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya. sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadis dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ عَلَى سَعْد بْنِ أَبِي وَقَاصٍّ يَعُودُهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةً، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إنك أن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من أَنْ تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون النَّاسَ"
Ketika Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumah Sa’d ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak boleh." Sa'd bertanya.”Bagaimana kalau dengan separonya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jangan." Sa'd bertanya, "Bagaimana kalau sepertiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sepertiganya sudah cukup banyak." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.
Di dalam kitab sahih dari Ibnu Abbas mengatakan,
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضّوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"
"Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, 'Sepertiganya sudah cukup banyak'."
Para ahli fiqih mengatakan, "Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunatkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang yang miskin. maka wasiatnya kurang dari sepertiga."
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak yatim.
{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا}
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas keperluan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya). (An-Nisa: 6)
Demikianlah menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini merupakan pendapat yang baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara aniaya.
Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik bila kamu memelihara mereka.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sesungguhnya ia memakan api sepenuh perutnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا}
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan. sesungguhnya yang mereka makan itu adalah api yang menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal.dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ»
"Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan." Ditanyakan, "Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah. Sihir,  membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai."
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدَةُ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ العمِّى، حدثنا أبو هاروي العَبْدي عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قُلْنَا: يا رسول الله، ما رأيت لَيْلَةَ أُسَرِيَ بِكَ؟ قَالَ: "انطَلَق بِي إِلَى خَلْقٍ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ كَثِيرٍ، رِجَال، كُلُّ رَجُلٍ لَهُ مِشْفَران كَمِشْفَرَيِ الْبَعِيرِ، وَهُوَ موَكَّل بِهِمْ رِجَالٌ يَفُكُّونَ لِحَاءَ أَحَدِهِمْ، ثُمَّ يُجَاءُ بِصَخْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَتُقْذَف فِي فِي أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ أَسْفَلِهِ وَلَهُمْ  خُوار وصُرَاخ. قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وسَيَصْلَوْن سَعِيرًا".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah bertanya.”Wahai Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau melakukan isra?" Nabi Saw. menjawab, "Aku dibawa ke arah sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum laki-laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang digunakan untuk menyembelih unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang dari mereka dibedah, lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam mulut seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian bawahnya, sedangkan mereka menjerit dan menggeram (karena sakit yang sangat). Lalu aku bertanya. 'Hai Jibril. siapakah mereka?  Jibril menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)'."
As-Saddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari mulut dan telinganya, kedua lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.
قَالَ أَبُو بَكْرِ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ نَافِعِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي بَرْزَةَ؛ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْقَوْمُ مِنْ قُبُورِهِمْ تَأَجَّج أَفْوَاهُهُمْ نَارًا" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: "أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا [إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا] } الْآيَةَ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul Munzir, dari Nafi' ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dibangkitkan di hari kiamat suatu kaum dari kuburan mereka, sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala. Ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau bersabda, "Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang mengatakan: 'Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim' (An-Nisa: 101. hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab sahih-nya, dari Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram.
قَالَ ابْنُ مَردويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جعفر، أحمد بْنُ عِصَامٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ  بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ المقبرِيّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أُحَرِّجُ مَالَ الضَّعِيفيْن: الْمَرْأَةِ وَالْيَتِيمِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku enggan terhadap harta dua orang yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.
Makna yang dimaksud ialah 'aku berwasiat kepada kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut'.
Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah sebuah asar melalui jalur Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair. dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya. (An-Nisa: 10), hingga akhir ayat. Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan makanannya dengan makanan anak yatimnya. begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya. sehingga akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang lebih tetapi makanan tersebut disimpan buat si anak yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi mereka, lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah mengurus urusan mereka secara patut adalah baik."  (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan minurnan mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat yang mulia ini, ayat sesudahnya, serta ayat yang memungkasi surat ini ketiganya merupakan ayat-ayat yang membahas ilmu faraid. Ilmu faraid merupakan rincian dari ketiga ayat ini, dan hadis-hadis yang menerangkan tentang hal ini kedudukannya sebagai tafsir dari ayat-ayat tersebut.
Kami akan mengetengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Mengenai ketetapan semua masalah dan perbedaan pendapat, semua dalilnya dan alasan-alasan yang dikemukakan di kalangan para Imam, pembahasannya terdapat di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah hukum-hukum syara'.
Di dalam hadis telah disebutkan anjuran untuk belajar ilmu faraid, dan bagian-bagian waris tertentu ini merupakan hal yang paling penting dalam ilmu faraid.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am Al-Ifriqi, dari Abdur Rahman ibnu Rafi* At-Tanukhi, dari Abdullah ibnu Amr secara marfu':
«الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادَلةٌ»
Ilmu itu ada tiga macam, dan yang selain dari itu hanya dinamakan keutamaan (pelengkap), yaitu ayat muhkamah, atau sunnah yang ditegakkan, atau faridah (pembagian waris) yang adil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، تَعلَّمُوا الفرائِضَ وعلِّموهُ فَإِنَّهُ نصْف الْعِلْمِ، وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْتزَع مِنْ أُمَّتِي".
Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya ilmu faraid itu adalah separo dari ilmu, dan ia akan terlupakan, dan ilmu faraid merupakan sesuatu yang paling pertama dicabut dari umatku.
Hadis riwayat Ibnu Majah, tetapi sanadnya daif
Telah diriwayatkan melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Abu Sa'id, tetapi sanad masing-masing dari keduanya perlu dipertimbangkan.
Ibnu Uyaynah mengatakan, sebenarnya ilmu faraid itu dinamakan separo ilmu, karena dengan ilmu ini semua manusia mendapat cobaan.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا هِشَامٌ: أن ابن جُرَيج أَخْبَرَهُمْ قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ المُنْكدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: عَادَنِي رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ فِي بَنِي سَلمَةَ مَاشِيَيْنِ، فوجَدَني النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَعْقِلُ شَيْئًا، فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ مِنْهُ، ثُمَّ رَش عَلَيَّ، فَأَفَقْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَأْمُرُنِي أَنْ أَصْنَعَ فِي مَالِي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَنَزَلَتْ: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ} .
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam, bahwa Ibnu Juraij pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepadaku Ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Rasulullah Saw. dan Abu Bakar datang dengan berjalan kaki menjengukku di Bani Salamah. Nabi menjumpaiku dalam keadaan tidak sadar akan sesuatu pun. Lalu beliau meminta air wudu dan melakukan wudu, kemudian mencipratkan (bekas air wudunya itu) kepadaku hingga aku sadar. Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengan hartaku? Apa yang harus kuperbuat dengannya?" Maka turunlah firman-Nya. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraii dengan lafaz yang sama.
Jama'ah meriwayatkannya, semuanya melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir.
Hadis lain dari Jabir mengenai asbabun nuzul ayat ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدّثنا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ عَمْرو الرَّقِّيُّ -عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقيل، عن جابر قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ الرَّبيع إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ، قُتل أَبُوهُمَا مَعَكَ فِي أحُد شَهِيدًا، وَإِنَّ عَمَّهُمَا أَخَذَ مَالَهُمَا، فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا وَلَا يُنْكَحَان إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ. قَالَ: فَقَالَ: "يَقْضِي اللَّهُ فِي ذَلِكَ". قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ، فَأَرْسَلَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَمِّهِمَا فَقَالَ: "أعْطِ ابْنَتي سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ، وأُمُّهُمَا الثُّمُنَ، وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah (yaitu Ibnu Amr Ar-Ruqqi), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail. dari Jabir yang menceritakan bahwa istri Sa'd ibnur Rabi' datang menghadap Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, kedua wanita ini adalah anak perempuan Sa'd ibnur Rabi', ayahnya telah gugur sebagai syuhada ketika Perang Uhud bersamamu. Sesungguhnya paman kedua anak perempuan ini mengambil semua hartanya dan tidak meninggalkan bagi keduanya sedikit harta pun, sedangkan keduanya tidak dapat menikah kecuali bila keduanya mempunyai harta." Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: Allah akan memberikan keputusan mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat tentang pembagian waris. Kemudian Rasulullah Saw. mengirimkan utusan kepada paman kedua wanita itu dan bersabda (kepadanya): Berikanlah dua pertiganya kepada kedua anak perempuan Sa'd dan bagi ibu keduanya seperdelapan. sedangkan selebihnya adalah untukmu.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail dengan. lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal ini tidak dikenal kecuali melalui hadisnya (Ibnu Uqail).
Yang jelas hadis Jabir yang pertama sebenarnya menerangkan asbabun nuzul ayat terakhir dari surat An-Nisa ini, seperti yang akan diterangkan kemudian. Karena sesungguhnya saat itu ia hanya mempunyai beberapa saudara perempuan dan tidak mempunyai anak perempuan. dan sebenarnya kasus pewarisannya adalah berdasarkan kalalah. Tetapi kami sengaja menyebutkannya dalam pembahasan ayat ini karena mengikut kepada Imam Bukhari, mengingat dia pun menyebutkannya dalam bab ini.
Hadis kedua dari Jabir lebih dekat kepada pengertian asbabun nuzul ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku adil terhadap mereka. Karena dahulu orang-orang Jahiliah menjadikan semua harta pusaka hanya untuk ahli waris laki-laki saja. sedangkan ahli waris perempuan tidak mendapatkan sesuatu pun darinya. Maka Allah memerintahkan agar berlaku adil di antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok harta pusaka. tetapi bagian kedua jenis dibedakan oleh Allah Swt.; Dia rnenjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan.. Dikarenakan itu karena seorang lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah, dan beban biaya lainnya. jerih payah dalam berniaga, dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima oleh perempuan.
Seorang ulama yang cerdik menyimpulkan dari firman-Nya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan  Bahwa Allah Swt. lebih kasih sayang kepada makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah bahwa Dia lebih sayang kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih. bahwa ada seorang wanita dari kalangan para tawanan dipisahkan dengan bayinya. Lalu si ibu mencari-cari bayinya kesana kemari. Ketika ia menjumpai bayinya, maka ia langsung mengambilnya dan menempelkannya pada dadanya, lalu menyusukannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya:
«أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ» ؟ قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ «فو الله لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا»
Bagaimanakah menurut kalian, tegakah wanita ini mencampakkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia mampu melakukannya. Mereka menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda.”Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."
Imam Bukhari sehubungan dengan bab ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Warqa, dari Ibnu Abu Najaih. dari Ata. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada mulanya harta pusaka bagi anak (si mayat) dan bagi kedua orang tuanya hanya wasiat, maka Allah menurunkan sebagian dari ketentuan tersebut menurut apa yang disukai-Nya. Dia menjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan menjadikan bagi kedua orang tua, masing-masing dari keduanya mendapat seperenam dan sepertiga, dan bagi istri seperdelapan dan seperempat, dan bagi suami separo dan seperempat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11) Demikian itu karena ketika turun ayat faraid yang isinya adalah ketetapan dari Allah Swt. yang menentukan bagian bagi anak lelaki, anak perempuan, dan kedua orang tua; maka orang-orang merasa tidak suka atau sebagian dari mereka tidak senang dengan pembagian itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, "Wanita diberi seperempat atau seperdelapan dan anak perempuan diberi setengah serta anak lelaki kecil pun diberi, padahal tiada seorang pun dari mereka yang berperang membela kaumnya dan tidak dapat merebut ganimah." Akan tetapi, hadis ini didiamkan saja; barangkali Rasulullah Saw. melupakannya atau kita katakan kepadanya, lalu beliau bersedia mengubahnya. Mereka berkata. "Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberikan bagian warisan kepada anak perempuan separo dari harta yang ditinggalkan ayahnya. padahal ia tidak dapat menaiki kuda dan tidak pula dapat berperang rnembela kaumnya?" Bahkan anak kecil pun diberi bagian warisan padahal ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tersebutlah bahwa di masa Jahiliah mereka tidak memberikan warisan kecuali hanya kepada orang yang berperang membela kaumnya. dan mereka hanya memberikannya kepada anak yang tertua dan yang lebih tua lagi.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz fauqa (lebih) adalah tambahan yang berarti, jika anak itu semuanya perempuan dua orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْناقِ
maka penggallah kepala mereka. (Al-Anfal: 12)
Akan tetapi, pendapat ini kurang dapat diterima. baik dalam ayat ini ataupun dalam ayat yang kedua. Karena sesungguhnya tidak ada dalam Al-Qur'an suatu tambahan pun yang tidak ada faedahnya, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima.
Kemudian firman-Nya yang mengatakan:
{فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11)
Seandainya makna yang dimaksud adalah seperti apa yang dikatakan mereka, niscaya akan disebutkan dalam firman di atas dengan memakai Lafaz falahuma (maka bagi keduanya) dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Sebenarnya pengertian bagian dua pertiga bagi dua anak perempuan ini diambil dari pengertian hukum bagian dua saudara perempuan yang terdapat pada ayat terakhir dari surat An-Nisa. Karena sesungguhnya dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa bagian dua saudara perempuan adalah dua pertiga. Apabila dua saudara perempuan mendapat bagian dua pertiga. maka terlebih lagi dua anak perempuan secara analoginya.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui hadis Jabir, bahwa Nabi Saw. pernah menetapkan bagi kedua orang anak perempuan Sa'd ibnur Rabi' dua pertiga. Maka Al-Kitab dan Sunnah menunjukkan kepada pengertian ini pula, juga sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:  
{وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ}
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (An-Nisa: 11)
Seandainya bagian dua anak perempuan adalah separo, niscaya hal ini dinaskan oleh ayat Al-Qur'an. Untuk itu disimpulkan, bilamana ditetapkan bagi anak perempuan yang seorang bagiannya sendiri, maka hal ini menunjukkan bahwa dua orang anak perempuan mempunyai bagian yang sama dengan tiga orang anak perempuan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.
Ibu dan bapak mempunyai bagian warisan dalam berbagai keadaan seperti penjelasan berikut:
  • Pertama, bilamana keduanya berkumpul bersama anak-anak si mayat, maka ditetapkan bagi masing-masing dari keduanya bagian seperenam. Jika si mayat tidak mempunyai anak kecuali hanya seorang anak perempuan. maka bagi si anak perempuan ditetapkan separo harta warisan. sedangkan masing-masing kedua orang tua si mayat mendapat bagian seperenam. Kemudian si ayah mendapat seperenam lainnya secara ta'sib. Dengan demikian. pihak ayah dalam keadaan seperti ini memperoleh dua bagian. yaitu dari bagian yang tertentu dan dari status 'asabah.
  • Kedua, bilamana ibu dan bapak yang mewaris harta peninggalan si mayat tanpa ada ahli waris yang lain, maka ditetapkan bagi ibu bagian sepertiga, sedangkan bagi ayah dalam keadaan seperti mengambil semua sisanya secara 'asabah murni. Dengan demikian si ayah memperoleh bagian dua kali lipat dari si ibu yaitu dua pertiganya.
    Seandainya kedua ibu bapak dibarengi dengan suami atau istri si mayat, maka si suami mengambil separonya atau si istri mengambil seperempatnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai bagian yang diambil oleh si ibu sesudah tersebut. Pendapat mereka tersimpul ke dalam tiga kelompok:
    • Ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa (setelah bagian suami atau istri diambil) dalam kedua masalah di atas. karena sisanya seakan-akan adalah seluruh warisan bagi keduanya, dan Allah menetapkan bagi si ibu separo dari apa yang diterima oleh si ayah. Dengan demikian, berarti si ibu mendapat sepertiga dari sisa sedangkan si ayah mendapat dua pertiga dari sisa. Demikianlah menurut pendapat Umar dan Usman serta riwayat yang paling sahih di antara dua riwayat yang bersumber dari Ali. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit, yang merupakan pegangan para ahli fiqih yang tujuh orang dan keempat orang Imam, serta jumhur ulama.
    • Si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Karena berdasarkan keumuman makna firman-Nya: jika orang yang meninggal tidak punya anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. (An-Nisa: 11) Karena sesungguhnya makna ayat lebih mencakup daripada hanya dibatasi dengan adanya suami atau istri atau tidak sama sekali. Hal ini merupakan pendapat Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ali dan Mu'az ibnu Jabal. Hal yang sama dikatakan oleh Syuraih serta Daud Az-Zahiri. Pendapat ini dipilih oleh Abul Husain Muhammad ibnu Abdullah. ibnul Labban Al-Basri di dalam kitabnya Al-Ijaz fi 'Umul Faraid. Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, bahkan boleh dikata lemah, karena makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa sebenarnya pembagian tersebut hanyalah bila keduanya saja yang mewarisi semua harta, tanpa ada ahli waris yang lain. Dalam masalah ini sebenarnya suami atau istri mengambil bagian yang telah ditentukan. sedangkan sisanya dianggap seakan-akan semua warisan. lalu si ibu mengambil sepertiganya.
    • Ibu mendapat sepertiga dari seluruh warisan dalam masalah istri secara khusus. Istri mendapat bagian seperempatnya, yaitu memperoleh tiga point dari dua belas point. Sedangkan ibu mendapat sepertiganya, yaitu empat point. Sisanya diberikan kepada bapak si mayat. Dalam masalah suami, ibu mendapat sepertiga dari sisa  agar si ibu tidak mendapat bagian lebih banyak daripada bagian si ayah sekiranya si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta warisan. Dengan demikian. maka asal masalahnya adalah enam: Suami mendapat separonya. yaitu tiga point; bagi si ibu sepertiga dari sisa, yakni asal masalah dikurangi bagian suami, yaitu satu point. Sedangkan bagi si ayah adalah sisanya setelah diambil bagian si ibu, yaitu dua point. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Sirin; pendapat ini merupakan gabungan dari kedua pendapat di atas. Tetapi pendapat ini pun dinilai lemah, dan pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.
  • Ketiga, bilamana ibu bapak si mayat berkumpul dengan saudara-saudara lelaki si mayat, baik yang dari seibu sebapak atau yang dari sebapak atau yang dari seibu. Maka sesungguhnya saudara-saudara si mayat tidak dapat warisan apa pun bila ada bapak si mayat. Tetapi sekalipun demikian, mereka dapat menghijab (menghalang-halangi) ibu untuk mendapat sepertiganya. tetapi yang didapat oleh si ibu hanyalah seperenamnya. Maka bagian si ibu bersama keberadaan saudara-saudara si mayat adalah seperenam.
    Jika tiada ahli waris lagi selain ibu bapak, maka si bapak mendapat sisa keseluruhannya. Hukum mengenai kedua saudara lelaki sama dengan hukum banyak saudara lelaki, seperti yang telah disebutkan di atas. Demikianlah menurut jumhur ulama.
    Imam Baihaqi meriwayatkan melalui jalur Syu'bah maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia masuk menemui Usman, lalu Ibnu Abbas mengatakan 'Sesungguhnya seorang saudara tidak dapat menolak ibu untuk mendapatkan sepertiga." Allah Swt. telah berfirman: jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara. (An-Nisa: 11) Dua orang saudara menurut bahasa kaummu berbeda dengan beberapa orang saudara. Maka sahabat Usman berkata.”Aku tidak mampu mengubah apa yang telah berlaku sebelumku dan telah dijalankan di beberapa kota besar, dijadikan sebagai kaidah waris-mewaris di kalangan orang-orang."
    Akan tetapi, kebenaran asar ini masih perlu dipertimbangkan, karena Syu'bah yang disebut dalam sanad asar ini pemah diragukan oleh Malik ibnu Anas. Seandainya asar ini sahih dari Ibnu Abbas, niscaya akan dijadikan pegangan oleh murid-muridnya yang terdekat. Apa yang dinukil oleh mereka dari Ibnu Abbas justru berbeda dengan hal tersebut.
    Telah diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid, dari ayatnya yang mengatakan bahwa dua orang saudara dinamakan pula ikhwah (beberapa orang saudara).
    Kami telah membahas masalah ini secara terpisah dengan pembahasan yang terinci.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai, dari Sa'id, dari Qatadah, sehubungan dengan  Firman Allah Swt.: Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (An-Nisa: 11) Mereka (beberapa saudara) dapat merugikan bagian ibu. sekalipun mereka tidak dapat mewaris (karena adanya ayah si mayat). Tetapi jika saudara si mayat hanya seorang, maka ia tidak dapat menghalang-halangi ibu dari bagian sepertiganya, dan ibu baru dapat dihalang-halangi jika jumlah saudara lebih dari satu orang. Para ulama berpendapat. sebenarnya mereka (beberapa saudara) dapat menghalang-halangi sebagian dari bagian ibu —yakni dari sepertiga menjadi seperenam— karena ayah mereka menjadi wali yang menikahkan mereka dan memberi mereka nafkah, sedangkan ibu mereka tidak.
    Pendapat ini dinilai cukup baik.
    Tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sahih, bahwa ia memandang seperenam bagian ibu karena ada mereka, adalah untuk mereka yang sisanya.
    Pendapat ini dinilai syaz. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
    Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seperenam yang dihalang-halangi oleh beberapa saudara dari ibu mereka adalah agar bagian tersebut untuk mereka, bukan untuk ayah mereka.
    Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat semua ulama. Telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Al-Hasan ihnu Muhammad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (yakni yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya saja).
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ}
    sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan); sesudah dibayar utangnya. (An-Nisa: 11)
    Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian ini dapat tersimpul dari makna ayat bila direnungkan secara mendalam.
    Imam Ahmad. Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah serta para penulis kitab tafsir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Ishaq, dari Al-Haris ibnu Abdullah Al-A'war, dari Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan bahwa:
    إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ} وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ، وَإِنَّ أَعْيَانَ بَنِي الْأُمِّ يَتَوَارَثُونَ دُونَ بَنِي العَلات، يَرِثُ الرَّجُلُ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَخِيهِ لِأَبِيهِ.
    sesungguhnya kalian telah membaca firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (An-Nisa: 11) Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memutuskan bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat.  Sesungguhnya saudara-saudara yang seibu itu dapat saling mewaris, tetapi saudara-saudara yang berbeda ibu tidak dapat saling mewaris. Seorang Lelaki dapat mewarisi saudara yang seibu sebapak, tetapi tidak kepada saudara yang sebapak.
    Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, "Kami tidak mengetahui asar ini kecuali melalui riwayat Al-Haris, sebagian dan kalangan ulama ada yang membicarakan tentangnya."
    Menurut kami: Al-Haris adalah orang yang mahir dalam Ilmu faraid dan mendalaminya serta menguasai ilmu hisab.
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا}
    Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
    Sesungguhnya Kami menentukan bagi orang-orang tua dan anak-anak bagian yang tertentu. dan Kami samakan di antara masing-masingnya dalam pembagian warisan, berbeda dengan perkara yang biasa dilakukan di Masa Jahiliah. Berbeda dengan apa yang pernah diterapkan pada permulaan Islam, yaitu harta pusaka buat anak. sedangkan buat kedua orang tua adalah berdasarkan wasiat, seperti dalam riwayat yang lalu dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Allah menasakh hal tersebut, lalu menggantinya dengan ketentuan dalam ayat ini, maka diberi-Nyalah bagian kepada mereka, juga kepada yang lainnya berdasarkan kekerabatan mereka (dengan si mayat). Hal ini tiada lain karena manusia itu adakalanya mendapat manfaat duniawi atau ukhrawi atau kedua-duanya dari pihak ayah banyak hal yang tidak ia dapatkan dari anaknya sendiri: tetapi adakalanya sebaliknya. Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
    Yakni sesungguhma manfaat dapat diharapkan dari pihak ini, sebagaimana manfaat pun dapat diharapkan dari pihak yang lain. Karena itulah maka Kami menentukan bagian untuk ini dan untuk itu, sena Kami samakan di antara kedua belah pihak dalam hal mewaris harta pusaka.
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ}
    Ini adalah ketetapan dari Allah. (An-Nisa: 11)
    Ketetapan yang telah Kami sebutkan menyangkut rincian bagian warisan dan memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang lebih banyak daripada yang lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah dan keputusan yang telah ditetapkan-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, Dia tidak akan meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya, dan Dia pasti memberi setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman
    {إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا}
    Sesungguhnya Allah Maha tahu dan Maha bijaksana. (An-Nisa: 11)

    وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)
    Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
    Allah Swt. berfirman.”Bagi kalian, hai kaum Lelaki, separo harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka mati tanpa meninggalkan seorang anak pun. Jika mereka mempunyai seorang anak, maka bagi kalian hanyalah seperempat dari apa yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar utangnya."
    Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat. Ketetapan ini telah disepakati oleh para ulama. Hukum cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan hukum anak lelaki sendiri yang menurunkan mereka.
    Kemudian Allah Swt. berfirman:
    وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
    para istri memperoleh seperempti harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12), hingga akhir ayat.
    Baik dalam seperempat atau seperdelapan seorang istri —dua orang istri, tiga orang istri, atau empat orang istri— mereka bersekutu dalam bagian tersebut.
    Firman Allah Swt. :
    {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ}
    sesudah dipenuhi wasiat.
    Tafsir firman ini telah dikemukakan di atas.
    Firman Allah Swt.:
    {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً}
    Jika seseorang diwaris secara kalalah. (An-Nisa: 12)
    Al-kalalah berakar dari kata iklil, artinya kalungan yang diletakkan di atas kepala dan meliputi semua sisinya. Makna yang dimaksud ayat ini ialah sesorang yang mati, kemudian harta peninggalannya diwarisi oleh kaum kerabat dari sisi-sisinya, bukan dari pokok (orang tua), bukan pula dari cabang (anak keturunannya).
    Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, bahwa ia pernah ditanya mengenai kalalah, maka ia menjawab, "Aku akan rnenjawab masalah ini melalui rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawabanku ini benar. maka berasal dari Allah: dan jika keliru, berarti dariku dan dari setan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas darinya. Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai orang tua dan tidak mempunyai anak," (dengan kata lain, yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya). Manakala Umar pergi, ia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar malu bila berbeda pendapat dengan Abu Bakar."
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Sufyan, dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar ibnu Abbas mengatakan, "Saya adalah orang yang paling akhir menemui sahabat Umar. Ku dengar di akhir usianya ia mengatakan, "Apakah yang pernah saya katakan, Apakah yang pernah saya katakan. Ibnu abbas menceritakan.”Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua, (yang mewarisi hanyalah saudara-saudaranya saja)."
    Hal yang sama dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud dan menurut pendapat yang sahih diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja bersumber dari Ibnu Abbas serta Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Jabir ibnu Zaid, dan Al-Hakam. Hal yang sama dikatakan oleh ulama Madinah, Kufah dan  Basrah.
    Pendapat inilah yang dikatakan oleh tujuh ulama fiqih, empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya.
    Telah diriwayatkan bukan hanya oleh seseorang tentang adanya ijma' (kesepakatan) di kalangan para ulama sehubungan dengan pendapat ini. Telah diriwayatkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan hal yang sama. Abu Husain ibnul Labban mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Yaitu bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi riwayat yang sahih yang bersumber dari Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama tadi. Barangkali si perawi masih belum memahami apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas.
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ}
    tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) (An-Nisa: 12)
    Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat ini ialah saudara seibu, seperti menurut qiraah sebagian ulama Salaf. antara lain ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq menurut apa yang diriwayatkan oleh Qatadah darinya.
    Firman Allah Swt.:
    {فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ}
    tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu
    Saudara seibu berbeda dengan saudara seayah dalam hal mewarisi ditinjau dari berbagai segi seperti berikut:
  • Pertama, mereka dapat mewaris bersama adanya yang nurunkan mereka, yaitu ibu.
  • Kedua, jenis laki-laki dan jenis perempuan dari mereka sama bagian warisannya.
  • Ketiga, mereka tidak dapat mewaris kecuali jika mayat mereka diwaris secara kalalah. Oleh karena itu. mereka tidak dapat mewarisi bila ada ayah si mayat atau kakek si mayat, atau cucu laki-laki si mayat.
  • Keempat bagian mereka tidak lebih dari sepertiga sekalipun jumlah mereka yang terdiri atas laki-laki dan perempuan itu jumlahnya banyak.
    Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Khalifah Umar memutuskan bahwa warisan saudara yang seibu di antara sesama mereka bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Az-Zuhri mengatakan tidak sekali-kali Khalifah Umar memutuskan demikian. melainkan ia telah mengetahuinya dari Rasulullah Saw." Ayat berikut inilah yang dikatakan oleh Allah Swt. mengenai masalah tersebut, yaitu firman-Nya: Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (An-Nisa: 12)
    Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah musytarakah (persekutuan mewarisi antara saudara seibu dan saudara seibu seayah). Masalah musytarakah ini terdiri atas suami, ibu atau nenek dan dua orang sudara seibu serta seorang atau lebih dari seorang dari saudara laki-laki seibu seayah.
    Menurut pendapat jumhur ulama, suami mendapat setengah, ibu atau nenek mendapat seperenam, dan saudara seibu mendapat sepertiga; dan bersekutu dalam bagian ini saudara-saudara seibu seayah, mengingat adanya persekutuan di antara sesama mereka. yaitu persaudaraan seibu.
    Masalah ini pernah terjadi di masa pemerintahan Amirul Muminin Umar ra. Karenanya ia memberi suami setengah, ibu seperenam, dan memberikan yang sepertiganya kepada anak-anak ibu (saudara-saudara seibu). Maka saudara-saudara (lelaki) yang seibu dan seayah dari si mayat berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayah kami adalah keledai, bukankan kami berasal dari satu ibu juga?" Akhirnya Khalifah Umar mempersekutukan mereka dalam bagian sepertiga itu, antara saudara seibu dan saudara seibu seayah.
    Persekutuan dalam sepertiga ini pernah pula dikatakan oleh Usman menurut riwayat yang sahih. Hal yang sama dikatakan menurut salah satu di antara kedua riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit serta Ibnu Abbas, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.
    Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, Masniq, Tawus, Muhammad ibnu Sirin, Ibrahim An-Nakha'i. Umar ibnu Abdul Aziz, As-Sauri, dan Syarik. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Malik. Imam Syafii, dan Ishaq ibnu Rahawaih.
    Disebutkan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib pernah tidak mempersekutukan mereka (dalam perkara itu). bahkan dia menjadikan bagian yang sepertiga itu hanya untuk saudara-saudara seibu si mayat, sedangkan saudara-Saudara seibu dan seayah tidak mendapat apa-apa, karena mereka terdiri atas laki-laki (asyabah).
    Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka’b dan Abu Musa Al-Asy'ari, yang terkenal dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Asy-Sya’bi. Ibnu Abu Laila. Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan. Al-Hasan ibnu Ziyad. Zufar ibnul Huzail. Imam Ahmad. Yahya ibnu Aslam, Nuaim bin Hammad. Abu Saur. dan Daud Al-Zahiri.
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ}
    sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian kepada ahli waris).
    Hendaknya wasiat yang dibuat oleh si mayat  tidak merupakan mudarat kepada ahli waris, tidak aniaya, dan tidak menyimpang. Hal yang menyimpang ialah misalnya si mayat dengan wasiatnya itu mengakibatkan terhalangnya sebagian ahli waris dari bagiannya atau mengurangi bagiannya, atau memberinya lebih dari apa yang telah ditetapkan baginya oleh Allah Swt. Barang siapa yang berbuat demikian, berarti sama saja dengan orang yang menentang Allah dalam Hukum dan syariat-Nya.
    قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الدِّمَشْقِيُّ الْفَرَادِيسِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ".
    Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dan Dari Ibn Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw bersabda: Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam wasiat termasuk dosa besar.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Umar bin Mughirah dia adalah Abu Hafs Basri.
    Sehubungan dengan Abu Hafs ini, Ibnu Asakir mengatakan bahwa dia dikenal sebagai orang yang memberikan kecukupan kepada orang-orang miskin. Telah meriwayatkan darinya banyak orang dari kalangan para imam.
    Abu Hatim Ar-Razi mengatakan dia adalah seorang syekh (guru).
    Ali ibnul Madini mengatakan: Dia orang yang tidak dikenal. dan aku tidak mengenalnya.
    Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, hadis ini mauquf.
    Karena itulah para Imam berselisih pendapat tentang iqrar (pengukuhan) buat ahli waris apakah hal ini dianggap tindakan yang benar ataukah tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan, tidak sah mengikrarkan bagian waris kepada ahli waris. Rasululah Saw. pernah bersabda:
    إِنَّ اللَّهَ قَدْ أعْطَى كُلَّ ذِي حَق حَقَّه، فَلَا وَصِيَّة لِوَارِثٍ
    Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orarg (ahli waris) hak yang diperoleh, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
    Pendapat ini merupakan mazhab Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Abu Hanifah serta qaul qadim Imam Syafi’i, sedangkan dalam qaul jadid Imam Syafii mengatakan iqrar adalah sah (dibenarkan).
    Pendapat yang mengatakan sah ini merupakan rnazhab Tawus, Ata, Al-Hasan, dan Umar ibnu Abdul Aziz; pendapat ini pulalah yang dipilih oleh Abu Abdullah Al-Bukhari di dalam kitab sahih-nya. dengan alasan bahwa Rafi' ibnu Khadij pernah berwasiat bahwa Al-Fazariah yang telah ditutup pintunya tidak boleh dibuka.
    Ibnu Jarir mengatakan sebagian ulama mengatakan seseorang tidak boleh melakukan iqrar karena hal ini memberikan kesan buruk prasangka terhadap para ahli waris. Karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah bersabda:
    «إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ»
    Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
    Allah Swt. telah berfirman:
    {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا}
    Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)
    Dalam ayat ini Allah tidak mengkhususkan kepada seorang ahli waris pun. juga tidak kepada yang lainnya.
    Sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa manakala iqrar dinyatakan sah sesuai dengan duduk perkara yang sebenarnya, maka berlakulah perbedaan pendapat seperti yang disebut di atas. Tetapi manakala iqrar yang dimaksud adalah sebagai tipu muslihat dan sarana untuk menambahi bagian sebagian ahli waris atau mengurangi bagian sebagian dari mereka, maka hal ini haram hukumnya menurut kesepakatan ulama dan nas ayat yang mulia yang mengatakan:
    {غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ}
    dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa: 12)

    تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ (14)
    (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
    Dengan kata lain, bagian-bagian dan ketentuan-ketenman yang telah dijadikan oleh Allah untuk para ahli waris sesuai dengan dekatnya hubungan nasab mereka dengan si mayat dan keperluan mereka kepadanya serta kesedihan mereka di saat ditinggalkan. semuanya itu merupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah maka janganlah kalian melanggar dan menyimpangkannya.
    Allah berfirman:
    {وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
    Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (An-Nisa: 13)
    Yakni dalam batasan-batasan tersebut, dan tidak menambahi atau mengurangi bagian sebagian ahli waris melalui cara tipu muslihat dan sarana penggelapan, melainkan membiarkan mereka menuruti hukum Allah, bagian, dan ketetapan yang telah ditentukan-Nya.
    {يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ}
    niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang men-durhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentu-an-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 13 – 14)
    Dikatakan demikian karena hal tersebut berarti mengubah hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah timbul dari orang yang merasa tidak puas dengan apa yang telah dibagikan dan ditetapkan Allah untuknya. Karena itu, Allah membalasnya dengan penghinaan dalam siksa yang sangat pedih lagi terus-menerus.
    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر ابن حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنةً، فَإِذَا أوْصَى حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ بَشَرِّ عَمَلِهِ، فيدخل النار؛ وإن الرجل ليعمل بعمل أهل الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيُدْخُلُ الْجَنَّةَ". قَالَ: ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ {تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {عَذَابٌ مُهِينٌ}
    Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausab. dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun, tetapi apabila ia berwasiat dan berlaku aniaya dalam wasiatnya, maka amal perbuatan terakhirnya ditetapkan amal perbuatan yang buruk, lalu ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan perbuatan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya. maka amal perbualan terakhir-nya adalah amal kebaikan, lalu masuklah ia ke dalam surga. Kemudian sahabat Abu Hurairah mencatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka," yaitu firman-Nya: (Hukum-hukum tersebut ) adalah ketentuan dari Allah. (An-Nisa: 13) Sampai dengan firman-Nya: dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 14)
    Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Menimpakan Mudarat dalam Berwasiat", bagian dari kitab sunannya:
    حَدَّثَنَا عَبْدَة بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا [نَصْرُ] بْنُ عَلِيٍّ الحُدَّاني، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَابِرٍ الحُدَّاني، حَدَّثَنِي شَهْرُ بْنُ حَوشَب: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ: أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لِيَعْمَلُ أَوِ الْمَرْأَةَ بِطَاعَةِ اللَّهِ سِتِّينَ سَنَةً، ثُمَّ يَحْضُرُهُمَا الْمَوْتُ فَيُضَاران فِي الْوَصِيَّةِ، فَتَجِبُ لَهُمَا النَّارُ" وَقَالَ: قَرَأَ عَلِيٌّ أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ هَاهُنَا: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ} حَتَّى بَلَغَ: { [وَ] ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} .
    telah menceritakan kepada kami Ubaidah ibnu Abdullah, telah menceritakan keruda kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnn Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Al-Asy’as ibnu Abdullah ibnu Jabir Al-Haddani, telah menceritakan kepadaku Syahr ibnu Hausyab, bahwa sahabat Abu Hurairah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah berabda: Sesungguhnya seorang lelaki atau seorang wanita benar-benar melakukan amal ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya menjelang kematiannya, lalu keduanya menimpakan mudarat (kepada ahli warisnya) dalam wasiatnya, maka pastilah keduanya masuk neraka. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Hurairah ra. membacakan firman-Nya kepadaku mulai dari firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (An-Nisa: 12) sampai dengan firman-Nya: dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa: 13)
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Asy'as dengan lafaz yang lebih lengkap darinya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Tetapi lafaz hadis Imam Ahmad jauh lebih lengkap dan lebih sempurna.

    وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفاحِشَةَ مِنْ نِسائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً (15) وَالَّذانِ يَأْتِيانِها مِنْكُمْ فَآذُوهُما فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحا فَأَعْرِضُوا عَنْهُما إِنَّ اللَّهَ كانَ تَوَّاباً رَحِيماً (16)
    Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya]. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
    Ketetapan hukum di masa permulaan Islam menyatakan bahwa seorang wanita itu apabila nyata melakukan perbuatan zina melalui bukti yang adil, maka ia ditahan di dalam rumah dan tidak dapat keluar darinya hingga ia mati (yakni dikurung) sampai mati. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
    {وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ}
    Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji. (An-Nisa: 15)
    Yang dimaksud dengan fahisyah dalam ayat ini ialah perbuatan zina.
    {مِن نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا}
    di antara wanita-wanua kalian, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (An-Nisa: 15)
    Yang dimaksud dengan jalan yang lain yang dijadikan oleh Allah ialah ayat lain yang menasakh (merevisi) hukum ini.
    Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya ketetapan hukum adalah seperti yang tertera dalam ayat ini, hingga Allah menurunkan surat An-Nur, lalu me-nasakh-nya dengan hukum dera atau hukum rajam.
    Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, dan Ad-Dahhak, bahwa ayat ini dimansukh. Pendapat ini disepakati oleh semua ulama.
    قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّان بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقاشِي، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ أَثَّرَ عَلَيْهِ وَكَرُبَ لِذَلِكَ وتَرَبّد وَجْهُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ: "خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَل اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، والبِكْرُ بالبكرِ، الثَّيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ، ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ، وَالْبِكْرُ جَلْدُ مِائَةٍ ثُمَّ نَفْى سَنَةٍ".
    Imam ahmad berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far. telah menceritakan kepada kami Sa'id. dari Qatadah. dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila turun wahyu kepadanya, hal itu mempengaruhinya dan beliau tampak susah serta wajahnya berubah (karena beratnya wahyu). Maka pada suatu hari Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya; setelah selesai dan keadaan beliau menjadi seperti sediakala, beliau bersabda: Ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi mereka (wanita-wanita itu) jalan yang lain; janda dengan duda, dan jejaka dengan perawan. Janda (duda) dikenai hukuman dera seratus kali dan dirajam dengan batu, sedangkan jejaka (perawan) dikenai hukuman dera seratus kali dan dibuang (diasingkan) selama satu tahun.
    Imam Muslim dan Ashabus Sunan meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan, dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang lafaznya seperti berikut:
    " خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا؛ الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".
    Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain bagi mereka (wanita-wanita itu), jejaka dengan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam.
    Imam Turmuzi mengatakan bahwa hasan shahih
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Duud At-Tayalisi:
    عَنْ مُبَارَكِ بْنِ فَضَالة، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عُبَادَةَ: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ عُرف ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ، فَلَمَّا أُنْزِلَتْ: {أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا} [وَ] ارْتَفَعَ الْوَحْيُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا خُذُوا، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا البكْرُ بالبكرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنفيُ سَنَةٍ، والثَّيِّب بالثيبِ جَلْدُ مِائَةٍ ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ".
    dari Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah, bahwa Rasulullah Saw. apabila sedang turun wahyu kepadanya, hal tersebut dapat diketahui melalui wajahnya. Allah menurunkan ayat berikut: atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (An-Nisa: 15) Ketika wahyu telah selesai darinya, maka ia bersabda: Ambillah, ambillah oleh kalian, Allah telah beri jalan yang lain kepada wanita-wanita itu, jekaka dan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun. sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
    Imam Ahmad meriwayatkan pula hadis ini:
    عَنْ وَكِيع بْنِ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دَلْهَم، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قُبَيْصَة بْنِ حُرَيث، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ المُحَبَّق قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".
    Dari Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Hasan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dalham, dari Qubaisah ibnu Harb, dari Salamah ibnul Muhabbaq yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada wanita-wanita itu. Jejaka dengan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam.
    Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan panjang lebar melalui hadis Al-Fadl ibnu Dalham. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Al-Fadl orangnya bukan Hafiz. dia adalah tukang tebu di Wash.
    Hadis yang lain. Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan:
    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ حَمْدَانَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "البكْرَان يُجْلَدان ويُنفيَانِ، وَالثَّيِّبَانِ يُجْلَدَانِ ويُرجَمانِ، والشَّيْخانِ يُرجَمان".
    telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abbas ibnu Hamdan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdul Gaffar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dua orang yang belum pernah kawin, kedua-duanya didera dan dibuang; sedangkan dua orang yang pernah kawin, kedua-duanya didera dan dirajam; dan kedua orang yang sudah tua, kedua-duanya dihukum rajam (bila berzina).
    Ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
    Imam Tabrani meriwayatkan melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari saudaranya Isa ibnu Luhai'ah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah surat An-Nisa diturunkan, maka Rasulullah Saw. pernah bersabda:
    «لَا حَبْسَ بَعْدَ سُورَةِ النِّسَاءِ»
    Tidak ada kurungan lagi sesudah surat An-Nisa.
    Imam Ahmad ibnu Hambal berpegang kepada makna hadis ini, yaitu yang menggabungkan antara hukuman dera dan rajam terhadap duda atau janda yang berzina. Sedangkan menurut jumhur ulama, janda atau duda yang berzina hanya dikenai hukuman rajam saja, tanpa hukuman dera. Mereka mengatakan demikian dengan alasan bahwa Nabi Saw. telah merajam Ma’iz dan Al-Gamidiyyah serta kedua orang Yahudi (yang telah berbuat zina) dan beliau tidak mendera mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa hukuman dera bukan merupakan suatu keputusan yang pasti dan tidak dapat diganggu gugat lagi melainkan ia dimansukh. Demikianlah menurut pendapat mereka (jumhur ulama).
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا}
    Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya. (An-Nisa: 16)
    Yaitu dua orang yang berbuat zina, kalian harus menghukumnya. Menurut Ibnu Abbas r.a. dan Sa'id ibnu Jubair serta selain keduanya. hukuman tersebut berupa caci maki dan memukulinya dengan terompah dan sandal. Pada mulanya memang demikian hukumnya sebelum Allah menasakhnya dengan hukuman dera dan hukuman rajam.
    Ikrimah, Ata. Al-Hasan. dan Abdullah ibnu Kasir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dan seorang wanita apabila keduanya berbuat zina.
    As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan muda-mudi sebelum mereka kawin (lalu melakukan perbuatan zina).
    Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki yang melakukan perbuatan tidak senonoh. Seakan-akan dia bermaksud bahwa kedua lelaki tersebut melakukan perbuatan homo.
    Ahlus Sunan meriwayatkan melalui hadis Amr ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
    «مَنْ رَأَيْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
    Barang siapa yang kalian lihat sedang melakukan perbuatan kaumnya Nabi Lut, maka bunuhlah si pelaku dan yang dikerjainya.
    *******************
    Firman Allah Swt.:
    {فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا}
    kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri.  (An-Nisa: 16)
    Yakni jera dan berhenti dari apa yang dilakukan oleh keduanya serta memperbaiki dirinya dan amal perbuatannya menjadi baik.
    {فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا}
    maka biarkanlah mereka. (An-Nisa: 16)
    Janganlah kalian mengerasi keduanya dengan kata-kata yang buruk sesudah itu. karena orang yang telah bertobat dari dosanya sama dengan orang yang tidak berdosa.
    {إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا}
    Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 16)
    Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
    «إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا»
    Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, maka hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi ia tidak boleh mencacinya.
    Yakni mencaci makinya karena perbuatannya, setelah ia menjalani hukuman had yang merupakan penghapus dosa dari perbuatannya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar